Monitorday.com – Di tengah hamparan sawah Majalengka yang menguning, hadir pemandangan luar biasa: Presiden, menteri, anggota DPR, hingga petani, bersatu dalam panen raya serentak. Momentum ini bukan sekadar simbol seremonial, tetapi panggilan untuk membumikan kembali makna kedaulatan pangan Indonesia.
Langit Majalengka seakan ikut berseri ketika bulir padi menguning siap panen. Di sanalah, Senin (7/4), hadir pemandangan yang jarang terlihat: Presiden Prabowo Subianto, Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Menko Pangan Zulkifli Hasan, Gubernur Jawa Barat, dan para pemangku kebijakan dari pusat hingga daerah duduk sejajar dengan para petani dan penyuluh. Di tengah mereka, Anggota Komisi VI DPR RI, Prof. Rokhmin Dahuri, dengan semangat mengingatkan bahwa pangan adalah urat nadi bangsa—dan Indonesia belum sepenuhnya sadar akan pentingnya itu.
“Negara harus hadir secara nyata dalam sektor pertanian,” seru Guru Besar IPB University itu.
Kalimat ini mengandung energi, sekaligus kegelisahan. Sebab selama ini, negeri yang dikenal sebagai zamrud khatulistiwa justru masih terlalu bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan pangannya.
Bukankah ironis, ketika tanah yang subur justru menyisakan kekhawatiran akan masa depan pangan?
Panen raya ini bukan hanya soal hasil tani, tapi juga tentang harapan yang ditanam. Di balik setiap bulir padi, ada peluh petani yang jarang terlihat oleh sorotan kebijakan. Sering kali, mereka tertinggal oleh narasi pembangunan yang lebih berpihak pada industrialisasi, padahal dari tangan merekalah kehidupan ini tumbuh.
Ketua Dulur Cirebonan ini tidak hanya datang untuk menyaksikan hasil panen. Ia datang membawa pesan besar: kedaulatan pangan harus dimulai dari keberpihakan pada petani lokal.
Menteri KKP era Presiden Gus Dur dan Megawati ini juga mendorong kolaborasi nyata antara semua pihak—dari pembuat kebijakan, akademisi, hingga masyarakat—untuk membangun ekosistem pertanian yang tangguh, mandiri, dan berkelanjutan. Menurutnya, pangan tak boleh lagi menjadi isu musiman yang hanya ramai saat krisis. Ia harus menjadi agenda tetap dalam setiap pembangunan.
Ada semacam urgensi dalam suaranya. Karena jika lahan pertanian terus menyusut dan generasi muda enggan bertani, siapa yang akan memastikan piring kita tetap terisi?
Saat ini, regenerasi petani menjadi tantangan besar. Tanpa insentif yang memadai dan perlindungan yang kuat, pertanian tak lagi terlihat sebagai masa depan yang menjanjikan.
Namun hari itu, Majalengka memberi harapan. Ketika para pengambil keputusan duduk bersama rakyat, ketika panen menjadi perayaan bersama, ketika komitmen diucapkan tidak hanya dalam pidato, tapi juga di tengah lumpur sawah—saat itulah semangat swasembada kembali menyala. Energi dari tanah, air, dan kerja keras petani seolah menjalar hingga ke pusat-pusat kekuasaan.
Sudah saatnya Indonesia serius dengan pangan. Bukan hanya soal memenuhi perut, tapi membangun martabat. Sebab bangsa besar adalah bangsa yang bisa memberi makan rakyatnya dari tanahnya sendiri. Dan hari itu di Majalengka, kita diingatkan kembali akan mimpi itu—bahwa dengan tekad dan keberpihakan, mimpi itu bukan mustahil terwujud.