Connect with us

Ruang Sujud

Panduan Ta’aruf untuk Pemula: Dari Niat hingga Khitbah

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Bagi banyak anak muda muslim, keinginan menikah seringkali hadir bersamaan dengan kebingungan: harus mulai dari mana? Di sinilah ta’aruf hadir sebagai panduan suci untuk mengenal calon pasangan dengan cara yang diridhai Allah. Jika kamu baru pertama kali mendengar atau ingin menjalaninya, berikut panduan ta’aruf dari awal hingga khitbah.

1. Mantapkan Niat
Langkah paling awal adalah meluruskan niat. Ta’aruf bukan ajang coba-coba apalagi pelarian dari kesepian. Ia adalah proses serius mencari pasangan hidup untuk membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Niat ini penting agar langkah selanjutnya tetap berada dalam jalur yang benar.

2. Siapkan Diri secara Mental dan Spiritual
Sebelum mencari pasangan, kamu harus menyiapkan diri terlebih dahulu. Tanyakan pada diri: apakah aku sudah cukup matang secara emosi, finansial, dan spiritual? Jangan buru-buru ta’aruf kalau belum siap menikah. Ta’aruf bukan tempat untuk sekadar mencari teman ngobrol atau curhat.

3. Minta Bantuan Perantara yang Tepercaya
Dalam Islam, interaksi lawan jenis sangat dijaga. Oleh karena itu, ta’aruf dilakukan dengan bantuan perantara, seperti orang tua, ustaz, mentor, atau sahabat yang paham agama. Mereka akan membantu menyambungkan dua pihak yang berniat menikah dan mengatur pertemuan dengan etika Islam.

4. Proses Perkenalan yang Terarah
Saat ta’aruf, hindari basa-basi yang tidak penting. Fokus pada pertanyaan-pertanyaan kunci: visi pernikahan, prinsip hidup, pandangan soal peran suami-istri, pengelolaan keuangan, relasi keluarga, hingga rencana masa depan. Jangan malu untuk menyampaikan ekspektasi dan nilai-nilai yang kamu pegang.

5. Evaluasi dan Shalat Istikharah
Setelah beberapa kali pertemuan, luangkan waktu untuk merenung dan berdoa. Shalat istikharah adalah cara memohon petunjuk dari Allah apakah calon tersebut baik untuk agama, kehidupan, dan masa depanmu. Libatkan orang tua atau mentor untuk berdiskusi dan mendapatkan masukan objektif.

6. Ambil Keputusan: Lanjut atau Tidak
Jika merasa cocok, kamu bisa lanjut ke tahap khitbah (lamaran). Namun jika tidak, jangan ragu untuk berhenti. Dalam ta’aruf, tidak ada ikatan emosional yang mendalam, jadi keputusan untuk mundur tidak akan melukai seperti halnya dalam pacaran. Sampaikan dengan baik dan saling menghormati.

7. Menuju Pernikahan
Setelah khitbah, kamu dan pasangan bisa melanjutkan proses persiapan pernikahan. Komunikasi tetap dilakukan dengan batasan yang syar’i. Ini adalah fase terakhir sebelum resmi menjadi pasangan halal di hadapan Allah dan masyarakat.

Kesimpulannya, ta’aruf adalah proses mulia yang memberi jalan terang bagi siapa pun yang ingin menikah dengan cara yang benar. Dengan niat yang lurus, sikap yang dewasa, dan bimbingan dari Allah, ta’aruf bisa menjadi awal dari perjalanan cinta yang penuh keberkahan.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ruang Sujud

Kesalahan Umum dalam Ta’aruf dan Cara Menghindarinya

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Ta’aruf adalah proses yang indah dan mulia dalam Islam, tapi tidak sedikit yang keliru dalam menjalaninya. Niat awal yang baik bisa jadi melenceng jika dilakukan tanpa pemahaman dan bimbingan yang tepat. Supaya proses ta’aruf berjalan dengan benar dan penuh keberkahan, penting untuk mengenali berbagai kesalahan umum berikut dan cara menghindarinya.

1. Menganggap Ta’aruf seperti Pacaran Islami
Salah satu kesalahan paling sering terjadi adalah memperlakukan ta’aruf seperti versi “halal” dari pacaran. Mereka mulai chat intens, berbagi cerita personal yang terlalu dalam, bahkan saling panggil mesra sebelum akad. Padahal, ta’aruf bukan ajang pendekatan romantis, melainkan proses rasional mengenal seseorang untuk tujuan pernikahan.
👉 Solusi: Batasi komunikasi sesuai kebutuhan, dan selalu libatkan perantara agar tetap terjaga.

2. Tidak Melibatkan Pihak Ketiga
Banyak yang mencoba ta’aruf hanya berdua dengan calon pasangan lewat chat atau pertemuan langsung tanpa ada pendamping. Ini sangat rawan fitnah dan membuka celah syaitan untuk menggoda.
👉 Solusi: Ajak orang tua, ustaz, atau sahabat terpercaya sebagai mediator dalam setiap tahap.

3. Terlalu Fokus pada Penampilan dan Finansial
Memang penting melihat penampilan dan kesiapan finansial calon pasangan, tapi jika ini dijadikan satu-satunya tolok ukur, bisa fatal. Ta’aruf bukan ajang cari yang paling cakep atau tajir, tapi yang paling siap untuk jadi pasangan seumur hidup.
👉 Solusi: Fokus pada akhlak, komitmen agama, visi hidup, dan kesiapan membina keluarga.

4. Tidak Jujur Saat Menjawab Pertanyaan
Banyak yang ingin tampil sempurna saat ta’aruf, sehingga menyembunyikan kekurangan atau memberi jawaban yang dibuat-buat. Akibatnya, akan muncul banyak kejutan tak menyenangkan setelah menikah.
👉 Solusi: Jujur sejak awal. Lebih baik tahu kondisi sebenarnya sekarang daripada menyesal nanti.

5. Terlalu Cepat Mengambil Keputusan
Karena sudah merasa “klik”, banyak yang buru-buru mengambil keputusan tanpa benar-benar mempertimbangkan. Kadang hanya dalam sekali pertemuan langsung ingin lanjut ke khitbah, tanpa diskusi lebih dalam.
👉 Solusi: Jalani ta’aruf dengan tenang, lakukan beberapa sesi perkenalan, dan jangan lupakan shalat istikharah.

6. Mengabaikan Restu Orang Tua
Sebagian orang memilih jalan sendiri tanpa melibatkan orang tua sejak awal. Ini bisa menjadi masalah besar ketika orang tua tidak setuju, padahal hubungan sudah terlanjur dekat.
👉 Solusi: Libatkan orang tua sejak awal, bahkan sejak tahap niat. Restu mereka sangat penting untuk keberkahan rumah tangga.

Kesimpulannya, ta’aruf adalah proses suci yang harus dijalani dengan ilmu, bimbingan, dan hati-hati. Hindari kesalahan-kesalahan umum di atas agar ta’aruf benar-benar menjadi jalan terang menuju pernikahan yang diridhai Allah SWT.

Continue Reading

Ruang Sujud

Bedanya Ta’aruf dan Pacaran: Mana yang Lebih Islami?

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Di tengah budaya populer yang membiasakan pacaran sebelum menikah, Islam hadir dengan alternatif yang lebih suci dan terjaga: ta’aruf. Keduanya sama-sama proses perkenalan, tetapi berbeda jauh dari segi tujuan, cara, dan keberkahan.

Pacaran seringkali dijalani tanpa komitmen jelas. Banyak pasangan menjalin hubungan bertahun-tahun, namun berakhir tanpa pernikahan. Bahkan, tak sedikit yang terjerumus dalam maksiat karena tidak adanya batasan syar’i. Pacaran memupuk rasa, kedekatan fisik, dan emosi, namun sering melalaikan akal dan pertimbangan rasional.

Sebaliknya, ta’aruf adalah proses mengenal seseorang secara serius dan terarah dengan niat menikah. Tidak ada gombalan, tidak ada jalan berdua tanpa mahram, dan tidak ada eksplorasi perasaan yang bisa menimbulkan zina hati. Semua dilakukan dalam bingkai syariat, dengan pendamping atau pihak ketiga, dan fokus pada karakter, nilai hidup, serta kesiapan membangun rumah tangga.

Dalam pacaran, seseorang bisa terjebak pada rasa nyaman semu. Akibatnya, banyak yang terlambat sadar bahwa pasangan mereka tidak sevisi dalam hal prinsip, keluarga, atau masa depan. Sementara dalam ta’aruf, pertanyaan-pertanyaan mendalam seperti visi keislaman, tujuan hidup, tanggung jawab finansial, dan peran dalam rumah tangga dibahas sejak awal.

Secara emosional, pacaran menguras banyak energi. Hubungan yang tidak halal rentan menyakiti hati dan menimbulkan trauma. Sementara ta’aruf tidak menyentuh ranah emosi secara berlebihan. Jika tidak cocok, keduanya bisa mundur dengan tetap saling menghormati, tanpa sakit hati mendalam.

Dalam pandangan Islam, pacaran tidak memiliki dasar syar’i. Sebaliknya, ta’aruf justru didukung oleh nilai-nilai keadaban, menjaga kehormatan, dan menjunjung kesucian pernikahan. Ia bukan hanya proses mengenal, tapi juga latihan dalam memuliakan calon pasangan sejak awal.

Kesimpulannya, jika ditanya mana yang lebih Islami antara pacaran dan ta’aruf, jawabannya tentu jelas: ta’aruf. Ia bukan hanya lebih aman secara lahiriah, tapi juga membawa keberkahan yang melimpah karena dilakukan dengan niat yang benar dan cara yang sesuai dengan ajaran agama.

Continue Reading

Ruang Sujud

Ta’aruf dalam Islam: Jalan Suci Menuju Pernikahan yang Diberkahi

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Dalam Islam, pernikahan bukan sekadar hubungan emosional atau fisik, melainkan ibadah dan perjanjian sakral antara dua insan untuk membangun rumah tangga yang diridhai Allah. Sebelum melangkah ke jenjang tersebut, ada satu proses penting yang dianjurkan: ta’aruf.

Secara bahasa, ta’aruf berarti saling mengenal. Namun dalam konteks pernikahan, ta’aruf adalah proses mengenal calon pasangan dengan cara yang syar’i, tanpa mendekati zina, tanpa pacaran, dan tanpa interaksi yang melampaui batas. Proses ini menjaga kehormatan kedua belah pihak dan dilakukan dengan niat mencari jodoh karena Allah.

Biasanya, ta’aruf melibatkan pihak ketiga sebagai perantara, seperti ustaz, orang tua, atau teman terpercaya. Pertemuan dilakukan secara terbuka, tidak berduaan, dan fokus pada hal-hal prinsipil seperti visi hidup, pandangan tentang keluarga, pekerjaan, dan kesiapan menikah. Tujuannya bukan untuk menggali rasa, melainkan mengenali karakter dan kesesuaian visi misi.

Keistimewaan ta’aruf adalah prosesnya yang jelas, tegas, dan menghindari hubungan yang sia-sia. Jika cocok, maka akan dilanjutkan ke tahap khitbah (lamaran). Jika tidak cocok, maka diputuskan secara baik-baik tanpa luka hati karena belum ada keterikatan emosional yang mendalam.

Ta’aruf juga menjadi bentuk penjagaan diri dari godaan syahwat dan kecenderungan nafsu. Islam tidak melarang cinta, tetapi cinta yang terjaga dalam koridor syariat. Oleh karena itu, ta’aruf adalah bentuk ketaatan yang mendekatkan diri pada pernikahan yang diridhai Allah SWT.

Di era digital ini, ta’aruf bisa dilakukan dengan bantuan teknologi, namun tetap perlu penjagaan dan batasan. Ta’aruf online lewat perantara tepercaya atau platform syariah bisa jadi pilihan, asalkan niatnya benar dan prosesnya tetap dijaga.

Kesimpulannya, ta’aruf adalah jalan suci yang ditawarkan Islam bagi mereka yang ingin menikah tanpa mendekati dosa. Ia bukan jalan instan, tapi proses yang penuh keberkahan. Dengan niat yang lurus dan proses yang syar’i, insyaAllah pernikahan yang dibangun lewat ta’aruf akan lebih kokoh dan penuh rahmat.

Continue Reading

Ruang Sujud

Syuhada Era Modern: Mereka yang Gugur Membela Kebenaran

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Di zaman modern, medan perjuangan tidak lagi selalu berupa peperangan fisik seperti di masa lalu. Namun, semangat pengorbanan dan keberanian membela kebenaran tetap hidup dalam diri banyak orang yang kemudian gugur dalam perjuangan melawan ketidakadilan, penindasan, dan penjajahan. Mereka inilah yang sering disebut sebagai syuhada era modern—mereka yang meninggal dalam perjuangan yang tak kalah beratnya demi menegakkan nilai-nilai Islam, kemanusiaan, dan keadilan.

Salah satu contoh syuhada masa kini adalah para relawan kemanusiaan yang gugur saat membantu korban konflik, seperti di Palestina, Suriah, atau Myanmar. Mereka tidak membawa senjata, namun membawa bantuan, harapan, dan cinta kasih. Banyak dari mereka yang terbunuh dalam serangan, namun tetap dikenang sebagai pahlawan sejati yang mengorbankan nyawa demi sesama.

Di beberapa negeri Muslim, banyak aktivis dakwah dan ulama yang dibunuh karena keberanian mereka menyuarakan kebenaran di tengah-tengah rezim zalim. Mereka berdiri di garis depan, membela rakyat dari penindasan, melawan korupsi, dan menuntut keadilan. Meski tanpa senjata, mereka melawan dengan lisan dan tulisan, hingga akhirnya kehilangan nyawa karena kezaliman. Dalam pandangan Islam, mereka pun tergolong syuhada.

Tak sedikit pula para jurnalis Muslim yang gugur saat meliput konflik di zona-zona berbahaya. Mereka berusaha menghadirkan kebenaran kepada dunia, meski tahu nyawa mereka jadi taruhan. Darah mereka yang tertumpah di medan berita adalah bukti nyata bahwa jihad di era modern dapat berbentuk perjuangan informasi dan penyadaran umat.

Syuhada era modern juga bisa ditemukan di tengah masyarakat biasa—para orang tua yang meninggal saat melindungi anak-anak mereka dalam serangan, guru yang mempertahankan murid dari kekerasan, atau tenaga medis yang wafat karena menolong korban wabah penyakit tanpa henti. Dalam hadis Nabi, orang yang wafat karena penyakit atau bencana, jika ia bersabar dan tetap berada di jalan Allah, juga mendapat pahala syahid.

Menghormati para syuhada masa kini adalah dengan melanjutkan perjuangan mereka, menegakkan kebenaran di lingkungan kita, menolak ketidakadilan, dan memperjuangkan kemanusiaan. Mereka adalah inspirasi, bahwa menjadi pahlawan bukan soal senjata, melainkan soal keberanian untuk hidup dan mati demi nilai yang benar.

Dalam dunia yang semakin rumit ini, syahid bukan hanya tentang akhir hidup, tapi tentang bagaimana kita menjalani hidup: dengan keikhlasan, pengorbanan, dan semangat untuk selalu berada di pihak yang benar.

Continue Reading

Ruang Sujud

Keutamaan Mati Syahid dalam Al-Qur’an dan Hadis

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Dalam Islam, mati syahid atau gugur di jalan Allah adalah kemuliaan tertinggi yang dapat diraih oleh seorang hamba. Keutamaan ini tidak hanya disebutkan dalam berbagai ayat Al-Qur’an, tetapi juga ditegaskan dalam banyak hadis Rasulullah SAW. Syahid bukan hanya berarti gugur dalam peperangan, melainkan wafat dalam keadaan membela kebenaran dan kebaikan dengan penuh keikhlasan.

Salah satu keutamaan syahid yang paling agung adalah janji kehidupan di sisi Allah. Allah berfirman dalam QS. Ali Imran ayat 169-170: “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. Mereka bergembira dengan karunia yang diberikan Allah kepada mereka…” Ini menunjukkan bahwa syuhada mendapatkan kedudukan istimewa yang tidak diberikan kepada manusia biasa.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang mati syahid akan diampuni dosanya sejak tetesan darah pertama dan akan diperlihatkan tempatnya di surga…” Hadis ini menjadi bukti nyata betapa besar pahala dan keutamaan yang menanti para syuhada.

Tidak hanya itu, para syuhada juga mendapat hak istimewa untuk memberikan syafaat bagi anggota keluarganya. Dalam satu riwayat disebutkan bahwa syahid dapat memberikan syafaat kepada tujuh puluh anggota keluarganya. Ini adalah bentuk rahmat yang luar biasa dari Allah atas pengorbanan yang dilakukan oleh para pejuang kebenaran.

Menariknya, Rasulullah SAW juga menyebut beberapa jenis syahid yang tidak terbatas pada medan perang. Mereka yang wafat karena tenggelam, terbakar, sakit perut, wabah penyakit, dan wanita yang meninggal saat melahirkan juga mendapatkan gelar syuhada. Hal ini menunjukkan keluasan rahmat Allah dan pentingnya niat dalam setiap perjuangan.

Keutamaan mati syahid juga menjadi pengingat bahwa hidup sejatinya bukan hanya tentang dunia semata, tetapi juga tentang akhirat. Syahid adalah simbol dari keberanian, keteguhan, dan keikhlasan yang tiada tara. Mereka meninggalkan dunia dengan kehormatan, dan disambut di akhirat dengan kemuliaan.

Dalam kehidupan kita hari ini, semangat syahid bisa diwujudkan dalam bentuk perjuangan melawan kezaliman, membela yang lemah, menegakkan keadilan, dan menolak kemungkaran. Dengan niat yang benar dan perjuangan yang tulus, setiap langkah yang kita ambil di jalan kebaikan bisa mendekatkan kita pada derajat yang tinggi di sisi Allah.

Syuhada adalah teladan bahwa hidup bukan tentang seberapa lama kita hidup, tetapi seberapa berarti pengabdian kita kepada kebenaran. Dan syahid adalah puncak pengabdian itu.

Continue Reading

Ruang Sujud

Kisah-Kisah Menginspirasi Para Syuhada di Medan Jihad

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Sejarah Islam dipenuhi dengan kisah heroik para syuhada yang gugur dalam perjuangan membela agama. Kisah-kisah mereka bukan hanya menggetarkan hati, tetapi juga membangkitkan semangat dan keteguhan iman. Mereka tidak hanya berjuang dengan pedang, tetapi juga dengan keyakinan dan cinta kepada Allah yang luar biasa dalam dada.

Salah satu kisah syuhada yang terkenal adalah kisah Ja’far bin Abi Thalib dalam Perang Mu’tah. Ketika tangan kanannya putus saat membawa panji perang, ia mengangkat panji dengan tangan kiri. Saat tangan kirinya pun putus, ia mendekap panji itu dengan sisa-sisa tubuhnya hingga akhirnya gugur. Rasulullah SAW bersabda bahwa Ja’far telah digantikan tangannya dengan dua sayap di surga, dan ia pun dikenal sebagai Ja’far ath-Thayyar (Ja’far sang terbang).

Kisah lainnya datang dari Perang Badar, perang pertama dalam sejarah Islam. Banyak sahabat muda yang rela maju meski tahu kemungkinan besar mereka akan gugur. Salah satunya adalah Umair bin Abi Waqqash, remaja belia yang berusaha menyelinap agar bisa ikut berperang. Saat ditemukan oleh kakaknya, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan diminta pulang karena terlalu kecil, ia menangis dan memohon kepada Rasulullah untuk diizinkan. Rasulullah pun mengizinkan dan Umair gugur sebagai syahid di usia muda.

Kisah Mush’ab bin Umair juga patut dikenang. Ia adalah pemuda bangsawan Quraisy yang rela meninggalkan segala kemewahan demi Islam. Ia menjadi duta Islam pertama yang dikirim Rasulullah ke Madinah. Mush’ab gugur dalam Perang Uhud dengan mengenaskan, bahkan kain kafannya tidak cukup menutupi seluruh tubuhnya. Tapi ia tetap dikenang sebagai sosok yang luar biasa dalam keberanian dan pengorbanan.

Kisah para syuhada ini bukanlah legenda semata, melainkan realitas sejarah yang terus hidup hingga hari ini. Mereka mengajarkan bahwa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya jauh lebih besar dari cinta kepada dunia. Bahwa hidup yang paling mulia adalah hidup yang dipersembahkan untuk perjuangan membela kebenaran.

Di era modern, kisah-kisah ini tetap relevan untuk membangkitkan semangat umat. Bukan untuk memicu kekerasan, tetapi untuk menumbuhkan keberanian menghadapi ketidakadilan, memperjuangkan keadilan sosial, serta menanamkan nilai-nilai luhur dalam kehidupan.

Mengenang para syuhada berarti menghidupkan kembali semangat juang yang bersumber dari keimanan. Mereka telah pergi, namun jejak perjuangan mereka tetap hidup untuk diteladani oleh generasi setelahnya.

Continue Reading

Ruang Sujud

Syuhada: Pahlawan Sejati dalam Pandangan Islam

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Dalam ajaran Islam, syuhada atau para syahid menempati posisi yang sangat mulia. Mereka adalah orang-orang yang gugur di jalan Allah dengan niat ikhlas untuk membela agama, kebenaran, dan keadilan. Gelar syahid bukan hanya sekadar sebutan, melainkan kedudukan spiritual yang tinggi di sisi Allah.

Al-Qur’an menyebutkan bahwa para syuhada tidak mati, melainkan hidup di sisi Allah dan mendapat rezeki dari-Nya. Dalam Surah Ali Imran ayat 169, Allah berfirman: “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” Ayat ini menjadi penghibur dan motivasi bagi umat Islam dalam menjalani perjuangan di jalan yang benar.

Syahid tidak hanya terbatas pada orang-orang yang gugur dalam perang fisik. Rasulullah SAW menyebutkan beberapa jenis syahid dalam hadis-hadisnya. Orang yang wafat karena sakit perut, tenggelam, terbakar, atau saat membela harta dan keluarganya dari kezaliman juga tergolong sebagai syuhada. Ini menunjukkan bahwa semangat pengorbanan dan keteguhan hati dalam mempertahankan kebenaran adalah nilai utama yang dihargai.

Kehidupan para syuhada juga menjadi inspirasi bagi umat Islam. Mereka dikenal sebagai sosok yang berani, sabar, dan teguh dalam keyakinan. Mereka tidak gentar menghadapi maut karena keyakinan mereka akan balasan besar dari Allah. Semangat inilah yang harus dihidupkan kembali dalam kehidupan umat Islam modern, terutama dalam menghadapi berbagai tantangan moral, sosial, dan spiritual.

Di tengah kehidupan yang semakin kompleks, semangat syuhada perlu ditanamkan pada generasi muda. Bukan untuk mengajak pada kekerasan, tetapi untuk menghidupkan keberanian moral, semangat berkorban demi kepentingan umat, serta kesetiaan pada nilai-nilai Islam. Menjadi syuhada bukan hanya tentang kematian, tetapi tentang hidup dengan penuh makna dan tujuan untuk kebaikan bersama.

Mereka yang gugur sebagai syuhada telah menorehkan tinta emas dalam sejarah umat Islam. Mereka bukan sekadar nama yang tertulis di nisan, melainkan teladan yang terus hidup dalam doa dan kenangan. Syuhada adalah pahlawan sejati yang telah memberikan segalanya demi Allah dan umat-Nya.

Continue Reading

Ruang Sujud

Cara Menghindari Praktik Riba di Zaman Modern

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Menghindari riba di zaman sekarang memang tidak mudah, mengingat banyak aspek kehidupan yang telah terjerat sistem riba, dari sektor perbankan, properti, hingga pendidikan. Namun, dengan niat yang kuat dan pengetahuan yang cukup, setiap Muslim bisa berupaya menjauhi riba.

Langkah pertama adalah meningkatkan literasi keuangan syariah. Banyak dari kita yang terjebak riba karena tidak tahu bentuk-bentuknya. Dengan belajar tentang akad-akad syariah seperti murabahah, mudharabah, dan ijarah, kita bisa memilih produk keuangan yang sesuai dengan prinsip Islam.

Kedua, hindari gaya hidup konsumtif. Banyak orang terjerat utang karena ingin hidup di luar kemampuannya. Islam menganjurkan hidup sederhana, hemat, dan tidak berlebih-lebihan. Dengan hidup sesuai kemampuan, kita tidak perlu berutang untuk memenuhi gaya hidup.

Ketiga, gunakan lembaga keuangan syariah. Saat ini banyak bank dan koperasi syariah yang menyediakan produk bebas bunga. Pilih produk keuangan syariah yang diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) untuk memastikan kehalalannya.

Keempat, bersedekah dan berinfak secara rutin. Ini adalah cara untuk membersihkan harta dan sekaligus mendapatkan keberkahan. Dalam Islam, sedekah adalah cara melawan ketamakan dan bentuk kepedulian kepada sesama.

Kelima, berani berkata “tidak” pada tawaran yang mengandung riba, meski menggiurkan. Misalnya tawaran cicilan nol persen dengan syarat tersembunyi, atau pinjaman online dengan bunga mencekik. Kesabaran dan tawakal adalah kunci untuk keluar dari jerat riba.

Dengan niat yang tulus dan usaha sungguh-sungguh, insyaAllah kita bisa hidup bersih dari riba. Meski sulit, Allah akan memberi jalan bagi hamba-Nya yang ingin menjaga diri dari dosa besar ini.

Continue Reading

Ruang Sujud

Perbedaan Antara Riba dan Keuntungan Bisnis Halal

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Dalam Islam, memperoleh keuntungan dari bisnis adalah hal yang halal dan bahkan dianjurkan. Namun, banyak yang masih menyamakan keuntungan bisnis dengan riba. Padahal, keduanya sangat berbeda, baik dari segi akad, risiko, maupun nilai-nilai yang melandasinya.

Riba terjadi dalam transaksi utang-piutang yang menetapkan kelebihan pembayaran secara mutlak, tanpa mempertimbangkan hasil dari usaha atau kinerja dari peminjam. Misalnya, seseorang meminjam uang Rp10 juta dan wajib mengembalikannya menjadi Rp12 juta dalam waktu tertentu, tanpa ada risiko dari pihak pemberi pinjaman.

Sebaliknya, keuntungan dalam bisnis halal diperoleh dari jual-beli, sewa-menyewa, atau kerja sama usaha. Dalam akad seperti murabahah (jual beli dengan margin keuntungan) atau musyarakah (kerja sama modal), keuntungan ditentukan berdasarkan hasil usaha. Jika usaha gagal, maka kerugian ditanggung bersama sesuai kesepakatan. Inilah prinsip keadilan dalam ekonomi Islam.

Islam tidak melarang keuntungan, tetapi keuntungan itu harus adil, transparan, dan tidak memaksa. Selama tidak ada unsur penipuan, spekulasi berlebihan, dan eksploitasi, maka keuntungan bisnis adalah sah. Bahkan Rasulullah SAW sendiri adalah seorang pedagang yang sukses dan jujur, dan menjadi teladan dalam berbisnis.

Jadi, perbedaan utamanya adalah: riba adalah keuntungan tanpa risiko dan tanpa usaha, sedangkan keuntungan bisnis halal adalah hasil dari aktivitas nyata dengan kemungkinan untung atau rugi. Umat Islam perlu jeli membedakan keduanya agar tidak terjerumus pada praktik yang dilarang agama.

Continue Reading

Ruang Sujud

Bahaya Riba terhadap Ekonomi dan Kehidupan Sosial

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Riba bukan hanya ancaman spiritual, tetapi juga memiliki dampak destruktif terhadap tatanan ekonomi dan sosial. Dalam sistem yang mengandalkan riba, kekayaan akan terkonsentrasi pada segelintir orang atau lembaga yang meminjamkan uang, sedangkan masyarakat luas akan terbebani oleh utang yang terus menumpuk.

Salah satu bahaya utama dari riba adalah eksploitasi terhadap orang miskin. Mereka yang membutuhkan dana darurat akan terpaksa meminjam dari lembaga yang mengenakan bunga tinggi. Akibatnya, mereka terjerat dalam lingkaran utang yang tidak kunjung selesai. Riba tidak memberikan ruang untuk pertumbuhan ekonomi yang adil, karena keuntungan hanya dinikmati oleh pemberi pinjaman, bukan oleh para pelaku usaha riil.

Dalam sejarah, banyak krisis ekonomi besar dipicu oleh sistem keuangan berbasis utang berbunga. Krisis keuangan 2008 adalah contoh nyata. Kredit perumahan berbunga tinggi di Amerika Serikat meledak dan menyebabkan keruntuhan pasar global. Ini menunjukkan bahwa sistem berbasis riba tidak stabil dan rawan runtuh.

Dari sisi sosial, riba merusak hubungan manusia. Alih-alih tolong-menolong, hubungan antarindividu menjadi transaksional dan menekan. Orang menjadi enggan menolong kecuali ada keuntungan. Padahal dalam Islam, semangat tolong-menolong sangat dijunjung tinggi, bahkan dianjurkan untuk memberi pinjaman tanpa mengambil keuntungan sedikit pun.

Pemerataan ekonomi tidak akan pernah tercapai dalam sistem riba. Kesenjangan semakin melebar karena orang kaya makin kaya dan orang miskin makin terjepit. Islam menawarkan sistem keuangan berbasis keadilan seperti zakat, infaq, sedekah, dan pembiayaan tanpa bunga. Ini adalah cara yang adil dan berkeadaban untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus merawat kemanusiaan.

Continue Reading

Monitor Saham BUMN



Sportechment7 hours ago

Prabowo-PM Albanese Tukar Jersey, Simbol Persahabatan di Tengah Rivalitas Sepak Bola

Sportechment7 hours ago

Barcelona Juara Liga Spanyol, Catat Rekor Triplete Domestik Pertama dalam Sejarah Klub

Sportechment16 hours ago

Sheila On 7: Dari Band Sekolah Hingga Dibayar Rp1 Miliar Sekali Tampil

Keuangan16 hours ago

Dorong Pertumbuhan Ekonomi Desa, BNI Bantu Perbaikan Infrastruktur

Sportechment17 hours ago

GT World Challenge Asia 2025 Sukses Digelar, Dorong Ekonomi dan Wisata Lokal

Keuangan17 hours ago

Catat Kinerja Positif, Livin’ by Mandiri Terus Cetak Pertumbuhan Transaksi dan Pengguna

Migas17 hours ago

Menhut-Pertamina NRE Dorong Program Aren Jadi Langkah Nyata Menuju Bioetanol Indonesia

Sportechment18 hours ago

Turunkan Lapis Kedua, Persib Tetap Incar Kemenangan Kontra Persita

News18 hours ago

Jalur Kerjasama, Ikhtiar UNJ Wujudkan Masa Depan Generasi Papua

News19 hours ago

Prabowo dan PM Albanese Sepakat Tingkatkan Kerja Sama Pertahanan hingga UMKM

Ruang Sujud19 hours ago

Kesalahan Umum dalam Ta’aruf dan Cara Menghindarinya

Ruang Sujud23 hours ago

Panduan Ta’aruf untuk Pemula: Dari Niat hingga Khitbah

Ruang Sujud1 day ago

Bedanya Ta’aruf dan Pacaran: Mana yang Lebih Islami?

News1 day ago

Menkes: Laki-Laki Ukuran Celana di Atas 32 Lebih Cepat Menghadap Allah

Review1 day ago

Tangis Megawati untuk MK dan KPK

News1 day ago

Kesepakatan Trump di Qatar: Penjualan Boeing hingga Drone Canggih

News1 day ago

Putin Absen, Damai di Istanbul Terombang-ambing

Sportechment1 day ago

Kylian Mbappé Pecahkan Rekor dengan 40 Gol di Real Madrid

Sportechment1 day ago

Wasit Uzbekistan Dipercaya Pimpin Laga Timnas Indonesia vs China

Sportechment1 day ago

Tiket Pertandingan Indonesia vs Tiongkok Telah Dibuka, Cek Daftar Harganya