Monitorday.com – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai kriteria Jaksa Agung yang tidak berasal dari pengurus partai politik telah menciptakan diskusi di kalangan parlemen. Komisi III DPR, yang membidangi hukum, menyambut baik langkah ini sebagai dorongan terhadap profesionalisme dalam penegakan hukum.
Ketua Komisi III DPR, dalam sebuah pernyataan, menyoroti perlunya mekanisme checks and balances yang lebih kuat dalam pengangkatan Jaksa Agung.
“Keterlibatan Jaksa Agung dengan partai politik berpotensi merusak independensi lembaga dan mengganggu penegakan hukum yang adil,” ujarnya.
Putusan MK memberikan sinyal bahwa reformasi dalam sistem hukum Indonesia terus berlangsung. Meski demikian, beberapa anggota parlemen juga menyoroti perlunya penyesuaian lebih lanjut dalam undang-undang terkait kejaksaan, guna memastikan independensi dan profesionalisme tetap terjaga.
Adapun putusan MK tersebut tertuang dalam putusan nomor 6/PUU-XXII/2024. Merupakan gugatan oleh serang jaksa bernama Jovi Andrea Bachtiar, yang menggugat Undang-Undang Kejaksaan. Dalam sidang pendahulu (1/2), pemohon menyebutkan Pasal 20 UU Kejaksaan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 2 ayat (1), dan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945.
Dalam gugatannya pemohon menyebut keterlibatan aktif penegak hukum dalam pragmatisme politik dengan sedang atau merangkap menjadi anggota politik dinilai akan merusak independensi kejaksaan secara inkonstitusional, utamanya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.