Connect with us

Review

Putusan MK: Oksigen Baru untuk Demokrasi Indonesia

Putusan MK menghapus ambang batas pencalonan presiden menjadi titik awal segar bagi demokrasi Indonesia, membuka jalan lebih luas untuk kontestasi politik yang lebih inklusif dan kompetitif.

Hendi Firdaus

Published

on

Monitorday.com“Ah, akhirnya! Akhir dari perjuangan panjang ini,” gumam seorang aktivis prodemokrasi saat mendengar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold. Bagi banyak orang, keputusan ini bagaikan udara segar yang menyegarkan ruang demokrasi Indonesia, setelah bertahun-tahun terkungkung dalam perdebatan panjang.

Dalam sidang yang digelar Kamis (2/1/2025), Ketua MK Suhartoyo dengan tegas menyatakan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu inkonstitusional. Putusan ini sekaligus mengakhiri persyaratan 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara nasional sebagai syarat pencalonan presiden. Sejak saat itu, setiap partai politik peserta pemilu berhak mengajukan calon presidennya sendiri tanpa batasan semacam itu.

Pengamat politik Universitas Jember, Dr. M. Iqbal, menyebut putusan ini sebagai “hadiah terindah bagi demokrasi Indonesia”. Dalam pandangannya, langkah MK ini bukan sekadar keputusan hukum, tetapi sebuah momentum besar yang membuka peluang lebih luas bagi dinamika politik tanah air.

“Kini setiap partai, baik yang baru maupun lama, punya hak yang sama untuk mencalonkan kader terbaik mereka. Pemilih pun akan disuguhi lebih banyak pilihan, sehingga tak lagi terbatas pada dua pasangan calon saja seperti pemilu-pemilu sebelumnya,” ujar Iqbal penuh optimisme.

Namun, Iqbal juga menekankan bahwa kebebasan ini bukan berarti pesta demokrasi 2029 akan diwarnai oleh puluhan pasangan calon presiden. Tantangan tetap ada, mulai dari menyiapkan sosok yang memiliki kredibilitas, popularitas, hingga kapasitas finansial. Partai politik masih harus berstrategi—apakah mereka akan berkoalisi atau teguh mencalonkan sendiri.

Keputusan MK ini juga dianggap sebagai bentuk antisipasi terhadap masalah stagnasi dalam kontestasi politik, yang sebelumnya ditandai oleh dominasi kekuasaan hingga aksi borong dukungan partai. Dengan dihapusnya presidential threshold, potensi polarisasi akut yang membelah masyarakat seperti yang terjadi di tiga pemilu terakhir diharapkan dapat diminimalkan.

“Kita tidak boleh lupa bahwa ini adalah pesan kuat dari MK kepada seluruh elemen bangsa untuk terus mendewasakan demokrasi kita. Kebebasan ini harus diiringi dengan tanggung jawab,” lanjut Iqbal.

Dalam amar putusannya, MK juga memberikan lima pedoman penting terkait pencalonan presiden. Salah satu poin utama adalah memastikan bahwa proses pencalonan tidak lagi bergantung pada persentase jumlah kursi di DPR atau suara sah secara nasional. Dua hakim konstitusi, Anwar Usman dan Daniel Yusmic, memang sempat menyampaikan pendapat berbeda dengan alasan legal standing, tetapi mayoritas hakim menyepakati putusan ini.

Langkah MK ini tentu saja tidak langsung mengubah seluruh iklim politik Indonesia. Namun, ia menjadi titik awal yang penting untuk memperbaiki kualitas demokrasi. “Ini adalah momentum untuk menciptakan demokrasi yang lebih sehat, di mana semua pihak memiliki daya tawar yang setara,” tegas Iqbal.

Putusan ini disambut baik oleh masyarakat dan kalangan prodemokrasi. Banyak yang menyebutnya sebagai kemenangan rakyat. Namun, tantangan besar tetap menanti—baik dari sisi teknis penyelenggaraan pemilu, pengawasan, hingga memastikan bahwa semangat kebebasan ini tidak disalahgunakan.

Seiring dengan datangnya tahun baru 2025, putusan ini menjadi kado istimewa, tak hanya bagi aktivis prodemokrasi, tetapi juga bagi rakyat Indonesia yang mendambakan perubahan. Kini, semua mata tertuju pada Pilpres 2029, yang diharapkan menjadi ajang demokrasi paling inklusif dan kompetitif dalam sejarah Indonesia.

Demokrasi ibarat tanaman. Ia butuh udara segar untuk tumbuh dan berkembang. Dengan hilangnya ambang batas pencalonan presiden, MK telah membuka jendela lebar-lebar, membiarkan udara segar itu masuk. Kini, tugas kita bersama adalah merawat tanaman demokrasi itu agar tumbuh subur, membawa manfaat bagi seluruh rakyat Indonesia.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Review

TA DPR, Ketika Pengangguran Jadi Ahli Parlemen

Tenaga Ahli DPR sering kali dipilih berdasarkan kedekatan politik, bukan kompetensi. Mana pernah mereka paham soal kondisi real konstituen, sehingga mereka lebih tepat jadi follower bukan creator apalagi analis yang mampu melihat kondisi real lapangan.

Dila N Andara

Published

on

Moitorday.com – Berdasarkan Peraturan DPR RI Nomor 3 Tahun 2014, setiap anggota dewan berhak mendapatkan lima Tenaga Ahli (TA) dan dua staf administratif yang digaji dari uang negara. Tujuannya mulia: mendukung kerja-kerja legislasi, pengawasan, dan representasi politik. Namun di lapangan, praktiknya jauh dari ideal.

Alih-alih menjadi mitra strategis dalam merumuskan kebijakan atau menyusun analisis kebijakan publik, banyak TA justru tampil sebagai pengikut pasif, lebih sibuk mengatur jadwal pertemuan atau bahkan sekadar mendampingi anggota saat kunjungan kerja ke dapil tanpa kontribusi substantif. Sebagian besar tidak punya kapasitas menganalisis isu, memahami data, atau membaca peta politik. Mereka tidak lebih dari “penumpang resmi” dengan status mewah dan fasilitas negara.

Latar belakang penunjukan pun kerap tak jauh dari ikatan politis atau kedekatan personal. Mantan relawan kampanye, kawan lama, atau bahkan orang yang menganggur pasca-Pemilu, tiba-tiba menjelma sebagai Tenaga Ahli. Tak jarang tanpa latar belakang akademik atau pengalaman yang sesuai. Satu-satunya “keahlian” mereka hanyalah loyalitas pada sang anggota dewan, bukan pada rakyat, bukan pada ilmu, dan bukan pada tugas negara.

Padahal, secara teori, TA punya tugas vital: menyusun materi rapat, melakukan riset kebijakan, menganalisis revisi UU, hingga menyusun program legislasi. Mereka juga seharusnya menjadi penghubung penting antara rakyat di daerah pemilihan dan dewan yang mewakilinya. Tapi bagaimana mungkin itu bisa dijalankan, jika yang dipilih adalah mereka yang tidak pernah bersentuhan dengan konstituen atau tidak tahu-menahu isu publik?

Lebih menyedihkan lagi, tak sedikit dari mereka yang hanya mengandalkan portofolio sebagai mantan MC kampus, mantan aktivis musiman, atau malah tidak memiliki latar belakang organisasi sama sekali. Ketika ditugasi menyusun analisis kebijakan, mereka bungkam. Ketika diminta memberi masukan strategis, mereka absen. Namun, gaji tetap mengalir, fasilitas tetap dinikmati, dan jabatan tetap bergengsi.

Dengan kinerja semacam ini, keberadaan TA justru berpotensi merusak kualitas parlemen. Bagaimana tidak? Anggota DPR yang seharusnya mendapatkan masukan tajam dan cermat justru dikelilingi oleh para “yes man” dengan kompetensi minim. Kebijakan yang lahir dari lingkungan semacam ini tentu jauh dari aspirasi publik, dan hanya menguntungkan segelintir elite politik.

Kritik terhadap rekrutmen TA yang asal-asalan bukanlah hal baru. Tapi hingga kini, belum ada evaluasi serius dari DPR sendiri. Publik pun seolah dibiarkan pasrah melihat anggaran miliaran rupiah digelontorkan untuk membiayai para “ahli tanpa keahlian.” Ini bukan lagi soal kinerja, ini tentang pemborosan yang dilegalkan.

Sudah saatnya DPR RI membenahi sistem pengangkatan TA. Rekrutmen harus terbuka dan berbasis kompetensi, bukan sekadar balas budi politik. Jika tidak, maka lembaga legislatif ini akan terus dikelilingi oleh lingkaran tidak produktif yang justru menenggelamkan kualitas demokrasi kita.

Continue Reading

Review

President Macron: Linguistic Program Gains Global Spotlight

French President Emmanuel Macron praises UNJ’s applied linguistics program and invites students to study in France to strengthen cultural diplomacy.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – A sharp and notable expression of appreciation came from French President Emmanuel Macron for Universitas Negeri Jakarta (UNJ), particularly its Applied Linguistics Program.

During his visit, which carried strong diplomatic undertones, Macron did not hesitate to call the program “very impressive,” praising it as a frontrunner in strengthening cultural ties between Indonesia and France.

This statement was far from mere diplomatic pleasantry, it was a clear signal that the quality of higher education in Indonesia is beginning to attract attention from world leaders.

Macron highlighted that UNJ’s applied linguistics studies go beyond English, encompassing other strategically significant global languages, including French.

He emphasized that the presence of the French Language Education Program is a major asset in building bridges of communication and cultural cooperation.

“This is not just about learning a language—it’s about expanding cross-cultural understanding,” Macron remarked.

Beyond mere praise, Macron went a step further by extending a direct invitation to UNJ’s applied linguistics students to pursue their studies in France. This gesture opens wide the doors for Indonesia’s young generation to broaden their academic and cultural horizons in Europe, while simultaneously strengthening international networks.

This invitation also reflects France’s genuine commitment to deepening educational cooperation, more than just political rhetoric or ceremonial diplomacy.

From an international relations perspective, Macron’s gesture can be seen as a subtle strategy to expand France’s influence through the education sector.

By engaging foreign students, particularly from strategically important countries like Indonesia, France is indirectly fostering early ideological and cultural affinity.

In this context, UNJ plays a central role as a local partner capable of bridging two worlds: academia and diplomacy.

Continue Reading

Review

Macron Bawa Misi, Pulang Bawa Malu

Kunjungan Macron ke Asia lebih mirip pelarian dari isu jatuhnya Rafale dan pertengkaran rumah tangga, bukan misi diplomatik yang bermakna.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Kunjungan kenegaraan Presiden Emmanuel Macron ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia, justru memunculkan lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban. Alih-alih memperkuat hubungan bilateral atau menunjukkan taring diplomasi Eropa di kawasan Indo-Pasifik, publik malah disuguhi adegan cekcok rumah tangga di kabin pesawat kepresidenan. Tak pelak, Macron dan istrinya, Brigitte yang usianya terpaut jauh darinya, menjadi buah bibir, bukan karena kapasitasnya sebagai kepala negara, melainkan sebagai bintang drama udara tingkat tinggi.

Beredar luas tangkapan layar dari dalam pesawat yang memperlihatkan ketegangan antara Macron dan sang istri. Saling pandang tajam, gestur tangan defensif, hingga ekspresi jengah terlihat jelas, membuat publik bertanya: apakah ini tur kenegaraan atau reality show versi Élysée Palace?

Sementara itu, sorotan tajam publik dan media bukan hanya soal urusan domestik Macron. Ada isu yang lebih “berat” yang seolah ingin dilenyapkan oleh tur ini: tragedi pesawat Rafale buatan Prancis yang baru-baru ini dijatuhkan oleh jet tempur buatan China. Lebih ironis lagi, pilot Rafale tersebut bukan orang Prancis, melainkan India, dan pesawat penembaknya dikendalikan oleh pilot Pakistan. Sebuah skenario geopolitik yang membuat Prancis tampak seperti penonton di arena permainannya sendiri.

Dalam situasi seperti ini, kunjungan Macron ke Asia terkesan sebagai upaya mati-matian untuk mengalihkan perhatian dari kegagalan besar di industri pertahanan negaranya. Jika sebelumnya Macron dikenal gencar menjajakan jet tempur Rafale ke berbagai negara, kali ini ia terlihat absen dari narasi jual beli senjata. Wajar saja, siapa yang mau beli pesawat yang baru saja dijatuhkan musuhnya di langit?

Alih-alih bicara strategi Indo-Pasifik, Macron seperti menahan malu dan berusaha sekuat tenaga tampil tenang, padahal bukan hanya pesawatnya yang ‘jatuh’, tapi juga citra negaranya di panggung global. Peristiwa ini menegaskan satu hal: diplomasi tidak bisa hanya bermodal tampang muda, bahasa Inggris fasih, dan senyum di depan kamera. Apalagi jika di belakang layar, terjadi perang dingin di kursi kelas satu antara Presiden dan Ibu Negara.

Situasi ini memperkuat kesan bahwa Prancis kini tak lagi jadi pemain utama dalam dinamika geopolitik Asia, apalagi di sektor pertahanan. Saat negara seperti China unjuk gigi lewat kekuatan militer dan kecanggihan teknologi, Prancis hanya mampu menyodorkan drama domestik dan diplomasi kosmetik.

Maka tak berlebihan jika publik Asia bertanya: datangnya Macron ini untuk membawa solusi atau sekadar mencari panggung? Apa pun jawabannya, satu hal pasti untuk sebuah tur yang dibungkus sebagai diplomasi, terlalu banyak adegan sinetron di balik kabin pesawat.

Continue Reading

Review

Trump Usir Mahasiswa Pro Palestina

Trump usir mahasiswa pro-Palestina, Putin dan Xi buka pintu lebar. Amerika dinilai makin represif, Rusia-China justru jadi pelindung kebebasan akademik.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Langkah mengejutkan datang dari Gedung Putih. Presiden Amerika Serikat Donald Trump secara terang-terangan mengusir mahasiswa internasional yang menyuarakan dukungan terhadap kemerdekaan Palestina. Kebijakan ini tak hanya mengundang kecaman dari dalam negeri, tetapi juga menyulut reaksi keras dari komunitas internasional. Dunia akademik pun geger, sebab kampus sekelas Harvard turut terdampak.

Trump, yang dikenal dengan kebijakan luar negeri keras dan cenderung pro-Israel, menyatakan bahwa “tidak ada tempat bagi simpatisan Palestina di tanah Amerika.” Dalam pernyataannya, ia menuding mahasiswa asing sebagai ancaman ideologis yang merusak “nilai-nilai Amerika”. Sikap keras ini dituding sebagai bentuk represi terhadap kebebasan akademik dan berekspresi, dua nilai yang selama ini dijunjung tinggi oleh negara itu sendiri.

Tindakan Trump ini langsung berbanding terbalik dengan respons dua kekuatan besar dunia: Rusia dan China. Presiden Vladimir Putin dan Presiden Xi Jinping sama-sama membuka pintu bagi mahasiswa yang terusir dari Amerika. Putin menyebut keputusan Trump sebagai “tindakan anti-intelektual yang memalukan”, sementara Xi Jinping menyatakan bahwa “mendukung perjuangan kemerdekaan bukanlah kejahatan, melainkan hak asasi.”

Tak heran jika Rusia dan China segera bergerak cepat. Universitas-universitas ternama di kedua negara langsung menawarkan beasiswa dan program relokasi untuk mahasiswa yang terdampak. Harvard yang kehilangan sejumlah mahasiswa internasional kini melihat para calon intelektual mudanya hijrah ke Moskow dan Beijing. Dunia akademik perlahan bergeser dari barat ke timur.

Fenomena ini membuka tabir hipokrisi dalam sistem demokrasi Amerika. Negara yang selama ini menampilkan diri sebagai penjaga hak asasi manusia kini menunjukkan wajah otoriternya—ketika suara yang berbeda dianggap sebagai ancaman. Alih-alih membina dialog, Trump justru memilih jalur pengusiran massal. Ini bukan hanya krisis moral, tapi juga alarm bagi dunia tentang kebebasan yang makin terancam.

Sebaliknya, Rusia dan China, yang selama ini kerap dituding mengekang kebebasan, justru mengambil peran sebaliknya. Mereka memposisikan diri sebagai pelindung kebebasan akademik global. Dukungan terhadap Palestina bukan hanya soal politik luar negeri, melainkan juga ujian bagi komitmen negara-negara terhadap hak untuk menyuarakan keadilan.

Langkah Trump diprediksi akan berdampak luas, tidak hanya dalam relasi luar negeri AS, tetapi juga pada reputasi universitas-universitasnya. Para mahasiswa, terutama dari negara-negara berkembang, mulai mempertanyakan apakah Amerika masih menjadi tempat terbaik untuk belajar dan berkembang. Jika tren ini terus berlanjut, Amerika berisiko kehilangan statusnya sebagai pusat pendidikan dunia.

Saat dunia memantau, satu pertanyaan mengemuka: apakah Amerika masih bisa dipercaya sebagai rumah kebebasan, ataukah kini berubah menjadi penjaga kepentingan sempit dan kekuasaan semata?

Continue Reading

Review

Membedah Ketatnya Sistem Pendidikan Rusia

Pendidikan Rusia dirancang ketat, terstruktur, dan penuh tekanan, menekankan keunggulan akademik dan keahlian profesional sebagai pondasi kemajuan negara.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Sistem pendidikan Rusia dikenal sebagai salah satu yang paling ketat dan terstruktur di dunia. Dibangun di atas kerangka hukum yang kuat, khususnya Undang-Undang Federal №273 tahun 2012, pendidikan di Rusia digarap dengan serius sejak dini. Mulai dari usia tiga tahun, anak-anak Rusia sudah bisa mengenyam pendidikan prasekolah, meskipun belum bersifat wajib. Namun, begitu memasuki usia sekolah dasar, kewajiban tak bisa ditawar. Anak-anak Rusia harus menyelesaikan pendidikan wajib selama sebelas tahun penuh, terdiri dari empat tahun sekolah dasar, lima tahun sekolah menengah pertama, dan dua tahun sekolah menengah atas.

Namun, tantangan tidak berhenti sampai di sana. Untuk memperoleh “Attestat o srednem obshchem obrazovanii”, semacam ijazah kelulusan tingkat menengah, siswa harus menghadapi Ujian Negara Terpadu atau Unified State Examination (USE). Ujian ini wajib dilalui dengan hasil memuaskan di dua mata pelajaran inti: bahasa Rusia dan matematika. Tekanan tinggi untuk lulus ujian ini menempatkan sistem pendidikan Rusia sebagai salah satu yang paling menantang di dunia.

Setelah itu, pilihan pendidikan terbuka lebar. Bagi yang memilih jalur akademis, pendidikan tinggi menanti dengan jenjang yang terdiri dari Sarjana, Magister, hingga gelar Spesialis. Sementara bagi mereka yang ingin langsung terjun ke dunia kerja, jalur pendidikan kejuruan tersedia. Program ini terbagi dalam dua tingkatan: pelatihan pekerja terampil dan teknisi junior, serta pendidikan lanjutan untuk profesional tingkat menengah. Kedua jalur ini menunjukkan bahwa Rusia tidak hanya mendorong pencapaian akademik, tetapi juga menaruh perhatian besar pada keahlian praktis.

Kurikulum yang padat dan intensif adalah ciri khas lain sistem pendidikan Rusia. Jumlah jam pelajaran per minggu jauh lebih banyak dibandingkan dengan beberapa negara lain. Fokus besar diberikan pada pendidikan umum dan profesional, menjadikan siswa Rusia terbiasa dengan tekanan akademik sejak dini. Sistem ini dirancang untuk mencetak lulusan tangguh yang siap bersaing, baik secara intelektual maupun profesional.

Namun, seperti dua sisi mata uang, sistem ini tak luput dari kritik. Kualitas sekolah negeri masih sangat bergantung pada letak geografis dan kondisi ekonomi daerah masing-masing. Kota besar seperti Moskow dan St. Petersburg menikmati fasilitas pendidikan yang jauh lebih baik dibandingkan wilayah pedesaan. Tak heran, sekolah swasta dan internasional menjadi alternatif yang banyak diminati oleh kalangan menengah atas.

Dalam pelaksanaannya, Kementerian Pendidikan Federal bertindak sebagai pembuat kebijakan utama, sementara Badan Pengawasan Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Federal memastikan standar kualitas dan mutu tetap terjaga. Kombinasi keduanya menjadikan sistem pendidikan Rusia sebagai model yang ambisius—menantang tetapi juga menjanjikan.

Bagi negara yang membidik supremasi global melalui kekuatan sains dan teknologi, pendidikan bukan sekadar kewajiban, tetapi investasi strategis. Rusia telah menegaskan bahwa masa depan dibentuk dari ruang kelas hari ini—dengan kurikulum ketat, ujian sulit, dan tuntutan tinggi.

Continue Reading

Review

Hong Kong Sambut Mahasiswa Harvard Korban Trump

Kebijakan Trump dinilai banyak pihak sebagai bentuk diskriminasi akademik yang membahayakan masa depan kolaborasi global di bidang pendidikan. Di saat Washington menutup pintu, Hong Kong justru membukanya lebar-lebar—membalik arus talenta dan pengetahuan dari Barat ke Asia.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali menuai kontroversi global. Kali ini, kebijakannya yang melarang universitas di AS menerima mahasiswa asing, termasuk penerima beasiswa, memicu gelombang kritik internasional. Bahkan, mahasiswa asing yang tengah menempuh pendidikan di Universitas Harvard pun dipaksa untuk segera pindah kampus atau menghadapi ancaman deportasi.

Menanggapi kekacauan ini, Hong Kong bergerak cepat dan menyatakan kesiapan untuk menampung para mahasiswa asing Harvard yang terdampak. Langkah ini bukan hanya isyarat solidaritas terhadap dunia pendidikan global, tetapi juga menjadi manuver strategis Hong Kong dalam memosisikan diri sebagai pusat pendidikan internasional yang lebih terbuka dibanding Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Trump.

“Bagi mahasiswa internasional yang terdampak kebijakan Amerika Serikat, Biro Pendidikan telah mengimbau semua universitas di Hong Kong untuk menyediakan langkah memfasilitasi mahasiswa yang memenuhi syarat,” ujar Menteri Pendidikan Hong Kong Christine Choi, dikutip dari AFP, Sabtu (24/5).

Salah satu langkah konkret universitas di Hong Kong adalah melonggarkan batas maksimal mahasiswa asing. Ini dilakukan demi menarik lebih banyak pelajar ke Hong Kong.

Universitas Sains dan Teknologi Hong Kong (HKUST), misalnya, yang resmi mengundang para mahasiswa internasional di Harvard pada Jumat (23/5). Mereka mengklaim membuka pintu untuk korban aturan Trump, baik dari Harvard maupun kampus-kampus lain.

“HKUST memperluas kesempatan ini untuk memastikan pelajar berbakat bisa mengejar tujuan pendidikan mereka tanpa gangguan,” tegas kampus tersebut dalam pernyataan resminya.

Pengusiran terhadap mahasiswa asing di AS diumumkan Menteri Keamanan Dalam Negeri AS Kristi Noem. Ia menuduh pihak universitas mempromosikan kekerasan, anti-semitisme, dan berkoordinasi dengan Partai Komunis China.

Sebelumnya, Harvard University menolak memberikan informasi yang diminta Pemerintah AS mengenai visa pelajar di kampus mereka.

Reuters mencatat ada 6.800 mahasiswa asing yang berkuliah di Harvard pada 2025-2026 alias 27 persen dari total keseluruhan pelajar. Sekitar 1.300 mahasiswa berasal dari China.

Warga asal China juga pernah menjadi mahasiswa terbanyak yang masuk Harvard pada 2022 lalu, yakni 1.016 orang.

Harvard langsung mengajukan gugatan ke pengadilan federal terkait aksi Trump. Pengadilan Distrik Massachusetts, Amerika Serikat kemudian menangguhkan langkah pemerintahan Presiden Donald Trump mengusir mahasiswa asing.

“Pemerintahan Trump dilarang melaksanakan pencabutan sertifikasi SEVP (Student and Exchange Visitor Program) milik penggugat,” perintah Hakim Pengadilan Distrik Massachusetts Allison Burroughs dalam sidang perdana.

Sidang lanjutan perkara ini rencananya digelar pada 29 Mei 2025 mendatang.

Continue Reading

Review

Harvard Ditutup Trump, Dunia Melawan

Langkah Presiden AS Donald Trump yang melarang mahasiswa asing, termasuk di Harvard, dinilai sebagai bentuk isolasi emosional yang berbahaya, bahkan oleh tokoh senior seperti Jusuf Kalla

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla, secara tegas mengkritik kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang melarang mahasiswa asing menempuh pendidikan di Universitas Harvard. Dalam acara Meet The Leaders di Universitas Paramadina, Jakarta, Sabtu (24/5), JK menyebut kebijakan tersebut tidak rasional dan hanya bermotifkan sentimen terhadap China. “Trump melawan dunia, karena di Amerika sendiri dia tidak disenangi. Orang berontak, orang konflik, orang demo terus-terus,” ungkapnya dengan nada tajam.

Keputusan Trump untuk menutup akses mahasiswa asing ke Harvard, termasuk yang tengah menempuh studi, memicu gelombang protes internasional. Mereka yang tidak segera dipindahkan ke kampus lain terancam kehilangan legalitas tinggal di AS. Bagi JK, ini bukan sekadar kebijakan pendidikan, tetapi refleksi dari kepemimpinan emosional tanpa landasan pengetahuan.

JK menekankan bahwa kemajuan China hari ini justru tak lepas dari proses belajar teknologi dari Amerika. Ia menyayangkan bagaimana Trump merusak sistem pendidikan global demi kepentingan politik sempit. “Hari ini kalau Anda baca ini gila orang ini, Harvard pun ditutupnya untuk orang asing. Kenapa? hanya sentimennya ke China,” ujar JK penuh keheranan.

Data menunjukkan, dari sekitar 6.800 mahasiswa asing di Harvard untuk tahun akademik 2025-2026, hampir 30 persen berasal dari luar AS. Mahasiswa asal China sempat menjadi kelompok terbanyak dengan lebih dari seribu orang pada 2022. Tapi kini, kelompok inilah yang menjadi target utama dari kebijakan diskriminatif Trump.

Sumber Reuters menyebut bahwa larangan ini berangkat dari tudingan terhadap Harvard yang dianggap “mempromosikan kekerasan, antisemitisme, dan berkoordinasi dengan Partai Komunis China”. Pernyataan ini dilontarkan oleh Gubernur South Dakota, Kristi Noem, yang mendukung langkah Trump dengan menyebut penerimaan mahasiswa asing sebagai “privilege”, bukan hak.

Harvard sendiri tidak tinggal diam. Pihak universitas menyebut kebijakan tersebut ilegal dan berpotensi memicu pembalasan internasional. Kampus Ivy League lainnya pun ikut bersuara, memperlihatkan ketegangan yang semakin tajam antara dunia pendidikan dan pemerintahan Trump.

Dengan atmosfer internasional yang memanas dan dunia akademik yang terguncang, komentar JK menjadi sinyal bahwa kebijakan unilateral ini bukan hanya urusan domestik AS, tetapi persoalan global. Dunia kini menghadapi ancaman besar terhadap nilai-nilai kolaborasi ilmu dan kemanusiaan yang selama ini menjadi dasar pertukaran pendidikan internasional.

Continue Reading

Review

Suara dari Mekah: Fenomena KDM Tembus Batas Negara, MBS Tertarik?

Viral Jamaah Haji Minta Tolong KDM

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Fenomena Kang Dedi Mulyadi (KDM) kembali menggegerkan publik. Kali ini, suara permintaan bantuan untuk Gubernur Jawa Barat itu datang langsung dari Mekah, menyulut gelombang rasa penasaran di tengah masyarakat. Apakah ini pertanda bahwa Putra Mahkota Arab Saudi, Muhammad Bin Salman (MBS), tertarik dengan pendekatan pendidikan ala “Bapak Aing” di barak-barak militer khas KDM? Atau justru Saudi tengah dilanda krisis kedisiplinan remaja hingga membutuhkan “sentuhan khas Sunda”?

Tak pelak, sorotan global terhadap KDM makin kuat, menyulut spekulasi: mungkinkah wisuda gaya Arab akan segera dihapus demi reformasi karakter ala Indonesia? Dalam pusaran politik, budaya, dan pendidikan global, nama KDM menjelma jadi simbol baru ketegasan yang lintas batas.

Setelah ditelusuri, beredar video di TikTok dengan narasi jamaah haji Indonesia terlantar saat tiba di hotel nomor 603, Sektor 3. Dalam video beredar, pengunggah meminta tolong kepada Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi terkait ketidaknyamanan tu. 

“Telantar Kang Dedi, Kang Dedi kumaha (bagaimana) Kang Dedi terlantar jamaah ti jam 02, can meunang kamar (belum dapat kamar), tolong dibantu share-sharecan meunang kamar (belum dapat kamar) Kang Dedi, Pak Prabowo tolong jamaah Indonesia ….” 

Kepala Sektor 6 Makkah PPIH Arab Saudi, Rebuan, menepis kabar itu dan menilai tudingan terlalu berlebihan. “Tidak ada yang terlantar, karena itu masih dalam proses penurunan,” ujarnya saat memberikan keterangan kepada Media Center Haji di kantor Sektor 6, Makkah, Sabtu (24/5/2025).

Ia menjelaskan, kejadian itu terjadi pada Jumat (23/5/2025) pagi. Saat itu, rombongan dari embarkasi JKS 42 (Jakarta-Bekasi) yang mendarat di Jeddah telah tiba di Makkah sekitar pukul 04.18. Ada sembilan bus yang datang secara bertahap. Sementara, petugas sudah bersiaga sejak pukul 01.10 waktu setempat.

Sesuai dengan standar prosedur, kata Rebuan, pelayanan diberikan dimulai dari bus pertama terlebih dahulu. “Nah video viral itu baru penurunan bus ketiga sekitar pukul 07.30 pagi, ada pendorongan jamaah kursi roda (lansia)” ujarnya.

Pengunggah video lantas menggambarkan bahwa jamaah terlantar, tidak dapat pelayanan dari petugas. Padahal semua jamaah memang belum turun. “Dari sembilan mobil baru dua yang benar-benar diturunkan, yang di TikTok baru nomor 1 atau nomor 2,” ujarnya.

Sebelum turun dari bus, kata Rebuan, ada proses yang dilakukan oleh syarikah. Pihak syarikah memasangkan gelang serta memastikan semua jamaah telah mempunyai identitas. Sehingga tidak bisa serta-merta turun dan masuk ke hotel.

“Jadi proses itu gak bisa langsung turun jamaah,” ujarnya.

Rata-rata petugas syarikah yang mengurus kebutuhan sebelum turun itu ada dua orang. Mereka menyelesaikan bus satu dan dua terlebih dulu berdasarkan nomor urut.

Bila semua identitas telah semua didistribuskan, maka ketua rombongan mengambil kunci. Mereka lantas diarahkan ke lantai masing-masing untuk penyerahan kunci sebelum masuk kamar. “Jadi tidak di lobi agar tidak terlalu menumpuk,” ujarnya.

Ia menegaskan, proses jamaah yang tengah menunggu ini tidak dapat disebut sebagai terlantar. Makna terlantar, kata ia, jika petugas tidak melayani, jamaah tak dapat makan dan hotel, maka bolehlah diklaim seperti itu. “Tapi kalau baru diturunkan tolong dijagalah, jangan buat konten-konten negatif, jika memang itu positif,” ujarnya menegaskan.

Continue Reading

Review

Bahlil dan Kaesang Dinilai Ideal Jadi Capres 2029

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Nama Bahlil Lahadalia, Ketua Umum Partai Golkar, dan Kaesang Pangarep, Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), semakin sering terdengar di perbincangan publik sebagai calon presiden (capres) yang layak memimpin Indonesia pada 2029. Analisis sejumlah pengamat politik menyebutkan bahwa keduanya, meski belum memiliki pengalaman politik yang panjang, dinilai sebagai sosok muda yang visioner dan memiliki pandangan jauh ke depan.

Bahlil, yang dikenal sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, telah menunjukkan kiprah yang signifikan dalam dunia pemerintahan. Kepemimpinan Bahlil dalam mendorong investasi dan reformasi regulasi menjadi bukti bahwa dia memiliki pemikiran progresif dan terarah. Karismanya yang tegas dan kemampuan membangun hubungan dengan dunia usaha membuatnya menjadi figur yang banyak diperhitungkan dalam politik Indonesia ke depan. Banyak yang meyakini bahwa Bahlil, dengan kemampuannya tersebut, dapat memberikan pembaruan dan kemajuan bagi Indonesia yang lebih terbuka bagi investasi global.

Sementara itu, Kaesang, anak bungsu Presiden Joko Widodo, yang juga sebagai Ketua Umum PSI, juga tidak kalah menarik perhatian. Meski muda, Kaesang dikenal dengan pemikirannya yang kreatif dan progresif. Selain berkiprah di dunia bisnis, Kaesang memiliki pola pikir yang berani dan berbeda dari kebanyakan politisi yang ada. Banyak yang melihatnya sebagai sosok yang mampu membawa generasi muda Indonesia lebih dekat dengan politik dan perubahan. Sosoknya yang santai namun serius, dengan kemampuan berkomunikasi yang baik, membuatnya menjadi pilihan yang cukup potensial untuk mengguncang peta politik Indonesia di masa depan.

Keduanya dianggap memiliki potensi besar untuk memimpin Indonesia menuju 2045, saat negara ini akan merayakan 100 tahun kemerdekaannya. Visi keduanya tentang Indonesia yang lebih maju, terbuka, dan berdaya saing tinggi menjadi modal utama untuk menarik perhatian publik. Namun, meski demikian, mereka tetap harus bekerja keras untuk meraih kepercayaan masyarakat yang semakin kritis.

Masyarakat Indonesia saat ini sudah lebih cerdas dalam memilih pemimpin. Sebagai generasi yang akan menentukan arah masa depan Indonesia, mereka mencari sosok yang tidak hanya pintar, tetapi juga dapat memberikan solusi konkret terhadap berbagai masalah bangsa. Bahlil dan Kaesang, dengan latar belakang yang berbeda namun saling melengkapi, diyakini bisa menjawab tantangan tersebut.

Memang, ini baru sekadar analisis dan prediksi politik. Namun, siapa yang tahu? Suara rakyat bisa saja berpihak pada mereka, terutama jika keduanya mampu menjaga kepercayaan dan konsisten dalam membangun visi untuk Indonesia yang lebih baik. Pemilu 2029 masih jauh, namun nama mereka sudah mulai diperhitungkan sebagai pemimpin masa depan Indonesia.

Continue Reading

Review

India Main Api, Pakistan Siap Basmi

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Pakistan dengan tegas menyebut India sebagai pengecut setelah negara tersebut melakukan serangan terlebih dahulu namun kemudian meminta gencatan senjata. Pernyataan ini sekaligus mengingatkan India agar tidak meremehkan kemampuan Pakistan dan berhenti bersikap sombong yang hanya meniru kekuatan negara lain. Pakistan menegaskan bahwa India bukan sahabat Palestina yang mudah diserang; jika India memilih jalur peperangan, maka Pakistan sudah siap menghadapi konsekuensinya.

Sejarah mencatat bahwa India bukanlah bangsa yang selalu menang dalam konflik. Pakistan mengingatkan India untuk belajar dari pengalaman masa lalu, terutama kisah tahun 1945 ketika pasukan Gurkha India dihajar habis oleh para pejuang Arek-Arek Suroboyo dalam peristiwa heroik yang berujung kematian Jenderal Inggris Mallaby di tangan rakyat Surabaya. Hal ini menjadi pelajaran bahwa kejayaan India bukan hasil perjuangan mereka sendiri melainkan hadiah kemerdekaan dari Inggris, bukan buah dari kekuatan militer yang mumpuni.

Pakistan juga menyindir India yang lebih jago berperan sebagai “penghibur” di layar televisi lewat serial seperti Polisi Ladusing dan Tuan Takurnya, yang memang membuat penonton terhibur tapi tidak mencerminkan ketangguhan militer sesungguhnya. Sindiran ini menegaskan bahwa India lebih suka tampil sebagai aktor hiburan ketimbang berani menguji nyali dalam peperangan nyata dengan Pakistan.

Kenyataan ini menegaskan bahwa India harus sadar diri dan tidak memandang remeh Pakistan. Jika India tetap ngotot memilih jalan peperangan, maka Pakistan sudah siap menghadapi dan membalas serangan dengan kekuatan penuh. Pakistan ingin mengingatkan dunia bahwa mereka bukan Palestina yang menjadi korban agresi, melainkan negara berdaulat dengan kemampuan bertahan dan bertempur yang kuat.

Ancaman perang antara India dan Pakistan bukanlah hal baru, namun kali ini Pakistan memberikan pesan jelas: jangan coba-coba main-main dengan mereka. Pakistan juga mengajak India untuk introspeksi, bahwa kemerdekaan dan kekuatan sejati bukan soal siapa yang duluan menyerang, tapi soal siapa yang mampu bertahan dan mempertahankan harga diri serta kedaulatan.

India diharapkan menyadari bahwa permainan kekuatan dan agresi tidak akan membawa kemenangan sejati, dan jika mereka memilih konflik, maka Pakistan akan menjawab dengan kesiapan penuh. Pesan keras ini sekaligus menjadi peringatan bahwa perang antara kedua negara bisa berdampak luas, sehingga India harus menghitung risiko dan berhenti bermain api.

Pakistan tidak hanya siap perang secara fisik, tapi juga siap menghadapi konsekuensi politik dan diplomatik yang akan muncul akibat tindakan India. Dalam konteks geopolitik, Pakistan menegaskan bahwa India bukanlah lawan yang mudah untuk diintimidasi dan serang sesuka hati, apalagi dengan dukungan sahabat seperti Israel.

Dengan nada kritis dan tegas, Pakistan mengingatkan India agar belajar dari sejarah dan berhenti menganggap enteng lawan mereka. Jangan hanya berlagak perkasa di panggung hiburan, tapi buktikan jika benar kuat dan siap menghadapi realitas di medan perang.

Continue Reading

Monitor Saham BUMN



Sportechment1 hour ago

Lautaro Martinez: Juara Liga Champions adalah Mimpi yang Jadi Kenyataan

News1 hour ago

Penyerapan Beras Tertinggi dalam 57 Tahun, Mentan Optimistis Target 3 Juta Ton Tercapai

News1 hour ago

Visa Haji Furoda Gagal Terbit, Jemaah dan Travel Alami Kerugian Miliaran Rupiah

News2 hours ago

Kemkomdigi Blokir archive.org, Lha Kenapa?

Ruang Sujud5 hours ago

Hari Tasyriq dalam Sejarah Haji: Jejak Spiritualitas di Mina

News5 hours ago

Prancis Larang Merokok di Area Publik, Pelanggar Bakal Didenda Segini

Sportechment5 hours ago

BLACKPINK Umumkan Harga Tiket Konser Jakarta 2025, Mulai Rp1,45 Juta

News6 hours ago

Biadab! Israel Rudal Pesawat Jamaah Haji Yaman

News6 hours ago

Kemendikdasmen Buka Seleksi PPG 2025: Upaya Percepat Sertifikasi 800 Ribu Guru

News8 hours ago

Yusril Ihza Mahendra Bantah Keras Isu Perundingan Rahasia Indonesia–Israel

Sportechment9 hours ago

Erick Thohir: Timnas U-23 Targetkan Juara di Piala AFF 2025

Ruang Sujud9 hours ago

Mengapa Hari Tasyriq Disebut Hari Makan dan Minum? Ini Penjelasannya

Ruang Sujud13 hours ago

Amalan yang Dianjurkan dan Dilarang di Hari Tasyriq

Sportechment14 hours ago

Pencipta ‘Nuansa Bening’ Tolak Uang Ratusan Juta Vidi Aldiano, Ini Alasannya

Sportechment14 hours ago

Juara MotoGP 2024 Jorge Martin Umumkan Berpisah dari Aprilia

Sportechment14 hours ago

Timnas Indonesia U-23 Segrup Korea Selatan, Gerald Vanenburg Respon Begini

Sportechment15 hours ago

Resmi Mengaspal di RI, Bedah Interior dan Varian Suzuki Fronx

Sportechment16 hours ago

Tutup Karier di FC Copenhagen dengan Dwigelar, Kevin Diks Siap OTW Timnas Indonesia

Ruang Sujud17 hours ago

Hari Tasyriq: Makna dan Keutamaannya dalam Islam

Review17 hours ago

TA DPR, Ketika Pengangguran Jadi Ahli Parlemen