News
Prof Rokhmin: Bagaimana Mau Jadi Poros Maritim Dunia, Jika Pagu Anggaran KKP Minim
Published
8 months agoon
By
Natsir AmirMonitorday.com – Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, Ms, Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), periode 2001-2004 mengatakan Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki potensi untuk menjadi Poros Maritim Dunia.
Poros Maritim Dunia bertujuan menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang besar, kuat, dan makmur melalui pengembalian identitas Indonesia sebagai bangsa maritim, pengamanan kepentingan dan keamanan maritim, memberdayakan potensi maritim untuk mewujudkan pemerataan ekonomi Indonesia.
Terlebih isu pangan kedepannya menjadi isu krusial yang harus mendapatkan atensi. Tugas KKP juga sangat menantang, mengingat luasnya laut Indonesia yang begitu besar.
Namun bagaimana mau menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, jika pagu anggaran KKP terbilang minim.
Hal ini Ia sampaikan di diskusi Perikanan Budidaya Berkelanjutan bersama Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia (Kemenko Marves RI), Selasa (19/3/2024).
” Kita perlu dorong pagu anggaran KKP lebih maksimal, Insha Allah kita dorong di komisi IV nanti..dari 6-7 T ke 15 T,” ujar Guru Besar IPB University.
Prof Rokhmin juga menyoroti soal peristiwa karimun jawa yang semestinya tidak perlu terjadi.
” Yang perlu kita lakukan itu pembinaan, perlu ada pendekatan yang humanis dan terukur,” kata Senior KAHMI ini.
Selain itu, Ketua Dulur Cirebon ini pun mendorong semua pihak, termasuk pemerintah daerah untuk melakukan akselerasi simplifikasi kebijakan soal budi daya udang vaname, mengingat udang vaname di Indonesia menjadi salah satu komoditas ekspor tertinggi dengan nilai keuntungan mencapai jutaan dollar Amerika Serikat.
Udang vaname telah menyumbang hingga 36% dari total komoditas ekspor perikanan Indonesia yang menunjukkan bahwa udang ini sangat diminati pasar global.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), produksi udang Indonesia terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2022, Indonesia memproduksi 1.099.976 ton udang. Nilai ini diharapkan mengalami peningkatan pada tahun 2023 yang ditargetkan mencapai 1.829.000 ton dan 2 juta ton pada tahun 2024.
Target ini dianggap cukup realistis mengingat potensi wilayah yang dimiliki Indonesia untuk budidaya sangat tinggi. Mulai dari lahan untuk budidaya seluas setidaknya 2,9 juta hektar, iklim budidaya yang mendukung setiap tahun, dan sumber air yang memadai.
Memotret data diatas, Ketua Dewan Pakar Masyarakat Perikanan Nusantara ini juga mendorong revitalisasi semua unit usaha (bisnis) budidaya laut (mariculture), budidaya perairan payau (coastal aquaculture), dan budidaya perairan darat untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, inklusivitas, dan keberlanjutan (sustainability).
Kemudian, ekstensifikasi usaha di kawasan perairan baru dengan komoditas unggulan, baik di ekosistem perairan laut (seperti kakap putih, kerapu, lobster, dan rumput laut Euchema spp); perairan payau (seperti udang Vaname, Bandeng, Nila Salin, Kepiting, dan rumput laut Gracillaria spp); maupun perairan darat (seperti nila, patin, lele, mas, gurame, dan udang galah).
Selanjutnya, adanya diversifikasi usaha budidaya dengan spesies baru di perairan laut, payau, dan darat.
Pengembangan usaha akuakultur untuk menghasilkan komoditas (raw materials) untuk industri farmasi, kosmetik, functional foods & beverages, pupuk, pewarna, biofuel, dan beragam industri lainnya.
Revitalisasi dan pembangunan baru Broodstock Centers dan Hatcheries untuk momoditas unggulan (Udang Vaname, Lobster, Kerapu, Kakap, Bandeng, Nila, Patin, Udang Galah, Rumput Laut, dan lainnya) untuk menjamin produksi induk dan benih unggul (SPF, SPR, dan fast growing) dengan harga relatif murah dan produksi (supply) mencukupi untuk seluruh wilayah NKRI, kapanpun dibutuhkan.
Prof Rokhmin juga mengajak semua stakeholder agar bisa mengambil contoh di China dan Ekuador yang sudah sangat baik soal pengelolaan tambak.
Budidaya udang skala besar di Tiongkok dimulai pada tahun 1980an, dan sistem teknologi budidaya yang cukup sistematis telah berkembang sejak pertengahan tahun 1990an. Cara bertani juga terus mengalami perbaikan dan inovasi, termasuk budidaya ekstensif pada tahun 1960an hingga 1980an, budidaya semi intensif pada tahun 1980an hingga 1990an, budidaya kolam berbasis lahan, dan budidaya rumah kaca.
Budaya terpadu multi-trofik adalah mode pertanian berbasis ekosistem yang sedang berkembang. Ini mengintegrasikan budidaya udang dengan ikan, kerang, kepiting, rumput laut atau spesies lainnya untuk mendapatkan hasil panen yang baik dengan ukuran hewan yang lebih besar, kualitas yang lebih tinggi dan nilai pasar yang baik, namun berdampak lebih kecil terhadap lingkungan.
Konsep budidaya tambak yang diperbarui dan menjanjikan yang disebut teknologi bioflok telah mendapat banyak perhatian dari para petambak udang dalam beberapa tahun terakhir. Dengan teknologi ini, nutrisi yang tidak termanfaatkan dapat dihilangkan dengan produksi biomassa mikroba yang dapat digunakan udang sebagai sumber makanan tambahan.
Begitupun dengan budidaya udang di Ekuador telah berlangsung sekitar 50 tahun, menjadikannya negara yang paling berpengalaman di antara negara di Amerika Latin. Pada 1980-an Ekuador pernah menempati eksportir udang terbesar di dunia. Namun, menuju akhir 1980-an hingga 1990-an, Ekuador menghadapi epidemi penyakit yang menyebabkan industri udangnya menurun, disusul penderitaan akibat krisis ekonomi.
Terlepas dari hal tersebut, berbagai situasi mendukung pertumbuhan industri udang Ekuador. Salah satunya dimulai pada 2012 saat industri udang Asia dilanda EMS (early mortality syndrome) yang membuat keran ekspor Ekuador ke China terbuka lebar.
Peningkatan lainnya didorong oleh adopsi nursery dan manajemen tambak yang lebih baik, juga kombinasi penggunaan automatic feeder dan aerator.