Monitorday.com – Kritik tajam terhadap uji klinis vaksin tuberkulosis (TBC) M72 yang menuding masyarakat Indonesia sebagai “kelinci percobaan” dalam penelitian ini memunculkan gelombang keresahan. Tuduhan itu dianggap serius oleh banyak pihak dan menimbulkan pertanyaan soal keselamatan dan etika penelitian. Namun, Prof. Dr. dr. Erlina Burhan, M.Sc, Sp.P(K), peneliti utama nasional vaksin M72, dengan tegas membantah anggapan tersebut. Ia menyebut tudingan itu tidak berdasar dan bahkan berpotensi membahayakan.
Dalam video klarifikasinya yang diunggah di platform X pada Selasa, 13 Mei 2025, Prof. Erlina menegaskan bahwa uji klinis vaksin ini dilakukan secara ilmiah dengan prosedur ketat dan mengikuti tahapan yang berlaku. “Enggak betul itu, enggak jelas banget kalau ada pendapat seperti itu, karena uji klinis yang kita lakukan ini adalah riset yang sangat ilmiah dan ada tahapan-tahapannya,” ujarnya dengan penuh keyakinan.
Sebagai Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) sekaligus dokter spesialis paru di RS Persahabatan, Prof. Erlina menjelaskan bahwa proses penelitian ini dipantau ketat oleh berbagai lembaga, baik nasional maupun internasional. Tidak hanya itu, uji klinis vaksin M72 ini juga berlangsung secara global, melibatkan lima negara: Afrika Selatan, Kenya, Indonesia, Zambia, dan Malawi, dengan total 20.081 partisipan. Indonesia sendiri memberikan kontribusi signifikan dengan 2.095 peserta dari kelompok usia remaja dan dewasa, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah partisipan terbesar ketiga.
Lebih jauh, Prof. Erlina menyoroti keuntungan besar bagi Indonesia karena dilibatkan dalam riset vaksin TB berskala internasional tersebut. “Karena penelitian ini dilakukan di banyak negara, sifatnya global. Jadi, sebetulnya beruntung sekali Indonesia bisa ikut terlibat dalam penelitian vaksin TB ini,” katanya.
Data terbaru dari Kementerian Kesehatan RI per 8 Mei 2025 menunjukkan bahwa seluruh proses rekrutmen peserta di Indonesia telah selesai, dengan uji klinis berjalan di sejumlah institusi ternama seperti FKUI, RSUP Persahabatan, dan FK UNPAD.
Yang menarik, Prof. Erlina juga menegaskan bahwa vaksin M72 sudah melewati serangkaian uji awal sejak lebih dari sepuluh tahun lalu. Tahapan tersebut meliputi uji preklinik di laboratorium, uji pada hewan, sebelum akhirnya berlanjut ke uji klinis pada manusia. Justru istilah “kelinci percobaan” secara ilmiah memang hanya berlaku untuk uji pada hewan, bukan manusia. “Setelah lulus di percobaan hewan, maka kemudian harus beranjak ke uji klinis pada manusia,” ujarnya menepis keraguan yang berkembang.
Namun, satu pertanyaan penting yang masih menggelayuti benak banyak orang: pernahkah Prof. Dr. dr. Erlina Burhan, sebagai peneliti utama vaksin ini, memvaksin dirinya sendiri dengan M72? Apakah bukti dari hasil vaksinasi dirinya akan menjadi jaminan keamanan dan keabsahan riset tersebut? Atau apakah keraguan ini tetap menyimpan risiko bahaya yang belum terungkap sepenuhnya?
Situasi ini membuka ruang diskusi kritis mengenai transparansi dan kepercayaan publik terhadap proses uji klinis vaksin, di tengah pentingnya inovasi kesehatan untuk melawan penyakit tuberkulosis yang masih menjadi momok global.