Fokus
Mengebiri atau Mentransformasi Demokrasi?
Published
3 days agoon
By
Ma'ruf MtqBAGI HAMDAN JUHANNIS, Guru Besar sekaligus Rektor UIN Alauddin Makassar, kantor polisi adalah tempat asing baginya. Sebagai seorang akademisi, ia mungkin tak pernah membayangkan harus datang ke sana. Namun, Kamis [20/12/2024], ia terpaksa melangkahkan kaki ke Mapolres Gowa. Bukan untuk mengurus SIM atau SKCK, tetapi untuk menghadiri konferensi pers yang berat: menjelaskan skandal yang melibatkan institusi yang ia pimpin.
Tatapannya tajam, penuh beban, dan alisnya sedikit berkerut saat ia berdiri di hadapan para wartawan. Dengan suara yang terdengar bergetar, ia berkata, “Saya hadir di sini selaku Rektor UIN Alauddin. Ini adalah bukti nyata dukungan kami terhadap polisi untuk mengungkap kasus ini sampai ke akar-akarnya.” Hamdan menarik napas panjang beberapa kali, mencoba menenangkan gejolak emosi di tengah situasi yang berat.
Rasa malu semakin membuncah saat terungkap bahwa salah satu pelaku utama sindikat uang palsu ini adalah Kepala Perpustakaan UIN Alauddin, Andi Ibrahim. Sorot mata Hamdan menunjukkan kekecewaan mendalam, sementara ia mencoba menjaga ketenangan di hadapan para wartawan dan kamera yang terus merekam setiap gerakannya. “Kami sangat menyesalkan kejadian ini,” katanya, menutup pernyataannya dengan nada penuh kesungguhan.
Selain fakta keterkaitan pihak kampus UIN Alauddin Makassar, skandal ini juga mengungkap fakta mengejutkan lainnya, yaitu bahwa uang palsu tersebut sempat akan digunakan untuk kepentingan pilkada di salah satu kota di Sulawesi Selatan.
Skandal besar ini mencuatkan fakta mengejutkan tentang bagaimana politik uang, bahkan dengan modus uang palsu, telah merasuki sistem demokrasi kita. Penemuan ini menjadi simbol gelap dari dinamika pilkada yang semakin berbiaya tinggi. Di atas meja, lembaran-lembaran uang palsu dengan jumlah ratusan juta rupiah berserakan, hasil pengungkapan operasi yang mengejutkan publik.
Penemuan ini menjadi pintu masuk untuk menggali sisi kelam demokrasi di Indonesia, di mana hiruk-pikuk pilkada kerap dihiasi oleh mahalnya biaya politik dan praktik-praktik tak terpuji. Di sepanjang jalan utama kota besar, baliho besar menghiasi langit dengan wajah-wajah tersenyum para kandidat. Di media massa, iklan-iklan pemilu tak henti-hentinya menyerukan visi-misi dengan nada penuh janji.
Sementara itu, media sosial menjadi medan pertempuran sengit, dengan unggahan kampanye yang memanfaatkan influencer hingga serangan buzzer. Namun, hiruk-pikuk ini menyimpan sisi gelap: politik uang yang merajalela. Aparat berhasil menyita uang palsu senilai ratusan juta rupiah yang diduga kuat akan digunakan untuk memengaruhi hasil pemilu. Penangkapan ini mengungkap sisi gelap kontestasi politik yang sering kali diselimuti kemewahan dan janji-janji manis.
Mahalnya Demokrasi
Pilkada, yang sejak 2005 memberikan hak suara langsung kepada rakyat untuk memilih kepala daerah, sering dianggap sebagai puncak pesta demokrasi di tingkat lokal. Namun, pesta ini tidak lepas dari biaya tinggi. Laporan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan bahwa calon kepala daerah sering menghabiskan dana miliaran rupiah untuk memenangkan kursi. Tak jarang, biaya besar ini mendorong praktik politik uang yang mencederai nilai-nilai demokrasi.
“Kami melihat bahwa ongkos politik sangat tinggi dalam pilkada langsung, sehingga sering kali memicu kepala daerah terpilih untuk melakukan korupsi demi mengembalikan modal,” ungkap Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis [21/12/2023].
Selain itu, banyak pihak menilai bahwa biaya penyelenggaraan pilkada juga terlalu besar. Anggaran ini meliputi logistik, keamanan, dan pengelolaan sistem pemilu. Kondisi ini menjadi salah satu alasan mengapa wacana pemilihan kepala daerah melalui DPRD kembali menjadi topik hangat.
Wacana ini, yang digaungkan kembali oleh Presiden Prabowo Subianto, menuai pro dan kontra. Prabowo sempat mengatakan bahwa sistem ini akan lebih efisien secara anggaran dan sesuai dengan fungsi gubernur sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat.
“Anggaran yang besar dari pilkada langsung bisa dialokasikan untuk kebutuhan rakyat, seperti perbaikan sekolah dan infrastruktur,” ujar Prabowo dalam wawancara di Bogor, Jumat [15/12/2023].
Prabowo Subianto juga mencontohkan negara-negara seperti Malaysia dan India, di mana kepala daerah dipilih oleh anggota legislatif, bukan langsung oleh rakyat.
Namun, kritik juga datang dari berbagai pihak. Mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), menyebutkan bahwa wacana ini adalah langkah mundur ke era Orde Baru, ketika rakyat hanya menjadi penonton. “Kita tidak bisa kembali ke masa di mana demokrasi dibatasi. Itu bukan jalan yang tepat untuk rakyat,” kata Ahok di Jakarta, Senin [18/12/2023].
Transformasi Digital: Realistiskah?
Di tengah perdebatan antara pilkada langsung dan melalui DPRD, muncul ide lain yang menggugah: pemilu digital. Estonia, sebuah negara kecil di Eropa, telah memelopori sistem pemilu online yang aman dan transparan. Dengan teknologi blockchain, mereka mampu menjaga integritas suara rakyat.
Namun, apakah pemilu digital realistis di Indonesia? Tantangannya cukup besar. Dari segi infrastruktur, belum semua daerah memiliki akses internet yang memadai. Ketimpangan digital masih menjadi kendala, terutama di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).
Selain itu, masalah keamanan siber juga menjadi sorotan. Indonesia, yang beberapa kali mengalami kebocoran data besar-besaran, perlu memperkuat sistem perlindungan data sebelum dapat mengadopsi pemilu digital secara penuh.
“Pemilu digital adalah masa depan, tetapi untuk sekarang, kita masih perlu membangun fondasi yang kuat. Infrastruktur teknologi harus merata dan masyarakat perlu diberi literasi digital,” kata pengamat politik dari Universitas Indonesia, Ade Kurniawan, dalam seminar di Depok, Rabu [20/12/2023].
Dalam kebuntuan ini, mungkin solusi terbaik adalah pendekatan bertahap. Pemilu hybrid dapat menjadi langkah awal. Di kota-kota besar dengan infrastruktur memadai, pemilu digital bisa diuji coba. Di sisi lain, pemilu langsung tetap dipertahankan di daerah yang lebih tradisional.