Monitorday.com – “Ah, akhirnya! Akhir dari perjuangan panjang ini,” gumam seorang aktivis prodemokrasi saat mendengar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold. Bagi banyak orang, keputusan ini bagaikan udara segar yang menyegarkan ruang demokrasi Indonesia, setelah bertahun-tahun terkungkung dalam perdebatan panjang.
Dalam sidang yang digelar Kamis (2/1/2025), Ketua MK Suhartoyo dengan tegas menyatakan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu inkonstitusional. Putusan ini sekaligus mengakhiri persyaratan 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara nasional sebagai syarat pencalonan presiden. Sejak saat itu, setiap partai politik peserta pemilu berhak mengajukan calon presidennya sendiri tanpa batasan semacam itu.
Pengamat politik Universitas Jember, Dr. M. Iqbal, menyebut putusan ini sebagai “hadiah terindah bagi demokrasi Indonesia”. Dalam pandangannya, langkah MK ini bukan sekadar keputusan hukum, tetapi sebuah momentum besar yang membuka peluang lebih luas bagi dinamika politik tanah air.
“Kini setiap partai, baik yang baru maupun lama, punya hak yang sama untuk mencalonkan kader terbaik mereka. Pemilih pun akan disuguhi lebih banyak pilihan, sehingga tak lagi terbatas pada dua pasangan calon saja seperti pemilu-pemilu sebelumnya,” ujar Iqbal penuh optimisme.
Namun, Iqbal juga menekankan bahwa kebebasan ini bukan berarti pesta demokrasi 2029 akan diwarnai oleh puluhan pasangan calon presiden. Tantangan tetap ada, mulai dari menyiapkan sosok yang memiliki kredibilitas, popularitas, hingga kapasitas finansial. Partai politik masih harus berstrategi—apakah mereka akan berkoalisi atau teguh mencalonkan sendiri.
Keputusan MK ini juga dianggap sebagai bentuk antisipasi terhadap masalah stagnasi dalam kontestasi politik, yang sebelumnya ditandai oleh dominasi kekuasaan hingga aksi borong dukungan partai. Dengan dihapusnya presidential threshold, potensi polarisasi akut yang membelah masyarakat seperti yang terjadi di tiga pemilu terakhir diharapkan dapat diminimalkan.
“Kita tidak boleh lupa bahwa ini adalah pesan kuat dari MK kepada seluruh elemen bangsa untuk terus mendewasakan demokrasi kita. Kebebasan ini harus diiringi dengan tanggung jawab,” lanjut Iqbal.
Dalam amar putusannya, MK juga memberikan lima pedoman penting terkait pencalonan presiden. Salah satu poin utama adalah memastikan bahwa proses pencalonan tidak lagi bergantung pada persentase jumlah kursi di DPR atau suara sah secara nasional. Dua hakim konstitusi, Anwar Usman dan Daniel Yusmic, memang sempat menyampaikan pendapat berbeda dengan alasan legal standing, tetapi mayoritas hakim menyepakati putusan ini.
Langkah MK ini tentu saja tidak langsung mengubah seluruh iklim politik Indonesia. Namun, ia menjadi titik awal yang penting untuk memperbaiki kualitas demokrasi. “Ini adalah momentum untuk menciptakan demokrasi yang lebih sehat, di mana semua pihak memiliki daya tawar yang setara,” tegas Iqbal.
Putusan ini disambut baik oleh masyarakat dan kalangan prodemokrasi. Banyak yang menyebutnya sebagai kemenangan rakyat. Namun, tantangan besar tetap menanti—baik dari sisi teknis penyelenggaraan pemilu, pengawasan, hingga memastikan bahwa semangat kebebasan ini tidak disalahgunakan.
Seiring dengan datangnya tahun baru 2025, putusan ini menjadi kado istimewa, tak hanya bagi aktivis prodemokrasi, tetapi juga bagi rakyat Indonesia yang mendambakan perubahan. Kini, semua mata tertuju pada Pilpres 2029, yang diharapkan menjadi ajang demokrasi paling inklusif dan kompetitif dalam sejarah Indonesia.
Demokrasi ibarat tanaman. Ia butuh udara segar untuk tumbuh dan berkembang. Dengan hilangnya ambang batas pencalonan presiden, MK telah membuka jendela lebar-lebar, membiarkan udara segar itu masuk. Kini, tugas kita bersama adalah merawat tanaman demokrasi itu agar tumbuh subur, membawa manfaat bagi seluruh rakyat Indonesia.