Review
Sinergi Dinamis dalam Menjaga Laut Nusantara
Kolaborasi dinamis Kepolisian, KKP, dan TNI AL membongkar kasus pagar laut ilegal, menegaskan pentingnya sinergi lintas sektor berbasis ilmu pengetahuan dalam menjaga ekosistem maritim.

Published
2 months agoon
By
Natsir Amir
Monitorday.com – Kasus pagar laut ilegal yang terjadi di perairan Tangerang dan Bekasi menjadi panggung kolaborasi luar biasa antara Kepolisian, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan TNI Angkatan Laut.
Di tengah kompleksitas permasalahan lingkungan maritim, ketiga institusi ini menunjukkan energi sinergis yang dinamis, membuktikan bahwa kerja sama lintas sektor mampu menegakkan hukum secara efektif dan berkeadilan.
Berawal dari laporan masyarakat yang merasa dirugikan oleh pagar laut ilegal yang menghalangi akses nelayan tradisional, Kepolisian dengan sigap merespons aduan tersebut. Kecepatan aparat dalam memulai penyelidikan menjadi titik awal dari terungkapnya jaringan pelanggaran lingkungan yang merugikan masyarakat dan merusak ekosistem.
Keterlibatan KKP dalam proses ini memberikan kekuatan tambahan dengan menghadirkan data perizinan dan regulasi yang menjadi dasar analisis hukum. Kombinasi data empirik dan keahlian investigatif menjadi senjata ampuh dalam membongkar praktik ilegal ini.
Pendekatan ilmiah melalui linguistik forensik menambah dimensi baru dalam proses investigasi. Analisis terhadap komunikasi digital, dokumen administratif, dan pola bahasa pelaku berhasil membongkar keterlibatan pihak-pihak tertentu.
Forensik linguistik bukan sekadar alat bantu, melainkan kunci yang mempercepat proses identifikasi dan memperkuat bukti hukum. Kolaborasi ini menegaskan bahwa sains memiliki peran vital dalam mewujudkan penegakan hukum yang berbasis bukti.
KKP menunjukkan dedikasi tinggi dengan tidak hanya menyediakan data, tetapi juga aktif mengedukasi masyarakat pesisir. Sosialisasi mengenai pentingnya menjaga ekosistem laut dan melaporkan aktivitas ilegal membangun kesadaran kolektif yang berkelanjutan.
Peran ini memperkuat posisi KKP sebagai motor penggerak konservasi dan perlindungan sumber daya laut di tingkat masyarakat.
Dalam aspek penertiban, TNI Angkatan Laut tampil dengan armada dan personel yang terlatih, TNI AL memastikan tidak ada lagi pagar laut ilegal yang berdiri di perairan tersebut. Kehadiran TNI AL tidak hanya memberikan rasa aman bagi nelayan, tetapi juga menunjukkan komitmen negara dalam melindungi hak-hak masyarakat pesisir. Operasi penertiban ini menegaskan bahwa kekuatan pertahanan negara berfungsi optimal dalam mendukung penegakan hukum.
Sinergi positif antara Kepolisian, KKP, dan TNI AL menjadi model penegakan hukum lintas sektor yang efektif. Masing-masing institusi memainkan perannya dengan dinamis dan saling melengkapi. Keberhasilan ini menjadi pesan tegas bahwa kejahatan lingkungan tidak akan ditoleransi, dan negara hadir secara nyata dalam menjaga keseimbangan ekosistem laut serta hak masyarakat pesisir.
Kasus pagar laut di Tangerang dan Bekasi bukan hanya kemenangan dalam menegakkan hukum, tetapi juga momentum penting dalam memperkuat kolaborasi antar-lembaga. Apresiasi tinggi layak diberikan kepada Kepolisian, KKP, dan TNI Angkatan Laut atas dedikasi, profesionalisme, dan sinergi dinamis yang ditunjukkan. Ke depan, penguatan kolaborasi berbasis ilmu pengetahuan diharapkan terus menjadi pilar utama dalam menjaga sumber daya laut Indonesia agar tetap lestari dan bermanfaat bagi generasi mendatang.
Mungkin Kamu Suka
-
Ampas Kopi Bisa Jadi Emas Hijau, Kok Bisa?
-
Muhammadiyah Gagas Fikih Transisi Energi Berkelanjutan
-
Bareng Awak Media, Manajemen Pelindo Regional 2 Tanjung Priok Bahas Isu Penting
-
Kabareskrim: Tak Bisa Asal Jerat Pemain Judol, Kalau Semua Ditangkap Penjara Penuh
-
Luhut Imbau Pengusaha China Patuhi Aturan Lingkungan di Indonesia
Review
Esemka: Mobil Nasional yang Ghaib
Esemka, simbol mobil nasional, hilang misterius. Dulu dielu-elukan, kini jadi bahan satire nasional. Janji industrialisasi berubah jadi parodi panjang berbalut nasionalisme semu.

Published
1 hour agoon
20/04/2025
Monitorday.com – Apa kabar mobil Esemka? Serius, ada yang tahu? Atau mobil ini memang hanya bisa hidup di tengah pidato, bukan di tengah jalan raya? Dulu dielu-elukan sebagai lambang kemandirian industri otomotif nasional, kini Esemka lebih cocok jadi karakter fiktif dalam sinetron “Janji Palsu Abadi”. Rakyat disuruh percaya, walau pabriknya seperti horor urban legend—katanya ada, tapi saksi matanya hilang satu per satu.
Mari kita kembali ke masa lalu yang penuh harapan dan ilusif itu. Tahun 2009, sebuah mobil disebut-sebut sebagai hasil karya anak SMK. Kamera televisi menyorot, pejabat tersenyum lebar, dan rakyat bersorak. “Luar biasa! Anak bangsa bisa bikin mobil!” teriak mereka yang polos hatinya dan tulus cintanya pada negeri. Bahkan, mobil itu sempat dijadikan kendaraan dinas, dipakai tokoh-tokoh penting sebagai bukti cinta tanah air—atau cinta pada panggung politik, kita tak pernah benar-benar tahu.
Namun seiring waktu, kabut tebal menyelimuti Esemka. Tidak ada showroom, tidak ada penjualan massal, tidak ada review konsumen. Yang ada hanyalah senyum canggung para pejabat ketika ditanya wartawan, dan akun-akun medsos yang beralih profesi menjadi pengarsip satire nasional.
Esemka, konon, sempat akan diproduksi massal di Boyolali. Bahkan peresmiannya digelar dengan megah. Tapi seperti biasa, peresmian di negeri ini kadang hanya simbolik. Kayak launching kembang api tanpa roket. Dentum meriah, tapi tak pernah meluncur ke angkasa. Begitu juga Esemka, lebih sering muncul di spanduk dan baliho dibanding aspal jalanan.
Lebih lucu lagi, ketika akhirnya muncul kabar bahwa Esemka ternyata bukan sepenuhnya karya anak bangsa. Ada aroma kuat impor dari Tiongkok, dengan sedikit sentuhan lokal sekadar ganti emblem dan tambal sulam dashboard. Tapi hei, bukankah semua besar itu dimulai dari mimpi? Walau mimpi itu kini berubah jadi guyonan: “Mobil Esemka itu nyata, sama nyata dengan kejujuran politisi.”
Kini, Esemka menghilang seolah tak pernah eksis. Seperti mantan yang pernah berjanji nikah, tapi setelah lima tahun cuma tinggal foto lamaran. Aneh bin ajaib, tak ada yang tahu bagaimana nasib pabriknya, bagaimana kelanjutan produksinya, dan bagaimana tanggung jawab atas gembar-gembor nasionalisme yang dulu disematkan padanya.
Lebih menggelikan lagi, di era digital ini, netizen justru lebih banyak tahu soal keberadaan mobil terbang di Dubai dibanding lokasi showroom Esemka di Indonesia. Di marketplace, Anda bisa dengan mudah mencari mobil listrik dari China, Korea, bahkan India. Tapi coba ketik “beli Esemka” — dan Anda akan disuguhi berita lama serta meme segar.
Kalau saja Esemka bisa bicara, mungkin ia akan bilang, “Maaf, saya hanya alat kampanye. Jangan terlalu serius.” Tapi karena Esemka tak pernah benar-benar menyapa rakyat dari balik kemudi, kita hanya bisa menduga: Apakah ia benar-benar gagal? Atau misinya memang bukan untuk jalanan, melainkan untuk jalan menuju kekuasaan?
Akhir kata, Esemka adalah dongeng modern—sebuah narasi patriotik dengan plot twist yang absurd. Ia adalah pelajaran bahwa tak semua janji industrialisasi perlu dipenuhi, selama rakyat cukup mudah dibuai dengan narasi dan nostalgia. Jadi, kalau Anda masih mencari Esemka, mungkin tempat terbaik adalah di museum harapan yang tak kunjung nyata, di sebelah etalase “janji kampanye yang belum ditepati”.
Review
Plongoisme Merajalela, Kampus Jadi Ladang Bisu
Plongoisme menggerogoti kampus: gaya bicara kosong, pemikiran tumpul, dan kepemimpinan dangkal mengubah institusi pendidikan menjadi ladang formalitas dan ketakutan struktural.

Published
2 hours agoon
20/04/2025By
Diana Sari N
Monitorday.com – Kampus, seharusnya menjadi taman gagasan, malah tumbuh subur sebagai ladang plongoisme. Para pemimpin institusi pendidikan yang konon katanya cerdas, tercerahkan, dan tercerai dari gelapnya ketidaktahuan sering justru menjadi pelukis utama di kanvas kebisuan intelektual. Di ruang-ruang senat dan forum akademik, yang terdengar bukanlah gemuruh ide atau diskusi sehat, melainkan gema hampa dari kepala-kepala plongo: kosong tapi percaya diri.
Plongoisme bukan soal wajah yang selalu melongo, meskipun sering tampak demikian. Ini tentang sikap, cara berpikir, dan gaya bicara yang menelanjangi kemiskinan isi kepala. Ia hadir saat seorang petinggi kampus bicara selama 20 menit tetapi tak ada satu pun kalimat yang bernilai epistemik. Ia bersinar dalam surat edaran berlembar-lembar yang berbusa kata namun tak punya makna. Ia menjadi wabah saat dosen-dosen menulis jurnal bukan untuk memperkaya pengetahuan, melainkan demi mengisi kolom akreditasi.
Di sinilah filosofi plongisme dan dunguisme menemukan panggungnya. Plongisme adalah seni mematung dalam kebodohan yang terselubung toga; dunguisme adalah ilmu mencium angin sambil menunduk penuh perhitungan. Keduanya menari di bawah lampu sorot akademik yang meredup. Mereka mencipta suasana di mana mahasiswa takut bertanya, dosen malas berpikir, dan rektor bangga dengan plakat tanpa isi. Semua tunduk, semua patuh, semua plongo.
Ciri khas kaum plongois adalah pidato-pidato megah yang tak lebih dari parade metafora kosong. Mereka suka mengutip tokoh besar dunia, walau tak paham konteksnya. Mereka rajin menyebut “transformasi digital”, “merdeka belajar”, atau “sustainability”, tiga mantra suci yang bisa menyihir siapapun menjadi terlihat relevan. Tapi coba tanya, bagaimana implementasinya? Mereka akan menjawab dengan tatapan teduh dan senyum diplomatis, sambil berharap Anda pindah topik.
Mereka juga punya ritual: seminar internasional dengan moderator plongo dan pembicara yang lebih tertarik pada background Zoom ketimbang isi materi. Slide PowerPoint yang penuh dengan clip art dan kutipan motivasional dari Einstein (yang entah pernah berkata begitu atau tidak). Dan tentu, sesi tanya jawab yang kosong karena hadirin sudah terlatih untuk tidak berpikir apalagi bertanya.
Namun jangan salah, para plongois bukan tak punya relasi. Mereka sangat ahli dalam menjalin simpul kuasa. Lulusan program doktoral yang mereka kelola seringkali menjadi rekan bisnis ideologis: saling mengamini, saling menaikkan jabatan, saling menyebar virus plongo di setiap institusi. Plongo melahirkan plongo. Inilah reproduksi struktural dari anti-intelektualisme yang dibungkus akademik.
Ironisnya, semakin tinggi jabatan seseorang di institusi pendidikan, semakin besar potensi plongoismenya. Bukan karena bodoh secara biologis, tapi karena terlalu sibuk mengatur narasi citra daripada mengasah pikiran. Mereka takut salah, takut terlihat manusiawi, maka lebih aman menjadi boneka formalitas yang selalu tersenyum dan berkata “saya dukung program ini” pada semua hal yang lewat.
Maka jangan heran jika kampus hari ini lebih mirip museum wacana daripada laboratorium ide. Kita punya dekan yang plongo, dosen yang dunguis, dan mahasiswa yang tak tahu hendak menjadi apa, karena inspirasi di sekitarnya telah sirna, diganti formalitas birokrasi dan ketakutan sistemik. Kampus kehilangan ruh karena terlalu sibuk dengan penilaian eksternal, akreditasi semu, dan lomba siapa paling inovatif dalam meniru.
Mungkin inilah saatnya kita menyambut revolusi: bukan dengan api dan bendera, tapi dengan berpikir. Dengan menertawakan plongoisme, kita perlahan mencabut akarnya. Biarkan kampus kembali menjadi tempat berpikir, bukan hanya tempat berpakaian toga dan berfoto dengan ijazah palsu semangat.
Review
Cetak Sejarah Baru Sepak Bola Indonesia
Erick Thohir ajak semua pihak mencetak sejarah baru sepak bola Indonesia di HUT ke-95 PSSI dengan menjadikan prestasi sebagai tradisi dan fokus membangun ekosistem sepak bola berkelanjutan.

Published
9 hours agoon
19/04/2025
Monitorday.com – Pagi itu, suara sorak-sorai pecah di sebuah lapangan kampung di pelosok Jawa Tengah. Bocah-bocah berlarian mengejar bola lusuh dengan semangat layaknya final Piala Dunia. Tak ada sepatu bola, apalagi jersey mewah. Tapi semangat mereka—itulah yang dirayakan oleh Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, saat Indonesia memperingati ulang tahun ke-95 PSSI. “Inilah saatnya kita mencetak sejarah baru!” serunya penuh optimisme.
Tepat 19 April 2025, Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) genap berusia 95 tahun. Usia yang nyaris seabad, dengan kisah panjang yang tak hanya mencatat kemenangan dan kekalahan, tapi juga menyimpan harapan serta semangat perlawanan. Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, memanfaatkan momentum ini untuk menyulut semangat baru bagi sepak bola nasional. Dengan semangat tinggi, ia mengajak seluruh elemen—dari pengurus pusat hingga akar rumput—untuk menyatukan langkah menciptakan tonggak sejarah baru.
“Sejarah besar bukan cuma untuk dikenang, tapi juga untuk dilanjutkan,” tegas Erick saat memberi sambutan dalam perayaan ulang tahun ke-95 PSSI di The Meru, Sanur, Bali. Ia merujuk pada momen bersejarah tahun 1938, saat Hindia Belanda—yang membawa nama Indonesia—tampil di Piala Dunia Prancis. Kini, nyala api itu coba ia kobarkan kembali dengan visi transformasi sepak bola Indonesia.
Erick tidak hanya berbicara. Dalam dua tahun masa kepemimpinannya, transformasi mulai terasa nyata. Prestasi demi prestasi mulai hadir: emas SEA Games 2023 yang telah dinanti sejak 1991, lolosnya Timnas ke babak 16 besar Piala Asia 2023 untuk pertama kalinya, serta keberhasilan Timnas U-17 tampil di dua edisi Piala Dunia U-17 secara beruntun, termasuk lolos lewat kualifikasi. Langkah-langkah ini bukan hanya kemenangan di lapangan, tapi juga pesan kuat bahwa perubahan sedang terjadi.
Namun Erick tahu, kerja belum selesai. Dalam pidatonya, ia menekankan pentingnya menjadikan sepak bola sebagai tradisi. Bukan sekadar kegiatan musiman, tapi budaya yang hidup dalam keseharian masyarakat. Ia mengajak semua stakeholder—Exco, Asprov, klub, pemain, pelatih, wasit, hingga suporter—untuk bekerja lebih dari sekadar menjalankan tugas. Harus ada semangat membangun warisan.
“Tradisi itu dimulai dari kerja keras. Dari pembinaan usia dini sampai pembentukan tim nasional yang tangguh, semua harus saling menguatkan,” ujarnya. Tak lupa, ia juga menyampaikan apresiasi kepada pemerintah, DPR, serta masyarakat sepak bola yang telah berjuang bersama dalam proses panjang ini.
Ke depan, PSSI di bawah Erick menyiapkan roadmap jangka panjang yang telah disampaikan ke FIFA dan pemerintah. Misinya jelas: bukan hanya membina tim yang mampu bersaing di kancah internasional, tapi juga membangun ekosistem sepak bola yang profesional, sehat, dan berkelanjutan—baik untuk Timnas senior, U-20, U-17, bahkan tim putri.
Langkah ini tentu tidak mudah. Masih banyak tantangan, dari kualitas liga yang belum stabil, hingga infrastruktur dan pembinaan yang perlu ditingkatkan. Namun jika seluruh pihak bergerak dalam satu visi, maka mimpi membawa Indonesia kembali ke panggung dunia bukan lagi sekadar angan.
Momen 95 tahun ini adalah panggilan, bukan hanya perayaan. Sepak bola Indonesia tak lagi bisa hanya jadi tontonan penuh emosi tanpa arah. Ini saatnya mengubah semangat jadi sistem, gairah jadi prestasi. Dan seperti anak-anak yang berlari di lapangan kampung itu, Indonesia siap mengejar sejarahnya sendiri—dengan bola di kaki, dan mimpi di dada.
Review
Tarif Trump: Indonesia Bangkit atau Tumbang?
Tarif Trump memaksa Indonesia menata ulang strategi ekspor dan ekonomi. Presiden Prabowo serukan kemandirian nasional sebagai jawaban atas perang dagang global.

Published
12 hours agoon
19/04/2025By
Natsir Amir
Monitorday.com – Maret 2025 menjadi bulan yang dikenang sebagai momen ketika Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, melemparkan bom dagang ke pentas global. Melalui kebijakan Reciprocal Tariffs, Amerika mengerek pajak ekspor dari sejumlah negara mitra dagang, termasuk Indonesia.
Gelombang kebijakan ini tak lain adalah perwujudan dari ambisi proteksionisme Trump yang mendunia, sehingga dunia pun menyematkan nama “Global Trade War” pada kebijakan itu.
Indonesia berada dalam daftar ke-10 negara yang terkena imbas, sementara China—raksasa ekonomi Asia—berada di urutan pertama. Tarif bea ekspor yang dikenakan pada Indonesia dan China sama-sama berada di angka mengejutkan: 32%. Kebijakan ini langsung menyentak sektor industri ekspor dalam negeri, terutama tekstil, garmen, sepatu, dan furnitur—empat sektor padat karya yang selama ini menjadi tulang punggung ekspor ke Negeri Paman Sam.
Presiden Prabowo Subianto angkat bicara dengan nada yang tak bisa disembunyikan: serius dan reflektif. “Ini berat, karena ini masalah padat karya, tetapi kita akan cari jalan keluar, kita berani mencari pasar baru,” ujarnya dengan nada tegas namun tenang.
Kalimat itu bukan sekadar reaksi atas tekanan, melainkan isyarat arah baru: Indonesia harus berubah.
Selama bertahun-tahun, Indonesia menikmati peran sebagai mitra dagang setia Amerika. Namun loyalitas ini ternyata tidak menjadi tameng. Prabowo menggarisbawahi kondisi ini dengan ungkapan menohok, “Selama ini kita murid yang setia. Paling setia, paling loyal. Sekarang kita harus dewasa, harus bangun.” Pernyataan ini viral lewat sebuah video di TikTok, menyulut diskusi publik tentang posisi Indonesia di tengah kerasnya realitas global.
Memang, Prabowo bukan baru kali ini bicara soal kemandirian. Dalam jejak digitalnya yang luas, ia berulang kali mengingatkan bahwa Indonesia tidak bisa selamanya bergantung pada negara lain. Ia menyebut dengan gamblang, “No body is going to help us”—tak akan ada yang menolong jika kita sendiri tidak berdiri tegak.
Dan kini, momen itu datang. Indonesia dipaksa belajar lebih cepat, lebih mandiri, lebih berani.
Tarif Trump bukan hanya pukulan ekonomi, tapi juga alarm ideologis: sudah saatnya Indonesia menyusun ulang peta strategis perdagangannya. Ketergantungan terhadap pasar tunggal seperti Amerika tak bisa lagi dijadikan strategi jangka panjang. Diversifikasi pasar, penguatan industri dalam negeri, hingga diplomasi ekonomi yang lebih gesit harus segera digenjot.
Mungkin ini saatnya Indonesia menoleh lebih serius ke pasar Asia, Afrika, dan Timur Tengah. Mungkin juga ini waktu yang tepat untuk mempercepat industrialisasi berbasis teknologi dan memperkuat UMKM ekspor. Apa pun jalannya, satu hal pasti: Indonesia tidak boleh hanya mengeluh atau bertahan. Indonesia harus bangkit dan mengambil kendali.
Tarif Trump adalah ujian, tapi juga peluang. Dan di balik setiap guncangan besar, selalu ada potensi kebangkitan besar. Pertanyaannya: apakah kita siap?
Review
SMK Indonesia Menembus Dunia Kerja Global
1.500 lulusan SMK Indonesia siap bekerja di luar negeri, memperlihatkan kualitas keterampilan dan karakter yang siap bersaing di pasar global.

Published
1 day agoon
18/04/2025
Monitorday.com – Bayangkan, Anda baru saja lulus dari SMK, dan dalam hitungan bulan, Anda sudah siap bekerja di negara yang jauh, seperti Jepang atau Jerman. Itulah yang kini menjadi kenyataan bagi 1.500 lulusan SMK di seluruh Indonesia. Dengan keberanian dan semangat juang yang tinggi, mereka siap membawa keterampilan mereka ke luar negeri—mewakili Indonesia di panggung dunia.
Keberangkatan para lulusan SMK ini merupakan bagian dari program yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) bersama Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI). 1.500 siswa dari berbagai penjuru Indonesia dilepas untuk menjalani program magang di negara-negara maju seperti Jepang, Jerman, hingga Korea Selatan, dalam rangka mempersiapkan mereka menghadapi dunia kerja global.
Pada acara pelepasan di SMK Mitra Industri MM2100 Cikarang, Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Fajar Riza Ul Haq, mengungkapkan rasa bangga dan syukur yang mendalam. “Kami sangat senang ketika para lulusan SMK ini memiliki keberanian untuk melangkah ke dunia luar negeri dan memperkenalkan kualitas bangsa Indonesia di dunia internasional,” ungkapnya dengan penuh semangat.
Namun, ada satu pesan penting yang disampaikan oleh Fajar. Selain memiliki keterampilan teknis yang mumpuni, karakter juga menjadi hal yang tidak kalah penting. “Kita tidak hanya berbicara soal skill atau hard skill, tetapi juga tentang karakter. Seperti yang kita lihat pada seorang pekerja migran asal Indramayu yang berhasil menyelamatkan korban kebakaran di Korea, tindakan heroik semacam itu menunjukkan betapa kuatnya karakter yang dimiliki oleh pekerja migran Indonesia,” katanya.
Memang, keberangkatan ke luar negeri bukan hanya soal mencari pekerjaan, tetapi juga tentang membawa nama baik Indonesia. Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menekankan bahwa para peserta magang ini adalah “duta bangsa” yang akan mencerminkan budaya kerja keras dan sopan santun yang selama ini dikenal dari rakyat Indonesia. Menurutnya, kesempatan magang ini juga menjadi peluang besar untuk meningkatkan kompetensi para lulusan SMK agar siap bersaing di tingkat global. “Ini bukan sekadar magang, tetapi langkah penting untuk memperkuat kemampuan dan membuka peluang lebih besar di pasar kerja internasional,” ujar Yassierli.
Salah satu peserta magang, Dini Amalia Saputri, mengaku sangat bersyukur bisa berangkat ke Jepang. Ia mengungkapkan betapa sulitnya proses seleksi untuk bisa lolos menjadi bagian dari program magang ini. Dari seratus orang yang mendaftar, hanya beberapa yang terpilih. Prosesnya melibatkan berbagai tes, termasuk tes bahasa Jepang, yang ia lalui dengan penuh perjuangan. Namun, bagi Dini, usaha tersebut terasa sangat berharga karena ia yakin ini akan menjadi langkah besar dalam kariernya. “Sekolahku memang pusat unggulan, dan saya sangat bersyukur bisa mendapat kesempatan ini,” katanya dengan senyum lebar.
Program ini adalah bukti nyata dari kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta yang saling mendukung dalam menciptakan generasi muda yang siap berkompetisi di dunia kerja internasional. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Kemenaker, BP2MI, serta dunia industri, berkomitmen untuk memperkuat kualitas pendidikan vokasi agar lulusan SMK tidak hanya siap untuk bekerja di pasar domestik, tetapi juga bisa menembus pasar global.
Dengan bekerja di luar negeri, para lulusan ini tidak hanya akan meningkatkan kemampuan teknis mereka, tetapi juga memperkaya pengalaman hidup yang akan berguna untuk kemajuan bangsa. “Ini adalah kesempatan luar biasa bagi generasi muda Indonesia untuk belajar dan berkembang, serta membawa nama Indonesia lebih jauh lagi,” ujar Fajar Riza Ul Haq dengan penuh harapan.
Review
Damai yang Membunuh Palestina
Perjanjian damai Gaza yang digagas Mesir, Yordania, dan Prancis justru berpotensi membunuh perjuangan Palestina. Meletakkan senjata adalah jalan cepat menuju pembantaian.

Published
2 days agoon
18/04/2025By
Natsir Amir
Monitorday.com – Di tengah reruntuhan Gaza dan suara rintihan rakyat yang kehilangan keluarga, rumah, dan harapan—dunia sekali lagi berusaha menjual “perdamaian” yang semu. Tapi benarkah ini damai, atau sekadar jebakan sejarah yang sedang berulang?
Perjanjian damai yang sedang digagas oleh Presiden Mesir Abdel Fattah As-Sisi, Raja Yordania Abdullah II, dan Presiden Prancis Emmanuel Macron mengusung misi mulia: menghentikan pertumpahan darah di Gaza. Tapi sejatinya, perjanjian ini bukan solusi—ia adalah pisau yang dibungkus pita. Salah satu syarat utama yang diajukan adalah pelucutan senjata para pejuang Hamas dengan iming-iming dana rekonstruksi miliaran dolar. Sebuah tawaran yang terdengar seperti hadiah, tapi sesungguhnya beracun.
Sejarah mengajarkan kita untuk tidak mudah lupa. Pada 1994, Ukraina melepaskan senjata nuklirnya dengan janji keamanan dari kekuatan besar. Hari ini, Ukraina dilanda perang dan kehilangan wilayahnya. Pada 1982, PLO meletakkan senjata di Lebanon setelah perjanjian damai. Hasilnya? Kamp pengungsi Sabra dan Shatila menjadi ladang pembantaian berdarah selama 43 jam, dengan ribuan warga sipil yang dibunuh secara brutal. Lalu apakah kita masih percaya bahwa pelucutan senjata adalah jalan menuju kedamaian?
Delegasi Hamas tidak bodoh. Mereka tahu, satu-satunya alasan musuh bersedia duduk di meja perundingan adalah karena mereka tidak bisa menang di medan perang. Persis seperti yang dikatakan oleh seorang wakil Taliban dalam perundingan dengan Amerika, “Senjata inilah yang membawa kalian ke meja ini.” Pernyataan ini bukan hanya cerdas, tapi mencerminkan harga diri sebuah perjuangan yang tak bisa ditukar dengan janji kosong.
Taliban akhirnya berhasil memaksa Amerika Serikat angkat kaki dari Afghanistan. Bukan karena diplomasi, tapi karena keteguhan dalam berjuang. Gaza hari ini menghadapi dilema yang sama: tunduk pada perjanjian damai yang mematikan atau terus berdiri dengan senjata sebagai satu-satunya penjaga kehormatan.
Tawaran “damai” ini menuntut para pejuang meletakkan senjata dan rakyat Gaza menerima bantuan. Tapi apakah para penandatangan perjanjian itu akan menjamin keselamatan mereka? Sejarah mengatakan: tidak. Musuh tidak menghargai kelemahan. Ketika senjata diletakkan, pembantaian dimulai. Itulah narasi yang berulang dan terus berulang dalam sejarah umat ini.
Perjanjian ini justru membuka jalan bagi penyembelihan berikutnya, bukan menghentikannya. Inilah jebakan klasik yang menyamar sebagai diplomasi. Inilah konspirasi halus yang memakai jargon “kemanusiaan” untuk memandulkan perlawanan.
Yang dibutuhkan hari ini bukan tekanan kepada para pejuang, tapi tekanan kepada penjajah. Bukan seruan untuk menyerah, tapi dukungan bagi mereka yang mempertahankan kehormatan tanah suci Al-Aqsa. Jangan jadi umat yang dua kali dibodohi oleh sejarah. Jangan biarkan Gaza menjadi Sabra dan Shatila kedua.
Hari ini, tanggung jawab kita adalah berdiri tegak. Kirimkan doa, donasi, dan desakan politik. Gunakan suara kita untuk melawan propaganda perdamaian palsu yang justru menguntungkan penjajah dan membunuh perlawanan.
Sebab satu kebenaran tak terbantahkan tetap berdiri tegak:
Bangsa yang meletakkan senjatanya, sedang menandatangani surat kematiannya sendiri.
Review
S3 Bukan Sekadar Gelar, Tapi Lompatan Hidup! Ini Alasannya!
Motivasi dan strategi cerdas adalah kunci menyelesaikan studi doktoral, menurut Dr. Ratna Dewanti. S3 bukan sekadar gelar, tapi lompatan hidup yang penuh makna.

Published
3 days agoon
17/04/2025By
Natsir Amir
Monitorday.com – “Motivasi adalah juru kunci untuk menyelesaikan studi doktoral. Work hard itu bagus, tapi lebih bagus work smart.”
— Dr. Ratna Dewanti, M.Pd., Dosen Isu Kritis Penelitian Linguistik Terapan, Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta.
Saat semangat mulai kendur di tengah perjuangan studi doktoral, motivasi pribadi bisa menjadi api kecil yang tak pernah padam. Itulah pesan kunci dari Dr. Ratna Dewanti, M.Pd., yang dikenal sebagai dosen dengan kepedulian tinggi terhadap mahasiswa S3 yang tengah berjuang menyelesaikan risetnya. Dalam satu kesempatan yang hangat namun membakar semangat, Dr. Ratna menegaskan bahwa kunci keberhasilan bukan hanya pada kerja keras, tetapi pada strategi cerdas yang dijalankan konsisten. “Work hard itu bagus, tapi lebih bagus work smart,” katanya lugas.
Dr. Ratna tidak hanya bicara sebagai akademisi, tetapi sebagai pembimbing yang memahami betul dinamika mahasiswa doktoral. Ia melihat langsung betapa banyak mahasiswa yang kehilangan arah di tengah jalan. Maka, dalam setiap diskusi, ia tak lelah mengingatkan: “Selesaikan studi karena Anda yang memutuskan untuk memulainya. Kembalikan fokus pada niat awal dan alasan mengapa Anda mengambil S3.”
Bagi Dr. Ratna, penyelesaian studi adalah kombinasi dari motivasi, fokus, dan keseriusan. Ia mengajak para mahasiswa untuk menjadikan program doktoral bukan sekadar status, tetapi contoh nyata bahwa ketekunan dan integritas bisa mengubah arah hidup seseorang. Program doktoral bukan hanya tentang teori dan disertasi, tetapi tentang pembentukan karakter intelektual yang tahan banting.
Semangat yang dikobarkan Dr. Ratna menggugah. Ia meyakini bahwa setiap mahasiswa doktoral punya potensi besar untuk berhasil, asal tahu cara mengelola waktu, tekanan, dan ekspektasi. Strategi menjadi hal vital—bagaimana mengatur jadwal membaca literatur, menyusun argumen dalam tulisan, hingga menjalin komunikasi aktif dengan promotor. Semua itu adalah bagian dari kerja cerdas yang disarankannya.
“Kalau hanya mengandalkan semangat sesaat, pasti tumbang di tengah jalan,” ucapnya tegas. Oleh karena itu, ia menyarankan mahasiswa membangun sistem yang mendukung keberhasilan: lingkungan yang mendukung, jadwal kerja yang realistis, serta target jangka pendek yang jelas.
Lebih jauh, Dr. Ratna berpesan agar para mahasiswa S3 tak mudah terjebak dalam kompetisi yang melelahkan. Ia menyarankan untuk fokus pada progres pribadi, bukan membandingkan diri dengan pencapaian orang lain. “S3 itu bukan lomba cepat-cepatan. Ini soal perjalanan intelektual yang dalam dan personal,” tambahnya.
Satu pesan paling menyentuh dari Dr. Ratna adalah soal warisan akademik. Ia berharap mahasiswa S3 menjadikan pencapaian mereka sebagai inspirasi bagi lingkungan sekitar. Menjadi contoh bagi anak, kolega, bahkan komunitas, bahwa ilmu pengetahuan bisa menjadi jalan perubahan. “Jadikan S3 ini sebagai contoh. Bukan untuk pamer, tapi untuk menunjukkan bahwa ketekunan itu berbuah hasil,” pungkasnya.
Dengan gaya bertutur yang lugas dan membumi, Dr. Ratna telah menyalakan semangat baru di hati para pejuang S3. Dalam tiap kalimatnya, terselip dorongan kuat untuk tidak menyerah, untuk terus maju, dan untuk menjadikan setiap tantangan sebagai bagian dari proses menjadi versi terbaik dari diri sendiri. Karena pada akhirnya, gelar doktor bukan hanya simbol akademik, melainkan simbol keberhasilan dalam mengalahkan diri sendiri.
News
80 Ribu Kopdes Merah Putih Diluncurkan, Dananya dari Mana?

Published
5 days agoon
15/04/2025By
N Ayu Ashari
Monitorday.com – Langkah Presiden Prabowo Subianto membentuk 80 ribu Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (Kopdes Merah Putih) menjadi kejutan yang mengguncang panggung kebijakan nasional. Di tengah narasi efisiensi dan pemangkasan anggaran, tiba-tiba muncul Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025 yang memerintahkan percepatan pembentukan koperasi skala nasional ini. Energi politik langsung tersedot ke satu pertanyaan mendasar: dari mana semua ini akan didanai?
Dalam Inpres yang diteken pada 27 Maret 2025 tersebut, Presiden Prabowo memerintahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk menyediakan dana modal awal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2025. Tak hanya itu, pendanaan juga disebut akan ditopang oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dana desa, bahkan sumber lain yang “sah dan tidak mengikat”. Skema pendanaan ini membuka ruang multitafsir, termasuk kekhawatiran soal transparansi dan potensi tumpang tindih fiskal antara pusat dan daerah.
Publik pun sontak menaruh perhatian. Di saat pemerintah tengah menyisir pos-pos anggaran untuk efisiensi—termasuk pengurangan subsidi, penundaan sejumlah proyek infrastruktur, hingga pembatasan perjalanan dinas—keputusan untuk membiayai program raksasa koperasi tampak bagai paradoks. Apalagi, belum ada rincian angka konkret tentang berapa nominal total yang dibutuhkan untuk 80 ribu koperasi. Jika masing-masing koperasi hanya diberi modal awal Rp100 juta, maka negara harus menggelontorkan setidaknya Rp8 triliun.
Nada kritis pun bermunculan dari sejumlah pengamat kebijakan fiskal. Mereka mempertanyakan prioritas negara di tengah tantangan defisit dan tekanan ekonomi global. “Program koperasi itu baik, tetapi konteks fiskalnya harus tepat. Jangan sampai semangat pemberdayaan menutupi ketidakjelasan sumber pendanaan,” ujar seorang ekonom dari lembaga riset independen di Jakarta. Kekhawatiran juga muncul dari daerah. Beberapa kepala desa mulai gelisah bila dana desa yang selama ini difokuskan untuk infrastruktur dasar dan pelayanan publik tiba-tiba harus dialihkan demi pembentukan koperasi yang belum tentu siap dikelola secara profesional.
Meski begitu, semangat program ini juga tak bisa diabaikan. Presiden Prabowo ingin membangkitkan ekonomi rakyat dari akar rumput melalui koperasi sebagai tulang punggung ekonomi desa. Ia bahkan memerintahkan seluruh menteri dan kepala daerah untuk bersinergi aktif. Kopdes Merah Putih tak hanya diminta terbentuk cepat, tapi juga diwajibkan memberi laporan berkala ke Presiden—sebuah tanda bahwa Prabowo akan mengawasi langsung proyek ini.
Secara ide, koperasi sebagai institusi ekonomi gotong royong memang menjanjikan kemandirian ekonomi. Namun tantangan implementasi di lapangan bukan perkara ringan. Banyak koperasi desa sebelumnya mati suri akibat lemahnya manajemen, intervensi politik lokal, dan minimnya pengawasan. Tanpa pelatihan, tata kelola yang kuat, dan sistem audit transparan, Kopdes Merah Putih bisa jadi hanya label tanpa nyawa.
Yang tak kalah penting: komunikasi publik dan transparansi pendanaan. Rakyat berhak tahu bagaimana program ini akan berjalan, siapa yang mengelola, dan bagaimana dampaknya di tengah gelombang efisiensi anggaran nasional. Jika dana miliaran dialihkan dari program prioritas tanpa pengawasan ketat, maka bukan pemberdayaan yang muncul, melainkan potensi pemborosan sistemik.
Program ini adalah taruhan besar. Bila berhasil, Kopdes Merah Putih bisa jadi revolusi ekonomi desa. Tapi bila gagal, bisa menjadi monumen ambisi yang tumbang di tengah jalan.
Review
Literasi Anak, Kunci Masa Depan Bangsa
Rendahnya literasi anak Indonesia disebabkan oleh kesenjangan sosial ekonomi. Dukungan orang tua dan akses pendidikan jadi faktor penting untuk menciptakan generasi cerdas dan kompetitif di masa depan.

Published
5 days agoon
14/04/2025
Monitorday.com – Gemuruh semangat pendidikan Indonesia seolah tertahan oleh fakta pahit: minat baca anak-anak negeri ini masih sangat rendah. Padahal, literasi merupakan fondasi esensial dalam mencetak sumber daya manusia unggul yang adaptif dan inovatif. Indonesia, negeri dengan ribuan pulau dan jutaan mimpi, justru menempati peringkat 60 dari 61 negara dalam hal minat baca, menurut data UNESCO. Sebuah ironi yang mengusik nurani: di tengah semangat membangun bangsa, anak-anak masih bergelut dengan tantangan dasar bernama literasi.
Di balik angka dan statistik, ada cerita nyata tentang bagaimana status sosial ekonomi (SES) orang tua menjadi pembeda mencolok dalam perkembangan literasi anak. Keluarga dengan SES tinggi memiliki segalanya: buku, internet, waktu, dan kesadaran. Orang tua dengan pendidikan tinggi tak hanya paham pentingnya literasi, tapi juga tahu bagaimana menanamkannya. Mereka menyediakan ruang dan waktu bagi anak untuk membaca, berdiskusi, dan bertanya. Mereka menjadi pelita yang menuntun anak-anak mereka menelusuri lorong-lorong ilmu pengetahuan.
Bandingkan dengan keluarga berpenghasilan rendah. Di sana, perjuangan untuk sekadar bertahan hidup membuat literasi seperti kemewahan. Buku menjadi barang langka, waktu menjadi mahal, dan pemahaman tentang pentingnya membaca kerap terpinggirkan oleh rutinitas mencari nafkah. Anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang miskin stimulasi intelektual. Mereka kurang diajak membaca, kurang mendapat cerita pengantar tidur yang penuh makna, dan sering kali harus belajar tanpa bimbingan.
Penelitian Wilson dan Hughes (2009) menegaskan bahwa pendidikan orang tua yang lebih tinggi berkorelasi positif dengan kebiasaan membaca anak. Ini bukan sekadar hubungan statistik, ini kenyataan yang bisa disaksikan di banyak sudut Indonesia. Anak-anak dari keluarga berada lebih leluasa dalam memilih bacaan, mengikuti kursus tambahan, bahkan menjelajahi dunia lewat teknologi. Sementara itu, anak-anak dari keluarga kurang mampu harus puas dengan buku usang di sudut rumah, atau bahkan tidak punya buku sama sekali.
Tak berhenti di situ, temuan dari Evans dan Schamberg (2009) menyatakan bahwa anak dari keluarga berpendapatan rendah lebih berisiko mengalami kesulitan membaca karena minimnya stimulasi intelektual di rumah. Bayangkan seorang anak yang ingin tahu banyak hal, namun tak punya siapa pun untuk bertanya, tak punya apa pun untuk dibaca, dan tak tahu harus mulai dari mana. Di saat anak lain membahas kisah dalam novel, mereka masih bergelut mengeja huruf demi huruf.
Dalam lingkungan keluarga dengan SES tinggi, kegiatan literasi menjadi bagian dari budaya. Buku tersedia dalam berbagai tema dan level usia. Orang tua meluangkan waktu untuk membaca bersama, berdiskusi, bahkan memperkenalkan anak pada literatur klasik sejak dini. Anak-anak pun tumbuh dalam suasana yang memperkuat rasa ingin tahu dan memperkaya kosa kata. Di sisi lain, anak-anak dari keluarga miskin cenderung berada dalam suasana yang minim bahan bacaan dan komunikasi literatif. Hal ini berdampak langsung pada kemampuan mereka memahami informasi, berpikir kritis, dan mengungkapkan pendapat.
Padahal, literasi tidak hanya sebatas keterampilan membaca dan menulis. Lebih dari itu, literasi adalah kemampuan untuk memahami, mengevaluasi, dan menggunakan informasi dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan ini menjadi sangat penting dalam menghadapi tantangan zaman yang penuh dengan hoaks, manipulasi data, dan tuntutan berpikir kritis. Literasi adalah senjata untuk bertahan, beradaptasi, bahkan memimpin di era globalisasi.
Kesenjangan literasi yang diakibatkan oleh perbedaan status sosial ekonomi ini semakin diperparah oleh pandemi COVID-19. Pembelajaran daring yang semestinya menjadi solusi justru menjadi penghambat bagi anak-anak dari keluarga miskin. Menurut UNICEF (2020), hampir setengah dari anak-anak di Indonesia tidak memiliki perangkat teknologi yang memadai untuk mengikuti pembelajaran daring. Akibatnya, kesenjangan belajar makin lebar. Satu generasi berlari dengan gadget dan video pembelajaran, sementara yang lain tertinggal dalam keheningan tanpa sinyal.
Dalam laporan Sa’adah (2020), disebutkan bahwa keterbatasan fasilitas pembelajaran di rumah menjadi penghambat serius dalam peningkatan literasi. Anak-anak dari keluarga miskin bukan hanya kesulitan mengakses materi, tapi juga tidak mendapat bimbingan orang tua yang cukup karena jam kerja panjang atau keterbatasan pengetahuan. Lingkaran setan ini terus berulang, membentuk generasi yang belum sempat mengecap keadilan dalam akses pendidikan.
Namun, di tengah kenyataan yang mengkhawatirkan ini, harapan belum padam. Perubahan dimulai dari kesadaran kolektif bahwa literasi adalah tanggung jawab bersama. Orang tua, guru, pemerintah, dan masyarakat luas harus bersatu dalam membentuk ekosistem yang mendukung literasi. Pemerintah bisa memperbanyak akses buku murah dan perpustakaan keliling. Sekolah bisa memberikan pelatihan literasi untuk orang tua. Komunitas bisa menciptakan ruang baca di setiap sudut kota dan desa.
Lebih penting lagi, orang tua dengan latar belakang apa pun harus diberdayakan. Mereka harus disadarkan bahwa membaca bukan hanya urusan sekolah, tapi bagian dari pola asuh. Membacakan cerita sebelum tidur, menyediakan waktu 15 menit sehari untuk membaca bersama, atau sekadar mengajak anak berdiskusi tentang apa yang mereka lihat di sekitar, sudah menjadi langkah kecil yang berarti besar.
Indonesia memiliki potensi besar. Dengan jumlah penduduk muda yang tinggi, negeri ini bisa mencetak generasi emas. Tapi potensi itu tak akan berarti jika literasi anak-anak terus dibiarkan timpang. Kini saatnya bergerak. Jangan biarkan masa depan bangsa dikubur oleh ketimpangan sosial dan rendahnya minat baca. Literasi bukan hanya soal buku dan kata-kata, ia adalah cahaya yang menerangi jalan menuju bangsa yang cerdas, adil, dan maju.
Penulis: Dila Charisma, M.Pd saat ini sebagai dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Muhammadiyah Cirebon. Saat ini, ia tengah menempuh Program Doktor Prodi Ilmu Pendidikan Bahasa Universitas Negeri Semarang.
Review
Ridwan Kamil dan Bayang-Bayang Korupsi
Dugaan korupsi iklan Bank BJB menyeret nama Ridwan Kamil. KPK terus mendalami perannya, publik menanti langkah tegas dan transparan

Published
1 week agoon
13/04/2025By
N Ayu Ashari
Monitorday.com – Di balik citra arsitek yang memesona dan pemimpin progresif, Ridwan Kamil kini berada dalam pusaran sorotan tajam. Kasus korupsi iklan Bank BJB mengintip dari balik bayang kekuasaan.
Seperti menara indah yang tampak kokoh dari kejauhan, karier politik Ridwan Kamil tengah mengalami guncangan besar. Mantan Gubernur Jawa Barat ini terseret dalam pusaran dugaan korupsi pengadaan iklan di Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (Bank BJB). Jumlah yang disebut bukan sekadar angka: Rp222 miliar. Angka fantastis itu menjadi simbol dari potensi kebocoran anggaran dalam tubuh pemerintahan daerah yang selama ini dibanggakan sebagai model pembangunan urban dan tata kelola BUMD yang efisien.
Kisah ini tak sekadar tentang mark-up dana iklan. Ia menjadi narasi tentang bagaimana kekuasaan bisa terjebak dalam labirin kepentingan, dan bagaimana eksistensi figur publik berpotensi menjadi tameng maupun instrumen dalam skema besar yang tak kasatmata. Rumah Ridwan Kamil telah digeledah KPK pada 10 Maret 2025, sebuah langkah investigatif yang menandai babak serius penyelidikan. Namun, yang menarik: Ridwan Kamil belum dipanggil. Bukan karena tak terkait, tapi karena—mengutip Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu—“perannya ada di belakang.”
Frasa itu menyimpan banyak makna. Dalam logika penyidikan, ini berarti peran eks-Gubernur belum bisa dilepas begitu saja. Ada benang kusut yang harus diurai. Penyidik masih mengumpulkan informasi dari saksi-saksi internal Bank BJB dan vendor pengadaan iklan. Lima orang telah ditetapkan sebagai tersangka, termasuk Direktur Utama Bank BJB dan Kepala Divisi Corsec. Tapi, atmosfer publik jelas menanti: ke mana arah sorotan KPK berikutnya? Apakah Ridwan Kamil akan jadi simbol jatuhnya pejabat yang selama ini dielu-elukan karena gaya komunikasinya yang segar dan pendekatannya yang milenial?
Ridwan Kamil menegaskan dirinya sebagai ex-officio dalam pengawasan BUMD. Sebuah argumen struktural yang sah, namun dalam praktiknya sering kali tak sesederhana itu. Apalagi, laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sudah sejak awal mengindikasikan adanya selisih dana yang sangat mencurigakan antara anggaran dan nilai yang diterima media. Puluhan miliar rupiah tak bisa begitu saja menguap dari sistem, tanpa campur tangan atau pembiaran dari otoritas di atasnya.
Framing publik pun bergerak cepat. Media, warganet, dan pengamat hukum memutar rekaman masa lalu, membandingkan integritas, dan menyusun hipotesis. Apakah ini bagian dari ‘konspirasi politik’? Atau memang Ridwan Kamil terseret oleh struktur kekuasaan yang terlalu kompleks untuk dihindari? Kita belajar dari banyak kasus sebelumnya: dari mulut ikan kecil bisa terbuka mulut hiu. Dan publik sudah tak sabar melihat apakah sosok “RK” akan benar-benar dipanggil atau tetap menjadi bayangan di tepi penyidikan.
KPK, sebagai institusi yang terus berjuang menjaga integritasnya, berada di titik penting. Menyentuh nama besar selalu berarti dua hal: risiko dan legitimasi. Jika KPK berhasil mengurai dan membuktikan keterlibatan pejabat di level atas, maka kepercayaan publik akan meningkat. Tapi jika kasus ini stagnan, hanya menyentuh peran-peran teknis semata, publik akan kembali menyimpulkan: korupsi di Indonesia bukan soal hukum, tapi kekuasaan siapa yang paling kuat.
Proses masih panjang. Tapi satu hal pasti: waktu tak bisa lagi disuap. Dan sejarah tak pernah melupakan siapa yang berdiri bersama kebenaran, dan siapa yang bersembunyi di balik retorika.
Monitor Saham BUMN

Netanyahu Memilih Perang, Bukan Sandera

Esemka: Mobil Nasional yang Ghaib

Komunitas Otomotif Tumpuan Baru Ekonomi Kreatif

Plongoisme Merajalela, Kampus Jadi Ladang Bisu

Purnawirawan TNI Guncang Wacana Politik Nasional

Soal Polemik Hak Cipta dan Royalti Titiek Puspa, Begini Kata Label

Halalbihalal Muhammadiyah: Rajut Kolaborasi Kebangsaan

Halalbihalal Meriah, UMJ Kian Bersinar

Cetak Sejarah Baru Sepak Bola Indonesia

Ini Harapan Patrick Kluivert di HUT ke-95 PSSI

Tanpa Megawati, Gresik Petrokimia Gebuk Pertamina Enduro di Final Four Proliga 2025

Ampas Kopi Bisa Jadi Emas Hijau, Kok Bisa?

Negara Ini Baru Miliki ATM untuk Pertama Kalinya Sejak Merdeka 1978

Eropa Gertak Balik Trump: Tarif Melambung!

Tarif Trump: Indonesia Bangkit atau Tumbang?

Simbol Semangat dan Prestasi Sepak Bola Indonesia, PSSI Luncurkan Logo Khusus di HUT ke-95

Wow! Tembus 5 Juta Penonton, Jumbo Resmi Masuk 10 Besar Film Indonesia Terlaris

Paula Verhoeven Laporkan Hakim ke Komisi Yudisial, Ada Apa?

Menag Sorot Isu Potong Gaji Salat Jumat
