KONON sebelum Islam masuk di Persia, raja-raja negeri itu merasa tak dapat hidup jika hanya memiliki tiga ribu pelayan, seribu koki, seribu pelatih burung rajawali dan seribu pasukan penjaga.
Islam kemudian jaya di tanah Persia di bawah nahkoda Salman al-Farisi Radhiyallahu ‘anhu, ia sendiri kemudian menjadi pemimpin di negeri itu.
Suatu ketika, Salman hendak mendirikan sebuah rumah. Ia kemudian berbincang dengan seorang tukang yang ahli dalam membuat rumah.
“Apakah Tuan hendak mendirikan rumah?” tanya seorang tukang bangunan pada Salman.
Salman balik bertanya, “Apakah Engkau tahu cara membangun rumah untukku?” dengan santunnya.
“Tahu,” singkat jawab si tukang bangunan.
Tukang bangunan itu kemudian menjelaskan rumah yang dimaksud, “Bangunan itu setinggi tubuh Tuan saat berdiri, dan sepanjang tubuh Tuan saat berbaring.”
“Rupanya Engkau sudah mengetahui.” simpul Salman al-Farisi.
Tak hanya soal rumah saja yang bersahaja, dalam urusan duniawi pun Salman begitu sederhana.
Dikisahkan oleh Syaikh Dr ‘Abdullah ‘Azzam dalam Tarbiyah Jihadiyah, Salman al-Farisi hanya membutuhkan tiga dirham untuk memenuhi kebutuhan setiap harinya.
Satu dirham untuk modal usaha, satu dirham untuk kebutuhan sehari-hari, dan satu dirham untuk sedekah.
Jika dikurskan ke dalam rupiah, satu dirham kurang lebih sekitar empat puluh ribu. Jadi, sekelas pemimpin negeri Persia, Salman cukup dengan seratus dua puluh ribu perhari.
Empat puluh ribu untuk modal usaha. Empat puluh ribu untuk makan setiap hari. Empat puluh ribu untuk sedekah.
Inilah yang membedakan pemburu akhirat dengan hamba dunia. Inilah pembeda sejati antara ahli surga dengan calon penghuni neraka. Inilah bukti paling nyata atas kecemerlangan para sahabat Nabi, dan alasan valid hingga mereka berhak mendapatkan surga nan abadi.
Lalu, bagaimana dengan kehidupan kita? Jangan-jangan biaya hidupnya lebih besar, tapi senantiasa merasa kekurangan karena tiadanya syukur dan qana’ah. Wallahu a’lam.