Keputusan mendadak Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok untuk melepaskan jabatan Komisaris Utama Pertamina pada awal Februari 2024 telah mencuri perhatian publik.
Namun, yang menjadi sorotan bukan hanya langkahnya itu, tapi juga kekayaan pribadinya yang terungkap dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) 2022. Dalam laporan tersebut, terungkap bahwa Ahok memiliki aset senilai Rp 53,6 miliar, yang menimbulkan banyak pertanyaan dan potensi untuk diselidiki lebih lanjut.
LHKPN mengungkapkan bahwa mayoritas kekayaan Ahok terkonsentrasi di sektor properti, dengan 23 bidang tanah dan bangunan yang tersebar di berbagai daerah dan bernilai total Rp 43,22 miliar. Ini menciptakan kekhawatiran terutama karena jabatan Ahok sebelumnya yang berpotensi membuka peluang kepemilikan properti melalui gratifikasi.
Tak hanya itu, Ahok juga memiliki surat berharga senilai Rp 11,34 miliar, yang menunjukkan wawasan investasi strategis dan potensi akumulasi kekayaan yang wajar. Namun, pertanyaan muncul terkait sumber dan cara perolehan aset-aset ini.
Meskipun memiliki kekayaan yang signifikan, Ahok juga menunjukkan stabilitas keuangan yang baik dengan kas dan setara kas sebesar Rp 4,68 miliar. Aset-aset lainnya, seperti perhiasan, barang seni, dan barang elektronik senilai Rp 2,31 miliar, melengkapi portofolio keuangannya.
Namun, transparansi LHKPN Ahok tidak bisa sepenuhnya meredakan kekhawatiran publik. Besaran kekayaan, terutama di sektor properti, memunculkan pertanyaan tentang potensi gratifikasi selama menjabat. Oleh karena itu, penjelasan lebih lanjut tentang asal-usul kekayaan, terutama properti dan investasi, sangat dibutuhkan untuk mengatasi keraguan publik.
Pertanyaan tentang apakah ada indikasi gratifikasi di balik kepemilikan properti Ahok, apakah transparansi LHKPN cukup untuk menjamin integritas pejabat publik, dan bagaimana mekanisme pengawasan kekayaan pejabat publik bisa diperketat untuk mencegah penyimpangan, menjadi perhatian utama.