Monitorday.com – Tajikistan, salah satu negara mayoritas Muslim di Asia, kini tengah berada di bawah sorotan internasional setelah menerapkan larangan penggunaan hijab bagi perempuan.
Larangan ini diatur dalam undang-undang baru yang menggantikan UU lama tentang Aturan Tradisi dan Perayaan.
Menurut penggalan UU baru tersebut yang dikutip oleh First Post pada Senin (24/6), larangan mencakup “mengimpor, menjual, mempromosikan, dan menggunakan pakaian yang dianggap asing bagi kebudayaan nasional.”
Presiden Tajikistan Emomali Rahmon mempertahankan keputusan ini sebagai langkah untuk melindungi “budaya Tajik” serta meminimalisir pengaruh agama di masyarakat.
Budaya pakaian tradisional Tajikistan, yang kaya warna dan diilhami oleh gaya Persia, dipandang sebagai lambang dari identitas nasional yang ingin dijaga.
Sejak menjabat, Rahmon telah menunjukkan ambisi kuat untuk menerapkan prinsip sekularisme di Tajikistan dengan alasan untuk menanggulangi ekstremisme.
Kebijakan-kebijakan kontroversialnya termasuk pemaksaan pencukuran jenggot, pembatasan usia masuk masjid, penutupan ribuan masjid dalam waktu singkat, serta larangan penggunaan hijab.
Sebagian dari masjid yang ditutup diubah menjadi fasilitas kesehatan atau kedai teh, mencerminkan upaya pemerintah untuk mengalihkan fungsi ruang ibadah menjadi penggunaan sekuler.
Perdebatan terkait kebijakan ini semakin menguat di level internasional, dengan sejumlah pihak mengkritik bahwa langkah-langkah tersebut bisa mengekang kebebasan beragama dan budaya di negara yang mayoritas penduduknya Muslim ini.