Monitorday.com – Pesan itu datang begitu tiba-tiba. Dr. Nurul, Kepala Biro SDM Universitas Muhammadiyah Cirebon, mengundang saya untuk menghadiri program Pre-PhD Coaching dan Kuliah Umum dari Universiti Muhammadiyah Malaysia di Meeting Room Convention Hall UMC.
Hari itu, Senin, 17 Februari, saya duduk di antara para akademisi, menyaksikan paparan dua cendekiawan UMAM: Assoc. Prof. Dwi Santoso, Ph.D., dan Assoc. Prof. Sohirin, Ph.D. Ada getar kebanggaan yang menjalar di hati, seolah menegaskan bahwa Muhammadiyah memang bukan sekadar organisasi, tetapi sebuah mesin peradaban yang terus bergerak maju.
Pernyataan almarhum Prof. Dr. Suyatno, mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Bandung, kembali menggema dalam benak saya: internasionalisasi Muhammadiyah itu nyata. UMAM adalah buktinya.
Terlebih Rektor UMC, Arif Nurudin MT, yang juga anggota Badan Pelaksana Harian (BPH) UMAM. Artinya, UMC sebagai kampus terbaik di wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan (Ciayumajakuning) ini telah menanam investasi mulia di tanah Jiran, melahirkan harapan baru bagi generasi mendatang.
Keberadaan UMAM bukan sekadar kebanggaan bagi Muhammadiyah, tetapi juga bagi Indonesia. Fokusnya yang tertuju pada program doktoral membuka jalan bagi akademisi untuk mengembangkan kapasitas riset sekaligus memperkuat posisi Muhammadiyah di ranah keilmuan internasional.
Program 5000 Doktor yang diinisiasi Majelis DiktiLitbang PP Muhammadiyah bukan lagi sekadar wacana, melainkan langkah konkret menuju keunggulan akademik. Dengan jejaring yang terus berkembang, kontribusi keilmuan dari Indonesia semakin diakui di tingkat global.
Seorang profesor pernah berkata, “Serahkan saja Indonesia kepada Muhammadiyah, maka negara ini akan keluar dari keterpurukan.” Pernyataan itu mungkin terdengar berlebihan, tetapi angka-angka tak bisa berbohong.
Muhammadiyah memiliki 172 perguruan tinggi, 122 rumah sakit, 231 klinik, 5.345 sekolah, 440 pesantren, dan lebih dari 20.465 aset wakaf. Sebagai raksasa filantropi, Muhammadiyah tak hanya bicara tentang keuntungan, melainkan kesejahteraan umat. Bahkan, tak sedikit yang menyebutnya sebagai organisasi Islam terkaya di dunia. Namun, di balik kekayaan materi itu, ada prinsip yang tak boleh pudar: kesederhanaan.
KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, pernah berpesan, “Hidupilah Muhammadiyah, tapi jangan cari hidup di Muhammadiyah.”
Kalimat ini telah menjadi pedoman moral bagi setiap kader. Muhammadiyah bukan tempat mencari keuntungan pribadi, melainkan ladang pengabdian yang harus dijaga dengan keikhlasan. Ukuran keberhasilannya bukanlah jumlah aset, tetapi seberapa besar manfaat yang diberikan kepada masyarakat.
Namun, zaman terus berubah. Tantangan Muhammadiyah di era modern semakin kompleks. Hedonisme, pragmatisme, dan individualisme mengancam nilai-nilai yang selama ini dijunjung tinggi. Tak sedikit yang tergoda menggunakan nama besar Muhammadiyah untuk kepentingan pribadi.
Oleh karena itu, menjaga integritas gerakan ini adalah tanggung jawab bersama. Setiap kader harus memahami bahwa kekayaan Muhammadiyah bukan hanya soal harta benda, tetapi juga nilai-nilai luhur yang diwariskan turun-temurun.
Internasionalisasi Muhammadiyah membuka peluang sekaligus tantangan baru. Pendidikan tinggi yang merambah luar negeri harus diiringi dengan peningkatan kualitas akademik dan riset. Tidak cukup hanya mendirikan universitas, tetapi juga memastikan lulusan Muhammadiyah memiliki daya saing global. Pertanyaan besar yang harus dijawab adalah bagaimana menjadikan nilai-nilai Islam sebagai fondasi bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi?
Dunia akademik saat ini menuntut fleksibilitas dan inovasi. Muhammadiyah tak boleh hanya menjadi pengikut arus, tetapi harus menjadi aktor utama dalam membawa perubahan.
Digitalisasi pendidikan, kolaborasi global, dan riset berbasis kebutuhan masyarakat harus menjadi prioritas. Dengan langkah ini, Muhammadiyah bisa terus melaju sebagai kekuatan intelektual yang diperhitungkan.
Lebih dari itu, Muhammadiyah harus terus menghidupkan semangat inklusivitasnya. Sejak awal berdiri, gerakan ini tak pernah membatasi diri hanya untuk umat Islam. Kepeduliannya melampaui batas agama dan golongan.
Rumah sakit Muhammadiyah terbuka bagi siapa saja, sekolahnya menerima siswa dari berbagai latar belakang, dan program sosialnya tak mengenal diskriminasi. Inilah makna Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Sebagai kader Muhammadiyah, kita punya tanggung jawab untuk meneruskan perjuangan ini. Menghidupi Muhammadiyah berarti terus berinovasi, terus berkontribusi, dan terus menjaga nilai-nilai yang diwariskan para pendahulu.
Seperti yang ingin saya tegaskan: “Perkayalah Muhammadiyah, tapi jangan cari kekayaan dari Muhammadiyah.” Dengan semangat ini, Muhammadiyah akan terus menjadi mercusuar peradaban yang menerangi dunia.
Pencinta Sastra Laut di warung kopi pantura.