Ruang Sujud
Ukhuwah Islamiyah: Membangun Tali Persaudaraan dalam Keberagaman
Published
5 months agoon
By
Robby Karman
Monitorday.com – Ukhuwah Islamiyah adalah konsep yang sangat penting dalam Islam, yang menekankan pada persaudaraan dan kesatuan umat Muslim. Kata “ukhuwah” berasal dari bahasa Arab yang berarti persaudaraan, dan konsep ini mengajarkan agar umat Islam saling mendukung, mengasihi, dan menghormati satu sama lain, tanpa memandang latar belakang sosial, etnis, ataupun budaya. Persaudaraan dalam Islam merupakan nilai yang menyatukan umat Islam, baik dalam kehidupan pribadi, sosial, maupun profesional.
Ukhuwah Islamiyah sebagai Fondasi Kehidupan Muslim
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Hujurat ayat 10, “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat”. Ayat ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga hubungan persaudaraan antara sesama Muslim. Ukhuwah Islamiyah bukan hanya soal hubungan antara individu, tetapi juga tentang membangun solidaritas dan kerjasama antar umat Islam untuk mencapai kebaikan bersama.
Ukhuwah Islamiyah juga menjadi pilar utama yang menyatukan umat Islam dalam menghadapi tantangan hidup. Sebagai umat yang terbagi dalam berbagai suku, bangsa, dan wilayah, ukhuwah Islamiyah menjadi solusi untuk menjaga persatuan dan kesatuan. Melalui ukhuwah, umat Islam dapat mewujudkan keharmonisan dalam masyarakat, serta mencegah perpecahan yang bisa merusak kekuatan kolektif umat.
Prinsip-Prinsip Ukhuwah Islamiyah
Ukhuwah Islamiyah memiliki beberapa prinsip yang harus dijaga oleh setiap individu Muslim untuk memastikan hubungan persaudaraan tetap kokoh. Berikut adalah prinsip-prinsip utama dalam ukhuwah Islamiyah:
- Saling Menghormati dan Memahami
Dalam ukhuwah Islamiyah, setiap individu dihargai dan dihormati. Setiap perbedaan harus dipandang sebagai suatu hal yang wajar, dan bukan sebagai alasan untuk saling mencela atau merendahkan. Ukhuwah Islamiyah mengajarkan kita untuk menghormati hak dan perasaan orang lain. - Tolong-Menolong dalam Kebaikan
Salah satu prinsip penting dalam ukhuwah Islamiyah adalah saling membantu dalam segala aspek kehidupan. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Ma’idah ayat 2, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan”. Tolong-menolong dalam kebaikan adalah bagian dari ikatan ukhuwah yang mengarah pada keberkahan dan kebaikan bersama. - Mengutamakan Persatuan
Ukhuwah Islamiyah mengajarkan kita untuk mengutamakan persatuan dalam segala hal. Persatuan ini mencakup persatuan hati, pikiran, dan langkah dalam memperjuangkan kebaikan. Persatuan yang kuat akan menjadikan umat Islam lebih tangguh dan solid dalam menghadapi berbagai ujian hidup. - Saling Memaafkan dan Menjaga Kedamaian
Ukhuwah Islamiyah juga mengajarkan pentingnya saling memaafkan. Ketika ada perselisihan, umat Islam diajarkan untuk segera memaafkan dan memperbaiki hubungan. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, “Dan hendaklah kamu memaafkan dan memberi maafkanlah mereka” (QS. Al-Baqarah: 263). Dengan saling memaafkan, ukhuwah akan semakin kuat dan tidak ada lagi kebencian yang menghalangi hubungan antar sesama.
Ukhuwah Islamiyah di Era Modern
Di zaman sekarang, ukhuwah Islamiyah menghadapi tantangan baru. Globalisasi dan kemajuan teknologi membawa dunia semakin terhubung, tetapi juga menghadirkan berbagai potensi perpecahan. Di dunia maya, kita sering melihat banyaknya perbedaan pendapat yang mengarah pada perpecahan antar umat Islam. Dalam menghadapi hal ini, penting untuk mengingat kembali prinsip-prinsip ukhuwah Islamiyah yang mengajarkan saling menghargai, saling menolong, dan menjaga kedamaian.
Namun, teknologi juga dapat menjadi alat yang baik untuk memperkuat ukhuwah Islamiyah. Media sosial dan platform digital lainnya dapat digunakan untuk saling berbagi ilmu, menyebarkan nilai-nilai Islam, dan menjaga silaturahmi antar umat Muslim di seluruh dunia. Sebagai contoh, banyak organisasi Islam yang menggunakan media sosial untuk mengadakan kajian, seminar, dan acara keagamaan yang dapat diikuti oleh umat Islam di berbagai belahan dunia. Ini adalah bentuk nyata bagaimana teknologi dapat mendukung persatuan dan ukhuwah Islamiyah.
Ukhuwah Islamiyah dalam Kehidupan Sosial
Kehidupan sosial umat Islam juga sangat bergantung pada ukhuwah Islamiyah. Sebagai contoh, dalam kehidupan sehari-hari, umat Islam diajarkan untuk saling membantu tetangga, memberikan sedekah kepada yang membutuhkan, serta menjaga hubungan baik dengan masyarakat sekitar. Dalam hal ini, ukhuwah Islamiyah tidak hanya terwujud dalam bentuk kata-kata, tetapi juga dalam tindakan nyata yang memperlihatkan kepedulian terhadap sesama.
Selain itu, ukhuwah Islamiyah juga dapat menciptakan keharmonisan dalam lingkungan kerja, pendidikan, dan keluarga. Dalam dunia kerja, misalnya, penting untuk menjaga hubungan yang baik dengan rekan kerja, tidak membeda-bedakan berdasarkan status sosial atau jabatan, serta bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Di dunia pendidikan, ukhuwah Islamiyah mengajarkan para siswa dan pendidik untuk saling menghargai dan bekerja sama dalam proses pembelajaran. Dalam keluarga, ukhuwah Islamiyah memperkuat ikatan keluarga agar setiap anggotanya merasa dihargai dan didukung dalam segala hal.
Kesimpulan
Ukhuwah Islamiyah adalah konsep yang sangat mendalam dan luas dalam Islam. Melalui prinsip-prinsip yang ada, umat Islam diajarkan untuk menjaga persatuan dan saling mendukung dalam segala hal. Dalam era modern ini, tantangan dalam menjaga ukhuwah Islamiyah memang semakin besar, tetapi dengan teknologi dan komunikasi yang ada, ukhuwah Islamiyah dapat diperkuat dan diteruskan ke generasi berikutnya. Yang terpenting adalah menjaga nilai-nilai Islam dan memelihara persaudaraan antar sesama Muslim, karena ukhuwah Islamiyah bukan hanya sebuah konsep, melainkan juga tindakan yang membawa kedamaian dan kebaikan bagi umat Islam di seluruh dunia.

Mungkin Kamu Suka
Ruang Sujud
Thaharah Sebagai Syarat Sah Ibadah: Kajian Fikih Praktis
Published
3 hours agoon
17/05/2025
Monitorday.com – Thaharah bukan sekadar anjuran dalam Islam, melainkan merupakan syarat sah bagi sejumlah ibadah utama. Tanpa thaharah yang benar, ibadah seperti salat, tawaf, dan menyentuh mushaf Al-Qur’an menjadi tidak sah. Oleh karena itu, pemahaman tentang fikih thaharah sangat penting agar umat Islam dapat melaksanakan ibadah dengan sempurna dan diterima oleh Allah SWT.
Dalam salat, thaharah menjadi fondasi utama. Sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi SAW, “Tidak diterima salat seseorang tanpa bersuci” (HR. Muslim). Ini menunjukkan bahwa ibadah salat tidak akan sah jika seseorang masih berada dalam keadaan hadas atau belum menyucikan diri dari najis. Karena itu, memastikan diri telah berwudhu atau mandi wajib sebelum salat adalah bentuk ketaatan yang mendasar.
Selain salat, thaharah juga menjadi syarat untuk tawaf mengelilingi Ka’bah. Sebagaimana halnya salat, ibadah tawaf menuntut kebersihan dari hadas dan najis. Para ulama sepakat bahwa orang yang melakukan tawaf dalam keadaan tidak suci maka tawafnya tidak sah, dan harus diulang setelah bersuci.
Thaharah juga menjadi syarat bagi seseorang yang ingin menyentuh mushaf Al-Qur’an. Mayoritas ulama berpendapat bahwa menyentuh mushaf dalam keadaan hadas kecil maupun besar adalah tidak diperbolehkan. Hal ini didasarkan pada ayat, “Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” (QS. Al-Waqi’ah: 79), meskipun terdapat perbedaan penafsiran, namun kehati-hatian tetap dianjurkan.
Dalam kajian fikih praktis, penting pula memahami hal-hal yang membatalkan thaharah. Misalnya, buang air kecil atau besar, keluar angin dari dubur, tidur pulas, atau menyentuh kemaluan secara langsung tanpa pembatas. Begitu pula untuk mandi wajib, seseorang harus memastikan tidak ada bagian tubuh yang terlewat, karena jika masih ada yang belum terkena air, maka mandinya tidak sah.
Kajian fikih thaharah tidak hanya terbatas pada teori, tetapi harus diterapkan dalam keseharian. Umat Islam perlu membiasakan diri untuk memahami tata cara bersuci yang benar, seperti menggunakan air secukupnya tanpa berlebihan, dan memastikan tempat ibadah dalam keadaan suci. Bahkan dalam kondisi terbatas seperti sakit atau tidak ada air, Islam memberikan alternatif tayammum, sebagai bentuk kemudahan dalam bersuci.
Dengan demikian, thaharah bukan hanya soal bersih fisik, tetapi juga tanda kesiapan spiritual untuk berinteraksi langsung dengan Allah. Ia menjadi pintu masuk untuk semua ibadah besar dalam Islam. Maka, menjaga thaharah adalah menjaga kualitas ibadah itu sendiri. Siapa yang meremehkannya, maka ibadahnya pun bisa terancam sia-sia.

Monitorday.com – Dalam Islam, thaharah atau bersuci memiliki beberapa bentuk yang disesuaikan dengan keadaan hadas atau najis yang dialami seseorang. Secara umum, thaharah terbagi menjadi dua jenis utama: thaharah dari hadas dan thaharah dari najis. Keduanya memiliki cara dan ketentuan masing-masing yang telah diatur dalam syariat Islam.
Pertama, thaharah dari hadas kecil dapat dilakukan dengan wudhu. Wudhu adalah membasuh anggota tubuh tertentu dengan air, seperti wajah, tangan, kepala, dan kaki. Wudhu menjadi syarat sah untuk melakukan salat dan ibadah lainnya. Apabila seseorang berhadats kecil—seperti buang air kecil, buang angin, atau tidur nyenyak—maka wudhu wajib dilakukan sebelum kembali beribadah.
Kedua, untuk hadas besar, dibutuhkan mandi wajib atau ghusl. Ini dilakukan ketika seseorang mengalami kondisi seperti junub, haid, atau nifas. Proses mandi wajib meliputi niat, membasuh seluruh tubuh tanpa ada bagian yang terlewat, dan menghilangkan najis jika ada. Tanpa mandi wajib, ibadah seperti salat, puasa, atau membaca Al-Qur’an dalam kondisi junub tidak diperbolehkan.
Selain itu, ada pula tayammum, yaitu bersuci menggunakan debu atau tanah suci ketika air tidak tersedia atau tidak dapat digunakan karena alasan tertentu seperti sakit. Tayammum juga memiliki tata cara khusus, seperti menyapukan debu ke wajah dan kedua tangan. Ini menunjukkan fleksibilitas Islam dalam menjaga kemudahan umatnya dalam menjalankan ibadah.
Di samping hadas, Islam juga mengenal thaharah dari najis, yaitu benda yang kotor menurut syariat seperti darah, air kencing, atau kotoran. Membersihkan najis dilakukan dengan mencucinya hingga hilang bau, warna, dan rasanya. Dalam beberapa kasus seperti najis mutawassithah (najis sedang), cukup dengan air bersih. Sedangkan najis mughallazhah (najis berat seperti anjing), harus dibersihkan dengan tujuh kali basuhan dan salah satunya menggunakan tanah.
Pemahaman terhadap jenis-jenis thaharah penting agar umat Islam dapat menunaikan ibadahnya dengan benar dan sah. Kecerobohan dalam bersuci bisa membuat ibadah menjadi tidak diterima. Oleh karena itu, penting bagi setiap Muslim untuk mempelajari dan membiasakan praktik thaharah dalam kehidupan sehari-hari.
Dari wudhu yang dilakukan lima kali sehari, hingga mandi wajib yang menyucikan diri dari hadas besar, semua bentuk thaharah mengajarkan kedisiplinan, ketertiban, dan spiritualitas yang tinggi. Islam meletakkan nilai besar pada kebersihan sebagai bagian dari keimanan, menjadikan thaharah bukan sekadar ritual, tetapi juga gaya hidup.
Ruang Sujud
Makna dan Pentingnya Thaharah dalam Kehidupan Sehari-hari
Published
10 hours agoon
17/05/2025
Monitorday.com – Dalam ajaran Islam, thaharah atau bersuci bukan hanya soal kebersihan fisik, melainkan juga cerminan kebersihan jiwa dan kepatuhan seorang Muslim terhadap perintah Allah. Thaharah berasal dari kata “thahara” yang berarti bersih atau suci. Dalam konteks agama, thaharah mencakup semua bentuk upaya untuk membersihkan diri dari hadas (besar maupun kecil) serta najis yang menghalangi seseorang untuk beribadah secara sah.
Thaharah memiliki kedudukan yang sangat penting dalam Islam. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Kebersihan adalah sebagian dari iman” (HR. Muslim). Hadis ini menjelaskan bahwa kebersihan bukan hanya aspek kesehatan, tapi juga ibadah. Dengan tubuh dan pakaian yang bersih, serta tempat ibadah yang suci, seorang Muslim menjadi layak untuk menghadap Allah dalam salat maupun ibadah lainnya.
Praktik thaharah dimulai dari hal-hal kecil yang sering dilakukan sehari-hari, seperti mencuci tangan sebelum makan, berwudhu sebelum salat, menjaga kebersihan pakaian, hingga memotong kuku dan merapikan rambut. Semua ini bukan sekadar kebiasaan baik, melainkan bagian dari ibadah yang bernilai pahala.
Lebih dari itu, thaharah juga mengajarkan keteraturan hidup. Dengan rutin menjaga kebersihan diri, rumah, dan lingkungan, umat Islam didorong untuk menjadi pribadi yang disiplin dan bertanggung jawab. Kebersihan lahir ini secara tidak langsung mencerminkan kebersihan batin, karena seseorang yang menjaga fisiknya bersih biasanya juga berusaha menjaga hatinya dari sifat buruk.
Dalam kehidupan modern, nilai-nilai thaharah tetap relevan. Di tengah dunia yang rentan terhadap penyakit dan polusi, ajaran thaharah menjadi solusi Islami yang mendukung gaya hidup sehat. Misalnya, membiasakan mencuci tangan, mandi secara teratur, serta membuang sampah pada tempatnya—semuanya bisa dilihat sebagai wujud implementasi thaharah dalam konteks kontemporer.
Kesimpulannya, thaharah adalah fondasi dari kehidupan spiritual dan sosial umat Islam. Ia bukan hanya syarat sah ibadah, tetapi juga cerminan keimanan dan kesadaran akan pentingnya hidup bersih. Menjaga thaharah berarti menjaga hubungan kita dengan Allah dan juga sesama manusia. Maka, mari jadikan thaharah sebagai bagian dari gaya hidup, bukan hanya ketika hendak salat, tetapi dalam setiap aspek kehidupan kita.
Ruang Sujud
Uzlah di Era Digital: Relevansi Praktik Menyendiri di Tengah Hiruk Pikuk Media Sosial
Published
23 hours agoon
16/05/2025
Monitorday.com – Di tengah era digital yang begitu bising dan penuh distraksi, uzlah justru menjadi semakin relevan. Ketika setiap detik kita dibombardir dengan notifikasi, opini, dan informasi yang tak pernah berhenti, praktik menyendiri untuk mendekatkan diri kepada Allah dan merawat kesehatan jiwa menjadi kebutuhan yang mendesak.
Uzlah di era digital bukan lagi sekadar menyepi di gua atau hutan, tapi bisa berbentuk detoks digital—memutus sementara akses dari media sosial, grup obrolan, dan konten hiburan. Tujuannya tetap sama: menenangkan hati, menjernihkan pikiran, dan menghidupkan kembali kesadaran spiritual yang sering kali terkubur oleh hiruk pikuk dunia maya.
Media sosial telah menciptakan tekanan sosial yang tak kasat mata. Kita merasa harus selalu terlihat aktif, produktif, bahkan bahagia. Dalam jangka panjang, ini bisa melahirkan rasa hampa, cemas, hingga depresi. Maka uzlah, dalam bentuk sederhana seperti mematikan ponsel selama beberapa jam sehari untuk membaca Al-Qur’an, berzikir, atau merenung, bisa menjadi pelindung jiwa dari kelelahan mental yang diam-diam menggerogoti.
Menariknya, banyak generasi muda kini mulai menyadari pentingnya slow living dan spiritual reset. Fenomena seperti “digital detox weekend,” “silent retreat,” atau “offline day” pada dasarnya sejalan dengan nilai uzlah dalam Islam. Mereka ingin sejenak lepas dari tuntutan dunia luar, untuk bisa mengenali kembali suara hati dan arah hidup yang sebenarnya.
Namun, penting untuk diingat bahwa uzlah bukan pelarian dari tanggung jawab. Justru setelah uzlah, seseorang diharapkan kembali ke tengah masyarakat dengan energi baru, hati yang lebih ikhlas, dan pandangan yang lebih jernih. Di sinilah uzlah menjadi latihan jiwa, bukan sekadar kesendirian fisik, tapi penyucian batin agar bisa hadir lebih utuh dalam kehidupan nyata.
Menghidupkan uzlah di era digital berarti berani berhenti sejenak agar tidak hanyut dalam arus dunia. Ini adalah bentuk perlawanan lembut terhadap budaya kebisingan dan kecepatan, sekaligus bentuk cinta terhadap jiwa yang haus akan ketenangan dan kehadiran Tuhan.
Ruang Sujud
Uzlah dalam Sejarah Ulama: Ketika Kesendirian Menjadi Sumber Hikmah
Published
1 day agoon
16/05/2025
Monitorday.com – Sejak masa klasik Islam, uzlah atau menyendiri telah menjadi pilihan spiritual banyak ulama dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah dan meraih hikmah yang lebih dalam. Bagi mereka, kesendirian bukanlah bentuk pengasingan sosial, melainkan sarana untuk membersihkan hati, memperdalam ilmu, dan menata kembali orientasi hidup.
Salah satu tokoh yang dikenal menjalani uzlah adalah Imam al-Ghazali. Setelah mengalami krisis spiritual dan keraguan terhadap ilmu-ilmu duniawi, ia meninggalkan jabatan prestisiusnya sebagai guru besar di Baghdad. Ia kemudian melakukan uzlah selama bertahun-tahun, mengembara dan bermukim di tempat-tempat sunyi seperti Damaskus dan Yerusalem. Dari uzlah inilah lahir karya agungnya, Ihya Ulumuddin, yang hingga kini menjadi rujukan utama dalam dunia tasawuf dan etika Islam.
Imam Ahmad bin Hanbal juga dikenal membatasi interaksi sosialnya dalam jangka waktu tertentu untuk menjaga kemurnian ilmu dan niat dalam beribadah. Meski hidup di tengah umat, ia selektif dalam bergaul, lebih memilih merenung dan mendalami Al-Qur’an serta hadis dalam kesendirian.
Dalam konteks tasawuf, uzlah merupakan bagian dari suluk, yakni perjalanan ruhani menuju Allah. Tokoh-tokoh sufi seperti Rabi’ah al-Adawiyah dan Ibrahim bin Adham banyak dikenal karena praktik uzlah mereka yang penuh kedalaman spiritual. Dalam sunyi mereka menemukan cinta sejati kepada Sang Pencipta dan menjadikan hidup mereka penuh makna.
Uzlah juga melahirkan ulama dengan hikmah yang mendalam. Dengan memisahkan diri sejenak dari kegaduhan dunia, mereka memiliki ruang untuk merenung lebih dalam tentang makna hidup, hubungan dengan Tuhan, dan tanggung jawab sebagai khalifah di bumi. Karena itu, uzlah dalam sejarah bukan hanya menyumbang ketenangan pribadi, tetapi juga melahirkan karya, pemikiran, dan pengaruh besar bagi umat.
Kisah-kisah uzlah para ulama ini mengajarkan kita bahwa untuk menjadi manusia yang lebih bijak dan berdaya guna, kadang kita perlu berhenti sejenak. Dalam diam mereka menemukan suara kebenaran, dan dari sepi lahir kebijaksanaan yang abadi.
Ruang Sujud
Manfaat Uzlah bagi Jiwa: Menemukan Ketenangan dalam Kesendirian
Published
1 day agoon
16/05/2025
Monitorday.com – Di tengah dunia yang semakin bising dan serba cepat, manusia modern sering kali kehilangan ruang untuk mendengarkan suara hatinya sendiri. Di sinilah uzlah hadir sebagai jalan keluar—bukan untuk melarikan diri dari kehidupan, tetapi untuk menyegarkan kembali jiwa yang lelah. Uzlah memberi ruang bagi seseorang untuk berhenti sejenak, menyendiri, dan merenung dalam keheningan yang menyembuhkan.
Secara psikologis, uzlah dapat membantu seseorang mengurangi stres dan kecemasan. Ketika rutinitas dunia yang padat membuat kita kehilangan kendali, menyendiri sejenak justru bisa memulihkan fokus dan ketenangan batin. Dengan menjauh dari hiruk-pikuk, seseorang bisa lebih jujur pada dirinya sendiri, melihat persoalan hidup dengan sudut pandang yang jernih.
Dari sisi spiritual, uzlah membuka ruang untuk mendekatkan diri kepada Allah tanpa gangguan. Dalam sunyi, dzikir menjadi lebih khusyuk, doa terasa lebih dalam, dan introspeksi pun lebih jujur. Kesendirian ini membawa seseorang pada kesadaran akan kelemahan dirinya dan kebesaran Allah. Ia menjadi tahu bahwa dalam sepi pun Allah selalu hadir, dan justru dalam kesunyian itu cinta-Nya terasa lebih dekat.
Tak heran jika banyak ulama dan tokoh besar dalam Islam meluangkan waktu khusus untuk uzlah. Imam Malik, misalnya, sering membatasi interaksinya demi menjaga kemurnian ilmu dan hati. Bahkan para sahabat Nabi pun terkadang mengasingkan diri sejenak dari kehidupan sosial untuk memperdalam hubungan mereka dengan Allah.
Namun, manfaat uzlah hanya bisa dirasakan jika dilakukan dengan niat yang benar. Uzlah bukan ajang pelarian dari masalah, apalagi bentuk penghindaran dari tanggung jawab. Uzlah yang benar justru menguatkan jiwa agar siap kembali menghadapi dunia dengan hati yang lebih tenang dan pikiran yang lebih jernih.
Dalam dunia modern, uzlah bisa dilakukan dengan cara sederhana—seperti mematikan ponsel selama sehari, duduk sendiri di taman sambil merenung, atau mengikuti retret keagamaan. Kuncinya adalah menyediakan ruang dan waktu untuk menghidupkan kembali suara hati, memperdalam relasi dengan Tuhan, dan menata kembali arah hidup. Dengan begitu, uzlah bukan sekadar praktik kesendirian, tetapi proses menemukan kembali ketenangan dan makna hidup.
Ruang Sujud
Uzlah dalam Islam: Jalan Sunyi Menuju Kedekatan dengan Allah
Published
1 day agoon
16/05/2025
Monitorday.com – Dalam tradisi Islam, uzlah adalah praktik menyendiri dari keramaian dunia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Praktik ini bukan sekadar menarik diri secara fisik, tetapi juga merupakan upaya menenangkan hati, menjernihkan pikiran, dan memfokuskan jiwa hanya kepada Sang Pencipta. Dalam sejarahnya, uzlah menjadi bagian penting dari perjalanan spiritual para nabi dan ulama.
Rasulullah Muhammad SAW sendiri menjalani uzlah sebelum menerima wahyu pertama. Beliau sering menyendiri di Gua Hira, mengasingkan diri dari hiruk-pikuk masyarakat Quraisy yang penuh dengan penyembahan berhala dan kerusakan moral. Dalam kesendirian itu, beliau merenung, berzikir, dan mencari makna hidup—hingga akhirnya Jibril datang membawa wahyu.
Islam tidak mewajibkan umatnya melakukan uzlah secara permanen, karena keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat sangat ditekankan. Namun dalam situasi tertentu, terutama saat iman melemah atau lingkungan sekitar justru menjauhkan dari kebaikan, uzlah bisa menjadi sarana untuk menyelamatkan diri secara ruhani. Imam al-Ghazali, dalam Ihya Ulumuddin, juga menekankan pentingnya uzlah bagi orang-orang yang belum mampu menjaga diri di tengah masyarakat yang penuh fitnah.
Uzlah juga bukan berarti melarikan diri dari tanggung jawab sosial. Justru setelah uzlah, seseorang diharapkan kembali dengan jiwa yang lebih kuat, hati yang lebih bersih, dan niat yang lebih tulus untuk memberi manfaat bagi sesama. Dalam konteks ini, uzlah bukanlah pelarian, tapi proses pembentukan pribadi yang matang secara spiritual.
Di era modern, bentuk uzlah bisa bermacam-macam—dari retret ruhani, iktikaf di masjid, hingga puasa media sosial. Yang terpenting adalah niatnya: menjauh dari distraksi dunia agar bisa kembali kepada Allah dengan lebih khusyuk. Uzlah bukan hanya milik para sufi atau orang yang ingin menjadi wali, tapi bisa menjadi jalan sunyi siapa pun yang rindu akan ketenangan dan cinta Ilahi.

Monitorday.com – Ta’aruf adalah proses yang indah dan mulia dalam Islam, tapi tidak sedikit yang keliru dalam menjalaninya. Niat awal yang baik bisa jadi melenceng jika dilakukan tanpa pemahaman dan bimbingan yang tepat. Supaya proses ta’aruf berjalan dengan benar dan penuh keberkahan, penting untuk mengenali berbagai kesalahan umum berikut dan cara menghindarinya.
1. Menganggap Ta’aruf seperti Pacaran Islami
Salah satu kesalahan paling sering terjadi adalah memperlakukan ta’aruf seperti versi “halal” dari pacaran. Mereka mulai chat intens, berbagi cerita personal yang terlalu dalam, bahkan saling panggil mesra sebelum akad. Padahal, ta’aruf bukan ajang pendekatan romantis, melainkan proses rasional mengenal seseorang untuk tujuan pernikahan.
👉 Solusi: Batasi komunikasi sesuai kebutuhan, dan selalu libatkan perantara agar tetap terjaga.
2. Tidak Melibatkan Pihak Ketiga
Banyak yang mencoba ta’aruf hanya berdua dengan calon pasangan lewat chat atau pertemuan langsung tanpa ada pendamping. Ini sangat rawan fitnah dan membuka celah syaitan untuk menggoda.
👉 Solusi: Ajak orang tua, ustaz, atau sahabat terpercaya sebagai mediator dalam setiap tahap.
3. Terlalu Fokus pada Penampilan dan Finansial
Memang penting melihat penampilan dan kesiapan finansial calon pasangan, tapi jika ini dijadikan satu-satunya tolok ukur, bisa fatal. Ta’aruf bukan ajang cari yang paling cakep atau tajir, tapi yang paling siap untuk jadi pasangan seumur hidup.
👉 Solusi: Fokus pada akhlak, komitmen agama, visi hidup, dan kesiapan membina keluarga.
4. Tidak Jujur Saat Menjawab Pertanyaan
Banyak yang ingin tampil sempurna saat ta’aruf, sehingga menyembunyikan kekurangan atau memberi jawaban yang dibuat-buat. Akibatnya, akan muncul banyak kejutan tak menyenangkan setelah menikah.
👉 Solusi: Jujur sejak awal. Lebih baik tahu kondisi sebenarnya sekarang daripada menyesal nanti.
5. Terlalu Cepat Mengambil Keputusan
Karena sudah merasa “klik”, banyak yang buru-buru mengambil keputusan tanpa benar-benar mempertimbangkan. Kadang hanya dalam sekali pertemuan langsung ingin lanjut ke khitbah, tanpa diskusi lebih dalam.
👉 Solusi: Jalani ta’aruf dengan tenang, lakukan beberapa sesi perkenalan, dan jangan lupakan shalat istikharah.
6. Mengabaikan Restu Orang Tua
Sebagian orang memilih jalan sendiri tanpa melibatkan orang tua sejak awal. Ini bisa menjadi masalah besar ketika orang tua tidak setuju, padahal hubungan sudah terlanjur dekat.
👉 Solusi: Libatkan orang tua sejak awal, bahkan sejak tahap niat. Restu mereka sangat penting untuk keberkahan rumah tangga.
Kesimpulannya, ta’aruf adalah proses suci yang harus dijalani dengan ilmu, bimbingan, dan hati-hati. Hindari kesalahan-kesalahan umum di atas agar ta’aruf benar-benar menjadi jalan terang menuju pernikahan yang diridhai Allah SWT.
Ruang Sujud
Panduan Ta’aruf untuk Pemula: Dari Niat hingga Khitbah
Published
2 days agoon
15/05/2025
Monitorday.com – Bagi banyak anak muda muslim, keinginan menikah seringkali hadir bersamaan dengan kebingungan: harus mulai dari mana? Di sinilah ta’aruf hadir sebagai panduan suci untuk mengenal calon pasangan dengan cara yang diridhai Allah. Jika kamu baru pertama kali mendengar atau ingin menjalaninya, berikut panduan ta’aruf dari awal hingga khitbah.
1. Mantapkan Niat
Langkah paling awal adalah meluruskan niat. Ta’aruf bukan ajang coba-coba apalagi pelarian dari kesepian. Ia adalah proses serius mencari pasangan hidup untuk membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Niat ini penting agar langkah selanjutnya tetap berada dalam jalur yang benar.
2. Siapkan Diri secara Mental dan Spiritual
Sebelum mencari pasangan, kamu harus menyiapkan diri terlebih dahulu. Tanyakan pada diri: apakah aku sudah cukup matang secara emosi, finansial, dan spiritual? Jangan buru-buru ta’aruf kalau belum siap menikah. Ta’aruf bukan tempat untuk sekadar mencari teman ngobrol atau curhat.
3. Minta Bantuan Perantara yang Tepercaya
Dalam Islam, interaksi lawan jenis sangat dijaga. Oleh karena itu, ta’aruf dilakukan dengan bantuan perantara, seperti orang tua, ustaz, mentor, atau sahabat yang paham agama. Mereka akan membantu menyambungkan dua pihak yang berniat menikah dan mengatur pertemuan dengan etika Islam.
4. Proses Perkenalan yang Terarah
Saat ta’aruf, hindari basa-basi yang tidak penting. Fokus pada pertanyaan-pertanyaan kunci: visi pernikahan, prinsip hidup, pandangan soal peran suami-istri, pengelolaan keuangan, relasi keluarga, hingga rencana masa depan. Jangan malu untuk menyampaikan ekspektasi dan nilai-nilai yang kamu pegang.
5. Evaluasi dan Shalat Istikharah
Setelah beberapa kali pertemuan, luangkan waktu untuk merenung dan berdoa. Shalat istikharah adalah cara memohon petunjuk dari Allah apakah calon tersebut baik untuk agama, kehidupan, dan masa depanmu. Libatkan orang tua atau mentor untuk berdiskusi dan mendapatkan masukan objektif.
6. Ambil Keputusan: Lanjut atau Tidak
Jika merasa cocok, kamu bisa lanjut ke tahap khitbah (lamaran). Namun jika tidak, jangan ragu untuk berhenti. Dalam ta’aruf, tidak ada ikatan emosional yang mendalam, jadi keputusan untuk mundur tidak akan melukai seperti halnya dalam pacaran. Sampaikan dengan baik dan saling menghormati.
7. Menuju Pernikahan
Setelah khitbah, kamu dan pasangan bisa melanjutkan proses persiapan pernikahan. Komunikasi tetap dilakukan dengan batasan yang syar’i. Ini adalah fase terakhir sebelum resmi menjadi pasangan halal di hadapan Allah dan masyarakat.
Kesimpulannya, ta’aruf adalah proses mulia yang memberi jalan terang bagi siapa pun yang ingin menikah dengan cara yang benar. Dengan niat yang lurus, sikap yang dewasa, dan bimbingan dari Allah, ta’aruf bisa menjadi awal dari perjalanan cinta yang penuh keberkahan.

Monitorday.com – Di tengah budaya populer yang membiasakan pacaran sebelum menikah, Islam hadir dengan alternatif yang lebih suci dan terjaga: ta’aruf. Keduanya sama-sama proses perkenalan, tetapi berbeda jauh dari segi tujuan, cara, dan keberkahan.
Pacaran seringkali dijalani tanpa komitmen jelas. Banyak pasangan menjalin hubungan bertahun-tahun, namun berakhir tanpa pernikahan. Bahkan, tak sedikit yang terjerumus dalam maksiat karena tidak adanya batasan syar’i. Pacaran memupuk rasa, kedekatan fisik, dan emosi, namun sering melalaikan akal dan pertimbangan rasional.
Sebaliknya, ta’aruf adalah proses mengenal seseorang secara serius dan terarah dengan niat menikah. Tidak ada gombalan, tidak ada jalan berdua tanpa mahram, dan tidak ada eksplorasi perasaan yang bisa menimbulkan zina hati. Semua dilakukan dalam bingkai syariat, dengan pendamping atau pihak ketiga, dan fokus pada karakter, nilai hidup, serta kesiapan membangun rumah tangga.
Dalam pacaran, seseorang bisa terjebak pada rasa nyaman semu. Akibatnya, banyak yang terlambat sadar bahwa pasangan mereka tidak sevisi dalam hal prinsip, keluarga, atau masa depan. Sementara dalam ta’aruf, pertanyaan-pertanyaan mendalam seperti visi keislaman, tujuan hidup, tanggung jawab finansial, dan peran dalam rumah tangga dibahas sejak awal.
Secara emosional, pacaran menguras banyak energi. Hubungan yang tidak halal rentan menyakiti hati dan menimbulkan trauma. Sementara ta’aruf tidak menyentuh ranah emosi secara berlebihan. Jika tidak cocok, keduanya bisa mundur dengan tetap saling menghormati, tanpa sakit hati mendalam.
Dalam pandangan Islam, pacaran tidak memiliki dasar syar’i. Sebaliknya, ta’aruf justru didukung oleh nilai-nilai keadaban, menjaga kehormatan, dan menjunjung kesucian pernikahan. Ia bukan hanya proses mengenal, tapi juga latihan dalam memuliakan calon pasangan sejak awal.
Kesimpulannya, jika ditanya mana yang lebih Islami antara pacaran dan ta’aruf, jawabannya tentu jelas: ta’aruf. Ia bukan hanya lebih aman secara lahiriah, tapi juga membawa keberkahan yang melimpah karena dilakukan dengan niat yang benar dan cara yang sesuai dengan ajaran agama.
Monitor Saham BUMN

Forum Menteri Pendidikan APEC Dukung Pendidikan Bermutu untuk Semua dan Digitalisasi Inklusif

Thaharah Sebagai Syarat Sah Ibadah: Kajian Fikih Praktis

Jenis-jenis Thaharah: Dari Wudhu hingga Mandi Wajib

Bertemu Prabowo, Presiden Industri Pertahanan Turki Perkuat Kemitraan Strategis

Makna dan Pentingnya Thaharah dalam Kehidupan Sehari-hari

Titi DJ dan Cakra Khan Duet di Lagu “Layar”

Putuskan Keluar dari Pelatnas, Ini Riwayat Pendidikan Jonatan Christie

Ronaldo Kembali Jadi Atlet Terkaya Dunia 2025, Jauh Tinggalkan Messi

Selamat! Anggoro Eko Cahyo Resmi Jabat Dirut BSI, Muhadjir Effendy Jadi Komut

Tiket Laga Indonesia vs China Kembali Dijual, Mulai Kapan?

Nama Jokowi dan Kaesang Masuk Bursa Calon Ketua Umum PSI

Prabowo Resmikan Produksi Perdana Lapangan Minyak Forel dan Terubuk di Natuna, Dukung Swasembada Energi

Wamendikdasmen Buka ToT Koding dan AI: Siapkan Guru Digital yang Cerdas dan Beretika

Uzlah di Era Digital: Relevansi Praktik Menyendiri di Tengah Hiruk Pikuk Media Sosial

Indonesia Perkenalkan ‘Rumah Pendidikan’ dan Kurikulum AI di Forum APEC, Dorong Transformasi Digital Inklusif

Uzlah dalam Sejarah Ulama: Ketika Kesendirian Menjadi Sumber Hikmah

Manfaat Uzlah bagi Jiwa: Menemukan Ketenangan dalam Kesendirian

Uzlah dalam Islam: Jalan Sunyi Menuju Kedekatan dengan Allah

Prabowo-PM Albanese Tukar Jersey, Simbol Persahabatan di Tengah Rivalitas Sepak Bola
