Connect with us

Review

Usulan Pemakzulan Gibran Dinilai Sulit Dilakukan

Forum Purnawirawan Prajurit TNI mengusulkan pemakzulan Gibran, namun ahli hukum dan politik menilai langkah itu sangat sulit dilakukan karena kendala hukum dan politik yang rumit.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Forum Purnawirawan Prajurit TNI mengusulkan pemecatan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, namun para ahli hukum dan politik menyebutkan bahwa langkah itu “sangat-sangat sulit” dilakukan mengingat kendala hukum dan politik yang kompleks.

Usulan untuk mencopot Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dari jabatannya terus menuai perhatian. Forum Purnawirawan Prajurit TNI telah mengajukan permohonan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk memberhentikan Gibran, dengan alasan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meloloskan Gibran sebagai calon wakil presiden telah melanggar hukum acara MK dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Meskipun usulan ini mengguncang panggung politik Indonesia, para analis hukum dan politik menganggap bahwa langkah tersebut sangat sulit untuk diwujudkan.

Menurut Bivitri Susanti, seorang ahli hukum tata negara, dasar hukum untuk melakukan pemakzulan terhadap Gibran masih sangat lemah. Bivitri menilai bahwa meskipun MK pernah mengeluarkan keputusan tentang batas usia yang membuat Gibran dapat mencalonkan diri sebagai cawapres, hal tersebut bukanlah pelanggaran hukum, melainkan pelanggaran etika semata. “Gibran itu berdua sama Prabowo dalam setiap proses pilpres lalu, jadi enggak mungkin Gibran saja dianggap salah,” kata Bivitri kepada BBC News Indonesia, Senin (28/04).

Selain itu, Bivitri juga mengungkapkan bahwa jika Gibran melakukan pelanggaran hukum, seperti terlibat korupsi atau perbuatan tercela, maka pemakzulan bisa dilakukan. Namun, menurutnya, hal ini sangat sulit tercapai karena hingga saat ini tidak ada bukti yang mendukung klaim tersebut. “Kecuali kalau misalnya Gibran tertangkap sendirian melakukan perbuatan tercela, misalnya mabuk, atau korupsi sendirian, itu baru kuat. Tapi lagi-lagi itu juga tidak mudah,” tambahnya.

Sementara itu, pengamat politik dari Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, juga memandang bahwa peluang pemakzulan terhadap Gibran sangat kecil. Menurutnya, meskipun Forum Purnawirawan Prajurit TNI mengkritik keputusan MK dan Pasal 169 UU Pemilu, langkah ini akan menemui jalan terjal di ranah politik. Firman mengingatkan bahwa proses pemakzulan tidak hanya bergantung pada alasan hukum, tetapi juga melibatkan politik yang rumit dan berlapis.

Penasihat Khusus Presiden Bidang Politik dan Keamanan, Wiranto, menanggapi usulan Forum Purnawirawan Prajurit TNI dengan mengatakan bahwa Presiden Prabowo tidak bisa memberikan respons spontan. “Perlu mempelajari secara cermat isi dari setiap poin yang diajukan,” kata Wiranto.

Proses pemakzulan presiden atau wakil presiden sendiri diatur dalam Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945. Pasal tersebut menyebutkan bahwa pemberhentian dapat dilakukan apabila mereka terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, atau perbuatan tercela lainnya. Namun, langkah pemakzulan harus melewati beberapa tahapan yang rumit, mulai dari permintaan DPR kepada MK hingga persetujuan oleh MPR.

Bivitri Susanti menambahkan bahwa proses ini memerlukan dukungan kuat dari dua pertiga anggota DPR dan MPR, serta harus melewati negosiasi politik yang sangat sulit, terutama mengingat bahwa tujuh dari delapan fraksi di DPR merupakan bagian dari koalisi pemerintahan yang dipimpin oleh Prabowo dan Gibran. “Sangat-sangat sulit. Kecuali kalau memang fraksi yang dikuasai Prabowo itu kompak. Tapi guncangan politik ini pasti enggak main-main,” jelas Bivitri.

Sebagai kesimpulan, meskipun usulan pemakzulan terhadap Gibran mencuat, tantangan yang dihadapi di ranah hukum dan politik sangat besar. Hukum yang lemah dan kompleksitas politik yang ada membuat kemungkinan terjadinya pemakzulan sangat kecil, kecuali jika bukti pelanggaran hukum yang lebih kuat muncul.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News

Hey Bobby! Empat Pulau Bukan Warisanmu

Bobby Nasution dinilai tak paham sejarah dan mencoba main kuasa di wilayah yang bukan miliknya.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Langkah Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution yang bersikeras terhadap status empat pulau di perbatasan Aceh-Sumut kembali menuai gelombang kritik. Tak hanya dianggap tidak memahami sejarah, Bobby juga dinilai bertindak arogan dan gagal membaca etika diplomatik antar wilayah. Sikapnya makin dipertanyakan saat membuat Gubernur Aceh, Muzakir Manaf alias Mualem, menunggu berjam-jam sebelum akhirnya memilih meninggalkan lokasi pertemuan.

Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Sekretariat Daerah Aceh, Syakir, menjelaskan bahwa Mualem tidak tinggal untuk menyambut Bobby karena memiliki agenda penting bersama masyarakat Aceh Barat. Tapi publik tahu, ini bukan sekadar benturan jadwal. Ini soal harga diri. Seorang kepala daerah tak sepantasnya datang terlambat lalu mengharapkan sambutan hangat, terlebih saat lawan bicaranya adalah tokoh Aceh sekelas Mualem.

Kondisi ini diperkeruh oleh keputusan Kemendagri yang menetapkan Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang sebagai bagian dari wilayah Sumatera Utara. Keputusan yang tertuang dalam Kepmendagri Nomor 050-145 Tahun 2022 ini menjadi sorotan tajam, karena secara historis keempat pulau itu sejak awal adalah bagian dari Aceh, tepatnya wilayah Aceh Singkil.

Dirjen Administrasi Kewilayahan (Adwil) Kemendagri, Safrizal Zakaria Ali, berdalih keputusan itu berdasarkan survei gabungan antara Pemprov Aceh, Pemprov Sumut, Pemkab Aceh Singkil, dan Pemkab Tapanuli Tengah. Namun argumen ini goyah ketika Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla (JK), secara tegas menyatakan bahwa berdasarkan perjanjian Helsinki dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956, keempat pulau tersebut adalah milik Aceh.

JK menyitir isi perjanjian Helsinki, tepatnya poin 1.1.4, yang menyebut batas wilayah Aceh merujuk pada kondisi 1 Juli 1956. Inilah batas legal dan historis yang disepakati saat Aceh dan pemerintah Indonesia berdamai pada 2005. Menurut JK, jika perjanjian ini diabaikan, maka wibawa hukum dan rekonsiliasi nasional akan terganggu.

“Jadi secara formal dan historis, empat pulau itu masuk wilayah Singkil, Provinsi Aceh,” tegas JK dalam konferensi pers, Jumat (13/6).

Penegasan ini bukan sekadar retorika nostalgia. JK secara bijak mengingatkan bahwa penentuan batas wilayah tidak cukup hanya melihat peta topografi atau klaim geografis. Ada sejarah panjang, nilai-nilai sosial, dan identitas masyarakat yang hidup di pulau-pulau itu. Apalagi, jika keputusan administratif mengabaikan realitas sejarah, maka konflik horizontal bisa kembali meletup.

Sayangnya, alih-alih mengedepankan dialog dan menghormati sejarah, Bobby justru terkesan bermain kuasa. Ia seakan lupa bahwa jabatan tak bisa dijadikan kartu sakti untuk mengatur seenaknya. Bahkan, jika itu dilakukan demi ‘mengamankan’ empat pulau yang secara fakta lebih lekat dengan Aceh ketimbang Sumut.

Masyarakat Aceh pun kini mempertanyakan motif di balik manuver Bobby. Apakah ini sekadar pencitraan menjelang pemilu, atau justru ada agenda tersembunyi dalam penguasaan wilayah? Yang pasti, publik tidak buta. Era kekuasaan berbasis koneksi keluarga sudah lewat. Tak ada lagi ruang untuk kepala daerah yang merasa bisa melenggang dengan restu elite semata.

Bobby perlu sadar, sejarah bukan sesuatu yang bisa diubah semaunya. Jika ingin dihormati sebagai pemimpin, ia harus mulai dari menghormati orang lain, termasuk rekan sejawat dari provinsi tetangga. Bila datang terlambat saja tidak bisa meminta maaf, bagaimana bisa dipercaya menjaga kepentingan rakyat?

Langkah terbaik saat ini adalah menarik kembali keputusan yang merugikan Aceh. Kemendagri harus bersikap adil dan melihat ulang dasar hukumnya. Jangan sampai keputusan yang mengabaikan sejarah ini menjadi bara dalam sekam yang kelak membakar kepercayaan masyarakat terhadap negara.

Continue Reading

Review

Jika Cinta Tumbuh di Meja Gubernur, Akankah Istana Menyambut?

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Pagi ini, sambil menyeruput segelas kopi Aceh “Ulee Karaeng Coffee” oleh-oleh dari seorang sahabat yang paham betul selera, saya membuka media sosial seperti biasa. Tapi bukan sekadar kabar tentang kemacetan atau cuaca yang muncul pertama. Kali ini, sebuah video pendek menyita perhatian saya: Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, menyambangi Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi. Katanya, kunjungan itu untuk belajar dari kepemimpinan Kang Dedi. Tentu ini kabar baik, dan ya, kopi pagi saya jadi terasa lebih nikmat.

Sebagai anak Maluku Utara yang kini merantau dan menetap di Jawa Barat, ada rasa bangga sekaligus haru. Betapa tidak, Gubernur Sherly mau jauh-jauh datang untuk belajar. Hal ini menunjukan bahwa sang Gubernur wanita yang rendah hati, mau belajar dan terbuka terhadap pengalaman baru, nilai-nilai pemimpin seperti inilah yang seringkali kita rindukan.

Tapi di balik kabar hangat itu, saya jadi terdiam sebentar. Ada sesuatu yang mencuat, bukan dari berita, tapi dari benak saya sendiri. Kang Dedi, gubernur yang dikenal merakyat, santai tapi tegas, dan… ya, kini menyandang status duda. Sementara Bu Sherly? Sama, janda yang tegas, elegan, dan penuh empati. Mungkinkah cinta tumbuh di meja Gubernur?

Lalu saya berpikir dan sejujurnya, mungkin Anda juga, bagaimana jika keduanya disatukan, bukan hanya oleh visi pembangunan, tapi oleh rasa yang lebih personal?

Ah, saya tahu ini hanya angan-angan. Tapi apa salahnya berandai? Bukankah rakyat juga boleh membayangkan kisah cinta para pemimpinnya? Apalagi jika keduanya sama-sama punya daya tarik politik dan kemanusiaan yang kuat.

Coba bayangkan ini: jika suatu saat Kang Dedi dipilih atau bahkan direkomendasikan oleh Presiden Prabowo untuk maju sebagai Presiden RI, dan Bu Sherly berada di sampingnya, bukan sekadar sebagai gubernur lain, tapi sebagai istri, pendamping, sekaligus calon Ibu Negara. Rasanya seperti sebuah bab baru dalam sejarah kepemimpinan negeri ini yang tidak hanya rasional tapi juga emosional.

Tentu, saya sadar ini belum lebih dari pertemuan dua pemimpin yang saling mengagumi cara kerja satu sama lain. Tapi bukan rahasia lagi bahwa publik suka membaca “tanda-tanda.” Tatapan mata, gaya bicara, hingga cara mereka saling menyambut dalam video singkat itu… semuanya seolah mengandung cerita yang belum selesai.

Dan publik mulai bertanya-tanya. Apakah ini hanya kolaborasi antar provinsi? Atau benih-benih kisah besar yang sedang tumbuh diam-diam?

Oh iya, Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Lutfi, juga duda. Tapi sejauh ini belum terdengar kabar kedekatannya dengan Bu Sherly. Dan jujur saja, jika dibandingkan dari sisi pesona, gaya komunikasi, hingga rekam jejak, Kang Dedi masih lebih unggul di mata publik.

Apapun itu, kita semua tahu: kepemimpinan tak hanya dibentuk di ruang rapat dan panggung politik, tapi juga oleh kisah-kisah personal yang menyentuh. Jika benar ada jodoh di antara Sherly dan Kang Dedi, maka mungkin bangsa ini tak hanya akan menyambut pasangan pemimpin yang serasi, tapi juga cerita cinta yang bisa menjadi teladan tentang sinergi dan keberanian.

Untuk sekarang, saya hanya bisa menyeruput sisa kopi ini dan terus mengikuti perkembangan mereka. Karena siapa tahu, kisah pagi ini akan menjadi bab pembuka dari cerita besar Indonesia di masa depan.

Continue Reading

Review

Prof Rokhmin: Mari Jaga Raja Ampat, Pesonanya kini Terancam

Raja Ampat, surga bumi Papua yang memesona tapi kini keindahannya terancam! Mari jaga, jangan biarkan hilang!

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Raja Ampat bukan sekadar tempat wisata biasa, melainkan sebuah keajaiban alam yang menyimpan keanekaragaman hayati paling kaya di planet ini. Prof Rokhmin Dahuri, anggota Komisi IV DPR RI sekaligus pakar kemaritiman, pernah merasakan langsung pesona magis Raja Ampat yang membuat mereka terpukau dan terkesan.

Baginya, Raja Ampat adalah penggalan surga yang Tuhan turunkan di bumi Papua, sebuah warisan luar biasa yang wajib dijaga dan dilestarikan.

Namun kini, surga itu menghadapi ancaman nyata. Kegiatan pertambangan nikel yang mengatasnamakan investasi berpotensi menghancurkan keindahan dan ekosistem laut Raja Ampat yang sangat rapuh.

Prof Rokhmin menegaskan bahwa Raja Ampat memiliki ekosistem terumbu karang dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, mulai dari tingkat genetik, spesies, hingga ekosistem. Biodiversity ini bukan hanya soal keindahan, melainkan fondasi kehidupan makhluk hidup yang menjadi basis kehidupan Indonesia bahkan dunia.

Ketua Dulur Cirebonan ini dengan tegas meminta agar pertambangan nikel di wilayah ini segera dihentikan. Baginya, pembangunan ekonomi memang penting, tapi menjaga kelestarian lingkungan jauh lebih krusial. Ekonomi harus dibangun dengan prinsip konservasi dan keberlanjutan, dengan fokus pada marikultur, perikanan tangkap, dan pariwisata bahari yang ramah lingkungan.

Hal ini sejalan dengan undang-undang yang melarang aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil seperti Raja Ampat demi melindungi kekayaan alamnya yang luar biasa.

Tidak hanya pemerintah dan akademisi yang memperhatikan isu ini, aktivis lingkungan seperti Greenpeace Indonesia juga menggelar aksi damai sebagai bentuk protes terhadap rencana pertambangan nikel yang mengancam ekosistem Raja Ampat.

Keprihatinan ini berakar pada fakta bahwa kawasan ini menyimpan 75 persen spesies terumbu karang dunia, 1.400 jenis ikan karang, dan 700 jenis invertebrata moluska, jumlah yang sulit ditemukan di tempat lain di bumi.

Bagi Prof Rokhmin, Raja Ampat lebih dari sekadar objek wisata atau sumber ekonomi, melainkan sebuah anugerah alam yang harus diwariskan utuh untuk generasi mendatang. Semangatnya jelas: jangan biarkan keserakahan investasi menghancurkan surga kecil yang jatuh di bumi Papua ini.

Raja Ampat harus diselamatkan, tidak hanya untuk Indonesia, tapi untuk seluruh dunia yang bergantung pada kekayaan alam dan keseimbangan ekosistem lautnya.

Continue Reading

Review

Perjamuan Kekuasaan di Meja Makan

Pertemuan simbolik Prabowo, Gibran, dan Megawati di Hari Lahir Pancasila menyimpan makna politik dalam, di tengah riuh isu pemakzulan dan permainan opini publik.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Suasana peringatan Hari Lahir Pancasila di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri, Senin (2/6/2025), mendadak menjadi panggung drama politik tingkat tinggi. Di sana, Presiden terpilih Prabowo Subianto, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, dan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri tampil bersama dalam satu frame publik yang langka pasca-Pilpres 2024. Namun, publik tidak hanya melihat seremoni, melainkan membaca sandi kekuasaan yang sedang dinegosiasikan tanpa kata, tapi penuh makna.

Di satu sisi, Prabowo tampil luwes, seolah mengukuhkan dirinya sebagai pemegang kendali narasi. Gibran berdiri di sisi setia, tersenyum datar, namun sorot matanya tajam. Di sisi lain lapangan, ada sosok Try Sutrisno, tokoh senior militer dan mantan wakil presiden yang gencar menggaungkan isu pemakzulan Gibran. Sebuah ironi visual terjadi—Gibran dan Try berada dalam satu ruang negara, tapi terpisah oleh kredo yang berbeda. Satu bicara loyalitas, yang lain bicara pelanggaran etika.

Upacara ini bukan sekadar upacara. Ini adalah panggung simbolik dari “perjamuan kekuasaan”—di mana gesture, pakaian, dan siapa berdiri di mana, lebih vokal dari pidato kenegaraan manapun. Kajian linguistik terapan dalam konteks ini menunjukkan bahwa jamuan makan atau pertemuan seremonial memiliki muatan komunikasi non-verbal yang kental. Dalam budaya politik Indonesia, pertemuan fisik seperti ini adalah pesan tersirat: harmoni semu, atau upaya menutup retakan yang menganga.

Try Sutrisno jelas tidak mundur. Seruan pemakzulan terhadap Gibran masih ia gaungkan sebagai bentuk perlawanan terhadap praktik politik dinasti dan pelanggaran konstitusi. Namun di balik itu, publik menyaksikan bagaimana Prabowo memainkan peran sebagai dirigen, mengatur irama ketegangan agar tetap terdengar merdu di telinga rakyat. Ia mempertemukan lawan dan kawan di satu ruang, mengesankan stabilitas, meski substansi konfliknya belum selesai.

Prabowo tidak hanya sedang menunjukkan kekuatan politik, tapi juga kecerdikan dalam mengelola opini. Ini yang membuat analis wacana kritis melihat bahwa kekuasaan dalam politik tidak hanya dibangun melalui argumen, tetapi juga melalui kontrol atas simbol, ruang, dan narasi publik. Bahasa tubuh, kehadiran tokoh, dan framing media menjadi instrumen dominasi yang halus namun efektif.

Makna linguistik dari “jamuan kekuasaan” ini terletak pada kemampuannya membungkus konflik dalam balutan harmoni. Prabowo mempertemukan Megawati, Gibran, dan bahkan Try, bukan untuk menyatukan visi, tapi untuk mengontrol persepsi. Sebuah komunikasi politik tingkat tinggi, di mana yang tidak dikatakan justru paling keras berbicara.

Publik pun dibuat semakin bingung: apakah ini bentuk rekonsiliasi, sandiwara politik, atau pengalihan isu? Namun satu hal pasti, wacana pemakzulan yang terus digaungkan Try Sutrisno menjadi ancaman simbolik bagi stabilitas awal pemerintahan Prabowo-Gibran. Meski tertutup dalam jamuan simbolis, luka politik tetap menganga, menunggu momentum baru untuk meledak.

Continue Reading

Review

Listyo Sigit Tetap Kapolri, Tak Tergoyahkan

Istana tegaskan Jenderal Listyo Sigit Prabowo tetap Kapolri dan aktif bekerja, meski isu pencopotan kembali mencuat.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Spekulasi politik soal perombakan elite keamanan nasional kembali mencuat, kali ini menyasar posisi Kapolri. Namun, Jenderal Listyo Sigit Prabowo kembali membuktikan dirinya bukan sosok yang mudah digoyang.

Sinyal kuat datang langsung dari lingkar dalam kekuasaan. Sekretaris Kabinet, Letkol Teddy Indra Wijaya, dengan nada tegas membantah kabar pencopotan itu.

“Kapolri Sigit masih aktif dan menjalankan tugas seperti biasa. Bahkan kemarin baru saja menghadap Presiden untuk menyampaikan laporan bulanan,” ujarnya kepada wartawan, Rabu (4/6/2025).

Pernyataan itu bukan sekadar klarifikasi. Di tengah hiruk-pikuk isu reshuffle dan ketegangan di tubuh pemerintahan, pernyataan ini seolah menampar keras para penyebar spekulasi. Lebih dari itu, ini menjadi penegasan bahwa Prabowo dan Sigit masih sejalan, bahkan saling menopang dalam menjaga ritme pemerintahan yang tengah bersiap menempuh fase barunya.

Bukan kebetulan jika sehari setelah isu ini merebak, Jenderal Sigit justru muncul di rombongan Presiden dalam kunjungan kerja ke Kalimantan Barat. “Pak Kapolri ikut dalam kunjungan kerja Presiden ke Kalbar, mau meninjau panen jagung,” lanjut Teddy. Kegiatan ini, yang di permukaan tampak sebagai agenda kerja biasa, sebetulnya menyimpan makna politis yang dalam. Di tengah situasi yang memanas, tampilnya Kapolri bersama Presiden merupakan bentuk konsolidasi kekuasaan dan loyalitas yang sedang diuji.

Di balik layar, jabatan Kapolri bukan posisi sembarangan. Dalam lanskap politik Indonesia, terutama di masa transisi pemerintahan, posisi ini menjadi titik strategis. Stabilitas keamanan dan pengaruh terhadap kebijakan hukum menjadikan Kapolri sebagai salah satu pilar utama dalam struktur kekuasaan nasional.

Maka tak heran, kabar soal pencopotan Sigit langsung membakar diskusi di berbagai ruang politik, baik terbuka maupun tertutup. Namun sampai detik ini, semua upaya menggoyang kursi Kapolri tak membuahkan hasil. Justru sebaliknya, kehadiran Sigit di setiap momen penting pemerintahan menunjukkan bahwa ia masih dipercaya dan dibutuhkan.

Sumber internal yang dekat dengan Presiden terpilih Prabowo Subianto menyebut bahwa Jenderal Sigit akan tetap menjabat hingga masa pensiunnya tiba. “Nanti diganti setelah Listyo memasuki pensiun,” ujarnya singkat, namun penuh makna. Ini memperkuat kesan bahwa tidak ada ruang untuk intervensi politik jangka pendek dalam keputusan strategis seperti ini.

Di tengah wacana liar yang terus bergulir, Istana kini memberi penegasan. Dan Sigit, dengan langkah tenangnya, tampaknya lebih sibuk bekerja ketimbang meladeni isu. Yang jelas, hingga saat ini, Jenderal Listyo Sigit Prabowo masih berdiri kokoh di pucuk kepolisian Indonesia.

Continue Reading

Review

Bunyi, Makna, dan Kebenaran yang Tertantang

Dalam dunia pendidikan bahasa Inggris, pengucapan sering kali dianggap anak tiri. Namun, melalui orasi ilmiah pengukuhan Guru Besar di UNJ, Prof. Dr. Ifan Iskandar justru membalik asumsi itu dengan menohok: kesalahan satu fonem bisa berujung maut.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Universitas Negeri Jakarta (UNJ) kembali mencatat sejarah pada 3 Juni 2025 dengan pengukuhan Prof. Dr. Ifan Iskandar, M.Hum. sebagai Guru Besar dalam bidang Pembelajaran Tata Bunyi Bahasa Inggris. Namun, pengukuhan itu bukan sekadar seremoni akademik; ia menjadi panggung kritik terhadap pandangan usang dunia pendidikan yang selama ini menyepelekan pentingnya pengucapan dalam bahasa Inggris.

Dalam orasi ilmiahnya yang berjudul “Pemelajaran Swakelola Tata Bunyi Bahasa Inggris, Dinamika Makna, dan Kenisbian Kebenaran Ilmiah”, Prof. Ifan menggugat pemahaman kita atas fonem dan makna. Ia memulai dengan kasus tragis gadis remaja di Spanyol yang meninggal karena salah mendengar “No jump!” sebagai “Now jump!” saat bungee jumping, insiden yang memperlihatkan bahwa satu bunyi bisa jadi soal hidup dan mati. Ini bukan sekadar teori linguistik, tapi realitas yang mendesak.

Menurut Prof. Ifan, tata bunyi bukan hanya soal keindahan pelafalan, melainkan bagian integral dari komunikasi dan pemaknaan. “Keakuratan pengucapan satu fonem bisa menjadi penentu antara benar atau salahnya informasi,” tegasnya dalam orasi yang membakar semangat berpikir kritis. Ia mencontohkan, kata “think” dan “thing” yang terdengar mirip bisa mengubah makna secara drastis jika tidak diucapkan dengan tepat.

Lebih dari itu, orasi ini mengusung konsep pembelajaran swakelola berbasis proyek dengan pendekatan tugas perancah. Pendekatan ini menempatkan mahasiswa bukan hanya sebagai penerima pengetahuan, melainkan aktor aktif dalam merancang, mengeksekusi, dan mengevaluasi pembelajarannya sendiri. Dalam tiga semester, proyek ini diterapkan kepada lebih dari 100 mahasiswa dengan hasil yang signifikan: peningkatan kemampuan pengucapan dari nilai rata-rata 72,9 ke 78,1.

Namun, Prof. Ifan tak berhenti di sana. Ia mengguncang landasan epistemologi ilmu dengan mempertanyakan keniscayaan kebenaran ilmiah. “Kebenaran ilmiah itu nisbi, dibatasi oleh konteks, waktu, dan pelaku,” ujarnya, menyitir contoh pepohonan di Cape Town yang justru merugikan lingkungan, meski secara umum pohon dianggap penyelamat bumi. Dalam dunia ilmu, katanya, bahkan satu matahari bisa memiliki banyak tafsir tergantung sudut pandangnya.

Di akhir orasi, Prof. Ifan menutup dengan refleksi eksistensial: manusia adalah entitas sementara yang kebenarannya tak pernah mutlak. “Dari satu fonem yang berbeda, kita belajar bahwa kebenaran pun bisa goyah. Kebenaran bukan milik tunggal, tapi milik konteks,” katanya.

Orasi ini bukan sekadar akademik, tapi tamparan halus yang menggugah kesadaran: pendidikan bukan tentang menghafal rumus, melainkan membuka ruang berpikir, mempertanyakan, dan meragukan. Jika pendidikan tak mampu mengasah kepekaan terhadap makna dan kebenaran, maka pendidikan telah gagal.

Continue Reading

Review

TA DPR, Ketika Pengangguran Jadi Ahli Parlemen

Tenaga Ahli DPR sering kali dipilih berdasarkan kedekatan politik, bukan kompetensi. Mana pernah mereka paham soal kondisi real konstituen, sehingga mereka lebih tepat jadi follower bukan creator apalagi analis yang mampu melihat kondisi real lapangan.

Dila N Andara

Published

on

Moitorday.com – Berdasarkan Peraturan DPR RI Nomor 3 Tahun 2014, setiap anggota dewan berhak mendapatkan lima Tenaga Ahli (TA) dan dua staf administratif yang digaji dari uang negara. Tujuannya mulia: mendukung kerja-kerja legislasi, pengawasan, dan representasi politik. Namun di lapangan, praktiknya jauh dari ideal.

Alih-alih menjadi mitra strategis dalam merumuskan kebijakan atau menyusun analisis kebijakan publik, banyak TA justru tampil sebagai pengikut pasif, lebih sibuk mengatur jadwal pertemuan atau bahkan sekadar mendampingi anggota saat kunjungan kerja ke dapil tanpa kontribusi substantif. Sebagian besar tidak punya kapasitas menganalisis isu, memahami data, atau membaca peta politik. Mereka tidak lebih dari “penumpang resmi” dengan status mewah dan fasilitas negara.

Latar belakang penunjukan pun kerap tak jauh dari ikatan politis atau kedekatan personal. Mantan relawan kampanye, kawan lama, atau bahkan orang yang menganggur pasca-Pemilu, tiba-tiba menjelma sebagai Tenaga Ahli. Tak jarang tanpa latar belakang akademik atau pengalaman yang sesuai. Satu-satunya “keahlian” mereka hanyalah loyalitas pada sang anggota dewan, bukan pada rakyat, bukan pada ilmu, dan bukan pada tugas negara.

Padahal, secara teori, TA punya tugas vital: menyusun materi rapat, melakukan riset kebijakan, menganalisis revisi UU, hingga menyusun program legislasi. Mereka juga seharusnya menjadi penghubung penting antara rakyat di daerah pemilihan dan dewan yang mewakilinya. Tapi bagaimana mungkin itu bisa dijalankan, jika yang dipilih adalah mereka yang tidak pernah bersentuhan dengan konstituen atau tidak tahu-menahu isu publik?

Lebih menyedihkan lagi, tak sedikit dari mereka yang hanya mengandalkan portofolio sebagai mantan MC kampus, mantan aktivis musiman, atau malah tidak memiliki latar belakang organisasi sama sekali. Ketika ditugasi menyusun analisis kebijakan, mereka bungkam. Ketika diminta memberi masukan strategis, mereka absen. Namun, gaji tetap mengalir, fasilitas tetap dinikmati, dan jabatan tetap bergengsi.

Dengan kinerja semacam ini, keberadaan TA justru berpotensi merusak kualitas parlemen. Bagaimana tidak? Anggota DPR yang seharusnya mendapatkan masukan tajam dan cermat justru dikelilingi oleh para “yes man” dengan kompetensi minim. Kebijakan yang lahir dari lingkungan semacam ini tentu jauh dari aspirasi publik, dan hanya menguntungkan segelintir elite politik.

Kritik terhadap rekrutmen TA yang asal-asalan bukanlah hal baru. Tapi hingga kini, belum ada evaluasi serius dari DPR sendiri. Publik pun seolah dibiarkan pasrah melihat anggaran miliaran rupiah digelontorkan untuk membiayai para “ahli tanpa keahlian.” Ini bukan lagi soal kinerja, ini tentang pemborosan yang dilegalkan.

Sudah saatnya DPR RI membenahi sistem pengangkatan TA. Rekrutmen harus terbuka dan berbasis kompetensi, bukan sekadar balas budi politik. Jika tidak, maka lembaga legislatif ini akan terus dikelilingi oleh lingkaran tidak produktif yang justru menenggelamkan kualitas demokrasi kita.

Continue Reading

Review

President Macron: Linguistic Program Gains Global Spotlight

French President Emmanuel Macron praises UNJ’s applied linguistics program and invites students to study in France to strengthen cultural diplomacy.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – A sharp and notable expression of appreciation came from French President Emmanuel Macron for Universitas Negeri Jakarta (UNJ), particularly its Applied Linguistics Program.

During his visit, which carried strong diplomatic undertones, Macron did not hesitate to call the program “very impressive,” praising it as a frontrunner in strengthening cultural ties between Indonesia and France.

This statement was far from mere diplomatic pleasantry, it was a clear signal that the quality of higher education in Indonesia is beginning to attract attention from world leaders.

Macron highlighted that UNJ’s applied linguistics studies go beyond English, encompassing other strategically significant global languages, including French.

He emphasized that the presence of the French Language Education Program is a major asset in building bridges of communication and cultural cooperation.

“This is not just about learning a language—it’s about expanding cross-cultural understanding,” Macron remarked.

Beyond mere praise, Macron went a step further by extending a direct invitation to UNJ’s applied linguistics students to pursue their studies in France. This gesture opens wide the doors for Indonesia’s young generation to broaden their academic and cultural horizons in Europe, while simultaneously strengthening international networks.

This invitation also reflects France’s genuine commitment to deepening educational cooperation, more than just political rhetoric or ceremonial diplomacy.

From an international relations perspective, Macron’s gesture can be seen as a subtle strategy to expand France’s influence through the education sector.

By engaging foreign students, particularly from strategically important countries like Indonesia, France is indirectly fostering early ideological and cultural affinity.

In this context, UNJ plays a central role as a local partner capable of bridging two worlds: academia and diplomacy.

Continue Reading

Review

Macron Bawa Misi, Pulang Bawa Malu

Kunjungan Macron ke Asia lebih mirip pelarian dari isu jatuhnya Rafale dan pertengkaran rumah tangga, bukan misi diplomatik yang bermakna.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Kunjungan kenegaraan Presiden Emmanuel Macron ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia, justru memunculkan lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban. Alih-alih memperkuat hubungan bilateral atau menunjukkan taring diplomasi Eropa di kawasan Indo-Pasifik, publik malah disuguhi adegan cekcok rumah tangga di kabin pesawat kepresidenan. Tak pelak, Macron dan istrinya, Brigitte yang usianya terpaut jauh darinya, menjadi buah bibir, bukan karena kapasitasnya sebagai kepala negara, melainkan sebagai bintang drama udara tingkat tinggi.

Beredar luas tangkapan layar dari dalam pesawat yang memperlihatkan ketegangan antara Macron dan sang istri. Saling pandang tajam, gestur tangan defensif, hingga ekspresi jengah terlihat jelas, membuat publik bertanya: apakah ini tur kenegaraan atau reality show versi Élysée Palace?

Sementara itu, sorotan tajam publik dan media bukan hanya soal urusan domestik Macron. Ada isu yang lebih “berat” yang seolah ingin dilenyapkan oleh tur ini: tragedi pesawat Rafale buatan Prancis yang baru-baru ini dijatuhkan oleh jet tempur buatan China. Lebih ironis lagi, pilot Rafale tersebut bukan orang Prancis, melainkan India, dan pesawat penembaknya dikendalikan oleh pilot Pakistan. Sebuah skenario geopolitik yang membuat Prancis tampak seperti penonton di arena permainannya sendiri.

Dalam situasi seperti ini, kunjungan Macron ke Asia terkesan sebagai upaya mati-matian untuk mengalihkan perhatian dari kegagalan besar di industri pertahanan negaranya. Jika sebelumnya Macron dikenal gencar menjajakan jet tempur Rafale ke berbagai negara, kali ini ia terlihat absen dari narasi jual beli senjata. Wajar saja, siapa yang mau beli pesawat yang baru saja dijatuhkan musuhnya di langit?

Alih-alih bicara strategi Indo-Pasifik, Macron seperti menahan malu dan berusaha sekuat tenaga tampil tenang, padahal bukan hanya pesawatnya yang ‘jatuh’, tapi juga citra negaranya di panggung global. Peristiwa ini menegaskan satu hal: diplomasi tidak bisa hanya bermodal tampang muda, bahasa Inggris fasih, dan senyum di depan kamera. Apalagi jika di belakang layar, terjadi perang dingin di kursi kelas satu antara Presiden dan Ibu Negara.

Situasi ini memperkuat kesan bahwa Prancis kini tak lagi jadi pemain utama dalam dinamika geopolitik Asia, apalagi di sektor pertahanan. Saat negara seperti China unjuk gigi lewat kekuatan militer dan kecanggihan teknologi, Prancis hanya mampu menyodorkan drama domestik dan diplomasi kosmetik.

Maka tak berlebihan jika publik Asia bertanya: datangnya Macron ini untuk membawa solusi atau sekadar mencari panggung? Apa pun jawabannya, satu hal pasti untuk sebuah tur yang dibungkus sebagai diplomasi, terlalu banyak adegan sinetron di balik kabin pesawat.

Continue Reading

Review

Trump Usir Mahasiswa Pro Palestina

Trump usir mahasiswa pro-Palestina, Putin dan Xi buka pintu lebar. Amerika dinilai makin represif, Rusia-China justru jadi pelindung kebebasan akademik.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Langkah mengejutkan datang dari Gedung Putih. Presiden Amerika Serikat Donald Trump secara terang-terangan mengusir mahasiswa internasional yang menyuarakan dukungan terhadap kemerdekaan Palestina. Kebijakan ini tak hanya mengundang kecaman dari dalam negeri, tetapi juga menyulut reaksi keras dari komunitas internasional. Dunia akademik pun geger, sebab kampus sekelas Harvard turut terdampak.

Trump, yang dikenal dengan kebijakan luar negeri keras dan cenderung pro-Israel, menyatakan bahwa “tidak ada tempat bagi simpatisan Palestina di tanah Amerika.” Dalam pernyataannya, ia menuding mahasiswa asing sebagai ancaman ideologis yang merusak “nilai-nilai Amerika”. Sikap keras ini dituding sebagai bentuk represi terhadap kebebasan akademik dan berekspresi, dua nilai yang selama ini dijunjung tinggi oleh negara itu sendiri.

Tindakan Trump ini langsung berbanding terbalik dengan respons dua kekuatan besar dunia: Rusia dan China. Presiden Vladimir Putin dan Presiden Xi Jinping sama-sama membuka pintu bagi mahasiswa yang terusir dari Amerika. Putin menyebut keputusan Trump sebagai “tindakan anti-intelektual yang memalukan”, sementara Xi Jinping menyatakan bahwa “mendukung perjuangan kemerdekaan bukanlah kejahatan, melainkan hak asasi.”

Tak heran jika Rusia dan China segera bergerak cepat. Universitas-universitas ternama di kedua negara langsung menawarkan beasiswa dan program relokasi untuk mahasiswa yang terdampak. Harvard yang kehilangan sejumlah mahasiswa internasional kini melihat para calon intelektual mudanya hijrah ke Moskow dan Beijing. Dunia akademik perlahan bergeser dari barat ke timur.

Fenomena ini membuka tabir hipokrisi dalam sistem demokrasi Amerika. Negara yang selama ini menampilkan diri sebagai penjaga hak asasi manusia kini menunjukkan wajah otoriternya—ketika suara yang berbeda dianggap sebagai ancaman. Alih-alih membina dialog, Trump justru memilih jalur pengusiran massal. Ini bukan hanya krisis moral, tapi juga alarm bagi dunia tentang kebebasan yang makin terancam.

Sebaliknya, Rusia dan China, yang selama ini kerap dituding mengekang kebebasan, justru mengambil peran sebaliknya. Mereka memposisikan diri sebagai pelindung kebebasan akademik global. Dukungan terhadap Palestina bukan hanya soal politik luar negeri, melainkan juga ujian bagi komitmen negara-negara terhadap hak untuk menyuarakan keadilan.

Langkah Trump diprediksi akan berdampak luas, tidak hanya dalam relasi luar negeri AS, tetapi juga pada reputasi universitas-universitasnya. Para mahasiswa, terutama dari negara-negara berkembang, mulai mempertanyakan apakah Amerika masih menjadi tempat terbaik untuk belajar dan berkembang. Jika tren ini terus berlanjut, Amerika berisiko kehilangan statusnya sebagai pusat pendidikan dunia.

Saat dunia memantau, satu pertanyaan mengemuka: apakah Amerika masih bisa dipercaya sebagai rumah kebebasan, ataukah kini berubah menjadi penjaga kepentingan sempit dan kekuasaan semata?

Continue Reading

Monitor Saham BUMN



News2 hours ago

Warga Aceh Minta Prabowo Copot Tito Karnavian, Soal Apa?

News8 hours ago

Ditjen PSDKP Apresiasi Partisipasi UNJ di IUU Fishing Day 2025

News10 hours ago

KPK Sudah Telusuri Dugaan Korupsi Tambang Nikel di Raja Ampat, Bagaimana Posisi Bahlil?

News11 hours ago

Hey Bobby! Empat Pulau Bukan Warisanmu

News11 hours ago

JK Ungkap Perjanjian Helsinki: Aceh Miliki 4 Pulau Sejak Era Sukarno

Sportechment18 hours ago

Real Madrid Rekrut Franco Mastantuono, Bintang Muda Argentina Bertalenta Tinggi

News19 hours ago

Israel Serang Iran, Kemlu RI Himbau WNI Waspada dan Tunda Perjalanan

Sportechment20 hours ago

Wow! Meta Suntik Dana Ratusan Triliun ke Scale AI, Apa Tujuannya?

News20 hours ago

Wamendikdasmen Ajak UMMI Jadi Garda Terdepan Risalah Islam Berkemajuan di Perguruan Tinggi

Sportechment21 hours ago

AFC Tunjuk Arab Saudi dan Qatar Jadi Tuan Rumah Babak 4, Erick Thohir Buka Suara

News21 hours ago

Termasuk Artis Zaskia Adya Mecca, 10 WNI Ikut Global March to Gaza

News21 hours ago

Serangan Udara Israel Tewaskan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Iran

News1 day ago

Kasus Perusakan Hutan Raja Ampat, Kemenhut Pertimbangkan Langkah Hukum

News2 days ago

Prabowo Yakin Ekonomi RI Siap Mengejutkan Banyak Negara

Sportechment2 days ago

Muse Siap Gebrak Jakarta, Cek Harga Tiketnya

News2 days ago

1000 Aktivis Pro Palestina Afrika Utara Gelar Long March ke Gaza

Sportechment2 days ago

Al-Ahly vs Inter Miami Jadi Laga Pembuka Piala Dunia Antarklub 2025, Catat Jadwalnya

Sportechment2 days ago

Resmi Dikenalkan Real Madrid, Trent Alexander-Arnold Pakai Nomor Punggung Ini

Sportechment2 days ago

Piala Presiden 2025 Bakal Diikuti 6 Tim, Persib Bandung Dipastikan Tampil

News2 days ago

Tragedi Maut di Ahmedabad: Pesawat Air India Jatuh dan Meledak, Seluruh Penumpang Tewas