Monitorday.com | Di sebuah ruang kelas, seorang guru memulai pelajaran agama dengan pertanyaan sederhana, “Apa arti Pancasila bagi kehidupan kita sehari-hari?” Seorang siswa, dengan polosnya, menjawab, “Itu seperti kompas, Bu. Tanpa itu, kita mungkin tersesat.” Jawaban ini menyentuh inti dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini: mewajibkan pendidikan agama di sekolah sebagai konsekuensi penerapan Pancasila.
Pada Jumat, 3 Januari 2025, Mahkamah Konstitusi menetapkan bahwa pendidikan agama adalah bagian tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional. Keputusan ini, menurut Hakim MK Arief Hidayat, tidak hanya menguatkan posisi Pancasila sebagai dasar negara tetapi juga menegaskan pentingnya nilai keagamaan dalam membentuk manusia yang beriman dan bertakwa.
Namun, perjalanan menuju putusan ini tidak tanpa tantangan. Dua pemohon, Raymond Kamil dan Indra Syahputra, mengajukan uji materi terhadap pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. Mereka berargumen bahwa pendidikan agama seharusnya tidak diwajibkan, melainkan menjadi pilihan atau bahkan diperluas untuk mencakup semua agama dan kepercayaan secara ilmiah.
MK dengan tegas menolak permohonan tersebut. Hakim menyatakan bahwa pendidikan agama wajib diberikan untuk menjaga kesinambungan kehidupan beragama dalam negara Pancasila. Lebih jauh, MK menekankan bahwa setiap siswa memiliki hak sekaligus kewajiban untuk mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Dukungan terhadap putusan ini datang dari berbagai pihak, termasuk Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen). Menteri Abdul Mu’ti menyebut putusan tersebut sejalan dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang bertujuan membentuk manusia beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia. Kemendikdasmen, kata Abdul, siap melaksanakan putusan ini demi memberikan hak pendidikan agama kepada seluruh peserta didik.
Keputusan ini membawa angin segar bagi banyak pihak yang percaya bahwa pendidikan agama adalah pondasi penting dalam membangun karakter generasi muda. Namun, bagi sebagian kalangan, kewajiban ini menimbulkan perdebatan tentang kebebasan individu dan pluralisme.
Sebagai upaya menjawab berbagai pandangan, MK menegaskan bahwa pendidikan nasional harus mencerminkan demokrasi, keadilan, dan kemajemukan bangsa. Ini berarti, meski wajib, pendidikan agama di sekolah diatur untuk tetap menghormati hak asasi manusia dan nilai budaya setempat.
Dengan putusan ini, diskusi seputar pendidikan agama tidak lagi hanya menjadi wacana, tetapi kini menjadi realitas hukum yang harus diimplementasikan. Masyarakat diajak untuk melihat keputusan ini sebagai langkah maju dalam memastikan generasi mendatang memiliki panduan moral yang kuat.
Di akhir pelajaran, siswa yang sama bertanya kepada gurunya, “Bu, apakah semua ini akan membuat kita lebih baik?” Sang guru tersenyum, lalu menjawab, “Itu tergantung pada bagaimana kita menjalani nilai-nilai ini setiap hari.”