Monitorday.com – Harapan Indonesia untuk memanfaatkan energi surya melalui Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap terkendala. Target ambisius 3,6 gigawatt (GW) pada 2025 nampaknya sulit tercapai, mengingat realisasi hingga akhir 2023 baru mencapai 140 megawatt (MW).
“Angkanya masih jauh dari yang kita harapkan,” ungkap Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Jisman P Hutajulu, Selasa (5/3/2024).
Hutajulu mengakui, tingginya biaya instalasi, kurangnya edukasi publik, dan regulasi yang rumit menjadi faktor penghambat utama. Kondisi ini membuat pemanfaatan energi surya di Indonesia tertinggal dibandingkan negara tetangga.
Upaya Percepatan: Insentif dan Regulasi Ramah
Menyadari hal tersebut, Kementerian ESDM bergerak melakukan upaya percepatan. Hutajulu mengatakan, pihaknya tengah berfokus pada simplifikasi regulasi dan perizinan. Selain itu, skema insentif fiskal dan non-fiskal juga akan digalakkan untuk meringankan beban biaya instalasi bagi masyarakat.
“Edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat pun akan ditingkatkan. Kami percaya, dengan sinergi berbagai pihak, target PLTS Atap 2025 masih bisa dikejar,” pungkasnya.
Akankah Langkah ESDM Efektif?
Para pengamat energi menyambut baik langkah ESDM tersebut. Namun, mereka berharap agar program ini dibarengi dengan pengawasan ketat dan evaluasi berkala.
“Jangan sampai program ini justru dimanfaatkan pihak-pihak tak bertanggung jawab. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci untuk meraih target sekaligus membangun kepercayaan publik,” ujar Direktur Eksekutif Asosiasi Energi Terbarukan Indonesia, Fahmi Amrullah.
Akankah langkah ESDM efektif mendorong pemanfaatan PLTS Atap di Indonesia? Publik akan terus memantau perkembangannya.
Dapatkan informasi terbaru dan terpercaya seputar energi terbarukan di Monitorday.com.