Monitorday.com – Komentar Syekh Usamah Sayyid al-Azhari ketika mendiskusikan tesis untuk memperoleh gelar master seorang mahasiswa di Al-Azhar Mesir beredar viral ramai dikomentari.
Meskipun munaqasyah itu terjadi tahun lalu (Agustus 2023), artinya jauh sebelum beliau diangkat menjadi Menteri Wakaf, namun potongan video itu mendapat tanggapan luas beberapa hari ini.
Hal ini karena dalam komentar itu, Syekh Usamah mempertanyakan referensi yang dirujuk sang mahasiswa ketika mendefinisikan al-ilhad (ateisme).
Sang mahasiswa merujuk pada risalah Syekh Ibnu Utsaimin.
Dengan tegas Syekh Usamah mengatakan bahwa Syekh Ibnu Utsaimin bukanlah rujukan dalam hal ini.
Akibat komentar itu berbagai kritikan, bantahan, bulliyan, bahkan cacian dilancarkan bertubi-tubi terhadap Syekh Usamah.
Tentu wajar, karena ini menyangkut seorang tokoh yang sangat diagungkan oleh kalangan Wahabi.
Apalagi dalam video itu, Syekh Usamah menyatakan bahwa Syekh Ibnu Utsaimin mengkafirkan Azhariyyin, istilah untuk keluarga besar alumni Al-Azhar Mesir.
Poin ini yang banyak ditanggapi kalangan Wahabi.
Mereka mempertanyakan dan menantang, kapan dan dimana Syekh Ibnu Utsaimin mengkafirkan Azhariyyin.
Secara eksplisit mungkin tidak, tetapi secara implisit Syekh Ibnu Utsaimin telah mengkafirkan Azhariyyin.
Demikian dijelaskan Dr Abdul Qadir Husein dalam video terbarunya menanggapi masalah ini.
Terlepas dari ‘tuduhan’ Syekh Usamah terhadap Ibnu Utsaimin dan pro-kontra yang terjadi seputar itu, ada satu poin penting yang perlu mendapat perhatian serius, yaitu masalah referensi dan rujukan.
Mahasiswa yang sedang mempertahankan tesis masternya itu mendefinisikan al-ilhad (ateisme) dan rujukannya adalah Syekh Ibnu Utsaimin.
Ini yang dipertanyakan oleh Syekh Usamah.
Apakah Syekh Ibnu Utsaimin bisa menjadi rujukan dalam mendefinisikan al-ilhad?
Berapa kajian yang dilakukannya tentang masalah ilhad?
Kenapa sang mahasiswa tidak merujuk pada sumber-sumber primer yang terpercaya, sekalipun dari pakar non-muslim?
Mereka lupa bahwa yang jadi fokus dalam hal ini adalah definisi al-ilhad.
Maka yang menjadi patokan dalam mendefinisikannya bukan lagi agama seseorang, melainkan sejauh mana kepakarannya dalam bidang tersebut.
Dalam bidang hadits misalnya, seorang peneliti ketika mendefinisikan hadits hasan, ia tidak akan merujuk ke buku Taysir Musthalah Hadits karya Dr Mahmud Thahan.
Bahkan meskipun alim itu seorang Azhariy, seorang bahits mesti merujuk ke sumber primer, bukan sumber sekunder.
Poin utama tentang marji’iyyah ini yang terabaikan dalam pro-kontra tentang komentar Syekh Usamah.
Serangan-serangan yang diarahkan pada Syekh Usamah sangat kental nuansa fanatik pada sosok Syekh Ibnu Utsaimin.
Tidak tertutup kemungkinan juga, serangan-serangan tersebut dilancarkan sekarang karena rasa antipati terhadap al-Azhar.
Yang menarik, menurut Dr Abdul Qadir Husein, hal yang jauh lebih ‘parah’ terjadi di salah satu Perguruan Tinggi di Madinah.
Syukurnya setelah diadakan perundingan yang cukup alot, penelitiannya tetap diterima secara mayoritas.
Adapun mahasiswa yang di-munaqasyah oleh Syekh Usamah pada akhirnya tetap mendapatkan nilai terbaik yaitu Mumtaz.