Ruang Sujud
Saat Abu Bakar Hati-Hati Gunakan Uang Rakyat
Published
1 year agoon
By
Robby KarmanAbu Bakar Ash-Shiddiq (RA) adalah salah satu sahabat terdekat dan paling dihormati dari Nabi Muhammad SAW. Setelah wafatnya Rasulullah, Abu Bakar diangkat sebagai khalifah pertama dalam sejarah Islam. Meskipun menjadi pemimpin umat Islam yang paling tinggi, Abu Bakar tetap mempertahankan sifat sederhananya.
Sebagai khalifah, Abu Bakar memiliki banyak tanggung jawab terhadap negara dan umat Islam yang baru berkembang. Namun, dia tetap teguh dalam keyakinannya bahwa kebutuhan keluarganya harus dipenuhi dengan cara yang adil. Pada satu kesempatan, ketika dia sedang dalam perjalanan untuk berdagang di pasar, dia bertemu dengan sahabatnya, Umar bin Khaththab.
Umar bertanya kepada Abu Bakar tentang tujuan perjalanannya, dan Abu Bakar dengan jujur menjawab bahwa dia pergi ke pasar untuk berdagang. Umar, yang sekarang juga adalah seorang sahabat, tetapi belum menjadi pemimpin, merasa perlu mengingatkan Abu Bakar tentang tugasnya sebagai khalifah yang harus mengurus urusan negara dan umat Islam.
Abu Bakar memberikan jawaban yang bijaksana. Dia menjelaskan bahwa dia berdagang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, dan jika dia tidak melakukannya, maka siapa yang akan merawat keluarganya? Abu Bakar ingin memastikan bahwa keluarganya memiliki nafkah yang cukup.
Namun, Umar tidak puas dengan jawaban ini. Dia memutuskan untuk berkonsultasi dengan Abu Ubaidah, seorang sahabat yang sangat dihormati oleh Rasulullah SAW dan diberi gelar “Ummul Ummah,” yang berarti kepercayaan umat. Abu Ubaidah mengambil langkah tegas dengan menetapkan gaji tahunan untuk Abu Bakar dari Baitul Mal sebesar 4.000 dirham.
Dengan penghasilan yang telah ditetapkan ini, Abu Bakar dapat fokus pada tugas-tugas kepemimpinannya tanpa terlalu terbebani oleh permasalahan keluarga. Namun, tindakan ini juga mengungkapkan sifat rendah hati dan sederhana Abu Bakar. Bahkan ketika dia memiliki akses ke dana negara, dia tetap ingin memastikan bahwa pengeluarannya adalah yang minimal.
Pada suatu hari, istri Abu Bakar meminta manisan. Namun, saat dia meminta suaminya untuk membelikan bahan-bahan manisan, Abu Bakar mengungkapkan bahwa dia tidak memiliki uang untuk itu. Istri Abu Bakar yang ingin manisan tersebut, menyarankan agar mereka menabung sejumlah uang kecil dari gajinya setiap hari hingga mereka memiliki cukup uang untuk membeli manisan.
Setelah beberapa hari menabung, uang tersebut terkumpul. Tetapi saat sang istri meminta uang untuk membeli manisan, Abu Bakar dengan tulus mengakui bahwa gajinya lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Dalam tindakan yang sangat mengesankan, dia memutuskan untuk mengembalikan uang tersebut ke Baitul Mal.
Keputusan ini mencerminkan kesederhanaan dan komitmen Abu Bakar untuk tidak memanfaatkan uang negara yang sebenarnya tidak diperlukannya. Ini adalah contoh nyata dari integritasnya sebagai pemimpin dan tindakan mulia yang membuatnya dicintai dan dihormati oleh banyak orang.
Abu Bakar juga menjalani prinsip ini dalam semua aspek kehidupannya. Ketika dia meninggal dunia, dia meninggalkan sedikit sekali harta benda. Yang dia tinggalkan hanyalah seekor unta betina, sebuah mangkuk, dan seorang hamba sahaya. Bahkan harta yang dimilikinya itu, dia berikan kepada khalifah selanjutnya, Umar bin Khaththab.
Ketika Umar menerima peninggalan sahabatnya dari Aisyah, dia merenungkan tindakan Abu Bakar. Dia berkata, “Semoga Allah SWT merahmati Abu Bakar. la telah menunjukkan jalan yang sulit untuk ditempuh para penggantinya.”
Umar mengakui bahwa Abu Bakar telah meninggalkan warisan yang berat untuk diikuti oleh para pemimpin berikutnya. Kesederhanaan, kejujuran, dan dedikasinya kepada umat Islam adalah sifat-sifat yang menjadikan Abu Bakar sebagai salah satu pemimpin terbesar dalam sejarah Islam.
Dalam semua aspek hidupnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq mengajarkan kepada kita arti dari tanggung jawab, kesederhanaan, dan integritas. Meskipun dia memiliki tanggung jawab sebagai pemimpin negara, dia tidak melupakan tanggung jawabnya sebagai suami dan ayah. Kejujuran dan dedikasi Abu Bakar kepada umat Islam membuktikan bahwa seorang pemimpin yang baik adalah seseorang yang selalu mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah contoh nyata dari pemimpin yang mendedikasikan hidupnya untuk kebaikan umatnya.