Review
Pendidikan Agama, Kunci Generasi Berkarakter
Apakah pendidikan agama masih relevan di tengah dunia modern yang serba cepat? Faktanya, pendidikan ini menjadi fondasi moral penting dalam membentuk generasi berkarakter.

Published
3 months agoon

Monitorday.com | Pendidikan agama kerap dipandang sebelah mata dalam sistem pendidikan modern. Sebagian orang menilai pelajaran ini kurang relevan dibandingkan dengan sains atau teknologi. Namun, di balik penilaian tersebut, pendidikan agama sebenarnya memegang peranan fundamental dalam membangun individu yang berintegritas dan masyarakat yang harmonis.
Melalui pendidikan agama, siswa tidak hanya belajar teori keimanan tetapi juga nilai-nilai universal seperti kasih sayang, keadilan, dan toleransi. Ajaran ini mengajarkan mereka untuk menghormati perbedaan agama, ras, dan budaya, sesuatu yang sangat dibutuhkan di tengah kemajemukan bangsa. Tanpa landasan moral yang kokoh, generasi muda rentan terhadap konflik dan kebingungan nilai di dunia yang penuh dengan informasi tidak terkendali.
Lebih dari sekadar mengajarkan moralitas dasar, pendidikan agama juga membentuk siswa menjadi pemimpin yang adil dan bertanggung jawab. Ajarannya menanamkan pemahaman bahwa kekuasaan bukanlah alat untuk kepentingan pribadi, melainkan amanah untuk melayani sesama. Prinsip ini sangat penting dalam mencetak pemimpin masa depan yang tidak hanya kompeten tetapi juga berintegritas.
Di sisi lain, pendidikan agama memberikan perspektif holistik tentang kehidupan. Siswa diajak untuk memahami tujuan eksistensi mereka, menjalani hidup dengan makna, dan mempertimbangkan hubungan mereka dengan Tuhan, sesama manusia, serta alam semesta. Nilai-nilai seperti ketabahan dan kesabaran yang diajarkan dalam agama menjadi bekal penting untuk menghadapi tantangan hidup. Ketika menghadapi cobaan, mereka tidak mudah menyerah, melainkan melihatnya sebagai kesempatan untuk tumbuh dan memperkuat karakter.
Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini menegaskan pentingnya pendidikan agama di sekolah sebagai konsekuensi logis dari penerapan Pancasila. Keputusan ini mendapat berbagai tanggapan, tetapi secara prinsip, MK menggarisbawahi bahwa pendidikan agama bukan sekadar hak, melainkan kewajiban siswa dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional untuk membentuk manusia yang beriman dan bertakwa.
Namun, implementasi pendidikan agama di sekolah sering menjadi perdebatan, terutama ketika berbicara tentang pendekatan yang inklusif dan tidak diskriminatif. Beberapa pihak mengusulkan agar pendidikan agama mencakup semua agama dan kepercayaan secara objektif, bukan hanya fokus pada agama mayoritas. Ini adalah tantangan besar yang harus dijawab oleh sistem pendidikan untuk memastikan bahwa nilai-nilai moral yang diajarkan relevan dan dapat diterima oleh semua pihak.
Tentu saja, pendidikan agama tidak akan langsung mengubah seseorang menjadi individu yang sempurna. Namun, dampaknya dalam membentuk karakter generasi muda tak dapat diabaikan. Di tengah tantangan moral modern seperti krisis integritas, pengaruh media sosial, dan tekanan lingkungan, pendidikan agama memberikan panduan yang stabil dan konsisten.
Sebagai bagian integral dari sistem pendidikan, pelajaran ini perlu terus diperkuat dan disesuaikan dengan kebutuhan zaman. Dukungan dari semua pihak, termasuk pemerintah, pendidik, dan orang tua, sangat diperlukan untuk memastikan pendidikan agama dapat berjalan dengan baik dan efektif. Hanya dengan cara ini, kita dapat mempersiapkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual tetapi juga berakar kuat pada nilai-nilai moral.
Pendidikan agama adalah investasi jangka panjang yang hasilnya baru benar-benar terasa ketika siswa menghadapi kehidupan nyata. Dengan nilai-nilai yang tertanam kuat, mereka akan tumbuh menjadi individu yang mampu membawa perubahan positif bagi diri sendiri, masyarakat, dan bangsa. Maka, alih-alih mengabaikan, kita seharusnya merangkul pendidikan agama sebagai kunci pembentukan generasi berkarakter.
Mungkin Kamu Suka
Review
S3 Bukan Sekadar Gelar, Tapi Lompatan Hidup! Ini Alasannya!
Motivasi dan strategi cerdas adalah kunci menyelesaikan studi doktoral, menurut Dr. Ratna Dewanti. S3 bukan sekadar gelar, tapi lompatan hidup yang penuh makna.

Published
8 hours agoon
17/04/2025By
Natsir Amir
Monitorday.com – “Motivasi adalah juru kunci untuk menyelesaikan studi doktoral. Work hard itu bagus, tapi lebih bagus work smart.”
— Dr. Ratna Dewanti, M.Pd., Dosen Isu Kritis Penelitian Linguistik Terapan, Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta.
Saat semangat mulai kendur di tengah perjuangan studi doktoral, motivasi pribadi bisa menjadi api kecil yang tak pernah padam. Itulah pesan kunci dari Dr. Ratna Dewanti, M.Pd., yang dikenal sebagai dosen dengan kepedulian tinggi terhadap mahasiswa S3 yang tengah berjuang menyelesaikan risetnya. Dalam satu kesempatan yang hangat namun membakar semangat, Dr. Ratna menegaskan bahwa kunci keberhasilan bukan hanya pada kerja keras, tetapi pada strategi cerdas yang dijalankan konsisten. “Work hard itu bagus, tapi lebih bagus work smart,” katanya lugas.
Dr. Ratna tidak hanya bicara sebagai akademisi, tetapi sebagai pembimbing yang memahami betul dinamika mahasiswa doktoral. Ia melihat langsung betapa banyak mahasiswa yang kehilangan arah di tengah jalan. Maka, dalam setiap diskusi, ia tak lelah mengingatkan: “Selesaikan studi karena Anda yang memutuskan untuk memulainya. Kembalikan fokus pada niat awal dan alasan mengapa Anda mengambil S3.”
Bagi Dr. Ratna, penyelesaian studi adalah kombinasi dari motivasi, fokus, dan keseriusan. Ia mengajak para mahasiswa untuk menjadikan program doktoral bukan sekadar status, tetapi contoh nyata bahwa ketekunan dan integritas bisa mengubah arah hidup seseorang. Program doktoral bukan hanya tentang teori dan disertasi, tetapi tentang pembentukan karakter intelektual yang tahan banting.
Semangat yang dikobarkan Dr. Ratna menggugah. Ia meyakini bahwa setiap mahasiswa doktoral punya potensi besar untuk berhasil, asal tahu cara mengelola waktu, tekanan, dan ekspektasi. Strategi menjadi hal vital—bagaimana mengatur jadwal membaca literatur, menyusun argumen dalam tulisan, hingga menjalin komunikasi aktif dengan promotor. Semua itu adalah bagian dari kerja cerdas yang disarankannya.
“Kalau hanya mengandalkan semangat sesaat, pasti tumbang di tengah jalan,” ucapnya tegas. Oleh karena itu, ia menyarankan mahasiswa membangun sistem yang mendukung keberhasilan: lingkungan yang mendukung, jadwal kerja yang realistis, serta target jangka pendek yang jelas.
Lebih jauh, Dr. Ratna berpesan agar para mahasiswa S3 tak mudah terjebak dalam kompetisi yang melelahkan. Ia menyarankan untuk fokus pada progres pribadi, bukan membandingkan diri dengan pencapaian orang lain. “S3 itu bukan lomba cepat-cepatan. Ini soal perjalanan intelektual yang dalam dan personal,” tambahnya.
Satu pesan paling menyentuh dari Dr. Ratna adalah soal warisan akademik. Ia berharap mahasiswa S3 menjadikan pencapaian mereka sebagai inspirasi bagi lingkungan sekitar. Menjadi contoh bagi anak, kolega, bahkan komunitas, bahwa ilmu pengetahuan bisa menjadi jalan perubahan. “Jadikan S3 ini sebagai contoh. Bukan untuk pamer, tapi untuk menunjukkan bahwa ketekunan itu berbuah hasil,” pungkasnya.
Dengan gaya bertutur yang lugas dan membumi, Dr. Ratna telah menyalakan semangat baru di hati para pejuang S3. Dalam tiap kalimatnya, terselip dorongan kuat untuk tidak menyerah, untuk terus maju, dan untuk menjadikan setiap tantangan sebagai bagian dari proses menjadi versi terbaik dari diri sendiri. Karena pada akhirnya, gelar doktor bukan hanya simbol akademik, melainkan simbol keberhasilan dalam mengalahkan diri sendiri.
News
80 Ribu Kopdes Merah Putih Diluncurkan, Dananya dari Mana?

Published
3 days agoon
15/04/2025By
N Ayu Ashari
Monitorday.com – Langkah Presiden Prabowo Subianto membentuk 80 ribu Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (Kopdes Merah Putih) menjadi kejutan yang mengguncang panggung kebijakan nasional. Di tengah narasi efisiensi dan pemangkasan anggaran, tiba-tiba muncul Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025 yang memerintahkan percepatan pembentukan koperasi skala nasional ini. Energi politik langsung tersedot ke satu pertanyaan mendasar: dari mana semua ini akan didanai?
Dalam Inpres yang diteken pada 27 Maret 2025 tersebut, Presiden Prabowo memerintahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk menyediakan dana modal awal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2025. Tak hanya itu, pendanaan juga disebut akan ditopang oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dana desa, bahkan sumber lain yang “sah dan tidak mengikat”. Skema pendanaan ini membuka ruang multitafsir, termasuk kekhawatiran soal transparansi dan potensi tumpang tindih fiskal antara pusat dan daerah.
Publik pun sontak menaruh perhatian. Di saat pemerintah tengah menyisir pos-pos anggaran untuk efisiensi—termasuk pengurangan subsidi, penundaan sejumlah proyek infrastruktur, hingga pembatasan perjalanan dinas—keputusan untuk membiayai program raksasa koperasi tampak bagai paradoks. Apalagi, belum ada rincian angka konkret tentang berapa nominal total yang dibutuhkan untuk 80 ribu koperasi. Jika masing-masing koperasi hanya diberi modal awal Rp100 juta, maka negara harus menggelontorkan setidaknya Rp8 triliun.
Nada kritis pun bermunculan dari sejumlah pengamat kebijakan fiskal. Mereka mempertanyakan prioritas negara di tengah tantangan defisit dan tekanan ekonomi global. “Program koperasi itu baik, tetapi konteks fiskalnya harus tepat. Jangan sampai semangat pemberdayaan menutupi ketidakjelasan sumber pendanaan,” ujar seorang ekonom dari lembaga riset independen di Jakarta. Kekhawatiran juga muncul dari daerah. Beberapa kepala desa mulai gelisah bila dana desa yang selama ini difokuskan untuk infrastruktur dasar dan pelayanan publik tiba-tiba harus dialihkan demi pembentukan koperasi yang belum tentu siap dikelola secara profesional.
Meski begitu, semangat program ini juga tak bisa diabaikan. Presiden Prabowo ingin membangkitkan ekonomi rakyat dari akar rumput melalui koperasi sebagai tulang punggung ekonomi desa. Ia bahkan memerintahkan seluruh menteri dan kepala daerah untuk bersinergi aktif. Kopdes Merah Putih tak hanya diminta terbentuk cepat, tapi juga diwajibkan memberi laporan berkala ke Presiden—sebuah tanda bahwa Prabowo akan mengawasi langsung proyek ini.
Secara ide, koperasi sebagai institusi ekonomi gotong royong memang menjanjikan kemandirian ekonomi. Namun tantangan implementasi di lapangan bukan perkara ringan. Banyak koperasi desa sebelumnya mati suri akibat lemahnya manajemen, intervensi politik lokal, dan minimnya pengawasan. Tanpa pelatihan, tata kelola yang kuat, dan sistem audit transparan, Kopdes Merah Putih bisa jadi hanya label tanpa nyawa.
Yang tak kalah penting: komunikasi publik dan transparansi pendanaan. Rakyat berhak tahu bagaimana program ini akan berjalan, siapa yang mengelola, dan bagaimana dampaknya di tengah gelombang efisiensi anggaran nasional. Jika dana miliaran dialihkan dari program prioritas tanpa pengawasan ketat, maka bukan pemberdayaan yang muncul, melainkan potensi pemborosan sistemik.
Program ini adalah taruhan besar. Bila berhasil, Kopdes Merah Putih bisa jadi revolusi ekonomi desa. Tapi bila gagal, bisa menjadi monumen ambisi yang tumbang di tengah jalan.
Review
Ridwan Kamil dan Bayang-Bayang Korupsi
Dugaan korupsi iklan Bank BJB menyeret nama Ridwan Kamil. KPK terus mendalami perannya, publik menanti langkah tegas dan transparan

Published
5 days agoon
13/04/2025By
N Ayu Ashari
Monitorday.com – Di balik citra arsitek yang memesona dan pemimpin progresif, Ridwan Kamil kini berada dalam pusaran sorotan tajam. Kasus korupsi iklan Bank BJB mengintip dari balik bayang kekuasaan.
Seperti menara indah yang tampak kokoh dari kejauhan, karier politik Ridwan Kamil tengah mengalami guncangan besar. Mantan Gubernur Jawa Barat ini terseret dalam pusaran dugaan korupsi pengadaan iklan di Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (Bank BJB). Jumlah yang disebut bukan sekadar angka: Rp222 miliar. Angka fantastis itu menjadi simbol dari potensi kebocoran anggaran dalam tubuh pemerintahan daerah yang selama ini dibanggakan sebagai model pembangunan urban dan tata kelola BUMD yang efisien.
Kisah ini tak sekadar tentang mark-up dana iklan. Ia menjadi narasi tentang bagaimana kekuasaan bisa terjebak dalam labirin kepentingan, dan bagaimana eksistensi figur publik berpotensi menjadi tameng maupun instrumen dalam skema besar yang tak kasatmata. Rumah Ridwan Kamil telah digeledah KPK pada 10 Maret 2025, sebuah langkah investigatif yang menandai babak serius penyelidikan. Namun, yang menarik: Ridwan Kamil belum dipanggil. Bukan karena tak terkait, tapi karena—mengutip Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu—“perannya ada di belakang.”
Frasa itu menyimpan banyak makna. Dalam logika penyidikan, ini berarti peran eks-Gubernur belum bisa dilepas begitu saja. Ada benang kusut yang harus diurai. Penyidik masih mengumpulkan informasi dari saksi-saksi internal Bank BJB dan vendor pengadaan iklan. Lima orang telah ditetapkan sebagai tersangka, termasuk Direktur Utama Bank BJB dan Kepala Divisi Corsec. Tapi, atmosfer publik jelas menanti: ke mana arah sorotan KPK berikutnya? Apakah Ridwan Kamil akan jadi simbol jatuhnya pejabat yang selama ini dielu-elukan karena gaya komunikasinya yang segar dan pendekatannya yang milenial?
Ridwan Kamil menegaskan dirinya sebagai ex-officio dalam pengawasan BUMD. Sebuah argumen struktural yang sah, namun dalam praktiknya sering kali tak sesederhana itu. Apalagi, laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sudah sejak awal mengindikasikan adanya selisih dana yang sangat mencurigakan antara anggaran dan nilai yang diterima media. Puluhan miliar rupiah tak bisa begitu saja menguap dari sistem, tanpa campur tangan atau pembiaran dari otoritas di atasnya.
Framing publik pun bergerak cepat. Media, warganet, dan pengamat hukum memutar rekaman masa lalu, membandingkan integritas, dan menyusun hipotesis. Apakah ini bagian dari ‘konspirasi politik’? Atau memang Ridwan Kamil terseret oleh struktur kekuasaan yang terlalu kompleks untuk dihindari? Kita belajar dari banyak kasus sebelumnya: dari mulut ikan kecil bisa terbuka mulut hiu. Dan publik sudah tak sabar melihat apakah sosok “RK” akan benar-benar dipanggil atau tetap menjadi bayangan di tepi penyidikan.
KPK, sebagai institusi yang terus berjuang menjaga integritasnya, berada di titik penting. Menyentuh nama besar selalu berarti dua hal: risiko dan legitimasi. Jika KPK berhasil mengurai dan membuktikan keterlibatan pejabat di level atas, maka kepercayaan publik akan meningkat. Tapi jika kasus ini stagnan, hanya menyentuh peran-peran teknis semata, publik akan kembali menyimpulkan: korupsi di Indonesia bukan soal hukum, tapi kekuasaan siapa yang paling kuat.
Proses masih panjang. Tapi satu hal pasti: waktu tak bisa lagi disuap. Dan sejarah tak pernah melupakan siapa yang berdiri bersama kebenaran, dan siapa yang bersembunyi di balik retorika.
Review
Indonesia, Kementerian yang Obesitas dan Harapan akan Pemerintahan Efisien

Published
5 days agoon
13/04/2025By
N Ayu Ashari
Monitorday.com – Indonesia kini berdiri di persimpangan yang tak bisa lagi dihindari: terlalu banyak kementerian, utang yang menggunung, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang terus melonjak tanpa arah yang pasti. Ini bukan sekadar angka-angka dalam dokumen kenegaraan, tapi cerminan dari tantangan struktural yang membebani efektivitas pemerintahan. Ironisnya, kita memiliki 48 kementerian, jumlah yang bahkan melampaui China (21 kementerian) dan Amerika Serikat (15 kementerian)—dua negara raksasa yang secara ekonomi dan geopolitik jauh lebih dominan.
China dengan kekuatan globalnya, dan Amerika dengan peran hegemoniknya, tidak membutuhkan tumpukan birokrasi untuk mengatur bangsanya. Rusia, negara dengan luas wilayah terbesar di dunia, hanya memiliki 21 kementerian dan mampu menjaga efisiensi kebijakan fiskalnya dengan APBN sekitar Rp1.833,5 triliun. Bandingkan dengan Indonesia, yang dengan jumlah kementerian lebih dari dua kali lipat itu, justru menghadapi kesulitan dalam efisiensi dan efektivitas belanja negara.
Situasi ini bukan sekadar “terlalu banyak dapur” dalam satu rumah, tapi “terlalu banyak koki” yang sering kali memasak menu serupa, hanya dengan gaya dan biaya yang berbeda. Setiap kementerian membawa mandat yang kadang tumpang tindih, membuat publik bingung, dan lebih parahnya, menyulitkan lahirnya inovasi serta akselerasi pembangunan nasional.
Namun, dari kondisi yang seolah-olah suram ini, muncullah semangat baru. Figur Presiden Prabowo Subianto dipandang sebagai harapan bagi penyederhanaan dan konsolidasi kekuasaan eksekutif. Sosoknya yang dikenal tegas dan berani mengambil keputusan, kini diproyeksikan sebagai pemimpin transformasional. Lebih jauh lagi, munculnya nama Dedi Mulyadi sebagai sosok yang disebut-sebut layak mendampingi Prabowo dalam membentuk “duet perubahan” memperkuat harapan rakyat.
Mengapa Prabowo-Dedi? Karena duet ini dinilai memiliki kombinasi antara visi makro dan kepekaan mikro. Prabowo membawa kekuatan nasionalisme strategis dan orientasi geopolitik global, sementara Dedi Mulyadi menghadirkan pendekatan kultural dan akar sosial yang kuat. Inilah pasangan yang tidak hanya piawai berpidato, tapi juga siap turun tangan ke lapangan, mengurai kekusutan birokrasi, dan mengeksekusi kebijakan dengan cepat.
Dengan APBN Indonesia 2024 sebesar Rp3.325,1 triliun dan defisit anggaran menyentuh Rp522,8 triliun, tidak ada waktu lagi untuk bermain-main dalam birokrasi yang rumit. Pemerintah mendatang harus mampu menyederhanakan struktur kementerian, mendorong efisiensi fiskal, dan memaksimalkan dampak dari setiap rupiah yang dibelanjakan negara. Overload administratif yang kini terjadi bukan hanya membuang sumber daya, tetapi juga memperlambat laju pembangunan nasional.
Apa yang dibutuhkan Indonesia? Kecepatan dan ketegasan. Seperti pelari marathon yang harus tetap cepat di kilometer terakhir, Indonesia tidak bisa lagi kehilangan momentum. Persaingan global makin ketat, dan waktu adalah musuh yang nyata. Maka, wacana percepatan Pilpres ke tahun 2026 bukanlah sekadar isu politis, melainkan strategi percepatan transisi kekuasaan untuk memastikan kesinambungan visi pembangunan.
Pertanyaannya, bisakah Indonesia menyalip Rusia, China, atau bahkan Amerika? Jawabannya: bisa—asal kita punya keberanian untuk merombak sistem dari dalam. Penyederhanaan kementerian, konsolidasi anggaran, penghapusan tumpang tindih fungsi, hingga reformasi birokrasi digital, harus menjadi agenda utama. Tidak cukup hanya mengganti orang, tapi harus mengganti cara berpikir dan bekerja dalam pemerintahan.
Dan untuk itu, Indonesia membutuhkan pemimpin yang tidak hanya mengerti struktur, tapi juga berani menyederhanakannya. Dalam konteks ini, Prabowo dan Dedi Mulyadi adalah simbol dari “Arah Baru Indonesia.” Mereka berpotensi menjadi pasangan transformasi yang mampu menciptakan mesin pemerintahan yang ramping, cepat, dan tangguh.
Jika langkah ini berhasil, Indonesia bukan lagi sekadar negara dengan banyak kementerian, tetapi negara dengan pemerintahan efektif yang mampu bersaing secara global. Seiring waktu, dunia bisa saja terkejut melihat bagaimana Indonesia—yang dulu lamban dan birokratis—berubah menjadi kekuatan ekonomi baru yang disegani.
Singkatnya, jumlah kementerian bukan kebanggaan, efisiensi dan hasil nyatanya-lah yang akan mencatatkan Indonesia dalam sejarah sebagai bangsa besar. Dan momentum itu ada di depan mata. Tinggal bagaimana kita, sebagai bangsa, menyambutnya.
Review
Bamsoet, Arsitek Reformasi Regulasi Indonesia
Dengan semangat membara dan ketajaman analisis hukum, Bambang Soesatyo menggugah kesadaran nasional akan bahaya obesitas regulasi. Ia hadir bukan sekadar sebagai legislator, tetapi sebagai pemikir visioner yang menawarkan solusi konkret demi masa depan sistem hukum Indonesia yang lebih sehat dan adaptif.

Published
5 days agoon
13/04/2025By
Natsir Amir
Monitorday.com – Di tengah derasnya arus peraturan yang tumpang tindih dan membingungkan, nama Bambang Soesatyo atau akrab disapa Bamsoet muncul sebagai tokoh kunci yang menggugah nalar hukum bangsa. Sebagai Anggota DPR RI yang juga mengabdikan diri sebagai dosen pascasarjana di Universitas Borobudur, Universitas Jayabaya, dan Universitas Pertahanan (UNHAN), Bamsoet tak hanya menyuarakan kritik, tapi juga menampilkan skema reformasi regulasi yang terukur dan strategis.
Baginya, obesitas regulasi adalah penyakit kronis dalam tubuh hukum Indonesia yang telah lama diabaikan. “Kita tidak kekurangan peraturan, justru kita kelebihan—bahkan sampai kebablasan,” tegas Bamsoet dengan nada yang enerjik di hadapan para mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur. Pernyataannya bukan tanpa dasar. Dengan lebih dari 43.800 regulasi yang aktif, Indonesia terjebak dalam labirin hukum yang justru mempersulit pelayanan publik, memadamkan gairah investasi, dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap keadilan.
Bamsoet memahami bahwa permasalahan ini bukan sekadar angka. Ini soal efektivitas negara dalam merespons kebutuhan rakyat dan dinamika global. Dalam setiap kuliah, diskusi, maupun forum publik, ia menekankan pentingnya penyederhanaan dan harmonisasi regulasi. Dengan pendekatan konseptual seperti omnibus law, ia menawarkan jalan keluar yang tidak hanya efisien, tetapi juga relevan dengan tantangan zaman. UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, menurutnya, adalah contoh konkret yang sudah memberikan dampak positif, meskipun masih memerlukan penguatan implementasi.
Gagasan Bamsoet tak berhenti di tataran teoritis. Ia mendorong lahirnya lembaga tunggal yang khusus menangani regulasi di bawah pengawasan langsung presiden—sebuah langkah terobosan yang ia yakini mampu mengintegrasikan dan menyinkronkan seluruh produk hukum dari pusat hingga daerah. Ketika sebagian besar pembuat kebijakan terjebak dalam birokrasi lamban, Bamsoet tampil sebagai pemimpin pemikiran yang menggerakkan.
Ia berbicara dengan ketajaman akademis, tetapi membumi. Dengan gaya komunikasi yang dinamis, ia membangun narasi tentang hukum yang bukan hanya harus adil, tetapi juga harus lincah dan adaptif. “Tanpa regulasi yang sehat, tak ada investasi yang nyaman, tak ada pelayanan publik yang efektif, dan tak ada masa depan hukum yang bisa kita banggakan,” ucapnya penuh penekanan.
Komitmennya terhadap dunia pendidikan semakin mengukuhkan reputasinya. Di kampus, ia bukan sekadar pengajar, tetapi inspirator yang memicu daya pikir kritis para calon doktor hukum. Di Senayan, ia membawa semangat yang sama: menyusun legislasi dengan perspektif reformis, bukan normatif semata. Kepakarannya dalam membaca lanskap hukum secara holistik menjadikan Bambang Soesatyo sebagai figur langka yang mampu menjembatani teori dan praktik dengan presisi.
Bamsoet tak berhenti pada kritik. Ia membawa visi yang ditopang oleh data, diperkuat oleh pengalaman legislasi, dan diarahkan oleh tekad perubahan. Kepada para pemangku kepentingan, ia menyerukan kerja kolektif. Koordinasi antar lembaga, evaluasi regulasi yang berkelanjutan, serta pelibatan masyarakat menjadi tiga elemen utama dalam grand design reformasi yang ia usung.
Bagi Bambang Soesatyo, regulasi bukan soal banyak atau sedikit, tetapi soal relevansi dan efektivitas. Ia meyakini bahwa hukum yang baik adalah hukum yang bekerja. Dengan energinya yang tak pernah surut, ia terus memacu langkah untuk membebaskan Indonesia dari belenggu regulasi yang menumpuk. Dalam dirinya, publik melihat bahwa perubahan bukan hanya mungkin, tetapi sedang diperjuangkan—dengan ilmu, integritas, dan keberanian.

Monitorday.com –Di balik gemerlap demokrasi dan retorika hak asasi manusia yang selalu dikumandangkan Amerika Serikat, terselip jejak-jejak kelam imperialisme modern yang kian mencemaskan masa depan dunia.
Amerika Serikat, negeri yang kerap mengangkat bendera kebebasan dan keadilan, tengah berdiri di ambang krisis kepercayaan global. Dunia telah lama menyaksikan bagaimana kekuatan adidaya ini tidak hanya mencampuri urusan negara lain, tetapi secara aktif menciptakan ketegangan, perang, dan kerusakan struktural di berbagai belahan bumi. Retorika tentang demokrasi sering kali menjadi kedok manis untuk ambisi-ambisi geopolitik yang tidak segan menyulut konflik dan mengorbankan jutaan jiwa.
Di Timur Tengah, luka-luka yang ditinggalkan belum sembuh. Irak, Suriah, Libya—semuanya menjadi ladang eksperimen atas kebijakan luar negeri Amerika yang destruktif. Perang dilancarkan atas nama kebebasan, namun hasilnya adalah kehancuran negara, runtuhnya peradaban, dan munculnya kelompok-kelompok perlawanan di cap radikal dan di labeli teroris.
Tak bisa di bayangkan, mereka yang melawan karena ditindas malah dituduh penjahat sementara negara penjajah dielu-elukan sebagai bangsa yang menjunjung hak asasi manusia.
Dunia tahu siapa dalang dari semua ini, tetapi suara-suara perlawanan kerap dibungkam oleh dominasi media dan kekuatan politik yang dimiliki Washington.
Tak hanya itu, ambisi ekspansionis Amerika terlihat jelas ketika secara terang-terangan ingin mencaplok Greenland, wilayah otonom yang berada di bawah Denmark. Upaya ini bukan hanya bentuk arogansi kekuasaan, tapi juga menunjukkan betapa Amerika merasa berhak atas segala sesuatu yang strategis dan menguntungkan secara ekonomi maupun militer. Terusan Panama pun tak luput dari incaran mereka—jalur perdagangan vital dunia yang ingin mereka kontrol sepenuhnya demi kepentingan ekonomi dan militer mereka sendiri.
Amerika juga tak ragu menyulut konflik dengan kekuatan besar lain seperti Rusia. Alih-alih mencari jalur diplomasi, mereka memilih membiayai kelompok-kelompok separatis dan memperluas pengaruh NATO hingga ke perbatasan negara yang mereka anggap rival. Ketegangan di Ukraina dan wilayah sekitarnya adalah bukti nyata betapa Amerika tidak segan menyalakan api perang baru demi mempertahankan hegemoni global mereka.
Di banyak negara, Amerika hadir bukan sebagai penyelamat, tapi perusak dari dalam. Mereka mendanai kelompok separatis, memicu instabilitas, dan mengintervensi politik domestik melalui berbagai cara—baik terang-terangan maupun tersembunyi.
Demokrasi dijual sebagai produk ekspor, padahal dalam praktiknya, mereka sendiri sering kali menutup mata terhadap kudeta, pelanggaran HAM, dan pemilu curang—selama itu menguntungkan kepentingan mereka.
Ironi terbesar tampak dalam sikap Amerika terhadap Palestina. Di saat dunia menyaksikan genosida sistematis yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina, Amerika justru tampil sebagai pelindung utama. Mereka memveto resolusi-resolusi penting di PBB, menyuplai senjata, dan memberikan dukungan politik tanpa syarat kepada Israel. Dalam hal ini, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia seolah menjadi selektif: berlaku bagi yang tunduk, diabaikan bagi yang melawan.
Kita patut bertanya: sampai kapan dunia akan membiarkan satu negara bertindak bak dewa di panggung global, menentukan siapa yang berhak hidup dan siapa yang harus hancur? Sampai kapan kekuatan uang dan militer dijadikan alat untuk membungkam keadilan dan nurani? Amerika boleh saja membungkus semua tindakan mereka dalam jargon-jargon idealistik, tapi dunia telah lama melihat wajah aslinya.
Sebuah kehancuran moral dan politis tengah mengintai Amerika, dan dunia harus bersiap untuk tak hanya menyaksikan, tetapi mengambil sikap.
Rezim di Amerika, siapapun presiden dan wakil presidennya, akan terus menghancurkan fondasi perdamaian dan keadilan internasional.
Dunia bukan milik satu negara, dan masa depan tidak boleh dikendalikan oleh tangan-tangan yang berlumur darah sejarah.
Mungkinkah ini pertanda, imam mahdi sudah di depan mata? sebentar lagi akan datang.
Datangnya Imam Mahdi bukan sekadar narasi spiritual, melainkan momen monumental yang mengguncang tatanan lama dan membuka jalan bagi era keemasan. Dalam pusaran kekacauan global—korupsi merajalela, kesenjangan sosial menganga, nilai-nilai luhur diinjak-injak—sosok ini hadir sebagai penyeimbang, penyatu, dan pembebas.
Dengan kepemimpinan yang penuh hikmah dan keberanian, Imam Mahdi akan menghancurkan tirani, membangkitkan semangat keadilan, dan menghidupkan kembali nilai-nilai kemanusiaan sejati. Tak ada lagi dominasi kekuatan zolim, tak ada lagi ketakutan bagi yang lemah. Dunia akan menyaksikan transformasi masif—sistem yang korup runtuh, kebenaran bersinar, dan solidaritas antarumat manusia menguat.
Masa keemasan bukan sekadar impian, tapi realitas yang dibangun dari kebangkitan spiritual dan kesadaran kolektif. Dunia akan berdetak dalam irama kedamaian, keadilan, dan keberkahan. Inilah momentum kebangkitan, saat sejarah menulis ulang dirinya dengan tinta cahaya, dan umat manusia meraih kembali martabatnya yang hakiki.
Review
Dolar Terpuruk di Era Trump
Dolar AS melemah tajam di bawah kepemimpinan Trump, tertekan oleh kebijakan tarif dan potensi resesi, memperlihatkan keraguan pasar terhadap arah ekonomi dan strategi geopolitik AS.

Published
6 days agoon
12/04/2025By
Natsir Amir
Monitorday.com – Ketika Donald Trump kembali menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat, dunia menunggu gebrakan kebijakan ekonominya. Tapi bukan kekuatan dolar yang muncul ke permukaan, melainkan tanda-tanda keterpurukan. Awal tahun 2025, indeks dolar (DXY) masih berada di angka 109,35—namun dalam waktu kurang dari tiga bulan, posisinya amblas ke level 100,06. Penurunan hampir 8,5% ini bukan sekadar angka. Ia adalah simbol dari kegamangan pasar global terhadap arah ekonomi negara adidaya.
Hari Kamis, 10 April 2025, menjadi catatan merah bagi mata uang Paman Sam. Dalam satu hari, dolar tercatat anjlok 1,98%—penurunan paling tajam selama periode 20 Januari hingga 11 April. CNBC International menyoroti bagaimana kebijakan agresif Trump, khususnya soal perdagangan, memperburuk tekanan pada dolar. Dulu, banyak pihak berharap tarif yang diberlakukan akan memperkuat posisi mata uang ini. Tapi kenyataan menunjukkan arah yang jauh berbeda.
Bukannya memperkuat ekonomi, tindakan Trump justru membuat investor asing meradang. Alih-alih menanamkan modal, mereka melakukan aksi jual besar-besaran terhadap saham dan obligasi AS. Ini bukan hanya mencerminkan ketakutan terhadap dampak kebijakan, tapi juga sinyal bahwa kepercayaan terhadap prospek ekonomi AS tengah goyah.
Dampak lain pun segera terlihat di pasar global. Yen Jepang dan franc Swiss—dua mata uang yang dikenal sebagai ‘safe haven’ di saat ketidakpastian—menguat signifikan. Dolar, sebaliknya, kehilangan tempat di hati investor yang biasanya mengandalkannya sebagai pelindung saat badai pasar datang. Tentu saja, ini bukan skenario yang diharapkan oleh siapa pun di Gedung Putih.
Sumber dari Refinitiv menunjukkan bahwa pelemahan dolar tak lepas dari meningkatnya kekhawatiran akan potensi resesi di AS. Trump memang datang dengan gaya lama: gemar mengguncang status quo, bermain di medan tarif, dan menempatkan China sebagai musuh nomor satu. Tapi kali ini, strategi tersebut seperti menembak kaki sendiri.
Pemerintahan Trump telah menetapkan tarif dasar terhadap China sebesar 145%—angka mencengangkan yang bahkan melampaui janji kampanyenya sendiri yang hanya 60%. Tak berhenti di sana, Trump juga nyaris menerapkan tarif menyeluruh 10% ke seluruh dunia, sebelum akhirnya memilih menunda rencananya selama 90 hari untuk semua negara kecuali China.
Tindakan ini, menurut Trump, diambil karena “orang-orang mulai berisik dan takut.” Tapi pasar lebih dari sekadar ‘berisik’. Mereka resah. Mereka menilai kebijakan ini bukan sebagai langkah proteksi, melainkan bentuk isolasi ekonomi yang tak bijak.
China sendiri tak tinggal diam. Negeri Tirai Bambu menaikkan tarif balasan terhadap AS menjadi 84%. Perang dagang yang seharusnya bisa diselesaikan lewat meja perundingan kini menjelma menjadi pertandingan ego, dengan risiko besar bagi kestabilan ekonomi global.
Strategi Trump juga mencerminkan manuver geopolitik yang lebih luas. Dalam menyusun blok perdagangan alternatif, tim ekonominya mulai mendekati Korea Selatan, Jepang, India, hingga Vietnam. Langkah ini tampak sebagai upaya untuk membentuk barikade ekonomi guna menekan posisi China. Tapi tanpa kerja sama yang kuat dan strategi diplomatik yang seimbang, ini justru bisa menjadi bumerang yang merugikan semua pihak.
Kini, dunia menyaksikan, apakah Trump bisa mengendalikan arah kebijakan dengan lebih hati-hati, atau justru kembali menjadi arsitek dari ketidakpastian ekonomi global. Yang jelas, dolar—sebagai barometer kekuatan AS—sedang berbicara lantang: pasar tidak lagi sebegitu yakin pada janji-janji populis yang penuh risiko.

Monitorday.com – Rupiah ditutup menguat pada rentang Rp16.750 hingga Rp16.830 per dolar AS dalam perdagangan Jumat (11/4/2025), setelah mencatatkan penguatan sebesar 0,29% atau 49,5 poin ke level Rp16.823 per dolar pada Kamis (10/4).
Momentum positif ini terjadi di tengah lesunya indeks dolar AS yang melemah 0,46% ke posisi 102,42, serta tren penguatan mata uang Asia lainnya seperti yen Jepang, won Korea, yuan China, dan ringgit Malaysia.
Kondisi ini memberi napas segar bagi pasar keuangan domestik yang tengah berjibaku dengan dinamika eksternal. Menurut pengamat mata uang, Ibrahim Assuaibi, sentimen positif muncul setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan perpanjangan waktu 90 hari atas kebijakan tarif timbal balik terbarunya. Keputusan itu dinilai mampu meredam kekhawatiran akan resesi, walau arah kebijakan Trump masih dipandang labil oleh pelaku pasar.
“Pasar tetap berhati-hati. Trump bukan sosok yang mudah ditebak, dan sikapnya terhadap kebijakan tarif sering berubah,” ujar Ibrahim dalam keterangan tertulisnya, Kamis (10/4).
Ketidakpastian ini, lanjut Ibrahim, semakin diperparah oleh ketegangan geopolitik yang terus membara di Timur Tengah dan Eropa serta meningkatnya tensi perang dagang global. Kombinasi faktor-faktor eksternal ini membuat perekonomian domestik berada dalam tekanan, dengan fluktuasi nilai tukar sebagai indikator paling nyata.
Di tengah situasi ini, peran pemerintah dan Bank Indonesia sangat krusial. Intervensi di pasar keuangan terus dilakukan untuk menstabilkan nilai tukar. Namun, Ibrahim menilai, instrumen yang tersedia tidak sepenuhnya mampu menangkal dampak global yang berada di luar kontrol domestik. “Pemerintah dan BI bekerja keras, tetapi kemampuan mereka terbatas. Yang dibutuhkan adalah sinergi dan antisipasi jangka panjang,” tegasnya.
Perang dagang yang semakin panas juga membawa konsekuensi nyata bagi sektor perdagangan dan harga barang. Meskipun komponen produk buatan AS belum mendominasi rantai pasok lokal, kenaikan tarif tetap berpotensi memicu inflasi karena lonjakan harga bahan impor. Hal ini tak hanya menekan daya beli masyarakat, tapi juga mengganggu keseimbangan neraca perdagangan.
Lebih jauh, Ibrahim menyoroti risiko jangka panjang terhadap daya saing regional. Negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia, yang sangat bergantung pada ekspor ke negara besar, dinilai rentan terhadap penurunan volume perdagangan akibat kenaikan harga barang. “Dampaknya bisa sangat luas, dari melemahnya profitabilitas perdagangan hingga melambatnya pertumbuhan ekonomi,” katanya.
Meski begitu, pasar domestik tampaknya cukup resilient dalam menghadapi gelombang ketidakpastian global. Hari ini, rupiah diprediksi tetap bergerak dinamis, mencerminkan respons pasar terhadap perkembangan eksternal maupun kebijakan dalam negeri. Penutupan di zona hijau menjadi harapan realistis, dengan penguatan yang tetap dijaga dalam koridor yang wajar.
Kendati demikian, pasar diminta tidak larut dalam euforia sesaat. Waspada adalah kata kunci. Dengan volatilitas global yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda, setiap sinyal positif harus dibaca hati-hati dan dijadikan pijakan untuk perencanaan jangka panjang, bukan hanya reaksi jangka pendek.
News
Gejolak di Tubuh Militer Israel
Ratusan prajurit, perwira, dan dokter militer Israel menyerukan penghentian perang Gaza dan pembebasan sandera, menandai gelombang pembangkangan dalam tubuh militer terhadap kebijakan Netanyahu.

Published
6 days agoon
11/04/2025By
Natsir Amir
Monitorday.com – Gelombang pembangkangan mengguncang militer Israel. Ratusan prajurit, dokter, dan perwira cadangan menolak perpanjangan agresi di Gaza, menuntut pembebasan sandera dan diakhirinya perang.
Tel Aviv kembali diguncang suara dari dalam tubuhnya sendiri. Lebih dari 1.000 anggota dan mantan personel cadangan Angkatan Udara Israel pada Kamis (10/4) secara terbuka menyatakan sikap menentang kelanjutan perang melawan Hamas di Jalur Gaza. Mereka menuntut satu hal yang kini menjadi suara publik yang tak bisa dibungkam: hentikan perang, selamatkan para sandera.
Dengan nada tegas dan penuh kecemasan, mereka menyampaikan pesan lewat surat terbuka yang dipublikasikan di berbagai media arus utama Israel. “Kelanjutan perang tidak lagi mendorong tercapainya tujuan-tujuan yang telah diumumkan dan justru akan menyebabkan kematian para sandera, tentara IDF, dan warga sipil tak bersalah,” tulis mereka, menyoroti dampak yang tak lagi bisa dibenarkan dari serangan militer Israel di Gaza.
Di antara mereka yang menandatangani surat tersebut terdapat nama besar: Dan Halutz, mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel, yang kini secara terbuka mengkritik kebijakan pemerintahan Netanyahu. Namun, respons dari pucuk kekuasaan tak kalah keras. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu langsung mengecam mereka, menyebut kelompok tersebut sebagai “ekstremis pinggiran” yang berusaha memecah belah bangsa dan menggulingkan pemerintahannya.
Pernyataan Netanyahu diikuti oleh Israel Katz, Menteri Pertahanan, yang menganggap surat tersebut sebagai upaya merusak legitimasi perang di Gaza. Ia mendesak petinggi militer untuk menindak para pembangkang ini dengan pendekatan yang dianggap paling tepat. Harian Haaretz melaporkan bahwa Kepala Angkatan Udara telah memecat sebagian personel cadangan yang menandatangani surat tersebut, meski tak dijelaskan secara rinci jumlahnya.
Gelombang pembangkangan tidak berhenti di udara. Hampir 150 perwira Angkatan Laut juga mengirimkan petisi menuntut pemerintah menghentikan perang. Aksi ini dengan cepat memicu reaksi berantai. Channel 12 melaporkan bahwa ratusan personel cadangan di Korps Lapis Baja dan Angkatan Laut juga ikut menandatangani surat serupa, mendesak penghentian agresi militer dan pemulangan para sandera.
Puncaknya, puluhan dokter militer cadangan turut bersuara. Mereka mengirimkan surat langsung kepada Menteri Pertahanan Israel dan Kepala Staf Umum, Eyal Zamir. “Kami, para dokter dan tenaga medis cadangan, menuntut pemulangan segera para sandera dan penghentian perang di Jalur Gaza,” demikian isi surat yang disiarkan kanal tersebut. Para tenaga medis ini menyatakan bahwa perang yang berlarut-larut lebih mencerminkan kepentingan politik dan pribadi daripada tujuan keamanan nasional.
Israel menyatakan masih ada 59 sandera di Gaza, dan setidaknya 22 di antaranya diyakini masih hidup. Para pembangkang menekankan bahwa pembebasan mereka hanya mungkin terjadi melalui penghentian total perang. Padahal, pada awal tahun, Israel disebut-sebut melanggar kesepakatan gencatan senjata fase kedua yang seharusnya mencakup penarikan pasukan dan pertukaran tahanan.
Sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, agresi balasan Israel telah menewaskan lebih dari 50.800 warga Palestina dan menghancurkan sebagian besar infrastruktur Gaza. Di tengah krisis kemanusiaan dan kritik internasional yang memuncak, tekanan dari dalam kini menjadi ancaman paling nyata terhadap fondasi narasi perang Netanyahu.
Kasus ini bahkan memasuki ranah hukum internasional. Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang. Di saat yang sama, gugatan genosida terhadap Israel sedang bergulir di Mahkamah Internasional (ICJ).
Apa yang semula terlihat sebagai monolit kesatuan kini mulai retak dari dalam. Seruan dari udara, laut, darat, dan rumah sakit kini menyatu dalam satu suara: akhiri perang, selamatkan nyawa. Dinamika ini bisa menjadi titik balik — bukan hanya bagi para sandera, tapi juga bagi arah kebijakan militer Israel ke depan.
Review
Tarif Membara: Trump Naikkan ke 125%
Trump menaikkan tarif impor China jadi 125 persen, memanaskan tensi dagang global, sementara negara lain diberi kelonggaran negosiasi selama 90 hari.

Published
1 week agoon
10/04/2025By
Natsir Amir
Monitorday.com – “Perdagangan tanpa keadilan adalah jalan menuju konflik. Keseimbangan tarif adalah cermin dari penghormatan antar bangsa.”
Perang dagang antara dua raksasa ekonomi dunia kembali meletup lebih panas dari sebelumnya. Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali mengejutkan publik internasional dengan keputusan agresif: menaikkan tarif impor barang asal China menjadi 125 persen. Langkah ini diumumkan Trump melalui akun Instagram pribadinya, menyusul tindakan balasan China yang menetapkan tarif 84 persen terhadap barang-barang asal AS.
Langkah Trump yang dinilai penuh kalkulasi politik dan ekonomi itu diumumkan akan berlaku segera, tepat pada tengah malam waktu setempat. “Karena kurangnya rasa hormat yang ditunjukkan China kepada Pasar Dunia, dengan ini saya menaikkan tarif yang dikenakan ke China oleh Amerika Serikat menjadi 125 persen, berlaku segera,” tulis Trump penuh nada kecaman.
Tak berhenti di sana, Trump juga menegaskan bahwa ia memberikan kelonggaran kepada negara-negara lain dengan menangguhkan sementara tarif impor selama 90 hari. Kelonggaran itu dimaksudkan sebagai jendela diplomasi bagi pejabat AS untuk melakukan negosiasi dagang dengan negara-negara mitra, sembari tetap menegaskan ketegasan terhadap China.
“Suatu saat, mudah-mudahan dalam waktu dekat, China akan menyadari bahwa hari-hari menipu AS, dan negara-negara lain, tidak lagi berkelanjutan atau dapat diterima,” tambah Trump dalam unggahan tersebut. Pernyataan itu mengisyaratkan kekecewaan mendalam terhadap Beijing dan menggambarkan eskalasi hubungan yang kian menegang antara dua negara adidaya tersebut.
Kebijakan terbaru ini memperbesar jurang konflik yang telah lama membayangi perdagangan global. Setelah sebelumnya menetapkan tarif sebesar 34 persen kepada China pekan lalu, Trump kembali melipatgandakan tekanannya dengan tambahan 50 persen, hingga total tarif mencapai angka fantastis 125 persen. Angka ini jauh melampaui tarif rata-rata sebesar 20,8 persen yang telah diberlakukan terhadap China sejak masa pemerintahan Presiden Joe Biden.
Langkah balasan dari China pun tak kalah keras. Beijing mengumumkan tarif sebesar 84 persen untuk berbagai produk asal AS. Balasan ini memperlihatkan bahwa kedua negara tidak lagi bermain di zona diplomasi lunak, melainkan telah terjebak dalam spiral aksi balasan tarif yang semakin tajam dan mengancam stabilitas ekonomi global.
Sementara itu, laporan Reuters menyebutkan bahwa Gedung Putih tetap akan memberlakukan tarif sebesar 10 persen terhadap hampir seluruh impor AS, meskipun pengumuman terbaru ini tidak mempengaruhi bea masuk terhadap sejumlah produk strategis seperti otomotif, baja, dan alumunium. Hal ini menjadi isyarat bahwa meskipun Trump memperlihatkan sikap keras terhadap China, ia tetap menjaga keseimbangan dalam sektor industri tertentu di dalam negeri.
Kebijakan ini langsung mendapat perhatian besar dari pelaku pasar internasional, investor, hingga negara-negara mitra dagang AS lainnya. Banyak pihak mengkhawatirkan bahwa langkah ekstrem ini akan memicu ketidakpastian pasar, memperlambat arus perdagangan global, serta memunculkan risiko inflasi baru, terutama di sektor barang konsumsi yang terdampak langsung oleh lonjakan tarif.
Energi politik Trump kali ini jelas diarahkan pada satu pesan kuat: Amerika tidak akan mundur ketika merasa ditipu. Dengan gaya retoris yang khas dan keputusan yang tak terduga, Trump menempatkan Washington dalam posisi ofensif yang menuntut konsesi atau perlawanan habis-habisan dari Beijing.
Kini dunia menahan napas, menunggu babak selanjutnya dalam drama perang tarif antara dua ekonomi terbesar dunia. Satu hal yang pasti, dengan tarif membara hingga 125 persen, Amerika Serikat telah menyalakan kembali bara konflik dagang yang bisa meluas lebih jauh dari sekadar angka-angka bea masuk.
Monitor Saham BUMN

Menlu RI dan AS Sepakat Perluas Kemitraan Strategis

Prabowo Siapkan Langkah Strategis untuk Evakuasi Warga Gaza ke Indonesia

Mensos: Guru Sekolah Rakyat Diprioritaskan dari PNS dan PPPK

Tertinggal dari Marquez, Manajer Ducati Soroti Masalah Mental Bagnaia

Timnas Indonesia Tak Kirim Pemain Kunci di Duel ASEAN All-Stars vs MU, Lha Kenapa?

S3 Bukan Sekadar Gelar, Tapi Lompatan Hidup! Ini Alasannya!

Wow! Coachella 2025 Hadirkan Headliner Spektakuler, Bayaran Musisi Tembus Ratusan Miliar

Wamendikdasmen: Transformasi Pendidikan Harus Libatkan Sekolah Swasta dan Pemda

Kabar Rusia Bakal Bangun Pangkalan Militer, Kemlu RI Respon Begini

Real Madrid Gagal Pertahankan Gelar Liga Champions Meski 2 Pemainnya Ukir Rekor

Dewan Pers Dukung Program Subsidi Perumahan untuk Wartawan

Megawati Resmi Berlabuh ke Gresik Petrokimia, Netizen Riuh Sambut Positif

Dorong Migrasi ke eSIM, Apa Kelebihan dan Kekurangannya dengan Kartu Fisik?

Shin Tae Yong Resmi Gabung Klub Asal Korea Selatan

Arab Saudi Siap Bantu Suriah Bayar Utang Bank Dunia

Linkin Park Siap Meriahkan Final Liga Champions 2024/2025 di Allianz Arena

AS Naikkan Tarif Impor 245 Persen, China: Kami Tak Takut Perang

Indonesia – Rusia Perkuat Kerja Sama Ekonomi dan Pariwisata

Mengenal Maqashid Syariah: Tujuan Hakiki di Balik Hukum Islam
