Monitorday.com – Ada lagi satu menteri dari kabinet Jokowi yang menjadi tersangka Korupsi. Kali ini Menteri Pertanian Syharul Yasin Limpo (SYL) yang diduga melakukan korupsi di kementeriannya. Karena kasus ini, mantan Gubernur Sulawesi Selatan tersebut telah menyatakan mundur dari Kementerian Pertanian.
Tak hanya SYL, Menpora Dito Ariotedjo juga telah disebut namanya berulangkali dalam persidangan kasus korupsi BTS Kominfo, sebagai salah satu penerima dana megaproyek tersebut. Hal ini membuat reshuffle telah di depan mata.
Pengamat Politik Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo berharap agar Presiden Jokowi segera melakukan reshuffle. Menurut dia, reshuffle menjadi pertaruhan terakhir Jokowi di ujung masa jabatannya.
“Menteri yang diduga kuat terlibat korupsi sudah seharusnya diganti. Presiden Joko Widodo tidak perlu ragu untuk mengganti menterinya yang tersandung masalah hukum,” kata Karyono, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (6/10).
Meski begitu, ia berharap agar Jokowi tidak serampangan dalam memilih menteri di kabinetnya. Karyono meminta presiden Jokowi dapat memilih menteri yang profesional, kompeten, jujur dan bersih.
Karena berdasarkan data empiris, tidak sedikit menteri dalam kabinet pemerintahan telah terjerat kasus korupsi. Sebagian besar dari mereka adalah menteri dari partai politik. Antara lain Edhy Prabowo, Juliari Batubara dan Johnny G. Plate.
Karena itu, Karyono menilai banyaknya menteri yang tersandung korupsi harus menjadi bahan evaluasi presiden dalam menentukan dan menunjuk menteri dan pejabat lainnya. Hal itu penting dilakukan agar di kemudian hari citra pemerintah juga tidak tercoreng.
“Banyaknya kasus korupsi yang melibatkan para pembantu presiden berdampak pada tingkat ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah,” ujarnya.
Menurut Karyono, diperlukan azas prudential dalam mengangkat seseorang menjadi menteri. Namun, dia pesimis presiden bisa bijaksana dalam memilih menteri baru jika terjadi reshuffle. Pasalnya, selama ini keputusan presiden dalam merombak kabinet lebih dominan mempertimbangkan kalkulasi politik.
Hal itu, kata Karyono, disebabkan oleh banyak faktor antara lain adanya sistem koalisi yang menghasilkan kabinet kompromi.
Di satu sisi, presiden juga memiliki kepentingan untuk mendapatkan dukungan politik di parlemen dalam rangka memuluskan agenda pembangunan yang memerlukan dukungan politik di parlemen. “Dengan demikian, zaken (kabinet yang mengutamakan keahlian dari anggotanya) kabinet hanya sebatas mimpi,” tandas Karyono.