Review
Minoritas yang Berisik
Published
10 months agoon
By
Muchlas RowiBOLA DAN POLITIK terkadang identik. Tentu bukan soal urusan relasi-kuasa, tapi karakternya. Dalam konteks pendukung misalnya. Pilpres hari ini ibarat pagelaran Liga Champions, kejuaraan kasta tertinggi antar klub di Eropa, sekaligus di dunia.
Dimana pertandingan tidak ditentukan oleh seberapa berisik para pendukungnya di luar lapangan. Karena jika itu ukurannya, maka bukan Real Madrid, Barcelona, Bayern Munchen, Manchester City, Manchester United, atau Liverpool juaranya. Tapi Galatasaray dan Besiktas.
Kedua klub ini memang selalu bercokol di papan atas klasmenen Liga Turki, dan setiap bertanding pendukungnya sangat antusias dan berisik. Tidak hanya saat big match, kebisingan selalu terjadi setiap Galatasaray berlaga di Turk Telecom Arena. Guinness World Record mencatat kebisingan yang dibuat di stadion ini bisa mencapai 132 desibel.
Pun demikian di Stadion Inonu di Istanbul. Markas Besiktas ini mampu menciptakan kebisingan yang sama, mencapai 132 desibel saat Besiktas melawan klub-klub sekelas Liverpool. Suaranya lebih keras dari suara pesawat terbang.
Kebisingan di Stadion Inonu dan Turk Telecom sering membuat pemain lawan ketakutan saat menghadapi Besiktas dan Galatasaray. Instruksi antar pemain tim sering tak terdengar gegara bisingnya dua stadion ini.
Temuan survei
Pun dalam Pilpres 2024, ada fenomena para pendukung yang mayoritas namun memilih diam. Sementara yang minoritas terlihat sangat vokal dan bisa dikatakan berisik.
Setidaknya itu nampak dalam kampanye capres-cawapres yang sudah berjalan hampir satu bulan terakhir. Dimana antusiasme terlihat dalam setiap kampanye dan kegiatan Capres Nomor Urut 1, Anies-Muhaimin.
Salah satu yang paling banyak dibanjiri pendukung adalah di acara Jalan sehat yang berlokasi di area Car Free Day Jalan Jenderal Sudirman, Minggu [24/9/2023] di Makassar. Satu juta orang diklaim hadir di acara ini.
Anehnya, hasil sigi lembaga survei terkait elektabilitas calon presiden dan wakil presiden periode 2024-2029 yang terus dirilis menunjukkan hasil berbeda. Pasangan nomor urut 2 Prabowo-Gibran justeru menunjukkan keunggulannya.
Terbaru, Forum Rektor PTMA [Perguruan Tinggi Muhammadiyah Aisyiyah] merilis hasil survei elektabilitas 3 pasangan calon presiden dan calon wakil presiden jelang Pilpres 2024. Hasilnya, Paslon nomor urut 2 unggul di semua lini kantong elektoral, baik berdasarkan demografi maupun wilayah domisili para responden.
Para responden ditanya ‘seandainya pemilu serentak dilaksanakan hari ini siapakah dari tiga calon presiden berikut ini yang akan anda pilih? Hasilnya, elektabilitas Prabowo Gibran tembus 40,97%. Paslon lainnya, Anies Baswedan dan Cak Imin hanya meraup 23,27% diikuti paslon nomor urut 3 di juru kunci dengan perolehan angka 15,81% saja.
Meski perolehan suara paslon nomor urut 2 belum melebihi angka 42 % apalagi 50%, namun Prabowo-Gibran bisa dibilang mampu merajai perolehan suara di hampir semua zona atau pulau. Suara tertinggi yang diperoleh Prabowo-Gibran adalah di Maluku dan Papua, dengan suara 45%.
Begitu juga Jika survei dikerucutkan hanya di Jawa saja, paslon nomor urut 2 tetap unggul dibanding paslon lainnya. Prabowo-Gibran hanya kalah di DKI oleh paslon nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dengan perolehan suara 48,08%. Sementara Prabowo-Gibran meraih suara 25,00%.
Elektabilitas Prabowo-Gibran lagi-lagi berhasil mengungguli perolehan suara paslon lainnya, ketika responden dikategorikan secara usia. Dimana keunggulan tertinggi Prabowo – Gibran ada di rentang usia 17-25 tahun dengan raihan suara 60,27%.
Survei Forum Rektor PTMA ini pada akhirnya menyimpulkan, jika Pilpres 2024 berjalan 2 putaran sekalipun Prabowo-Gibran tetap unggul jauh baik melawan paslon nomor urut 1 maupun paslon nomor urut 3.
Silent Majority, Load Minority
Jika dikaitkan dengan gelaran pilpres-pilpres sebelumnya, maka ada fenomena yang seolah disadari namun tetap diamini. Eep Saefullah Fatah sendiri, yang saat ini merupakan konsultan partai pengusung paslon nomor urut 1, PKB sudah lama mengingatkan soal adanya Amien Rais Syndrome. Ketika di awal reformasi, nama pendiri PAN itu sangat melambung dan acara-acaranya dihadiri banyak orang. Tapi ketika pemilu digelar, suaranya cuma dapat 14 persen saja.
Sebagai konsultan berpengalaman tentu Eep Saefullah Fatah sadar. Mungkin itulah alasannya, kenapa meski hanya merupakan konsultan partai, dia sampai harus turun gunung untuk bicara di banyak forum soal potensi dan peluang pemakzulan atau impeachment presiden.
Dewan Penasihat Tim Pemenangan Nasional [TPN] Ganjar-Mahfud, Zannuba Ariffah Chafsoh atau Yenny Wahid juga pernah mengatakan, mayoritas umat Islam di Indonesia adalah umat yang memiliki tingkat toleransi tinggi dan memberikan ruang bagi sesama warga Indonesia untuk beribadah sesuai kepercayaan masing-masing.
Kata Yenny, kelompok yang saat ini berisik di publik menggunakan isu agama, hanyalah minoritas dan bukan merupakan wakil dari umat Islam di Indonesia. Mayoritas Islam di Indonesia sangat menyadari bangsa terdiri dari banyak orang yang memiliki latar belakang beragam. Janji kemerdekaan, janji kedaulatan, janji kemakmuran dan janji keadilan, kata dia, tidak cuma diberikan kepada satu mayoritas namun keseluruh bangsa Indonesia.
Mereka adalah kelompok kecil, kelompok minoritas. Tapi memang berisik.
Yenny Wahid
“Mereka adalah kelompok kecil, kelompok minoritas. Tapi memang berisik, jadi kuatnya karena berisik saja. Tapi tidak didukung oleh kelompok mayoritas muslim,” kata Yenny saat membawakan pidato singkat pada acara perayaan Natal dan Tahun Baru 2017 MPR-DPR-DPD RI, Jumat (27/1/2017) silam.
Bergabungnya Abu Bakar Baasyir, Amien Rais dan beberapa orang yang menamakan diri Petisi 100 makin menguatkan bahwa adanya fenomena ‘Silent majority, Loud Minority’. Sebuah frase yang banyak diasosiasikan dengan perkataan Presiden Amerika Serikat ke-37, Richard Nixon dalam pidatonya di tanggal 3 November 1969.
Dalam pidatonya, Nixon sempat berbicara tentang mayoritas yang tidak terdengar secara vokal, yang dikenal sebagai silent majority dan mencoba mendapatkan dukungan mereka dalam konteks perang Vietnam dan ketegangan sosial-politik saat itu.
Frase ‘silent majority, loud minority’ makin kentara jika kita masuk dalam sudut-sudut yang dulu gelap [algoritma] di media sosial. Kini situasinya menjadi lebih berisik. Sedikit saja berbeda dengan mereka, maka berisiaplah untuk diserang, dibully dan dibuat seolah kita peselancar yang dungu.
Desakan-desakan verbal yang pada akhirnya melahirkan tirani di media sosial!