Review
Rupiah Menguat, Pasar Tetap Waspada

Published
16 hours agoon

Monitorday.com – Rupiah ditutup menguat pada rentang Rp16.750 hingga Rp16.830 per dolar AS dalam perdagangan Jumat (11/4/2025), setelah mencatatkan penguatan sebesar 0,29% atau 49,5 poin ke level Rp16.823 per dolar pada Kamis (10/4).
Momentum positif ini terjadi di tengah lesunya indeks dolar AS yang melemah 0,46% ke posisi 102,42, serta tren penguatan mata uang Asia lainnya seperti yen Jepang, won Korea, yuan China, dan ringgit Malaysia.
Kondisi ini memberi napas segar bagi pasar keuangan domestik yang tengah berjibaku dengan dinamika eksternal. Menurut pengamat mata uang, Ibrahim Assuaibi, sentimen positif muncul setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan perpanjangan waktu 90 hari atas kebijakan tarif timbal balik terbarunya. Keputusan itu dinilai mampu meredam kekhawatiran akan resesi, walau arah kebijakan Trump masih dipandang labil oleh pelaku pasar.
“Pasar tetap berhati-hati. Trump bukan sosok yang mudah ditebak, dan sikapnya terhadap kebijakan tarif sering berubah,” ujar Ibrahim dalam keterangan tertulisnya, Kamis (10/4).
Ketidakpastian ini, lanjut Ibrahim, semakin diperparah oleh ketegangan geopolitik yang terus membara di Timur Tengah dan Eropa serta meningkatnya tensi perang dagang global. Kombinasi faktor-faktor eksternal ini membuat perekonomian domestik berada dalam tekanan, dengan fluktuasi nilai tukar sebagai indikator paling nyata.
Di tengah situasi ini, peran pemerintah dan Bank Indonesia sangat krusial. Intervensi di pasar keuangan terus dilakukan untuk menstabilkan nilai tukar. Namun, Ibrahim menilai, instrumen yang tersedia tidak sepenuhnya mampu menangkal dampak global yang berada di luar kontrol domestik. “Pemerintah dan BI bekerja keras, tetapi kemampuan mereka terbatas. Yang dibutuhkan adalah sinergi dan antisipasi jangka panjang,” tegasnya.
Perang dagang yang semakin panas juga membawa konsekuensi nyata bagi sektor perdagangan dan harga barang. Meskipun komponen produk buatan AS belum mendominasi rantai pasok lokal, kenaikan tarif tetap berpotensi memicu inflasi karena lonjakan harga bahan impor. Hal ini tak hanya menekan daya beli masyarakat, tapi juga mengganggu keseimbangan neraca perdagangan.
Lebih jauh, Ibrahim menyoroti risiko jangka panjang terhadap daya saing regional. Negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia, yang sangat bergantung pada ekspor ke negara besar, dinilai rentan terhadap penurunan volume perdagangan akibat kenaikan harga barang. “Dampaknya bisa sangat luas, dari melemahnya profitabilitas perdagangan hingga melambatnya pertumbuhan ekonomi,” katanya.
Meski begitu, pasar domestik tampaknya cukup resilient dalam menghadapi gelombang ketidakpastian global. Hari ini, rupiah diprediksi tetap bergerak dinamis, mencerminkan respons pasar terhadap perkembangan eksternal maupun kebijakan dalam negeri. Penutupan di zona hijau menjadi harapan realistis, dengan penguatan yang tetap dijaga dalam koridor yang wajar.
Kendati demikian, pasar diminta tidak larut dalam euforia sesaat. Waspada adalah kata kunci. Dengan volatilitas global yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda, setiap sinyal positif harus dibaca hati-hati dan dijadikan pijakan untuk perencanaan jangka panjang, bukan hanya reaksi jangka pendek.
Mungkin Kamu Suka
-
Dolar Terpuruk di Era Trump
-
Tarif Membara: Trump Naikkan ke 125%
-
Kritisi Kebijakan Tarif Impor AS, Sri Mulyani Sebut Trump Tidak Berdasarkan Ilmu Ekonomi
-
Erick Thohir dan Dubes AS Bahas Ekonomi Global dan Peluang Kerja Sama
-
Pasar Modal RI Tetap Stabil di Tengah Ketidakpastian Global, Ini Faktor Pendukungnya

Monitorday.com –Di balik gemerlap demokrasi dan retorika hak asasi manusia yang selalu dikumandangkan Amerika Serikat, terselip jejak-jejak kelam imperialisme modern yang kian mencemaskan masa depan dunia.
Amerika Serikat, negeri yang kerap mengangkat bendera kebebasan dan keadilan, tengah berdiri di ambang krisis kepercayaan global. Dunia telah lama menyaksikan bagaimana kekuatan adidaya ini tidak hanya mencampuri urusan negara lain, tetapi secara aktif menciptakan ketegangan, perang, dan kerusakan struktural di berbagai belahan bumi. Retorika tentang demokrasi sering kali menjadi kedok manis untuk ambisi-ambisi geopolitik yang tidak segan menyulut konflik dan mengorbankan jutaan jiwa.
Di Timur Tengah, luka-luka yang ditinggalkan belum sembuh. Irak, Suriah, Libya—semuanya menjadi ladang eksperimen atas kebijakan luar negeri Amerika yang destruktif. Perang dilancarkan atas nama kebebasan, namun hasilnya adalah kehancuran negara, runtuhnya peradaban, dan munculnya kelompok-kelompok perlawanan di cap radikal dan di labeli teroris.
Tak bisa di bayangkan, mereka yang melawan karena ditindas malah dituduh penjahat sementara negara penjajah dielu-elukan sebagai bangsa yang menjunjung hak asasi manusia.
Dunia tahu siapa dalang dari semua ini, tetapi suara-suara perlawanan kerap dibungkam oleh dominasi media dan kekuatan politik yang dimiliki Washington.
Tak hanya itu, ambisi ekspansionis Amerika terlihat jelas ketika secara terang-terangan ingin mencaplok Greenland, wilayah otonom yang berada di bawah Denmark. Upaya ini bukan hanya bentuk arogansi kekuasaan, tapi juga menunjukkan betapa Amerika merasa berhak atas segala sesuatu yang strategis dan menguntungkan secara ekonomi maupun militer. Terusan Panama pun tak luput dari incaran mereka—jalur perdagangan vital dunia yang ingin mereka kontrol sepenuhnya demi kepentingan ekonomi dan militer mereka sendiri.
Amerika juga tak ragu menyulut konflik dengan kekuatan besar lain seperti Rusia. Alih-alih mencari jalur diplomasi, mereka memilih membiayai kelompok-kelompok separatis dan memperluas pengaruh NATO hingga ke perbatasan negara yang mereka anggap rival. Ketegangan di Ukraina dan wilayah sekitarnya adalah bukti nyata betapa Amerika tidak segan menyalakan api perang baru demi mempertahankan hegemoni global mereka.
Di banyak negara, Amerika hadir bukan sebagai penyelamat, tapi perusak dari dalam. Mereka mendanai kelompok separatis, memicu instabilitas, dan mengintervensi politik domestik melalui berbagai cara—baik terang-terangan maupun tersembunyi.
Demokrasi dijual sebagai produk ekspor, padahal dalam praktiknya, mereka sendiri sering kali menutup mata terhadap kudeta, pelanggaran HAM, dan pemilu curang—selama itu menguntungkan kepentingan mereka.
Ironi terbesar tampak dalam sikap Amerika terhadap Palestina. Di saat dunia menyaksikan genosida sistematis yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina, Amerika justru tampil sebagai pelindung utama. Mereka memveto resolusi-resolusi penting di PBB, menyuplai senjata, dan memberikan dukungan politik tanpa syarat kepada Israel. Dalam hal ini, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia seolah menjadi selektif: berlaku bagi yang tunduk, diabaikan bagi yang melawan.
Kita patut bertanya: sampai kapan dunia akan membiarkan satu negara bertindak bak dewa di panggung global, menentukan siapa yang berhak hidup dan siapa yang harus hancur? Sampai kapan kekuatan uang dan militer dijadikan alat untuk membungkam keadilan dan nurani? Amerika boleh saja membungkus semua tindakan mereka dalam jargon-jargon idealistik, tapi dunia telah lama melihat wajah aslinya.
Sebuah kehancuran moral dan politis tengah mengintai Amerika, dan dunia harus bersiap untuk tak hanya menyaksikan, tetapi mengambil sikap.
Rezim di Amerika, siapapun presiden dan wakil presidennya, akan terus menghancurkan fondasi perdamaian dan keadilan internasional.
Dunia bukan milik satu negara, dan masa depan tidak boleh dikendalikan oleh tangan-tangan yang berlumur darah sejarah.
Mungkinkah ini pertanda, imam mahdi sudah di depan mata? sebentar lagi akan datang.
Datangnya Imam Mahdi bukan sekadar narasi spiritual, melainkan momen monumental yang mengguncang tatanan lama dan membuka jalan bagi era keemasan. Dalam pusaran kekacauan global—korupsi merajalela, kesenjangan sosial menganga, nilai-nilai luhur diinjak-injak—sosok ini hadir sebagai penyeimbang, penyatu, dan pembebas.
Dengan kepemimpinan yang penuh hikmah dan keberanian, Imam Mahdi akan menghancurkan tirani, membangkitkan semangat keadilan, dan menghidupkan kembali nilai-nilai kemanusiaan sejati. Tak ada lagi dominasi kekuatan zolim, tak ada lagi ketakutan bagi yang lemah. Dunia akan menyaksikan transformasi masif—sistem yang korup runtuh, kebenaran bersinar, dan solidaritas antarumat manusia menguat.
Masa keemasan bukan sekadar impian, tapi realitas yang dibangun dari kebangkitan spiritual dan kesadaran kolektif. Dunia akan berdetak dalam irama kedamaian, keadilan, dan keberkahan. Inilah momentum kebangkitan, saat sejarah menulis ulang dirinya dengan tinta cahaya, dan umat manusia meraih kembali martabatnya yang hakiki.
Review
Dolar Terpuruk di Era Trump
Dolar AS melemah tajam di bawah kepemimpinan Trump, tertekan oleh kebijakan tarif dan potensi resesi, memperlihatkan keraguan pasar terhadap arah ekonomi dan strategi geopolitik AS.

Published
10 hours agoon
12/04/2025By
Natsir Amir
Monitorday.com – Ketika Donald Trump kembali menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat, dunia menunggu gebrakan kebijakan ekonominya. Tapi bukan kekuatan dolar yang muncul ke permukaan, melainkan tanda-tanda keterpurukan. Awal tahun 2025, indeks dolar (DXY) masih berada di angka 109,35—namun dalam waktu kurang dari tiga bulan, posisinya amblas ke level 100,06. Penurunan hampir 8,5% ini bukan sekadar angka. Ia adalah simbol dari kegamangan pasar global terhadap arah ekonomi negara adidaya.
Hari Kamis, 10 April 2025, menjadi catatan merah bagi mata uang Paman Sam. Dalam satu hari, dolar tercatat anjlok 1,98%—penurunan paling tajam selama periode 20 Januari hingga 11 April. CNBC International menyoroti bagaimana kebijakan agresif Trump, khususnya soal perdagangan, memperburuk tekanan pada dolar. Dulu, banyak pihak berharap tarif yang diberlakukan akan memperkuat posisi mata uang ini. Tapi kenyataan menunjukkan arah yang jauh berbeda.
Bukannya memperkuat ekonomi, tindakan Trump justru membuat investor asing meradang. Alih-alih menanamkan modal, mereka melakukan aksi jual besar-besaran terhadap saham dan obligasi AS. Ini bukan hanya mencerminkan ketakutan terhadap dampak kebijakan, tapi juga sinyal bahwa kepercayaan terhadap prospek ekonomi AS tengah goyah.
Dampak lain pun segera terlihat di pasar global. Yen Jepang dan franc Swiss—dua mata uang yang dikenal sebagai ‘safe haven’ di saat ketidakpastian—menguat signifikan. Dolar, sebaliknya, kehilangan tempat di hati investor yang biasanya mengandalkannya sebagai pelindung saat badai pasar datang. Tentu saja, ini bukan skenario yang diharapkan oleh siapa pun di Gedung Putih.
Sumber dari Refinitiv menunjukkan bahwa pelemahan dolar tak lepas dari meningkatnya kekhawatiran akan potensi resesi di AS. Trump memang datang dengan gaya lama: gemar mengguncang status quo, bermain di medan tarif, dan menempatkan China sebagai musuh nomor satu. Tapi kali ini, strategi tersebut seperti menembak kaki sendiri.
Pemerintahan Trump telah menetapkan tarif dasar terhadap China sebesar 145%—angka mencengangkan yang bahkan melampaui janji kampanyenya sendiri yang hanya 60%. Tak berhenti di sana, Trump juga nyaris menerapkan tarif menyeluruh 10% ke seluruh dunia, sebelum akhirnya memilih menunda rencananya selama 90 hari untuk semua negara kecuali China.
Tindakan ini, menurut Trump, diambil karena “orang-orang mulai berisik dan takut.” Tapi pasar lebih dari sekadar ‘berisik’. Mereka resah. Mereka menilai kebijakan ini bukan sebagai langkah proteksi, melainkan bentuk isolasi ekonomi yang tak bijak.
China sendiri tak tinggal diam. Negeri Tirai Bambu menaikkan tarif balasan terhadap AS menjadi 84%. Perang dagang yang seharusnya bisa diselesaikan lewat meja perundingan kini menjelma menjadi pertandingan ego, dengan risiko besar bagi kestabilan ekonomi global.
Strategi Trump juga mencerminkan manuver geopolitik yang lebih luas. Dalam menyusun blok perdagangan alternatif, tim ekonominya mulai mendekati Korea Selatan, Jepang, India, hingga Vietnam. Langkah ini tampak sebagai upaya untuk membentuk barikade ekonomi guna menekan posisi China. Tapi tanpa kerja sama yang kuat dan strategi diplomatik yang seimbang, ini justru bisa menjadi bumerang yang merugikan semua pihak.
Kini, dunia menyaksikan, apakah Trump bisa mengendalikan arah kebijakan dengan lebih hati-hati, atau justru kembali menjadi arsitek dari ketidakpastian ekonomi global. Yang jelas, dolar—sebagai barometer kekuatan AS—sedang berbicara lantang: pasar tidak lagi sebegitu yakin pada janji-janji populis yang penuh risiko.
News
Gejolak di Tubuh Militer Israel
Ratusan prajurit, perwira, dan dokter militer Israel menyerukan penghentian perang Gaza dan pembebasan sandera, menandai gelombang pembangkangan dalam tubuh militer terhadap kebijakan Netanyahu.

Published
21 hours agoon
11/04/2025By
Natsir Amir
Monitorday.com – Gelombang pembangkangan mengguncang militer Israel. Ratusan prajurit, dokter, dan perwira cadangan menolak perpanjangan agresi di Gaza, menuntut pembebasan sandera dan diakhirinya perang.
Tel Aviv kembali diguncang suara dari dalam tubuhnya sendiri. Lebih dari 1.000 anggota dan mantan personel cadangan Angkatan Udara Israel pada Kamis (10/4) secara terbuka menyatakan sikap menentang kelanjutan perang melawan Hamas di Jalur Gaza. Mereka menuntut satu hal yang kini menjadi suara publik yang tak bisa dibungkam: hentikan perang, selamatkan para sandera.
Dengan nada tegas dan penuh kecemasan, mereka menyampaikan pesan lewat surat terbuka yang dipublikasikan di berbagai media arus utama Israel. “Kelanjutan perang tidak lagi mendorong tercapainya tujuan-tujuan yang telah diumumkan dan justru akan menyebabkan kematian para sandera, tentara IDF, dan warga sipil tak bersalah,” tulis mereka, menyoroti dampak yang tak lagi bisa dibenarkan dari serangan militer Israel di Gaza.
Di antara mereka yang menandatangani surat tersebut terdapat nama besar: Dan Halutz, mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel, yang kini secara terbuka mengkritik kebijakan pemerintahan Netanyahu. Namun, respons dari pucuk kekuasaan tak kalah keras. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu langsung mengecam mereka, menyebut kelompok tersebut sebagai “ekstremis pinggiran” yang berusaha memecah belah bangsa dan menggulingkan pemerintahannya.
Pernyataan Netanyahu diikuti oleh Israel Katz, Menteri Pertahanan, yang menganggap surat tersebut sebagai upaya merusak legitimasi perang di Gaza. Ia mendesak petinggi militer untuk menindak para pembangkang ini dengan pendekatan yang dianggap paling tepat. Harian Haaretz melaporkan bahwa Kepala Angkatan Udara telah memecat sebagian personel cadangan yang menandatangani surat tersebut, meski tak dijelaskan secara rinci jumlahnya.
Gelombang pembangkangan tidak berhenti di udara. Hampir 150 perwira Angkatan Laut juga mengirimkan petisi menuntut pemerintah menghentikan perang. Aksi ini dengan cepat memicu reaksi berantai. Channel 12 melaporkan bahwa ratusan personel cadangan di Korps Lapis Baja dan Angkatan Laut juga ikut menandatangani surat serupa, mendesak penghentian agresi militer dan pemulangan para sandera.
Puncaknya, puluhan dokter militer cadangan turut bersuara. Mereka mengirimkan surat langsung kepada Menteri Pertahanan Israel dan Kepala Staf Umum, Eyal Zamir. “Kami, para dokter dan tenaga medis cadangan, menuntut pemulangan segera para sandera dan penghentian perang di Jalur Gaza,” demikian isi surat yang disiarkan kanal tersebut. Para tenaga medis ini menyatakan bahwa perang yang berlarut-larut lebih mencerminkan kepentingan politik dan pribadi daripada tujuan keamanan nasional.
Israel menyatakan masih ada 59 sandera di Gaza, dan setidaknya 22 di antaranya diyakini masih hidup. Para pembangkang menekankan bahwa pembebasan mereka hanya mungkin terjadi melalui penghentian total perang. Padahal, pada awal tahun, Israel disebut-sebut melanggar kesepakatan gencatan senjata fase kedua yang seharusnya mencakup penarikan pasukan dan pertukaran tahanan.
Sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, agresi balasan Israel telah menewaskan lebih dari 50.800 warga Palestina dan menghancurkan sebagian besar infrastruktur Gaza. Di tengah krisis kemanusiaan dan kritik internasional yang memuncak, tekanan dari dalam kini menjadi ancaman paling nyata terhadap fondasi narasi perang Netanyahu.
Kasus ini bahkan memasuki ranah hukum internasional. Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang. Di saat yang sama, gugatan genosida terhadap Israel sedang bergulir di Mahkamah Internasional (ICJ).
Apa yang semula terlihat sebagai monolit kesatuan kini mulai retak dari dalam. Seruan dari udara, laut, darat, dan rumah sakit kini menyatu dalam satu suara: akhiri perang, selamatkan nyawa. Dinamika ini bisa menjadi titik balik — bukan hanya bagi para sandera, tapi juga bagi arah kebijakan militer Israel ke depan.
Review
Tarif Membara: Trump Naikkan ke 125%
Trump menaikkan tarif impor China jadi 125 persen, memanaskan tensi dagang global, sementara negara lain diberi kelonggaran negosiasi selama 90 hari.

Published
2 days agoon
10/04/2025By
Natsir Amir
Monitorday.com – “Perdagangan tanpa keadilan adalah jalan menuju konflik. Keseimbangan tarif adalah cermin dari penghormatan antar bangsa.”
Perang dagang antara dua raksasa ekonomi dunia kembali meletup lebih panas dari sebelumnya. Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali mengejutkan publik internasional dengan keputusan agresif: menaikkan tarif impor barang asal China menjadi 125 persen. Langkah ini diumumkan Trump melalui akun Instagram pribadinya, menyusul tindakan balasan China yang menetapkan tarif 84 persen terhadap barang-barang asal AS.
Langkah Trump yang dinilai penuh kalkulasi politik dan ekonomi itu diumumkan akan berlaku segera, tepat pada tengah malam waktu setempat. “Karena kurangnya rasa hormat yang ditunjukkan China kepada Pasar Dunia, dengan ini saya menaikkan tarif yang dikenakan ke China oleh Amerika Serikat menjadi 125 persen, berlaku segera,” tulis Trump penuh nada kecaman.
Tak berhenti di sana, Trump juga menegaskan bahwa ia memberikan kelonggaran kepada negara-negara lain dengan menangguhkan sementara tarif impor selama 90 hari. Kelonggaran itu dimaksudkan sebagai jendela diplomasi bagi pejabat AS untuk melakukan negosiasi dagang dengan negara-negara mitra, sembari tetap menegaskan ketegasan terhadap China.
“Suatu saat, mudah-mudahan dalam waktu dekat, China akan menyadari bahwa hari-hari menipu AS, dan negara-negara lain, tidak lagi berkelanjutan atau dapat diterima,” tambah Trump dalam unggahan tersebut. Pernyataan itu mengisyaratkan kekecewaan mendalam terhadap Beijing dan menggambarkan eskalasi hubungan yang kian menegang antara dua negara adidaya tersebut.
Kebijakan terbaru ini memperbesar jurang konflik yang telah lama membayangi perdagangan global. Setelah sebelumnya menetapkan tarif sebesar 34 persen kepada China pekan lalu, Trump kembali melipatgandakan tekanannya dengan tambahan 50 persen, hingga total tarif mencapai angka fantastis 125 persen. Angka ini jauh melampaui tarif rata-rata sebesar 20,8 persen yang telah diberlakukan terhadap China sejak masa pemerintahan Presiden Joe Biden.
Langkah balasan dari China pun tak kalah keras. Beijing mengumumkan tarif sebesar 84 persen untuk berbagai produk asal AS. Balasan ini memperlihatkan bahwa kedua negara tidak lagi bermain di zona diplomasi lunak, melainkan telah terjebak dalam spiral aksi balasan tarif yang semakin tajam dan mengancam stabilitas ekonomi global.
Sementara itu, laporan Reuters menyebutkan bahwa Gedung Putih tetap akan memberlakukan tarif sebesar 10 persen terhadap hampir seluruh impor AS, meskipun pengumuman terbaru ini tidak mempengaruhi bea masuk terhadap sejumlah produk strategis seperti otomotif, baja, dan alumunium. Hal ini menjadi isyarat bahwa meskipun Trump memperlihatkan sikap keras terhadap China, ia tetap menjaga keseimbangan dalam sektor industri tertentu di dalam negeri.
Kebijakan ini langsung mendapat perhatian besar dari pelaku pasar internasional, investor, hingga negara-negara mitra dagang AS lainnya. Banyak pihak mengkhawatirkan bahwa langkah ekstrem ini akan memicu ketidakpastian pasar, memperlambat arus perdagangan global, serta memunculkan risiko inflasi baru, terutama di sektor barang konsumsi yang terdampak langsung oleh lonjakan tarif.
Energi politik Trump kali ini jelas diarahkan pada satu pesan kuat: Amerika tidak akan mundur ketika merasa ditipu. Dengan gaya retoris yang khas dan keputusan yang tak terduga, Trump menempatkan Washington dalam posisi ofensif yang menuntut konsesi atau perlawanan habis-habisan dari Beijing.
Kini dunia menahan napas, menunggu babak selanjutnya dalam drama perang tarif antara dua ekonomi terbesar dunia. Satu hal yang pasti, dengan tarif membara hingga 125 persen, Amerika Serikat telah menyalakan kembali bara konflik dagang yang bisa meluas lebih jauh dari sekadar angka-angka bea masuk.
Review
Pahlawan Laut, Penjaga Masa Depan Bangsa
Prof. Rokhmin Dahuri menyuarakan penghargaan bagi nelayan sebagai pahlawan pangan laut dan menyerukan perlindungan serta kebijakan berkelanjutan demi laut dan masa depan bangsa.

Published
6 days agoon
06/04/2025By
Natsir Amir
Monitorday.com – Setiap tanggal 6 April, Indonesia memperingati Hari Nelayan Nasional. Di tengah gelombang perubahan zaman dan tantangan global, suara lantang apresiasi kembali menggema dari Anggota DPR RI, Fraksi PDIP, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS.
Tokoh Nelayan Nasional ini pun menyebut bahwa para nelayan sebagai pahlawan ketahanan pangan laut yang berperan penting dalam menjaga kedaulatan perairan dan masa depan bangsa. Tapi lebih dari sekadar ucapan, ini adalah panggilan untuk aksi nyata—sebuah peringatan yang harus menjadi titik balik menuju laut yang lebih adil, lestari, dan menjanjikan bagi para pejuangnya.
“Terima kasih atas kerja keras, keberanian, dan keteguhan kalian dalam menghadapi ombak dan badai demi membawa hasil laut untuk bangsa,” ucap Prof. Rokhmin Dahuri .
Pernyataan ini bukan sekadar basa-basi. Setiap kata memuat energi penghargaan yang dalam terhadap para nelayan Indonesia—sosok yang kerap luput dari sorotan, padahal berada di garis depan menjaga kedaulatan laut dan menyuplai pangan bagi jutaan rakyat.
Dalam peringatan Hari Nelayan Indonesia 6 April 2025, Guru Besar IPB University ini tak hanya menyuarakan rasa hormat, tetapi juga menyalakan kembali semangat kolektif untuk memperkuat posisi nelayan di negeri maritim ini. Sebagai tokoh kelautan nasional, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, dan Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Kelautan dan Perikanan, komitmennya untuk nelayan bukan perkara sesaat. Ini perjuangan panjang—dan konsisten.
Laut, bagi Prof. Rokhmin, bukan hanya hamparan biru yang memikat mata. Ia adalah sumber kehidupan dan denyut ekonomi utama negeri ini. Ia menyebut laut sebagai masa depan bangsa. Ungkapan ini mencerminkan keyakinan kuat bahwa pembangunan Indonesia tak akan utuh tanpa kemajuan sektor kelautan dan perikanan. Dan di tengahnya, nelayan memegang peran sentral.
Namun, menjadi nelayan di Indonesia bukanlah perkara mudah. Tantangan datang silih berganti—dari cuaca ekstrem, harga jual hasil tangkapan yang tak menentu, hingga akses terhadap teknologi dan modal yang masih timpang. Maka, dalam pernyataannya, Prof Rokhmin menegaskan perlunya dukungan nyata dari negara. Mulai dari kebijakan yang berpihak, akses permodalan yang inklusif, hingga infrastruktur tangkap dan budidaya yang modern, adil, dan berkelanjutan.
Ia juga menggarisbawahi pentingnya pendekatan ekonomi biru—sebuah kerangka pembangunan yang menggabungkan produktivitas ekonomi dengan kelestarian lingkungan laut. Konsep ini menjadi jawaban atas kebutuhan untuk menjaga keseimbangan antara eksploitasi dan konservasi. Karena tanpa laut yang sehat, nelayan takkan bisa melaut. Dan tanpa nelayan yang kuat, laut kehilangan penjaganya.
Hari Nelayan Indonesia kali ini, menurut Prof. Rokhmin, harus dimaknai lebih dari sekadar seremonial tahunan. Ini adalah momentum untuk mengkonsolidasikan langkah-langkah konkret—dari pusat hingga daerah, dari parlemen hingga masyarakat pesisir. Memberdayakan nelayan bukan hanya soal bantuan sesaat, tapi tentang membangun sistem yang menjamin keberlanjutan profesi mereka di masa depan.
Ajakan terakhirnya menggetarkan, “Mari kita jaga laut, lindungi nelayan, dan bangun masa depan bangsa dari birunya samudra.” Energi dalam kata-kata ini memancarkan semangat kolaborasi dan kepedulian. Sebab menjaga laut berarti menjaga kehidupan. Melindungi nelayan berarti melindungi masa depan Indonesia sebagai negara maritim yang berdaulat.
Maka, di Hari Nelayan Indonesia ini, mari bertutur tentang mereka dengan bangga. Mereka bukan sekadar pencari ikan, tapi penjaga gizi, pemikul harapan, dan pejuang sejati di birunya samudra. Dan saat kita bicara tentang pembangunan Indonesia ke depan, jangan lupakan satu hal: laut adalah panggung masa depan, dan nelayan adalah aktornya.
Review
Open Statement Menkeu AS Mesti di Balas dengan Strategi
Tarif impor AS jadi ujian kedaulatan ekonomi. Indonesia perlu sikap tegas, bukan tunduk. Presiden Prabowo ditantang buktikan keberanian menghadapi tekanan global.

Published
6 days agoon
06/04/2025By
Natsir Amir
Monitorday.com – Dunia kembali diguncang oleh kebijakan unilateral Amerika Serikat. Presiden Donald Trump, dalam langkah kontroversialnya yang terbaru, memutuskan untuk memberlakukan tarif tambahan sebesar 10% terhadap semua barang impor yang masuk ke Negeri Paman Sam mulai 5 April 2025. Tak berhenti di situ, negara-negara dengan defisit perdagangan besar terhadap AS akan dikenai tarif lebih tinggi lagi, efektif 9 April 2025. Ini bukan hanya kebijakan ekonomi, ini adalah sinyal kuat bahwa AS ingin mengatur permainan perdagangan dunia sesuai kehendaknya sendiri.
Yang lebih menyakitkan dari tarif itu sendiri adalah pernyataan Menkeu AS Scott Bessent. Dengan enteng ia menyarankan negara-negara terdampak untuk diam dan tidak membalas. Alasannya? Untuk menghindari eskalasi perang dagang global. Ironis, ketika pelaku agresi menyuruh korban untuk tetap tenang. Ini bukan diplomasi, ini intimidasi ekonomi berbungkus retorika damai.
Indonesia, sebagai salah satu negara yang punya neraca dagang positif dengan Amerika Serikat, jelas tak bisa berpura-pura tidak terdampak. Tarif impor baru ini bisa memukul ekspor kita, mempersempit akses pasar, dan mengguncang sektor-sektor yang selama ini bertumpu pada ekspor ke AS—mulai dari tekstil, alas kaki, elektronik, hingga produk agrikultur. Namun, yang paling krusial sekarang bukanlah seberapa besar dampaknya, tapi bagaimana sikap kita sebagai bangsa.
Beberapa negara besar sudah memberi sinyal perlawanan. China memperingatkan akan membalas secara proporsional. Uni Eropa mulai mengkaji tarif balasan untuk produk-produk unggulan AS. Lalu Indonesia? Apakah kita cukup hanya menggeleng dan berharap badai ini cepat berlalu?
Presiden Prabowo Subianto kini berdiri di persimpangan krusial. Di satu sisi, menjaga hubungan baik dengan AS adalah penting, mengingat posisinya sebagai mitra strategis dan investor besar. Namun di sisi lain, membiarkan negara ini tunduk pada tekanan sepihak hanya akan memperlemah posisi Indonesia di mata dunia. Kita akan terlihat pasif, mudah dikendalikan, dan kehilangan wibawa dalam diplomasi internasional.
Solusinya bukan semata-mata membalas dengan tarif 50% terhadap produk Amerika—meski langkah itu tetap patut dikaji serius—tetapi menunjukkan bahwa Indonesia tidak akan tunduk pada tekanan. Kita bisa bersinergi dengan negara-negara berkembang lain, membentuk blok diplomatik baru yang menuntut keadilan dalam perdagangan internasional. Kita bisa memperkuat pasar dalam negeri dan memperluas ekspor ke kawasan Asia, Afrika, dan Timur Tengah yang potensial. Kita bisa mempercepat hilirisasi industri agar ketergantungan pada ekspor bahan mentah berkurang drastis.
Apa pun pilihannya, diam bukanlah jawaban. Ini bukan sekadar perang tarif, ini ujian kedaulatan ekonomi. Jika Indonesia ingin menjadi kekuatan global, kita tak bisa terus-menerus bersikap reaktif dan lunak. Kepemimpinan Prabowo akan dinilai bukan dari seberapa sering ia bicara soal kemandirian, tetapi dari keberanian mengambil langkah tegas saat kedaulatan ekonomi dipertaruhkan.
Open statement seperti milik Scott Bessent harus dijawab dengan strategi, bukan dengan kekhawatiran. Dunia sedang berubah. Perdagangan global bukan lagi sekadar soal ekspor-impor, tapi soal harga diri bangsa. Sudah saatnya Indonesia meletakkan pondasi kebijakan luar negeri yang tegas, berani, dan setara. Kita tak bisa terus-menerus berada dalam posisi menunggu. Kita harus bertindak, dan dunia harus tahu: Indonesia tidak bisa ditekan seenaknya
Review
Tarif Dagang USA Buat Prabowo Semakin Gas Produk Lokal
Ketika kebijakan tarif dagang Amerika mengguncang pasar global, kita membayangkan Presiden Prabowo melihatnya sebagai peluang emas untuk membangkitkan semangat nasionalisme konsumsi—dari kopi hingga ayam goreng lokal.

Published
7 days agoon
05/04/2025By
Natsir Amir
Monitorday.com – Di tengah hiruk-pikuk kebijakan proteksionis Amerika Serikat yang memukul banyak negara dengan tarif dagang tinggi, ada satu negara yang tidak limbung—Indonesia. Bahkan, boleh berharap kepada Presiden Prabowo Subianto untuk menyambut kebijakan ini dengan antusiasme yang tidak biasa.
Alih-alih mengeluh atau menunjukkan sikap resisten, beliau memanfaatkannya sebagai momentum strategis untuk menghidupkan kembali gairah konsumsi produk lokal.
Kita berandai-andai jika Presiden Prabowo berdiri di tengah kerumunan rakyat, mengangkat secangkir kopi Aceh panas sambil berkata lantang, “Saatnya kita minum kopi kita sendiri. Kopi Aceh, kopi Toraja, kopi Flores. Inilah rasa Indonesia!” Sebuah gestur kecil, tapi dengan makna besar: kebangkitan identitas nasional lewat gaya hidup.
Jika ini betul adanya, tentu harus diapresiasi. Pertanyaannya? masih belum tahu kapan itu terjadi.
Sudah terlalu lama kita berada dalam bayang-bayang amerikanisasi. Makanan cepat saji, film Hollywood, jeans Levi’s, dan kopi Starbucks—semua itu menjadi simbol status dan tren global. Tapi kebijakan Trump, secara tidak langsung, menjadi tamparan yang membangunkan kesadaran baru. Kalau dulu kita bangga minum kopi americano, sekarang waktunya menyeruput “Kanadiano” versi Kanada, atau kopi Gayo yang harum semerbak khas Indonesia. Negara-negara lain pun mulai mengikuti jejak ini—Perancis beralih dari Levi’s ke denim lokal, dan Kanada mengganti kopi waralaba Amerika dengan racikan khas sendiri. Dunia sedang berbalik arah.
Indonesia tidak boleh tertinggal. Bahkan, ini kesempatan langka untuk melesat ke depan. Presiden Prabowo dengan penuh semangat mengajak masyarakat mengganti kopi impor dengan kopi lokal, dan ayam goreng dari raksasa global diganti dengan Rocket Chicken, Hisana, Sabana, dan waralaba lokal lainnya yang tak kalah lezat dan merakyat. Dengan langkah ini, pemerintah tidak hanya melindungi ekonomi dalam negeri, tetapi juga merawat kebanggaan akan produk sendiri.
Bayangkan betapa dahsyatnya dampak gerakan ini jika digaungkan secara nasional. Bayangkan restoran di rest area tol Trans Jawa menjajakan kopi Kintamani atau robusta Temanggung, bukan latte dari brand global. Bayangkan anak muda nongkrong di kafe dengan seduhan kopi Papua yang eksotis, bukan frappuccino yang sudah kehilangan cita rasa lokal. Kita bukan anti globalisasi, tapi sudah waktunya kita berdiri dengan identitas sendiri.
Gerakan ini tidak sekadar bicara soal ekonomi, tapi juga menyentuh aspek budaya, gaya hidup, bahkan kepercayaan diri bangsa. Konsumsi adalah pernyataan sikap. Saat kita memilih produk lokal, kita sedang menyatakan: “Saya bangga menjadi Indonesia.”
Kita pun berdoa agar Presiden Prabowo paham, bahwa kejayaan suatu bangsa tak hanya dibangun dari kekuatan militer atau diplomasi, tapi juga dari bagaimana rakyatnya mencintai dan menggunakan produk dari tanahnya sendiri. Ini bukan sekadar strategi politik, melainkan semangat membangun ketahanan ekonomi dari akar rumput.
Dan ketika dunia mulai melindungi dirinya sendiri, saatnya kita juga melakukannya—bukan dengan menutup diri, tapi dengan mengangkat tinggi apa yang kita miliki.
Mungkin, inilah momen yang ditunggu-tunggu. Ketika dunia sedang mengerem laju globalisasi, Indonesia justru menyalakan mesin dalam negeri. Saatnya kedai kopi lokal di sudut jalan mendapat tempat setara dengan kafe waralaba asing.
Saatnya ayam goreng buatan anak bangsa bersaing di panggung utama. Dan saatnya Presiden Prabowo berdiri di barisan depan, memimpin gerakan bangga konsumsi produk Indonesia. Semoga harapan dan doa rakyat di ejawantahkan Bapak Presiden.
Review
Stop Bahas Identitas, Ayo Berdaya!
Hentikan narasi perpecahan soal identitas. Saatnya ormas Islam fokus pada pemberdayaan umat melalui aksi nyata, bukan debat tanpa arah.

Published
7 days agoon
05/04/2025By
Diana Sari N
Monitorday.com – Sangat disayangkan, ketika dunia bergerak cepat dan umat Islam di berbagai belahan dunia berlomba mencetak prestasi ekonomi dan sosial, ada sebagian kecil oknum ormas di negeri ini yang justru masih sibuk mempertengkarkan hal-hal remeh. Mereka terus mengangkat isu identitas yang kian basi—bahas habib, debat jenggot, sindir sarung, mempertentangkan Arab dan non-Arab. Padahal, yang benar-benar dibutuhkan umat saat ini bukan narasi perpecahan, tapi narasi pemberdayaan.
Ironisnya, kita masih temui di group-group media sosial, masih ada saja video dan narasi ancaman yang memiliki tendensi membakar emosi daripada menyalakan semangat perubahan. Imbasnya, mereka lupa soal ekonomi yang saat ini masih jauh dari kata sejahtera. Lantas, sampai kapan umat dibawa berputar-putar dalam pusaran konflik identitas tanpa arah yang jelas?
Sudah waktunya energi umat diarahkan ke jalur yang produktif. Daripada terus-terusan debat soal siapa yang paling “Indonesia”, lebih baik duduk bareng membangun koperasi. Daripada sibuk menuding siapa yang paling “nusantara”, lebih baik merancang strategi pengembangan UMKM. Dunia butuh solusi, bukan orasi kosong. Umat butuh aksi nyata, bukan diksi pemecah belah.
Mari berkaca pada organisasi masyarakat yang telah berhasil mentransformasikan potensi umat menjadi kekuatan sosial-ekonomi yang nyata. Ada yang telah mendirikan ribuan sekolah dari Sabang sampai Merauke, membangun rumah sakit yang terstandar internasional, merintis perguruan tinggi dengan reputasi yang diperhitungkan, bahkan mendirikan cabang amal usaha di luar negeri. Mereka tidak sibuk berteriak di podium, tapi bekerja dalam senyap untuk kebermanfaatan umat.
Inilah saatnya meninggalkan retorika sempit dan menggantinya dengan kerja nyata. Umat tidak butuh lagi narasi “kami dan mereka”. Yang dibutuhkan adalah narasi kolaborasi, narasi tentang membangun, menguatkan, dan memberdayakan. Jangan sampai umat Islam terjebak menjadi penonton di negeri sendiri, sibuk bertengkar soal simbol sementara dunia sudah bicara soal teknologi, inovasi, dan kemandirian ekonomi.
Bayangkan jika seluruh ormas Islam bersatu dalam visi pemberdayaan umat. Setiap majelis taklim menjadi pusat literasi keuangan. Setiap pesantren mengajarkan kewirausahaan dan digital marketing. Setiap pengajian menjadi ruang belajar inovasi sosial. Bukankah lebih indah ketika masjid tidak hanya menjadi tempat sujud, tetapi juga tempat umat bangkit secara ekonomi?
Kita punya warisan keilmuan dan semangat kebersamaan yang luar biasa. Jangan dikerdilkan dengan wacana yang memecah belah. Bangun narasi baru: narasi pemberdayaan. Karena sejatinya, keberislaman seseorang tidak ditentukan oleh panjang jenggotnya atau gaya sorbannya, tapi oleh kontribusinya dalam memajukan umat.
Bukankah negara ini lama sekali merdeka itu karena suburnya perpecahan. Lihat betapa suksesnya devide et empera yang dilancarkan belanda melalui Christiaan Snouck Hurgronje , Orientalis Belanda.
Pernyataan tersebut menyoroti keberhasilan strategi divide et impera Belanda, khususnya melalui figur seperti Christiaan Snouck Hurgronje, dalam memecah belah umat Islam di Hindia Belanda. Snouck memanfaatkan studi orientalisnya untuk mengklasifikasikan umat berdasarkan etnis dan praktik keagamaan, memicu pertentangan internal antara kelompok Arab dan non-Arab. Hal ini memperlemah kekuatan kolektif umat Islam dalam melawan kolonialisme.
Perpecahan yang ditanamkan bukan hanya taktis, tapi juga ideologis, menjadikan umat sibuk dengan konflik identitas dan isu furu’iyah (cabang), sementara penjajah memperkuat cengkeramannya. Kritik atas kondisi ini bukan sekadar nostalgia sejarah, tapi refleksi atas pola perpecahan yang masih relevan. Ketika narasi persatuan digantikan oleh perdebatan identitas dan sektarianisme, maka semangat kemerdekaan pun terkikis. Bangsa yang besar seharusnya belajar dari sejarah, bukan mengulanginya dalam bentuk baru yang lebih halus.
Jika terus menerus membahas isu remeh temeh, lantas apa bedanya kita dengan Snouck Hurgronje? Apakah kita juga mau mewarisi kebiadaban Belanda. Sudahlah, hentikan narasi melalui video atau tulisan yang terlihat jauh dari kata “kemajuan”.
Sudah cukup waktu kita terbuang untuk debat kusir yang tidak menghasilkan apa-apa. Saatnya ormas-ormas Islam berlomba menghadirkan solusi, bukan kontroversi. Jadilah pelita di tengah kegelapan, bukan bara api yang menyulut perpecahan. Umat butuh pemimpin yang merangkul, bukan yang menghakimi. Butuh penggerak yang bekerja, bukan penceramah yang hanya bicara.
Kini, mari kita hentikan drama identitas dan fokus pada satu hal yang jauh lebih penting: memberdayakan umat. Karena pada akhirnya, sejarah akan mencatat bukan siapa yang paling vokal dalam berdebat, tapi siapa yang paling nyata dalam bergerak.
Review
Warung Madura, Jawaban Lokal atas Hegemoni Global
Warung Madura membuktikan bahwa kekuatan lokal bisa menandingi gempuran global. Dengan strategi sederhana dan loyalitas pelanggan, mereka tetap tangguh menghadapi krisis apa pun.

Published
1 week agoon
04/04/2025By
Natsir Amir
Monitorday.com – Ketika gempuran Indomaret, Alfamart, hingga perang dagang Amerika mengguncang perekonomian, ada satu kekuatan ekonomi rakyat yang tetap berdiri dengan santai: Warung Madura. Tanpa subsidi, tanpa buzzer, tapi selalu ramai pelanggan.
Kalau Amerika sibuk perang dagang, China main tarif impor, dan elit-elit ekonomi debat soal makro dan mikro, Warung Madura cuma nyengir sambil ngitung kembalian. Di tengah ketidakpastian global, mereka punya satu strategi yang tak pernah gagal: buka 24 jam, senyum 24 jam, dan stok mi instan yang tak pernah putus. Ya, kalau dunia ini game strategi, Warung Madura sudah auto win dengan modal receh dan semangat ngopi.
Coba saja tanya anak kos, ojek online, atau bapak-bapak yang kehabisan rokok tengah malam. Pasti jawabannya satu: “Untung ada Warung Madura.” Nggak peduli jam berapa, hari apa, bahkan saat lebaran, warung ini tetap siaga seperti prajurit militer yang setia menjaga pos. Tapi jangan salah, penjaga warungnya bukan tentara. Biasanya suami istri yang kerja bergantian. Siang giliran istri, malam giliran suami. Jadi kalau kamu lihat ada ibu-ibu ngantuk di balik etalase, atau bapak-bapak yang sibuk video call tengah malam, itu bukan drama Korea—itu strategi shift warung level keluarga.
Di balik kesederhanaannya, Warung Madura punya filosofi yang lebih dalam dari skripsi ekonomi manapun: efisiensi, ketekunan, dan keberanian. Coba bayangkan, mereka tidak punya tim riset pasar, tapi tahu pasti stok yang dibutuhkan masyarakat. Mereka tidak butuh data big data, tapi hafal siapa yang suka utang dan siapa yang bayar kontan. Bahkan, mereka tidak perlu gimmick diskon palsu, karena harga mereka memang real tanpa embel-embel “hemat sekian persen”.
Yang lebih menarik, banyak warung Madura kini merangkap jadi SPBU mini. Kamu bisa beli telur, kopi, rokok, sekaligus ngisi bensin motor. Lengkap, kan? Kadang rasanya kayak semesta berkonspirasi bikin kamu tetap hidup walau dompet tipis. Bahkan, kalau nanti negara-negara besar memutuskan embargo ekonomi, jangan khawatir—Warung Madura tetap buka dan tetap ada stok Indomie.
Mereka juga bukan sekadar toko. Warung Madura adalah pusat interaksi sosial. Tempat nongkrong gratis, tempat curhat tetangga, bahkan kadang jadi tempat ngumpet dari pacar. Mereka adalah simpul dari ekonomi lokal yang sering dilupakan, tapi justru paling bisa diandalkan.
Lucunya, di tengah semua krisis global dan gelombang digitalisasi, Warung Madura seperti tidak terpengaruh. Mereka tidak punya aplikasi, tidak menerima QRIS (meskipun sekarang mulai merambah), dan kadang masih nulis utang pakai buku kecil sobek-sobekan. Tapi justru di sanalah letak keindahannya. Di saat semuanya berlari menuju otomatisasi, mereka tetap manusiawi. Ada senyum, ada sapa, ada kepercayaan.
Mungkin sudah waktunya kita belajar dari mereka. Kalau elite ekonomi berpikir keras tentang bagaimana menyelamatkan UMKM, ya jawabannya sudah ada di ujung gang—Warung Madura. Bahkan, konsep “Warung Madurarisasi” harusnya jadi kebijakan nasional: warung kecil yang kuat, dikelola keluarga, buka 24 jam, dan tahan banting menghadapi apa pun, dari cuaca ekstrem sampai krisis global.
Warung Madura adalah bukti bahwa lokal tidak kalah dari global. Mereka tidak hanya bertahan—mereka mendominasi. Jadi, kalau kamu masih bingung cari strategi bisnis yang anti-resesi, jawabannya sederhana: belajar dari warung kecil yang selalu terang di tengah malam, dan tak pernah takut dengan gempuran siapa pun.
Review
Hati-hati Upload Photo dan Narasi via Medsos di Era Post Truth
Di era post-truth, “kebenaran bukan sekadar fakta, tetapi keberanian untuk memilah dan menyaring informasi dengan bijak.”

Published
1 week agoon
04/04/2025By
N Ayu Ashari
Monitorday.com – Dunia digital bergerak cepat, dan media sosial menjadi panggung utama bagi ekspresi diri. Satu foto atau narasi yang diunggah dapat menyebar luas dalam hitungan detik, memengaruhi opini publik, bahkan mengubah persepsi seseorang terhadap realitas. Namun, apakah semua yang kita lihat di linimasa benar adanya?
Era post-truth membuat batas antara fakta dan manipulasi semakin kabur. Foto bisa diedit, konteks bisa dipelintir, dan narasi bisa dikonstruksi sedemikian rupa untuk membentuk opini tertentu. Ketika emosi lebih dominan daripada fakta, informasi yang viral sering kali bukan yang paling benar, melainkan yang paling menggugah perasaan.
Bijaklah dalam berbagi! Periksa sumber, pahami konteks, dan tanyakan pada diri sendiri: “Apakah ini fakta atau sekadar rekayasa opini?” Jangan sampai kita menjadi bagian dari rantai penyebar misinformasi.
Diketahui, sebuah unggahan di media sosial membuat geger warganet. Seorang perwira pertama Polres Labuhanbatu Selatan (Labusel), Sumatera Utara, Iptu CS, dituding terlibat pesta narkoba dan jaringan peredaran barang haram. Unggahan yang pertama kali muncul di akun Facebook Putri Tanjung itu menuai perhatian, meski akhirnya dihapus. Namun, narasi tersebut kembali menyebar setelah akun Facebook Lacin Lacin mengunggah ulang informasi serupa dan mendesak pihak berwenang untuk bertindak.
Kabar ini pun cepat menyebar ke berbagai media lokal, menciptakan gelombang pertanyaan dan spekulasi di masyarakat. Polisi pun segera merespons. Kasi Propam Polres Labusel, AKP DP Tarigan, didampingi Kasi Humas AKP Sujono, menyatakan bahwa pihaknya telah melakukan penyelidikan terhadap dugaan tersebut. Hasilnya, Iptu CS dinyatakan tidak terbukti mengonsumsi narkoba.
Tes urine langsung dilakukan untuk memastikan kebenaran isu yang beredar. “Hasil tes urine yang kita lakukan terhadap oknum yang bersangkutan menunjukkan negatif narkoba,” ungkap AKP DP Tarigan, Kamis (3/4) malam. Penyelidikan ini merupakan tindak lanjut dari perintah Kapolres Labusel, AKBP Aditya SP Sembiring, yang meminta klarifikasi menyeluruh atas tuduhan tersebut.
Dalam langkah awal penyelidikan, Kasi Propam Polres Labusel memanggil Iptu CS dan istrinya, HP, untuk dimintai keterangan. Tak hanya itu, Unit Paminal Polres Labusel juga melakukan patroli cyber pada Rabu (2/4/2025) dan menemukan unggahan akun Facebook Putri Tanjung yang menyudutkan Iptu CS. Berdasarkan pemeriksaan lebih lanjut, foto-foto yang digunakan dalam unggahan tersebut ternyata merupakan foto lama dan tidak relevan dengan tuduhan yang dibuat.
Pada Kamis (3/4) siang, Iptu CS kembali menjalani tes urine di ruang Provos Propam Polres Labusel. Hasilnya tetap sama: negatif amphetamine. Fakta lain yang terungkap adalah bahwa pada Selasa (1/4/2025), Iptu CS sedang menangani pengembangan kasus dugaan pembunuhan di wilayah hukum Polsek Silangkitang. Bahkan, pelaku berhasil diamankan, yang semakin memperjelas bahwa keterlibatan Iptu CS dalam pesta narkoba hanyalah tuduhan tanpa dasar.
Tak hanya menelusuri dugaan keterlibatan Iptu CS, polisi juga meminta klarifikasi dari HP, istri Iptu CS. Menariknya, HP tidak mempermasalahkan viralnya unggahan tersebut, meski isu ini sempat mencoreng nama baik suaminya. Fakta ini semakin memperkuat dugaan bahwa unggahan yang menyebar di media sosial hanya didasarkan pada asumsi dan bukan bukti konkret.
Kasus ini menyoroti bagaimana media sosial dapat menjadi alat yang kuat dalam menyebarkan informasi—baik yang benar maupun yang keliru. Di era digital, sebuah unggahan bisa dengan mudah memicu reaksi berantai, menciptakan opini publik yang terkadang tak sesuai dengan fakta. Kecepatan penyebaran informasi sering kali tidak diiringi dengan verifikasi yang memadai, sehingga bisa merugikan pihak-pihak tertentu.
Meskipun Iptu CS telah dinyatakan tidak terbukti bersalah, kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat agar lebih bijak dalam menyikapi informasi di dunia maya. Polisi sendiri berkomitmen untuk tetap melakukan pengawasan dan penyelidikan secara transparan agar tidak ada pihak yang dirugikan, baik korban fitnah maupun masyarakat yang menginginkan kejelasan. Fakta harus selalu dikedepankan di atas spekulasi.
Monitor Saham BUMN

Kapan Timnas Indonesia Lawan Korut di Perempat Final Piala Asia U-17 2025? Ini Jadwalnya

Mendikdasmen Mu’ti Kembali Hidupkan Jurusan IPA, IPS dan Bahasa, Gantikan Kurikulum Era Nadiem

Tempati Posisi Ketiga di Sesi Practice MotoGP Qatar 2025 Buat Marc Marquez Terkejut

Cina Kurangi Impor Film Amerika Imbas Tarif Gila AS, Trump Respon Begini

Kisah Sukses Titiek Puspa Geluti Bisnis Katering, Langganan Istana

Kata-kata Bojak Hodak Usai Persib Bandung Diimbangi Borneo FC

Hore! Jurnalis, Guru dan Ojol Bakal dapat Rumah Subsidi, Baca Syaratnya

SIINas, Jurus Jitu Bangun Industri Tangguh

Amerika dan Dunia di Ujung Tanduk

Dolar Terpuruk di Era Trump

Mendikdasmen Luncurkan Buku Panduan Gerakan 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat

Panama Izinkan Pasukan AS Masuk Terusan Panama, Lha Kok Bisa?

Tampil Cemerlang, Mario Aji Raih Posisi Ketujuh di FP1 Moto2 Qatar 2025

Arne Slot Minta Liverpool Rekrut Striker Asal Swedia Usai Perpanjang Kontrak Mo Salah

Rupiah Menguat, Pasar Tetap Waspada

MUI Apresiasi Kinerja Polri Amankan Mudik Lebaran

Menanamkan Adab Berdiskusi Sejak Dini pada Anak dan Remaja

Jurus Sakti Bahlil Hadapi Trump

Prabowo Disarankan Alihkan Impor ke AS
