Connect with us

Ruang Sujud

Shirathal Mustaqim: Jalan Lurus Menuju Ridha Allah

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Setiap muslim pasti membaca surat Al-Fatihah dalam setiap rakaat salat, dan di dalamnya ada doa penting: “Ihdinash shirathal mustaqim”—Tunjukilah kami jalan yang lurus. Doa ini bukan sekadar permohonan, tetapi juga pengakuan bahwa manusia sangat butuh petunjuk Allah agar tidak tersesat dalam hidupnya.

Arti dan Makna Shirathal Mustaqim

Secara bahasa, shirathal mustaqim berarti “jalan lurus”. Dalam konteks syariat, maksud dari jalan lurus ini adalah jalan hidup yang sesuai dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya. Jalan ini mengarah pada keselamatan dunia dan akhirat. Imam Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa jalan lurus adalah agama Islam yang dijalani dengan keimanan, amal shalih, dan mengikuti petunjuk wahyu.

Ciri-Ciri Jalan Lurus

Shirathal mustaqim memiliki karakteristik yang jelas: berpegang teguh pada tauhid, menjalankan ibadah yang benar, menjauhi dosa besar, serta memiliki akhlak yang mulia. Jalan ini telah ditempuh oleh para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang shalih. Maka tidak heran jika dalam lanjutan surat Al-Fatihah disebutkan: “jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka.”

Tantangan Meniti Shirathal Mustaqim

Menjadi lurus di jalan Allah bukan perkara mudah. Godaan dunia, hawa nafsu, dan bisikan setan selalu mengintai. Orang yang istiqamah di jalan Allah akan diuji dengan kesabaran, keimanan, dan keteguhan hati. Namun Allah menjanjikan pahala besar bagi mereka yang mampu bertahan dan terus memperbaiki diri di atas shirathal mustaqim.

Menuju Ridha Allah

Ridha Allah adalah tujuan akhir dari setiap ibadah dan amal kita. Jalan lurus ini bukan hanya membentuk kita menjadi pribadi yang baik, tapi juga membimbing kita agar mendapat rahmat dan surga-Nya. Allah berfirman dalam QS. Al-An’am:153, “Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia…”

Kesimpulan

Shirathal mustaqim bukan sekadar konsep spiritual, tapi arah hidup yang harus terus diupayakan. Ia adalah jalan menuju ridha dan surga Allah, penuh cahaya petunjuk bagi siapa pun yang tulus mencarinya. Dengan doa dan usaha sungguh-sungguh, semoga kita semua istiqamah di atas jalan lurus ini.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ruang Sujud

Makna Mendalam Shirathal Mustaqim dalam Al-Fatihah

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Surat Al-Fatihah bukan sekadar pembuka Al-Qur’an, tapi juga inti dari seluruh pesan Ilahi. Salah satu doa paling penting yang terkandung di dalamnya adalah permohonan: “Ihdinash shirathal mustaqim”—Tunjukilah kami jalan yang lurus. Doa ini menjadi inti dari hubungan hamba dan Tuhannya.

Permohonan yang Diulang Setiap Hari

Doa “ihdinash shirathal mustaqim” bukan hanya dibaca sekali dua kali, tapi minimal 17 kali dalam sehari saat salat wajib. Ini menunjukkan bahwa kita sangat bergantung pada hidayah Allah. Tanpa petunjuk-Nya, manusia akan tersesat di tengah gelapnya dunia dan kuatnya arus godaan.

Jalan yang Menyatukan Tauhid, Syariat, dan Akhlak

Shirathal mustaqim adalah jalan yang menggabungkan tauhid sebagai pondasi, syariat sebagai aturan, dan akhlak sebagai perwujudan. Ini bukan jalan netral, melainkan jalan yang jelas—jalan Islam yang ditunjukkan Allah melalui wahyu, diteladani Rasulullah, dan ditempuh para salihin.

Konteks Al-Fatihah: Hubungan dengan Ayat Sebelumnya

Permintaan shirathal mustaqim muncul setelah ayat tentang pengakuan: “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.” Ini menunjukkan bahwa hanya dengan pertolongan Allah, seseorang bisa tetap istiqamah di jalan lurus. Doa ini bukan soal ilmu, tapi soal hati dan niat yang bersandar pada-Nya.

Jalan Orang-Orang yang Diberi Nikmat

Allah tidak membiarkan kita menebak-nebak makna jalan lurus. Ia langsung menjelaskannya: “yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka.” Dalam tafsir, mereka adalah para nabi, orang jujur (shiddiqin), para syuhada, dan orang-orang saleh. Artinya, kita berdoa untuk mengikuti jejak orang-orang yang hidupnya sukses menurut Allah.

Menghindari Jalan yang Salah

Masih dalam surat Al-Fatihah, kita juga memohon dijauhkan dari jalan mereka yang dimurkai dan sesat. Jalan lurus berada di tengah antara dua ekstrem: mereka yang tahu kebenaran tapi tidak mengamalkannya (al-maghdhub), dan mereka yang beramal tanpa ilmu (ad-dhallin). Maka, shirathal mustaqim menuntut ilmu sekaligus amal.

Penutup

Al-Fatihah adalah cermin kebutuhan ruhani manusia: memohon petunjuk dan istiqamah di jalan yang benar. Shirathal mustaqim bukan sekadar jalur ke surga, tapi juga kompas moral dan spiritual dalam hidup di dunia. Mari terus memohon dan berjuang agar Allah menuntun kita di atas jalan ini hingga akhir hayat.

Continue Reading

Ruang Sujud

Meniti Shirathal Mustaqim di Era Digital: Tantangan dan Solusi

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Di tengah era digital yang serba cepat dan penuh distraksi, menapaki shirathal mustaqim bukanlah perkara mudah. Informasi berseliweran setiap detik, gaya hidup hedonis merajalela, dan nilai-nilai kebenaran sering dikaburkan oleh algoritma dan opini publik. Lalu, bagaimana agar kita tetap berada di jalan lurus?

Tantangan: Arus Informasi Tak Terseleksi

Salah satu tantangan utama di era digital adalah banjir informasi yang tak tersaring. Kebenaran dan kebatilan bercampur jadi satu dalam bentuk konten media sosial, video viral, hingga podcast dan berita. Jika tidak berhati-hati, seseorang bisa dengan mudah terseret pada pemikiran sesat atau gaya hidup yang menyimpang dari nilai-nilai Islam.

Godaan Digital: Dosa Hanya Sekali Klik

Teknologi yang mempermudah hidup juga mempermudah dosa. Ghibah, fitnah, pornografi, hingga perdebatan sia-sia kini bisa diakses dalam hitungan detik. Inilah jebakan zaman modern—di mana manusia bisa tergelincir dari jalan lurus tanpa sadar, hanya karena jari yang tak bijak dalam mengklik dan menyebar.

Krisis Fokus dan Keikhlasan

Shirathal mustaqim menuntut hati yang fokus dan ikhlas. Namun, era digital cenderung menciptakan mentalitas pencitraan. Kita tergoda menampilkan yang terbaik untuk dilihat manusia, bukan untuk mendapat ridha Allah. Akibatnya, ibadah bisa berubah menjadi rutinitas kosong, bukan sarana mendekat pada Tuhan.

Solusi: Literasi Digital Berbasis Tauhid

Kunci pertama agar tetap di jalan lurus di era digital adalah memperkuat literasi digital yang bertumpu pada tauhid. Artinya, kita harus mampu membedakan mana konten yang mendekatkan pada Allah dan mana yang menjauhkan. Jadikan prinsip tauhid sebagai filter utama dalam memilih tontonan, bacaan, dan aktivitas online.

Membangun Ekosistem Kebaikan

Solusi kedua adalah aktif menciptakan dan bergabung dalam komunitas digital yang positif. Bergabunglah dengan kanal kajian Islam, ikut kelas online yang memperkuat iman, dan jauhi grup atau akun yang memancing kebencian, perpecahan, atau syahwat. Lingkungan digital juga menentukan arah hidup kita.

Istiqamah dalam Dunia yang Berubah

Shirathal mustaqim bukanlah jalan bebas hambatan. Ia membutuhkan kesungguhan, ketekunan, dan evaluasi diri yang berkelanjutan. Kita butuh zikir, tilawah, dan doa yang konsisten untuk mengimbangi derasnya arus digital. Seperti GPS spiritual, Al-Qur’an dan sunnah harus tetap menjadi petunjuk utama.

Penutup

Meniti jalan lurus di era digital bukan mustahil, tapi butuh kesadaran, kontrol diri, dan lingkungan yang mendukung. Jangan biarkan gadget menjadi penghalang kita menuju ridha Allah. Jadikan teknologi sebagai alat bantu untuk menapaki shirathal mustaqim dengan lebih teguh dan cerdas.

Continue Reading

Ruang Sujud

Menjaga Keikhlasan dalam Mengimani Karomah Para Wali

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Iman kepada karomah para wali adalah bagian dari keyakinan dalam tradisi Ahlus Sunnah wal Jamaah. Namun lebih dari sekadar mengimani, umat Islam dituntut untuk menjaga keikhlasan hati dalam menyikapinya. Sebab, karomah sejatinya bukan tontonan, bukan pula sesuatu yang harus dibanggakan, melainkan tanda kedekatan hamba kepada Tuhannya yang harus disikapi dengan rendah hati dan penuh adab.

Dalam kehidupan para wali, karomah bukan tujuan yang dikejar. Justru mereka merasa malu jika Allah memperlihatkan keajaiban melalui diri mereka. Banyak dari mereka yang menyembunyikan karomahnya karena takut menjadi ujub atau merasa lebih baik dari orang lain. Inilah yang membedakan para wali sejati dengan orang-orang yang mencari popularitas melalui kisah karomah yang sering dilebih-lebihkan.

Keikhlasan dalam mengimani karomah artinya tidak menjadikan karomah sebagai pusat ketertarikan kepada seseorang. Kita mengagumi wali karena ketakwaannya, bukan karena kemampuan luar biasa yang ia miliki. Bahkan, Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa keistiqamahan seseorang dalam ibadah jauh lebih utama daripada karomah yang tampak menakjubkan.

Tantangan zaman sekarang adalah kecenderungan sebagian orang untuk menjadikan kisah karomah sebagai ajang hiburan spiritual. Cerita-cerita karomah dibumbui dan dijual untuk menarik massa, hingga akhirnya mengaburkan nilai-nilai ruhani yang seharusnya dihadirkan. Inilah pentingnya kita mengembalikan niat: bahwa setiap karomah adalah murni tanda keistimewaan dari Allah, bukan milik pribadi yang bisa dipamerkan.

Imam Malik pernah berkata, “Barang siapa yang melihat seseorang berjalan di atas air atau terbang di udara, janganlah engkau tertipu, hingga engkau lihat sejauh mana ia berpegang teguh kepada syariat.” Hal ini menunjukkan bahwa ukuran utama seorang wali bukanlah karomah, melainkan keistiqamahan dan ketundukannya kepada ajaran Islam.

Mengimani karomah dengan ikhlas juga berarti tidak menuhankan para wali. Kita menghormati mereka sebagai kekasih Allah, tapi tidak memohon kepada mereka. Doa dan tawakal tetap ditujukan kepada Allah semata, karena para wali pun hanyalah perantara dalam dakwah dan bukan pemilik kekuatan itu sendiri.

Akhirnya, menjaga keikhlasan dalam mengimani karomah adalah bagian dari menjaga kemurnian tauhid. Kita belajar dari kisah para wali bukan untuk mengejar karomah mereka, melainkan meneladani ketakwaan mereka. Sebab karomah terbesar bukan terbang di udara, tapi tetap taat di tengah godaan dunia.

Continue Reading

Ruang Sujud

Perbedaan Karomah, Sihir, dan Tipu Daya: Perspektif Ulama

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Dalam masyarakat, sering muncul kebingungan antara karomah, sihir, dan tipu daya. Ketiganya bisa terlihat serupa karena menampilkan kejadian luar biasa di luar nalar manusia. Namun menurut para ulama, perbedaan di antara ketiganya sangat jelas—terutama dalam hal sumber kekuatan, tujuan, dan pengaruhnya terhadap keimanan.

Karomah adalah kejadian luar biasa yang Allah berikan kepada wali-wali-Nya, yaitu orang-orang yang taat, saleh, dan istiqamah dalam ibadah serta menjauhi maksiat. Karomah bukan sesuatu yang bisa diminta atau dipelajari. Ia merupakan karunia ilahi yang datang sebagai bentuk kemuliaan atas kedekatan seseorang kepada Allah. Ulama Ahlus Sunnah sepakat bahwa karomah adalah hakikat dan bukan khayalan, sebagaimana dijelaskan oleh Imam an-Nawawi dan Imam al-Qurtubi.

Sebaliknya, sihir adalah ilmu yang bersumber dari bantuan jin atau syaitan. Sihir bisa dipelajari dan diajarkan, namun jelas dilarang dalam Islam karena mengandung unsur syirik. Penyihir biasanya melakukan ritual tertentu untuk menjalin kerja sama dengan makhluk gaib dan menyesatkan orang lain. Dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 102, sihir disebut sebagai ajaran yang diturunkan kepada Harut dan Marut sebagai ujian, bukan untuk diamalkan.

Sementara itu, tipu daya (kadang disebut istidraj) adalah kejadian luar biasa yang terjadi kepada orang fasik atau bahkan musuh-musuh Allah, yang tampak seperti karomah atau keajaiban. Dalam pandangan para ulama, istidraj merupakan bentuk penghinaan halus dari Allah kepada orang-orang yang gemar bermaksiat namun tetap diberi nikmat duniawi. Hal ini disebut dalam Surah Al-A’raf ayat 182: “Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, akan Kami tarik mereka secara berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dari arah yang tidak mereka ketahui.”

Imam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa karomah tidak akan terjadi pada orang yang menyimpang dari syariat. Bila seseorang mengaku memiliki karomah tetapi akhlaknya rusak, atau malah menyalahi syariat, maka hal itu bukan karomah—melainkan sihir atau istidraj. Inilah pentingnya ilmu dan akidah yang lurus dalam membedakan antara kebenaran dan kebatilan.

Untuk mengenali perbedaan ketiganya, para ulama memberikan panduan: perhatikan apakah orang tersebut taat pada syariat, menjauhi maksiat, serta rendah hati. Jika iya, maka kejadian luar biasa itu bisa jadi karomah. Tapi jika orang itu justru menyimpang, mengajak pada kesesatan, atau menonjolkan diri dengan angkuh, maka waspadalah—bisa jadi itu adalah sihir atau tipu daya.

Kesimpulannya, tidak semua yang ajaib itu mulia. Karomah adalah cahaya bagi orang beriman, sihir adalah kegelapan bagi orang yang tersesat, dan tipu daya bisa menjadi ujian bagi yang lalai. Oleh karena itu, umat Islam perlu belajar membedakan keduanya, agar tidak tertipu oleh keajaiban palsu yang justru menjauhkan dari Allah.

Continue Reading

Ruang Sujud

Kisah-Kisah Karomah Wali Allah yang Menginspirasi

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Sepanjang sejarah Islam, banyak kisah menakjubkan tentang para wali Allah yang menunjukkan tanda-tanda karomah—peristiwa luar biasa yang terjadi di luar nalar manusia biasa. Karomah bukan sekadar cerita mistis, tapi pelajaran spiritual yang menguatkan iman, serta memperlihatkan betapa dekatnya hubungan para kekasih Allah dengan Sang Pencipta.

Salah satu kisah yang paling terkenal adalah karomah dari Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Dalam banyak riwayat, beliau disebut bisa mengetahui isi hati seseorang bahkan sebelum orang itu berbicara. Pernah suatu ketika, seseorang datang dengan niat mengujinya dengan pertanyaan jebakan, namun sebelum sempat bertanya, Syaikh Abdul Qadir sudah menjawab pertanyaan tersebut, lengkap dengan niat tersembunyi si penanya. Kejadian ini menyadarkan banyak orang akan kedalaman spiritual beliau.

Kisah lain datang dari Imam Abu Yazid al-Busthami, seorang sufi agung dari Persia. Ia dikenal memiliki karomah bisa berjalan di atas air. Namun menariknya, dalam banyak pernyataannya, Abu Yazid selalu menekankan bahwa semua karomah yang terjadi bukan karena dirinya hebat, melainkan karena izin dan kehendak Allah semata.

Di Nusantara, nama Sunan Kalijaga tak asing lagi. Salah satu karomah yang masyhur adalah kemampuannya berdakwah dengan pendekatan budaya Jawa, yang mampu menyentuh hati rakyat tanpa harus memaksakan doktrin. Meskipun karomahnya tidak selalu dalam bentuk supranatural, namun keberhasilannya dalam mengislamkan banyak orang dianggap sebagai bentuk karomah sosial dan spiritual.

Tak hanya laki-laki, ada pula kisah karomah dari wanita salehah. Seperti Rabi’ah al-Adawiyah, tokoh sufi perempuan yang kehidupannya penuh dengan kecintaan total kepada Allah. Meski tak banyak tercatat karomah fisik, namun doanya yang makbul, kata-katanya yang menyentuh kalbu, serta hidup zuhudnya dianggap sebagai bentuk karomah yang menggetarkan jiwa.

Dari semua kisah ini, satu hal yang perlu digarisbawahi: karomah bukanlah hal yang dicari, apalagi dipamerkan. Para wali Allah justru sangat menjaga agar karomah tidak menjadi sebab kesombongan atau pujian dari manusia. Mereka menjadikan setiap peristiwa karomah sebagai bentuk syukur dan sarana untuk mendekat lebih dalam kepada Allah.

Kisah-kisah karomah ini sepatutnya tidak dijadikan hiburan atau ajang pembuktian spiritual semata, melainkan sebagai motivasi untuk lebih bertakwa dan memperbaiki diri. Jika para wali bisa mencapai derajat tinggi karena ikhlas, istiqamah, dan cinta kepada Allah, maka umat Islam zaman kini pun bisa meneladani jalan itu, walau tanpa karomah sekalipun.

Karomah sejati adalah ketika hati semakin tunduk kepada Allah, meski tidak ada kejadian luar biasa yang menyertai. Dan dari kisah-kisah para wali, kita belajar bahwa kekuatan terbesar terletak pada ketundukan dan cinta sejati kepada-Nya.

Continue Reading

Ruang Sujud

Karomah dalam Islam: Bukti Karamah Bukan Mitos

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Dalam tradisi Islam, karomah merupakan kejadian luar biasa yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang saleh. Karomah bukan sihir, bukan pula khayalan, melainkan realitas yang tercatat dalam sejarah dan diakui oleh banyak ulama. Keberadaan karomah membuktikan bahwa keimanan yang tulus dan kedekatan dengan Allah bisa melampaui batas logika manusia biasa.

Secara terminologis, karomah berasal dari kata karamah yang berarti kemuliaan atau kehormatan. Dalam konteks keislaman, ia mengacu pada peristiwa luar biasa yang terjadi atas izin Allah kepada wali-wali-Nya, bukan sebagai mukjizat seperti yang dimiliki para nabi, melainkan sebagai bentuk penghormatan dan pertolongan dari Allah kepada orang-orang beriman yang saleh.

Dalam sejarah Islam, banyak tokoh sufi dan ulama besar yang dikisahkan memiliki karomah. Misalnya, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani yang dikenal dengan kedekatannya pada Allah dan banyak mencatat kejadian luar biasa dalam hidupnya. Namun penting untuk dicatat, karomah bukan tujuan, melainkan hasil dari ketakwaan dan penghambaan yang murni.

Para ulama menjelaskan bahwa karomah hanya bisa terjadi jika seseorang menjaga keikhlasan, ketaatan, dan menjauhi maksiat. Karomah tidak akan terjadi pada orang yang hatinya penuh riya atau berharap pujian. Justru orang-orang yang diberi karomah sejati sering kali menyembunyikannya, karena takut hal itu menjadi sumber ujub dalam diri mereka.

Imam al-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menyebutkan bahwa karomah adalah perkara yang benar dan diakui dalam akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Ia menjadi bukti bahwa kekuasaan Allah melampaui segala batas, dan bahwa Dia dapat memberikan pertolongan luar biasa kepada siapa pun yang Dia kehendaki.

Meski demikian, umat Islam dianjurkan untuk tidak terlalu berfokus pada karomah. Lebih penting adalah meneladani akhlak dan amal para wali Allah, bukan mengejar kejadian luar biasa yang bisa menyesatkan jika tidak dipahami secara benar. Sebab karomah bukan ukuran keimanan, tetapi hasil sampingan dari iman dan amal saleh yang istiqamah.

Dengan memahami karomah secara proporsional, kita akan terhindar dari sikap berlebihan dan tetap menjaga akidah yang lurus. Karomah adalah anugerah, bukan prestasi pribadi. Ia menjadi bukti keajaiban iman dan ketundukan total kepada Allah SWT.

Continue Reading

Ruang Sujud

Hikmah di Balik Ujian: Cara Allah Menguatkan Hamba-Nya

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Dalam kehidupan, setiap manusia pasti akan menghadapi ujian, entah itu berupa kesedihan, kehilangan, atau kegagalan. Banyak yang menganggap ujian sebagai hukuman, padahal dalam Islam, ujian justru bisa menjadi tanda cinta Allah kepada hamba-Nya.

Ujian merupakan cara Allah membersihkan hati dan menguatkan jiwa. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan: ‘Kami telah beriman’, dan mereka tidak diuji?” (QS. Al-Ankabut: 2). Ayat ini menegaskan bahwa ujian adalah bagian tak terpisahkan dari keimanan.

Melalui ujian, manusia belajar sabar, ikhlas, dan tawakal. Ujian menjadikan seseorang lebih rendah hati dan mendekatkan diri kepada Allah. Ketika tak ada tempat lagi untuk bersandar, maka sujud pun menjadi pilihan utama.

Hikmah terbesar dari ujian adalah tumbuhnya kekuatan dari dalam diri. Saat seseorang bisa melewati ujian dengan sabar dan tetap berprasangka baik kepada Allah, maka hatinya akan semakin kokoh, layaknya baja yang ditempa api.

Banyak tokoh besar dalam sejarah Islam pun melalui ujian berat. Nabi Ayyub diuji dengan penyakit bertahun-tahun, Nabi Yusuf difitnah dan dipenjara, dan Nabi Muhammad SAW sendiri menghadapi hinaan serta penolakan di awal dakwahnya. Namun semua ujian itu menjadi jalan bagi mereka untuk meraih kemuliaan.

Sebagai manusia, kita tidak bisa memilih ujian apa yang akan datang, tapi kita bisa memilih bagaimana cara menghadapinya. Dengan ilmu, doa, dan kesabaran, setiap ujian akan membawa kita pada level kehidupan yang lebih tinggi, baik secara spiritual maupun emosional.

Ketika ujian datang, jangan langsung mengeluh. Cobalah bertanya: “Apa hikmah yang ingin Allah tunjukkan padaku kali ini?” Sebab, di balik setiap rasa sakit, ada pelajaran yang tak ternilai.

Akhirnya, ujian bukanlah akhir dari segalanya. Ia adalah jembatan menuju kedewasaan, dan jika disikapi dengan bijak, maka ujian akan menjadi anugerah terbesar yang bisa memperkuat hubungan seorang hamba dengan Tuhannya.

Continue Reading

Ruang Sujud

Hubbu Dunya: Akar Segala Kesalahan dalam Pandangan Islam

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Dalam Islam, cinta dunia atau hubbu dunya sering kali disebut sebagai sumber dari berbagai penyakit hati yang berujung pada kerusakan moral dan spiritual. Rasulullah SAW bersabda, “Hubbu dunya ra’su kulli khati’ah”—”Cinta dunia adalah pangkal dari segala kesalahan.” Hadis ini menjadi peringatan bahwa ketika manusia terlalu mencintai dunia, ia akan terdorong untuk melupakan tujuan akhir kehidupannya: akhirat.

Cinta dunia yang dimaksud bukanlah sekadar menyukai hal-hal duniawi seperti harta, jabatan, atau popularitas, melainkan keterikatan hati yang berlebihan hingga mengorbankan nilai-nilai agama. Ketika hati sudah terpaut kuat pada dunia, seseorang bisa dengan mudah menjustifikasi keburukan demi meraih kepuasan duniawi. Inilah yang menjadikan hubbu dunya sebagai sumber dari berbagai maksiat.

Islam tidak melarang umatnya untuk menikmati kehidupan dunia, selama hal itu dilakukan dalam batas yang wajar dan tidak melupakan kewajiban terhadap Allah. Justru, dunia bisa menjadi ladang pahala bila dijalani dengan niat yang benar dan cara yang halal. Namun, jika dunia menjadi tujuan utama hidup, maka kekacauan akan terjadi: ketamakan, iri hati, kezaliman, bahkan kekufuran bisa menjadi konsekuensinya.

Oleh karena itu, para ulama menekankan pentingnya membersihkan hati dari kecintaan berlebihan terhadap dunia. Ini bisa dimulai dengan memperkuat iman, memperbanyak zikir, bersedekah, dan merenungkan kefanaan dunia. Ketika seseorang menyadari bahwa dunia hanyalah tempat singgah sementara, maka ia akan lebih fokus mempersiapkan bekal untuk kehidupan yang kekal.

Melepaskan hubbu dunya bukan berarti meninggalkan dunia, melainkan mengendalikannya agar tidak menguasai hati. Dunia ada di tangan, bukan di hati. Dengan begitu, seseorang bisa hidup tenang, bersih dari keserakahan, dan selalu terhubung dengan tujuan hidup yang sejati: mencari ridha Allah.

Continue Reading

Ruang Sujud

Melepas Cinta Dunia: Jalan Menuju Hati yang Tenang

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Banyak orang mencari ketenangan hati melalui harta, jabatan, atau pengakuan sosial, tapi justru semakin dikejar, dunia makin menjauhkan mereka dari kedamaian yang sesungguhnya. Dalam Islam, ketenangan hati justru lahir saat seseorang mampu melepas keterikatan terhadap dunia—itulah esensi dari melepaskan hubbu dunya.

Cinta dunia yang berlebihan adalah penyebab utama kegelisahan. Semakin kuat seseorang melekat pada kenikmatan duniawi, semakin takut pula ia kehilangannya. Rasa cemas, iri, dan gelisah akan terus menghantui hati yang terikat pada sesuatu yang fana dan tak pasti. Sebaliknya, hati yang berserah kepada Allah dan tidak bergantung pada dunia akan lebih tenang dan stabil.

Melepas cinta dunia bukan berarti menjadi pasif atau meninggalkan kehidupan. Justru, Islam mengajarkan agar umatnya aktif berkarya dan berkontribusi, namun tanpa menjadikan dunia sebagai pusat hidup. Dunia adalah sarana, bukan tujuan. Ketika niat diluruskan untuk mencari ridha Allah, bahkan bekerja dan membangun kehidupan dunia bisa bernilai ibadah.

Langkah pertama untuk melepaskan cinta dunia adalah menyadari hakikat dunia itu sendiri: sementara, terbatas, dan penuh ujian. Al-Qur’an berulang kali menggambarkan dunia sebagai permainan dan senda gurau, dibandingkan dengan akhirat yang kekal. Menyadari hal ini akan membuat kita lebih bijak dalam menempatkan prioritas hidup.

Hati yang tenang lahir dari ketawakkalan—yaitu percaya penuh pada kehendak Allah, setelah berusaha maksimal. Ia tidak panik kehilangan harta, tidak iri terhadap orang lain, dan tidak gila pujian. Ia cukup, karena tahu bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa ditemukan saat hati dekat dengan Allah, bukan ketika dompet tebal atau jabatan tinggi.

Dengan melepas hubbu dunya, kita membuka ruang bagi ketenangan, syukur, dan cinta yang lebih tinggi: cinta kepada Allah. Dan hanya dengan cinta itu, hati manusia bisa benar-benar damai.

Continue Reading

Ruang Sujud

Ketika Dunia Mengikat: Bahaya Hubbu Dunya di Era Modern

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Di era modern yang serba cepat dan penuh distraksi, kecintaan terhadap dunia (hubbu dunya) semakin kuat mencengkeram hati manusia. Media sosial, budaya konsumtif, dan standar kesuksesan materialistik membuat banyak orang terjebak dalam perlombaan tanpa akhir: siapa paling kaya, paling terkenal, paling sukses.

Bahaya hubbu dunya kini tidak hanya menyentuh para penguasa atau hartawan, tapi juga masyarakat umum, bahkan anak muda. Dunia modern menyajikan dunia dalam genggaman tangan, tapi sekaligus mengikat hati dengan tali yang tak terlihat. Seseorang bisa merasa gagal hanya karena tidak sepopuler orang lain di media sosial, atau merasa tak berharga karena belum memiliki rumah, mobil, atau gaya hidup yang dipamerkan banyak orang.

Islam memandang dunia sebagai ladang amal, bukan tujuan utama. Ketika dunia menjadi pusat hidup, seseorang bisa kehilangan arah. Ia akan rela melakukan apa saja demi status sosial: berbohong, menipu, bahkan mengorbankan nilai agama. Inilah yang dikhawatirkan Nabi Muhammad SAW—bahwa umatnya akan hancur bukan karena musuh dari luar, tapi karena cinta dunia dan takut mati.

Dalam realitas hari ini, hubbu dunya bisa menjelma dalam bentuk ketergantungan pada validasi eksternal, kerja berlebihan demi ambisi pribadi, atau bahkan kecanduan belanja dan gaya hidup mewah. Semua ini terlihat modern, tapi secara batin membuat manusia lelah dan kosong.

Solusinya adalah kesadaran spiritual. Kembali menata niat hidup, memperbanyak dzikir, mendalami Al-Qur’an, dan mempraktikkan gaya hidup sederhana bisa menjadi tameng terhadap godaan dunia. Bergaul dengan orang-orang saleh dan membatasi konsumsi media sosial juga penting untuk menjaga hati dari racun duniawi.

Mengikat dunia di tangan, bukan di hati—itulah kunci hidup sehat di era modern. Dunia memang tak bisa dihindari, tapi jangan biarkan ia menjadi penjara bagi jiwa. Sebab, hanya dengan hati yang bebas dari cinta dunia, manusia bisa berjalan ringan menuju akhirat.

Continue Reading

Monitor Saham BUMN



Sportechment2 hours ago

Perusahaan Film Asal Korea Bakal Remake 3 Film Indonesia

Sportechment3 hours ago

Paus Leo XIV Ternyata Fans Berat AS Roma

Sportechment3 hours ago

Thom Haye Resmi Lamar Sang Kekasih, Rekan di Timnas Indonesia Ucapkan Selamat

Ruang Sujud4 hours ago

Makna Mendalam Shirathal Mustaqim dalam Al-Fatihah

Review6 hours ago

UU BUMN 2025 dan Komitmen Pemberantasan Korupsi

Ruang Sujud9 hours ago

Meniti Shirathal Mustaqim di Era Digital: Tantangan dan Solusi

Ruang Sujud13 hours ago

Shirathal Mustaqim: Jalan Lurus Menuju Ridha Allah

Review13 hours ago

Menhan Pakistan Bela Muslim Kashmir Disebut Radikal, Tapi Media Barat Justru Dukung Aksi Teror Modi dan Netanyahu?

Sportechment20 hours ago

Tampil Gahar di MotoGP Prancis 2025, Quartararo Perpanjang Tren Positif

News20 hours ago

Ekonomi Global Bergejolak, Bamsoet Ingatkan Mitigasi Risiko Dunia Usaha

News21 hours ago

KCIC Gratiskan Tiket Whoosh untuk Anak di Bawah 3 Tahun, Mulai Kapan?

News21 hours ago

Prof Rokhmin: Kunci Indonesia Capai Agro-Maritim Berkelanjutan

News21 hours ago

Indonesia dan Norwegia Sepakat Dukung Reformasi Sistem PBB Lewat Prakarsa UN80

Sportechment22 hours ago

5 Pesepakbola Top Dunia dengan IQ Tinggi, Eks Pemain Barcelona Kalahkan Albert Einstein

News22 hours ago

Kapolri Tegaskan Premanisme Bakal Ditindak Tegas

Sportechment23 hours ago

Xabi Alonso Resmi Tinggalkan Leverkusen, Isyaratkan Hijrah ke Real Madrid

Sportechment23 hours ago

Mohamed Salah Raih FWA Footballer of the Year 2025, Samai Rekor Thierry Henry

News23 hours ago

Kunjungi Kalteng, Mendikdasmen Luncurkan Gerakan 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat

Ruang Sujud1 day ago

Menjaga Keikhlasan dalam Mengimani Karomah Para Wali

Ruang Sujud1 day ago

Perbedaan Karomah, Sihir, dan Tipu Daya: Perspektif Ulama