News
Sosok Gus dan Si Goblok
Published
14 hours agoon
By
Natsir AmirMonitorday.com – Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “Gus” merujuk pada gelar kehormatan yang diberikan kepada seseorang, terutama yang memiliki hubungan dengan kalangan pesantren atau keluarga ulama. Gelar ini umumnya digunakan untuk putra kyai atau santri yang telah memiliki pengetahuan agama yang mendalam.
Melihat rujukan KBBI di atas, tentu predikat “Gus” tidak sembarang orang yang bisa mendapatkannya. Betapa tidak, sosok “Gus” selalu hadir dengan kelembutan kata yang mengalir laksana air, penuh hikmah yang menyejukkan hati. Setiap nasehat yang diucapkannya bukan sekadar rangkaian kalimat, melainkan sebuah jembatan yang menghubungkan jiwa dengan nilai-nilai agama yang luhur.
Namun kita dikagetkan dengan satu kata yang mengejutkan. “Goblok”, kata yang terlontar dari “Gus” yang seharusnya mencerminkan kebijaksanaan, kini menjadi kontradiksi yang mengguncang tatanan moral kita.
Cukup miris, kata itu keluar dari sosok “Gus” yang katanya juga menjabat di pemerintahan, sejatinya teladan dalam berbicara dan berperilaku. Sebuah ironi yang mengoyak pemahaman kita akan makna sebuah gelar kehormatan.
Betapa sesungguhnya, kata “Gus” bukanlah sekadar gelar kosong yang bisa dipakai sembarangan, melainkan simbol dari keteladanan, kebijaksanaan, dan kesantunan yang sudah teruji. Seharusnya seorang yang menyandang gelar ini memahami bahwa kata-kata yang diucapkannya bukan hanya tentang suara, tetapi juga tentang kepercayaan dan martabat yang ditanggungnya.
Namun, “Gus” yang melontarkan kata “Goblok” kepada seorang penjual es yang telah menua. Jelas, seketika meruntuhkan pondasi kehormatan predikat yang dielu-elukan.
Padahal si penjual es yang hidup dalam kesederhanaan dan keterbatasan, meski hanya mengandalkan usaha kecil untuk menyambung hidup, justru menunjukkan sebuah keteguhan.
Keteguhan untuk terus bertahan di tengah himpitan kehidupan yang keras, dengan segala keterbatasan dan tanpa banyak keluhan.
Jika “Gus” yang berbicara tentang kebijaksanaan, mengapa kata-katanya justru menyakiti seorang yang lebih tua darinya, yang seharusnya dihormati? Seharusnya, “Gus” menjadi teladan dalam memberi ruang untuk orang lain, bukan menundukkan martabat orang yang lebih tua dengan hinaan yang tidak sepatutnya.
Sungguh ironis, dalam dunia yang katanya penuh dengan ilmu dan pengetahuan, seringkali kebodohan justru datang dari mereka yang merasa paling pintar.
Mereka yang merasa memiliki kuasa, uang, dan jabatan, ternyata mudah sekali tergelincir dalam kelalaian moral, karena kebodohan yang lahir dari kesombongan mereka. Bukankah kebodohan itu yang membuat mereka tertutup dari kebenaran, dan akhirnya membuat mereka terjebak dalam pusaran kesalahan yang tak berkesudahan?
Sebaliknya, si penjual es yang sederhana, dengan keterbatasan ilmunya, justru menunjukkan bahwa kebodohan bukanlah hal yang berhubungan dengan profesi atau status sosial. Ia yang mungkin tidak mengenal teori-teori canggih atau berbagai pengetahuan tinggi, tetapi ia mengerti betul bagaimana cara hidup yang penuh perjuangan.
Tidak peduli dengan apa yang dipandang orang, ia terus berusaha untuk memberi yang terbaik bagi keluarganya. Ia adalah contoh sejati dari keteguhan dalam menghadapi kenyataan hidup yang keras, bukan sekadar penilaiannya terhadap dunia dari sudut pandang kekuasaan atau jabatan.
Para pejabat, pemuka agama, atau mereka yang dianggap pintar, seringkali terjebak dalam jebakan kebodohan yang disebabkan oleh keserakahan, keangkuhan, dan ambisi yang berlebihan. Sehingga, meski dengan segala gelar, mereka akhirnya tenggelam dalam kelakuan yang merusak diri sendiri, bahkan merusak orang lain. Kebodohan yang mereka hasilkan bukanlah kebodohan yang terlihat dalam tindakan sederhana, tetapi kebodohan yang tersembunyi dalam kompleksitas pikiran yang terbelenggu oleh nafsu dan kepentingan pribadi.
Sementara itu, si penjual es yang sederhana ini, meski tidak berpendidikan tinggi, tetap menjalani hidup dengan cara yang jujur dan tidak mengada-ada. Ia mengisi setiap hari dengan kerja keras yang penuh makna, dan tetap berpegang pada nilai-nilai dasar kehidupan.
Apakah kebodohannya yang disuarakan oleh orang yang lebih berpendidikan dan memiliki jabatan itu, ataukah kebijaksanaan yang sesungguhnya ada pada orang yang rendah hati dan gigih berjuang dengan apa yang dimilikinya?
Jadi, ketika kata “Goblok” keluar dari mulut seorang “Gus”, kita harus merenung. Siapa sebenarnya yang bodoh dalam situasi ini? Apakah penjual es yang berusaha hidup dengan apa adanya, ataukah seorang “Gus” yang tampaknya telah lupa akan makna sejati dari kebijaksanaan, penghormatan, dan tanggung jawab yang seharusnya ia jaga?
Dalam hidup ini, seringkali mereka yang menganggap diri paling pintar justru terperosok dalam jurang kebodohan yang lebih dalam, sementara mereka yang tampak biasa saja, dengan tulus menjalani kehidupan, menjadi contoh sejati dari kebijaksanaan yang sesungguhnya.