MONITORDAY.COM – Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa secara demografis umat non muslim di daerah Indonesia Timur cukup banyak bahkan menjadi mayoritas. Hal ini tidak melemahkan Gerakan Muhammadiyah, namun justru amal usaha Muhammadiyah dalam bidang Pendidikan eksis di sana. Salah satunya adalah di Kabupaten Yapen Waropen Papua.
Menurut Fajar Riza Ul Haq penulis buku Kristen Muhammadiyah, sekolah Muhammadiyah di daerah Serui, Yapen Waropen Papua merekrut guru non muslim untuk mengajar di sekolahnya. Hal ini membuat mereka merekrut keluarganya dan kerabat untuk masuk sekolah Muhammadiyah.
“Awalnya mereka takut untuk masuk Muhammadiyah. Mereka takut dipaksa berhijab, dipaksa masuk Islam, namun kekhawatiran mereka tak terbukti,” ujar Fajar dalam Diskusi Virtual bertajuk Kristen Muhammadiyah yang diselenggarakan oleh Hati Pena TV pada Kamis, 9 November 2023.
Fajar menambahkan sebuah testimoni menarik dari mantan walikota dan bupati Jayapura serta Dewan Adat Papua yang mengaku bangga menjadi bagian dari Muhammadiyah.
“Mantan Walikota dan Bupati Jayapura keduanya adalah alumni sekolah Muhammadiyah. Dia mengatakan bahwa saya ini orang Muhammadiyah. Seorang kawan saya, peneliti LIPI Ahmad Najib Burhani pernah bertemu dengan dewan adat Papua. Dia mengatakan bahwa walaupun saya orang papua kristen, tapi saya juga orang Muhammadiyah karena saya alumni STIKOM Muhammadiyah Jayapura,” kisahnya di hadapan para peserta diskusi.
Cerita menarik lainnya diungkapkan Fajar dari SMA Muhammadiyah Putussibau, dimana warga Kristen di sana menyekolahkan anaknya ke sekolah Muhammadiyah secara turun temurun.
“Yang menarik, jika ibunya sekolah di Muhammadiyah maka anaknya disekolahkan juga di Muhammadiyah. Siswa yang sekolah di Muhammadiyah, di akhir pekan aktif di organisasi pemuda Katolik. Saat melanjutkan perguruan tinggi, melanjutkan di akademi Muhammadiyah di Pontianak,” ujar Fajar mengisahkan pengalamannya.
Berdasarkan pengalamannya tersebut, Fajar mengambil kesimpulan bahwa sekolah bisa jadi laboratorium keberagaman, dimana antar umat muslim dan kristiani bisa saling berdialog dan berjumpa.
“Sekolah tidak hanya lembaga pendidikan, namun juga sebagai laboratorium bagaimana hubungan antarumat beragama terjadi dan terjembatani. Menurut Kuntowijoyo sekolah telah menjadi jembatan bagi terbentuknya konvergensi sosial dimana antara umat Islam dan Kristen bisa berdialog dan berjumpa,” tutupnya.