News
Survei 100 Hari Prabowo – Gibran: Kepuasaan Publik 87,5 Persen, Kesehatan dan Pendidikan Jadi Alat Ungkit
Published
1 day agoon
By
Ma'ruf MtqMONITORDAY.COM – Seratus hari pertama pemerintahan selalu menjadi tolok ukur awal keberhasilan pemimpin baru. Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang pada 28 Januari 2025 genap 11 hari, telah menghadirkan harapan dan tantangan di tengah ekspektasi masyarakat.
Berdasarkan survei dari Lembaga Survei Nasional yang dilakukan pada 13-20 Januari 2025, secara umum tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Pemerintahan Prabowo-Gibran cukup tinggi dengan 87,5 persen. Survei ini dilakukan kepada 1.200 responden dengan margin of error 2.87 persen.
Peneliti Lembaga Survei Nasional, Fishya Amina membeberkan bahwa dalam surveinya program yang selama ini menjadi andalan Prabowo-Gibran yakni makan bergizi gratis justru bukan jadi faktor utama tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintahan baru ini.
“Program pilar Prabowo-Gibran seperti makan bergizi gratis, membangun lumbung pangan nasional, dan pemberantasan korupsi justru belum menjadi alasan utama tingginya tingkat kepuasan terhadap kinerja Pemerintah Prabowo-Gibran,” ujarnya saat merilis hasil surveinya, Kamis (23/1/2025).
Makanan Bergizi Gratis misalnya, hanya mendapatkan tingkat kepuasan sebesar 79,3 persen. Kemudian membangun lumbung pangan nasional mendapatkan 77,6 persen, dan pemberantasan korupsi mendapat tingkat kepuasan terendah yaitu 69,9 persen.
Adapun tiga program dari pemerintahan Prabowo-Gibran yang paling banyak disukai responden yakni terkait pemeriksaan kesehatan gratis, 7 kebiasaan anak Indonesia hebat, serta pelatihan kompetensi guru.
Itu artinya, Kemendterian Kesehatan di bawah kepemimpinan Budi Gunadi Sadikin, dan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti menjadi alat ungkit yang efektif untuk membuat publik puas terhadap kinerja pemerintah. Tiga program yang bisa kita kategorikan dalam pelayanan dasar ini telah dirasakan dampak positifnya.
Meski begitu, Direktur Eksekutif DEEP Indonesia Neni Nur Hayati berpendapat, masih terlalu dini untuk memberikan penilaian dalam rentang 100 hari dalam peta perjalanan pemerintahan selama lima tahun kedepan. Namun tentu ini menjadi langkah awal yang baik dan Neni berharap ini tidak menjadi jumawa karena langkah ke depan masih sangat Panjang.
Ia menilai, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan tingkat kepuasan masyarakat begitu tinggi. Pertama, kepuasan masyarakat terhadap implementasi kebijakan populis, misalnya yang serba gratis, makan gizi gratis, bansos dan pemeriksaan kesehatan gratis yang dampaknya bisa langsung dirasakan masyarakat.
Menurutnya, insiden keracunan pangan di beberapa daerah seperti Jawa Tengah dan Kalimantan Utara menyoroti lemahnya kontrol kualitas dan pengawasan.
“Bagaimana mungkin kebijakan yang dirancang untuk membantu malah menjadi ancaman bagi rakyat? Ini menunjukkan bahwa prioritas pemerintah masih pada pencitraan, bukan substansi,” kata Neni.
Ia menilai dari hasil survei terdapat program yang bukan populis seperti yang dilakukan Mendikdasmen yakni 7 kebiasaan baik adalah program yang baru tetapi masuk dalam kepuasan program di masyarakat yang bisa menanamkan akhlak dan karakter siswa.
“Tentu saja kita melihat pemerintah belum banyak melakukan hal-hal negatif . Tidak menutup kemungkinan tatkala ada kebijakan yang bertentangan dengan masyarakat atau kontraproduktif, maka tingkat kepuasan bisa menurun karena adanya kebijakan yang tidak disukai masyarakat,” tambahnya.
Neni juga menyoroti hasil survei yang menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi masih berada di titik ekstrim. Pemberantasan korupsi ini memang masih setengah hati, karena legacy dari Presiden ke7- Joko Widodo selama dua periode terindikasi mengeluarkan kebijakan untuk untuk melemahkan lembaga KPK.
Apalagi hasil riset OCCRP yang menyampaikan Jokowi sebagai tokoh terkorup dunia. Ini tentu menjadi tantangan berat di periode Presiden Prabowo karena Jokowi menyisakan catatan kelam. Diperlukan komitmen serius dan kemauan politik untuk penegakan korupsi di Indonesia.
“Ruang komunikasi dengan masyarakat sipil harus dijaga agar setiap masukan, setiap kritik bisa disampaikan langsung. Kalau masyarakat sipil sudah berjarak dengan pemimpin, akhirnya tidak ada sinergi dalam pemberantasan korupsi,” tambahnya.
Sementara itu, Koordinator TePI Jeirry Sumampow berpendapat, tingkat kepuasan yang tinggi adalah hal yang logis karena publik terpesona kebijakan pemerintah yang populis. Dalam 100 hari pertama, Presiden sudah membuktikan janji kampanyenya dengan melaksanakan sejumlah program seperti makan bergizi gratis pada awal tahun ini.
“Program pemeriksaan kesehatan gratis mendapatkan respon positif di media sosial dari temuan DEEP Indonesia. Sebab, program ini sangat dibutuhkan masyarakat dan jelas anggarannya,” kata Jeirry.
Ia pun mengungkapkan, dari hasil penelitian ini menunjukkan dua fenomena terkait menteri yang populer di media sosial.
Fenomena yang pertama, menteri yang dikenal bukan karena kebijakannya dan Menteri yang sebelumnya tidak populis tapi dikenal melalui program terobosannya seperti Mendikdasmen.
Pakar komunikasi politik, Gungun Heryanto mengapresiasi hasil temuan LSN dan DEEP Indonesia terkait evaluasi 100 hari kinerja pemerintahan Prabowo-Gibran. Menurutnya hasil survey dan media analitik sebagai produk akademik dan bagian penting dalam konteks diskursus publik.
Gungun menilai hasil penelitian ini sebagai survei opini yang bersifat dinamis dan bersifat parsial. Ia pun berpendapat kinerja pemerintah belum dapat diukur dalam 100 hari saja.
“Survei dan media analitik ini untuk melihat indikasi progres dari kinerja pemerintah. Karena itu, hasil penelitian merupakan bacaan awal dan bukanlah sebuah kesimpulan,” ucap Gungun.
Pengamat politik Kunto Adi Wibowo selaku pembicara terakhir mengatakan, dirinya tidak kaget karena tingginya hasil survei karena sama dengan sejumlah lembaga lainnya.
Menurutnya, tingginya kepuasan publik meskipun terdapat sejumlah program yang belum berjalan merupakan fenomena yang menarik. Menurutnya, masyarakat Indonesia masih memelihara bias optimisme. Hal ini berarti masyarakat tetap merasa optimis dengan pemerintah meskipun kondisinya sehari-hari masih susah.
“Bias optimisme terlihat di hasil survei ini. Terjadi kebingungan antara harapan dan kepuasan. Hal ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Masyarakat harus melihat kerja yang nyata dan adanya pengawasan,” tutupnya.