PBB melaporkan hubungan antara kebahagiaan dan kemakmuran negara, dengan hasil mengejutkan. Negara-negara Skandinavia mendominasi daftar negara paling bahagia, sementara Bangladesh pernah menempati peringkat tertinggi menurut penelitian LSE. Penelitian ini menyoroti pentingnya pemahaman makna kehidupan dalam mencari kebahagiaan.
Kebahagiaan tidak selalu berkaitan dengan kekayaan materi atau jabatan. Amerika Serikat berada di urutan ke-11 dalam laporan PBB, dan Inggris di urutan ke-32 menurut LSE. KH. Sudarman Ibnu Murtadho, Pengasuh Pesantren Terpadu Insan Cita Serang (ICS) Banten, menyatakan bahwa kebahagiaan tidak dapat diukur dengan variabel duniawi, tetapi terletak pada pemahaman akan makna kehidupan.
Menilai kebahagiaan berdasarkan kekayaan akan mengecualikan orang miskin. Jika jabatan dan kekuasaan menjadi standar, rakyat biasa tidak akan merasa bahagia. Jika dunia adalah satu-satunya variabel penentu kebahagiaan, hanya segelintir orang yang bisa meraihnya. Namun, hal ini tidak benar.
Kebahagiaan bergantung pada cara kita memahami hidup. Semua orang, kaya maupun miskin, pejabat maupun rakyat biasa, memiliki hak untuk bahagia. Sebagai pedoman, kita harus mencari dunia sesuai dengan kemampuan kita, tanpa serakah, persaingan yang tidak sehat, atau mencelakakan sesama. Semua ini hanya sementara.
Kita tidak perlu bersedih karena dunia adalah tempat yang fana. Kita harus memulai hidup bahagia dengan memahami makna kehidupan. Pertanyaan yang harus dijawab adalah dari mana kita berasal, sedang berada di mana, dan akan pergi ke mana. Semoga kita diberi izin oleh Allah untuk masuk ke surga-Nya. Dunia ini hanya sementara, namun kebahagiaan sejati dapat ditemukan dengan memahami makna sejati kehidupan.