Monitorday.com – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 diperkirakan akan membawa perubahan signifikan terhadap peta politik di berbagai daerah.
Dosen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Aditya Perdana, menilai bahwa keputusan ini akan mempengaruhi strategi koalisi yang sedang disusun oleh partai politik.
“Putusan MK kali ini mengejutkan banyak pihak karena dampaknya yang serius terhadap pemetaan koalisi politik, terutama yang hanya memiliki komposisi 20 persen,” ujar Aditya di Depok, Selasa (20/8).
Menurut Aditya, desain koalisi partai politik akan mengalami banyak perubahan, khususnya bagi partai-partai yang tergabung dalam KIM (Koalisi Indonesia Maju) yang ingin mengajukan calon secara mandiri tanpa harus memenuhi ambang batas 20 persen.
Sebagai Direktur Eksekutif ALGORITMA Research and Consulting, Aditya juga menyebut bahwa keputusan ini membuka peluang baru bagi calon kepala daerah yang sebelumnya telah kehilangan harapan untuk maju.
“Skema koalisi besar yang ada saat ini membuat banyak calon dengan peluang terbatas, namun putusan MK ini bisa mengubah dinamika tersebut,” katanya.
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa putusan MK ini tidak hanya berdampak pada calon-calon seperti Anies Baswedan atau PDIP yang telah ditinggalkan oleh koalisi besar, tetapi juga akan menghidupkan kembali dinamika politik bagi calon yang sebelumnya tidak punya kesempatan dalam konfigurasi koalisi yang ada.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 telah mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah.
Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa partai politik yang tidak mendapatkan kursi di DPRD tetap dapat mencalonkan pasangan calon, asalkan berdasarkan hasil perolehan suara sah dalam pemilu.
Keputusan ini merupakan hasil dari permohonan yang diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora, yang mempertanyakan konstitusionalitas Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyatakan bahwa Pasal 40 ayat (3) tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan mengancam proses demokrasi yang sehat, karena membuka peluang hanya bagi calon tunggal jika dibiarkan terus berlaku.
Dengan putusan ini, MK juga menyatakan Pasal 40 Ayat (1) UU Pilkada sebagai inkonstitusional secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai sesuai dengan penjabaran dalam putusan tersebut.