Monitorday.com – Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan salah satu syarat sahnya perkawinan.
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) tidak bertentangan dengan konstitusi.
“Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan unsur yang tidak dapat dihilangkan dari syarat sahnya perkawinan,” kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat.
Pada perkara ini, dua orang warga negara yang mengaku tidak memeluk agama dan kepercayaan tertentu, Raymond Kamil dan Teguh Sugiharto, mempersoalkan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan.
Raymond dan Teguh mendalilkan, pasal tersebut membatasi mereka untuk membentuk keluarga secara sah.
Ketentuan normanya dinilai tidak mengakomodasi warga negara yang tidak memilih untuk tidak memeluk agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Terkait dalil tersebut, Mahkamah menjelaskan, beragama dan berketuhanan merupakan suatu keniscayaan sebagai perwujudan karakter bangsa.
Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana diamanatkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945, menjadi dasar penjelasan ini.
Oleh karena itu, menurut MK, tidak adanya ruang bagi warga negara untuk memilih tidak beragama merupakan pembatasan yang proporsional.
MK meyakini perkawinan tidak terlepas dari Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 1 UU Perkawinan pun mengatur bahwa perkawinan bertujuan membentuk keluarga dalam suatu rumah tangga yang bahagia dan kekal.
“Dengan tidak adanya ruang bagi warga negara Indonesia untuk memilih tidak menganut agama, maka norma hukum positif bukanlah norma yang menimbulkan perlakuan diskriminatif,” ucap Arief.
Perkawinan dapat dikategorikan sebagai forum eksternum dan negara dapat ikut menentukan tata cara dan syarat-syaratnya.
Dengan adanya norma Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, negara menyerahkan perkawinan kepada agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Atas dasar itu, MK menolak permohonan Raymond dan Teguh.
“Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, maka dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan adalah tidak beralasan menurut hukum,” demikian Arief.
Di dalam perkara yang sama, Raymond dan Teguh turut menguji UU KUHP baru, tetapi dinyatakan tidak dapat diterima oleh MK.
Keduanya juga menguji UU HAM, UU Adminduk, dan UU Sistem Pendidikan Nasional yang sama-sama berakhir kandas karena ditolak untuk seluruhnya.