Ruang Sujud
5 Hal yang Harus Dipersiapkan Sebelum Menikah

Published
13 hours agoon

Monitorday.com – Menikah adalah salah satu keputusan besar dalam hidup yang membawa banyak kebahagiaan, tantangan, dan tanggung jawab baru. Namun, seringkali semangat untuk segera menikah membuat banyak orang lupa bahwa pernikahan bukan hanya tentang pesta yang meriah atau status baru, melainkan tentang membangun kehidupan bersama. Sebelum mengambil langkah besar ini, ada beberapa hal penting yang wajib dipersiapkan agar perjalanan rumah tangga bisa dimulai dengan pondasi yang kuat. Berikut lima hal utama yang perlu kamu siapkan sebelum menikah.
1. Kesiapan Mental dan Emosional
Menikah berarti siap berbagi hidup dengan orang lain, dalam suka maupun duka. Ini membutuhkan kesiapan mental dan emosional yang matang. Kamu harus mampu mengelola emosi, menyelesaikan konflik dengan dewasa, serta siap untuk berkomitmen jangka panjang.
Jangan sampai masuk ke pernikahan hanya karena tekanan sosial, usia, atau karena “semua teman sudah menikah”. Pastikan kamu benar-benar siap menerima pasangan apa adanya, termasuk kekurangannya.
Penting juga untuk menyadari bahwa pernikahan bukanlah akhir dari masalah hidup, melainkan awal dari perjalanan baru yang penuh tantangan. Komunikasi yang terbuka, kepercayaan, dan kesabaran menjadi kunci untuk menjaga hubungan tetap harmonis.
2. Kematangan Finansial
Masalah keuangan adalah salah satu sumber konflik terbesar dalam rumah tangga. Oleh karena itu, sebelum menikah, penting untuk memiliki perencanaan keuangan yang matang.
Diskusikan secara terbuka tentang penghasilan, utang, tabungan, serta bagaimana kalian berdua akan mengelola keuangan setelah menikah. Apakah akan digabung, dipisah, atau campuran keduanya?
Tidak harus kaya raya dulu untuk menikah, tapi pastikan ada kestabilan keuangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar bersama. Selain itu, memiliki tujuan keuangan bersama seperti menabung untuk rumah, kendaraan, atau pendidikan anak juga sangat membantu dalam membangun masa depan keluarga.
3. Kesiapan Fisik dan Kesehatan
Menikah juga berarti membangun keluarga, dan hal ini sangat berkaitan dengan kesehatan fisik. Sebelum menikah, lakukan pemeriksaan kesehatan bersama pasangan, termasuk cek kesehatan reproduksi.
Beberapa penyakit atau kondisi tertentu bisa mempengaruhi perencanaan keluarga di masa depan. Dengan mengetahui kondisi kesehatan masing-masing sejak awal, kamu dan pasangan bisa saling memahami, mendukung, dan membuat keputusan terbaik untuk masa depan.
Selain itu, memulai gaya hidup sehat bersama sebelum menikah, seperti olahraga rutin dan menjaga pola makan, akan membantu memperkuat kualitas hidup setelah berumah tangga.
4. Penyamaan Visi dan Nilai Hidup
Salah satu hal yang sering diabaikan tapi sangat krusial adalah penyamaan visi dan nilai hidup.
Sebelum menikah, luangkan waktu untuk membicarakan hal-hal penting: apa tujuan hidup masing-masing, bagaimana pandangan tentang anak, pendidikan, karier, keluarga besar, dan lain sebagainya.
Jika visi hidup kalian sangat bertolak belakang, konflik besar bisa muncul di masa depan. Menyatukan dua individu dengan latar belakang berbeda memang tidak mudah, tapi dengan komunikasi yang baik dan kompromi, kalian bisa menemukan jalan tengah.
Penting juga untuk memahami nilai-nilai yang dipegang pasangan, seperti pandangan soal agama, prinsip moral, dan budaya. Ini akan menjadi fondasi penting dalam membangun keluarga yang harmonis.
5. Belajar Ilmu Rumah Tangga
Banyak orang berpikir, urusan rumah tangga bisa dipelajari sambil jalan. Memang benar, tapi mempersiapkan diri dari awal akan membuat proses adaptasi lebih mudah.
Belajar tentang manajemen rumah tangga, cara mengatur keuangan keluarga, cara berkomunikasi efektif dengan pasangan, bahkan ilmu tentang pengasuhan anak sejak dini sangat bermanfaat.
Saat ini banyak buku, seminar, atau kelas pranikah yang bisa diikuti untuk menambah wawasan. Jangan malu untuk belajar, karena menikah bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang kerja sama tim dalam membangun kehidupan bersama.
Semakin banyak ilmu yang kamu miliki sebelum menikah, semakin siap kamu menghadapi dinamika yang akan datang.
Penutup
Menikah adalah ibadah sekaligus perjalanan panjang yang membutuhkan kesiapan di berbagai aspek kehidupan. Bukan sekadar berbagi suka, tetapi juga siap mendukung satu sama lain dalam menghadapi berbagai tantangan.
Dengan mempersiapkan mental, finansial, kesehatan, visi hidup, dan ilmu rumah tangga, kamu dan pasangan dapat membangun fondasi yang kokoh untuk masa depan yang bahagia dan penuh berkah.
Jadi, sebelum mengucap janji suci, pastikan kamu sudah benar-benar siap, bukan hanya untuk menikah, tetapi juga untuk menjalani kehidupan berumah tangga dengan sepenuh hati.

Mungkin Kamu Suka

Monitorday.com – Kemunafikan bukanlah sekadar dosa individu, tapi juga penyakit sosial yang menggerogoti akar-akar kepercayaan dalam masyarakat. Dalam Islam, munafik tidak hanya dipandang sebagai pribadi yang berbahaya bagi dirinya sendiri, tetapi juga sebagai ancaman serius bagi kesatuan dan stabilitas umat. Ketika seseorang menyembunyikan niat buruk di balik wajah manis, kerusakan pun bisa menyebar tanpa disadari.
Pengertian Munafik dalam Islam
Munafik berasal dari kata nifaq, yaitu menampakkan sesuatu yang berbeda dengan yang tersembunyi dalam hati. Dalam konteks Islam, munafik adalah orang yang berpura-pura beriman, namun hatinya ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka mungkin rajin beribadah di depan publik, ikut dalam kegiatan keislaman, bahkan tampak alim dan dermawan, tetapi semua itu hanya topeng untuk menutupi kebusukan hati.
Dalam Surah Al-Baqarah ayat 8-9, Allah berfirman:
“Di antara manusia ada yang mengatakan: ‘Kami beriman kepada Allah dan Hari Kemudian,’ padahal mereka sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu diri mereka sendiri dan mereka tidak sadar.” (QS. Al-Baqarah: 8–9)
Munafik seolah berjalan di dua dunia: mereka ingin mendapatkan keuntungan dari kaum beriman, namun dalam hati mereka tidak menginginkan kebaikan agama.
Ciri-Ciri Munafik dalam Hadis
Nabi Muhammad SAW telah memperingatkan umatnya tentang bahaya munafik dan memberikan indikator-indikatornya agar umat Islam dapat waspada. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda:
“Tanda orang munafik ada tiga: apabila berbicara, ia berdusta; apabila berjanji, ia mengingkari; dan apabila dipercaya, ia berkhianat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tiga tanda tersebut adalah dasar dalam membentuk kepercayaan sosial. Jika kebohongan, ingkar janji, dan pengkhianatan menjadi hal biasa dalam masyarakat, maka hubungan antarmanusia akan rapuh dan penuh kecurigaan.
Dampak Munafik dalam Kehidupan Sosial
Kemunafikan merusak sendi-sendi sosial. Orang munafik menciptakan kegaduhan, memecah belah komunitas, dan menyulut fitnah. Mereka sering berkata manis namun menyimpan racun, mendukung di depan tetapi menikam dari belakang. Dalam organisasi, komunitas, bahkan rumah tangga, kehadiran orang munafik bisa menjadi benih perpecahan yang sulit diatasi.
Sejarah Islam mencatat bagaimana kaum munafik di Madinah menjadi penghalang bagi kemajuan dakwah Rasulullah. Mereka berpura-pura mendukung, tetapi menyebarkan keraguan di tengah kaum Muslimin. Abdullah bin Ubay bin Salul adalah contoh nyata pemimpin munafik yang dengan licik menabur benih permusuhan dan fitnah dalam barisan umat Islam.
Bayangkan jika sifat seperti itu menjalar di zaman sekarang—dalam dunia kerja, lembaga sosial, atau bahkan dalam politik—maka kehancuran moral akan menjadi harga yang harus dibayar.
Munafik Modern: Ancaman Zaman Sekarang
Di era digital, kemunafikan bisa tampil dalam bentuk yang lebih halus namun tetap merusak. Media sosial memberi ruang bagi siapa pun untuk menampilkan citra diri yang palsu. Banyak yang tampak religius atau peduli terhadap isu sosial, tetapi hanya demi popularitas atau keuntungan pribadi.
Kita juga melihat bagaimana manipulasi informasi, pencitraan palsu, dan perilaku tak konsisten menjadi hal yang lumrah. Orang bisa berdakwah dengan semangat tinggi, namun di saat yang sama melakukan penipuan, menyebarkan kebencian, atau menindas yang lemah.
Ini adalah bentuk kemunafikan zaman modern yang jauh lebih sulit dikenali, tetapi tak kalah bahayanya. Jika tidak waspada, masyarakat bisa terjebak dalam budaya kepura-puraan, di mana kebaikan hanya menjadi formalitas dan kejujuran tidak lagi dihargai.
Mencegah dan Mengobati Kemunafikan
Islam mengajarkan umatnya untuk senantiasa introspeksi dan menjaga hati. Salah satu cara utama mencegah kemunafikan adalah dengan menanamkan keikhlasan dalam setiap perbuatan. Beribadahlah karena Allah, bukan karena ingin dipuji. Berkatalah yang jujur, sekalipun pahit. Dan jangan pernah mengkhianati kepercayaan yang diberikan.
Nabi SAW bersabda:
“Sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, itu adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Penyembuhan kemunafikan harus dimulai dari hati. Perbanyak dzikir, membaca Al-Qur’an, berkumpul dengan orang-orang saleh, dan terus belajar memperbaiki diri. Jangan sampai kemunafikan menjangkiti hati tanpa disadari.
Penutup: Jadilah Muslim yang Tulus dan Konsisten
Kemunafikan adalah penyakit hati yang bisa merusak individu dan menghancurkan masyarakat. Ia tak selalu tampak jelas, tetapi dampaknya sangat besar. Islam memerintahkan umatnya untuk menjaga integritas, berkata jujur, menepati janji, dan memegang amanah.
Jika umat Islam menjauhi kemunafikan dan memegang teguh nilai-nilai kejujuran serta keikhlasan, maka masyarakat akan menjadi tempat yang aman, damai, dan saling percaya. Namun jika kemunafikan dibiarkan tumbuh, maka kerusakan moral dan sosial akan menjadi kenyataan yang menyakitkan.
Marilah kita menjadikan Islam bukan hanya sebagai identitas, tetapi sebagai jalan hidup yang dijalani dengan tulus dan konsisten, demi terciptanya masyarakat yang sehat dan penuh keberkahan.

Monitorday.com – Dalam ajaran Islam, keimanan sejati bukan hanya diucapkan dengan lisan, tetapi dibuktikan dengan keyakinan di hati dan diamalkan dalam perbuatan. Namun, tidak semua yang mengaku beriman benar-benar beriman. Sebagian hanya berpura-pura mengikuti ajaran Islam, sementara hati mereka menyimpan kekufuran dan niat buruk. Orang-orang semacam ini disebut sebagai munafik.
Istilah “munafik” berasal dari kata nifaq yang berarti kemunafikan atau kepura-puraan. Munafik adalah orang yang menampakkan keislaman namun menyembunyikan kekafiran. Mereka berpura-pura menjadi bagian dari umat Islam, padahal pada hakikatnya mereka tidak meyakini Islam sebagai agama yang benar. Dalam pandangan Al-Qur’an dan hadis, munafik adalah sosok yang sangat berbahaya dan mendapat ancaman keras dari Allah SWT.
Ciri-Ciri Munafik dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an secara tegas menggambarkan ciri dan sifat orang-orang munafik dalam berbagai ayat. Salah satu ciri utama mereka adalah suka menipu orang-orang beriman dan bahkan merasa bisa menipu Allah.
Dalam Surah Al-Baqarah ayat 8-10, Allah SWT berfirman:
“Dan di antara manusia ada yang mengatakan: ‘Kami beriman kepada Allah dan Hari Kemudian,’ padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu diri mereka sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakit itu; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (QS. Al-Baqarah: 8–10)
Munafik juga digambarkan sebagai orang yang malas melaksanakan ibadah, terutama salat. Dalam Surah An-Nisa ayat 142, Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (pamer) di hadapan manusia. Dan mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa: 142)
Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa kemunafikan bukan hanya tentang keyakinan tersembunyi, tapi juga tercermin dari sikap dan perilaku sehari-hari yang tidak konsisten dengan nilai-nilai Islam.
Tiga Ciri Munafik Menurut Hadis
Rasulullah SAW memberikan penjelasan lebih rinci tentang ciri-ciri orang munafik melalui sabda-sabdanya. Dalam sebuah hadis shahih, beliau bersabda:
“Tanda orang munafik ada tiga: apabila berkata, ia berdusta; apabila berjanji, ia mengingkari; dan apabila diberi amanah, ia berkhianat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa kemunafikan tidak hanya berada di dalam hati, tetapi juga terlihat dari akhlak seseorang. Kebohongan, pengingkaran janji, dan pengkhianatan adalah perilaku yang tidak sejalan dengan keimanan sejati.
Dalam hadis lain, Rasulullah menambahkan ciri keempat:
“Empat perkara, barang siapa yang ada padanya salah satu darinya, maka dia memiliki sifat munafik, hingga ia meninggalkannya: apabila dipercaya, ia berkhianat; apabila berbicara, ia berdusta; apabila berjanji, ia mengingkari; dan apabila berselisih, ia berlaku curang.” (HR. Muslim)
Ciri-ciri ini sangat relevan dalam kehidupan sosial. Kemunafikan tidak hanya merusak hubungan dengan Allah, tetapi juga menghancurkan kepercayaan dan keharmonisan dalam masyarakat.
Hukuman bagi Orang Munafik
Dalam Surah An-Nisa ayat 145, Allah SWT menyebutkan bahwa tempat bagi orang munafik adalah neraka yang paling bawah:
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” (QS. An-Nisa: 145)
Ini merupakan hukuman yang sangat keras. Bahkan, derajat siksa untuk orang munafik lebih rendah daripada orang kafir biasa. Hal ini karena pengkhianatan dan kebohongan orang munafik jauh lebih merusak daripada kekafiran yang terang-terangan.
Munafik pada Zaman Nabi
Salah satu tokoh paling terkenal dalam sejarah kemunafikan adalah Abdullah bin Ubay bin Salul. Di hadapan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat, ia pura-pura memeluk Islam. Namun di balik itu, ia sering menabur kebencian, menyebarkan fitnah, dan mencoba melemahkan barisan umat Islam dari dalam.
Salah satu fitnah terbesarnya adalah saat ia menyebarkan berita bohong tentang Aisyah r.a. dalam peristiwa Ifk (fitnah), yang hampir mengguncang rumah tangga Rasulullah SAW. Dari kisah ini, kita belajar bahwa kemunafikan bisa menyebabkan kerusakan besar jika tidak dikenali dan diwaspadai.
Munafik Kontemporer
Kemunafikan bukan hanya fenomena masa lalu. Di zaman modern, sifat munafik bisa hadir dalam berbagai bentuk. Ada orang yang terlihat alim dan religius, namun dalam bisnisnya suka menipu. Ada yang pandai berbicara soal moralitas, namun tindakannya tidak mencerminkan nilai-nilai yang diucapkannya.
Bahkan di dunia maya, kemunafikan bisa muncul lewat konten yang tampak islami tapi diselipi ujaran kebencian, manipulasi opini, atau fitnah yang merusak ukhuwah. Di sinilah pentingnya kesadaran spiritual agar kita tidak terjerumus menjadi pelaku kemunafikan modern tanpa sadar.
Penutup: Waspada dan Introspeksi
Munafik adalah ancaman bagi keimanan individu dan stabilitas umat. Dalam Al-Qur’an dan hadis, sifat ini sangat dikecam dan pelakunya diancam dengan azab yang paling pedih. Sebagai Muslim, kita dituntut untuk jujur, amanah, dan konsisten antara ucapan dan perbuatan.
Alih-alih mencari siapa yang munafik di luar sana, lebih baik kita mulai dengan introspeksi diri. Apakah kita sudah jujur dalam berkata? Apakah kita menepati janji dan menjaga amanah? Karena jika tidak berhati-hati, sifat munafik bisa tumbuh di dalam hati siapa pun tanpa kita sadari.
Mari kita mohon kepada Allah agar senantiasa diberi keikhlasan dan dijauhkan dari segala bentuk kemunafikan, baik dalam ucapan, perbuatan, maupun niat yang tersembunyi.

Monitorday.com – Dalam sejarah Islam, musuh paling berbahaya bukan hanya mereka yang menyerang dari luar, tapi juga yang menyusup ke dalam barisan umat. Mereka tidak terlihat sebagai musuh secara kasat mata, bahkan tampak seperti bagian dari kaum beriman. Namun, di balik penampilan tersebut tersembunyi niat dan hati yang penuh kebohongan. Mereka inilah yang disebut orang-orang munafik, musuh dalam selimut yang keberadaannya sangat membahayakan umat Islam.
Munafik berasal dari kata nifaq yang berarti berpura-pura. Dalam konteks agama, orang munafik adalah mereka yang menampakkan keimanan, tetapi menyembunyikan kekafiran. Bahaya dari orang munafik tidak hanya merusak dirinya sendiri, tapi juga melemahkan barisan umat dari dalam. Oleh karena itu, memahami dan mewaspadai sifat munafik menjadi sangat penting bagi setiap Muslim.
Sifat Munafik dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an memberikan perhatian besar terhadap kaum munafik. Dalam banyak ayat, Allah SWT menjelaskan karakter mereka, peringatan tentang bahaya mereka, dan hukuman yang akan mereka terima. Bahkan, dalam Surah Al-Baqarah ayat 8–10, Allah berfirman:
“Di antara manusia ada yang mengatakan: ‘Kami beriman kepada Allah dan Hari Akhir,’ padahal mereka sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu diri sendiri sedang mereka tidak sadar.” (QS. Al-Baqarah: 8–9)
Orang munafik hidup dalam kepura-puraan. Mereka tidak sungguh-sungguh beriman, tapi berpura-pura menjadi bagian dari kaum beriman untuk mendapatkan keuntungan dunia. Di depan orang-orang saleh, mereka terlihat taat dan santun. Namun di belakang, mereka menjadi sumber fitnah, pengkhianatan, dan perpecahan.
Bahaya Munafik Lebih Besar dari Kafir
Mengapa Islam memberikan peringatan yang lebih keras terhadap orang munafik dibandingkan orang kafir? Sebab orang kafir menyatakan permusuhannya secara terbuka. Kita tahu posisi mereka dengan jelas. Sementara orang munafik menyusup dalam barisan kaum Muslimin dan menghancurkan dari dalam. Inilah mengapa dalam Surah An-Nisa ayat 145 disebutkan:
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” (QS. An-Nisa: 145)
Ini menunjukkan betapa seriusnya ancaman dari kemunafikan. Seseorang bisa terlihat sebagai bagian dari umat Islam, tetapi diam-diam membawa agenda pribadi yang merusak. Mungkin ia menyebarkan fitnah, memecah belah jamaah, atau mencari keuntungan duniawi dengan mengatasnamakan agama.
Tiga Ciri Utama Munafik
Dalam banyak hadis, Rasulullah SAW menjelaskan tanda-tanda orang munafik, antara lain:
- Jika berbicara, ia berdusta.
Kebohongan adalah senjata utama orang munafik. Mereka menggunakan kata-kata manis untuk menipu orang lain dan menyembunyikan kebusukan hatinya. - Jika berjanji, ia mengingkari.
Janji hanya dijadikan alat untuk mengambil hati orang lain. Tapi setelah itu, mereka tidak menepatinya, bahkan mengingkarinya dengan sengaja. - Jika diberi amanah, ia berkhianat.
Amanah yang seharusnya dijaga justru dikianati. Mereka menyalahgunakan kepercayaan demi kepentingan pribadi.
Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dan menjadi rujukan utama dalam mengenali kemunafikan. Jika seseorang memiliki tiga ciri ini secara konsisten, Rasulullah menyebutnya sebagai munafik sejati.
Contoh Bahaya Munafik dalam Sejarah Islam
Pada masa Rasulullah SAW, terdapat tokoh munafik terkenal bernama Abdullah bin Ubay bin Salul. Di depan Nabi, ia tampak seperti sahabat yang setia. Namun di belakang, ia menyebarkan fitnah, meragukan kepemimpinan Rasul, dan bahkan mencoba menggagalkan Perang Uhud dengan menarik pasukannya di tengah jalan. Ulahnya hampir memecah belah umat dan membuat fitnah besar di tengah masyarakat Madinah.
Kisah ini menunjukkan bagaimana satu orang munafik bisa menyebabkan kerusakan besar jika tidak diwaspadai. Oleh karena itu, sikap waspada dan hati-hati sangat diperlukan dalam menjaga ukhuwah dan soliditas umat Islam.
Munafik Modern: Lebih Halus, Lebih Licik
Di zaman sekarang, kemunafikan mungkin tidak tampak seperti zaman dulu. Namun bahayanya tetap sama. Bahkan, bisa jadi lebih halus dan tersembunyi. Munafik modern bisa hadir dalam bentuk tokoh publik yang sering mengucapkan kalimat-kalimat agamis, tapi tindakannya bertentangan. Mereka bisa memanfaatkan label “islami” untuk mencari popularitas, kekuasaan, atau keuntungan pribadi.
Di media sosial, seseorang bisa tampil religius dan puitis, tetapi kontennya digunakan untuk menipu, memfitnah, atau menyebarkan informasi palsu. Munafik hari ini tidak lagi hanya soal aqidah tersembunyi, tapi juga menyangkut perilaku, etika, dan kejujuran yang bisa dilihat dari keseharian.
Bagaimana Menghindari Kemunafikan?
- Jujur dalam setiap ucapan. Jangan biasakan berdusta, sekecil apapun itu. Latih diri untuk berkata benar, meskipun pahit.
- Tepati janji yang telah dibuat. Jangan mudah mengumbar janji jika tidak sanggup menepatinya.
- Jaga setiap amanah. Jika dipercaya, tunaikan dengan sebaik-baiknya. Jangan menyalahgunakan kepercayaan orang lain.
- Perbanyak introspeksi diri. Jangan terlalu sibuk menilai orang lain, tapi periksa hati sendiri. Bisa jadi sifat munafik justru ada dalam diri kita tanpa kita sadari.
- Berdoa kepada Allah. Rasulullah SAW sendiri senantiasa berdoa agar dijauhkan dari kemunafikan. Ini menunjukkan bahwa tidak ada yang aman dari sifat ini kecuali dengan pertolongan Allah.
Penutup
Sifat munafik adalah ancaman nyata bagi umat Islam. Ia bisa merusak kepercayaan, menimbulkan fitnah, dan menghancurkan solidaritas umat dari dalam. Karena itu, mengenali dan menghindarinya bukan hanya tugas para ulama, tapi kewajiban setiap Muslim. Mari kita jaga hati, lisan, dan perilaku kita agar tidak tergelincir ke dalam kemunafikan. Jadilah pribadi yang jujur, amanah, dan bisa dipercaya—itulah wujud nyata keimanan sejati.
Ruang Sujud
Tiga Ciri Orang Munafik dalam Islam: Jangan Sampai Kita Termasuk!

Published
2 days agoon
25/04/2025
Monitorday.com – Munafik bukanlah sekadar istilah yang sering kita dengar dalam percakapan sehari-hari. Dalam Islam, munafik adalah salah satu sifat yang sangat berbahaya, baik bagi individu maupun bagi masyarakat. Kata “munafik” berasal dari bahasa Arab nifaq, yang berarti berpura-pura. Orang munafik adalah mereka yang menampakkan keislaman, tetapi menyembunyikan kekafiran dalam hati. Mereka berpura-pura beriman, padahal hati mereka penuh kebohongan dan niat jahat.
Sifat munafik ini mendapat perhatian khusus dalam Islam. Bahkan, Allah SWT menyebutkan dalam Al-Qur’an bahwa orang-orang munafik akan menempati tingkatan neraka yang paling bawah (QS. An-Nisa: 145). Artinya, bahayanya tidak main-main. Rasulullah SAW pun memberikan peringatan tegas tentang ciri-ciri orang munafik agar umat Islam bisa mengenal dan menghindarinya. Lantas, apa saja ciri-ciri orang munafik itu?
1. Jika Berbicara, Ia Berdusta
Ciri pertama yang dijelaskan Rasulullah SAW dalam hadis adalah berbohong ketika berbicara. Hadisnya berbunyi: “Tanda orang munafik ada tiga: jika berkata, ia berdusta; jika berjanji, ia ingkari; dan jika diberi amanah, ia khianat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Berbohong bukan hanya sekadar berkata yang tidak sesuai fakta, tapi juga menyangkut manipulasi kebenaran dan menyembunyikan niat buruk. Orang munafik bisa terlihat ramah dan meyakinkan, namun kata-katanya tidak bisa dipercaya. Ia mengatakan sesuatu untuk mendapatkan keuntungan pribadi, menjatuhkan orang lain, atau menjaga citra yang tidak sesuai kenyataan.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa menemui bentuk-bentuk dusta ini dalam banyak hal: menyebarkan gosip yang tidak benar, memanipulasi informasi di media sosial, atau berpura-pura baik di depan tapi menusuk dari belakang. Sekilas tampak biasa, tapi jika dilakukan terus-menerus, ini adalah tanda serius dari kemunafikan.
2. Jika Berjanji, Ia Mengingkari
Ciri kedua adalah tidak menepati janji. Janji dalam Islam bukanlah hal sepele. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawaban.” (QS. Al-Isra: 34)
Orang munafik gemar mengobral janji, terutama saat berada dalam posisi yang ingin mendapatkan kepercayaan. Tapi setelah mendapatkan apa yang diinginkan, janjinya dilupakan. Sikap seperti ini sangat merusak kepercayaan dan membahayakan hubungan antarindividu, baik dalam lingkup keluarga, pekerjaan, maupun kehidupan bermasyarakat.
Dalam dunia politik, misalnya, banyak orang tampak alim dan berkomitmen saat kampanye, namun setelah mendapat jabatan, mereka lupa janji-janji itu. Dalam konteks pribadi, bisa jadi kita pernah berjanji kepada teman untuk membantu, tapi justru menghindar tanpa alasan jelas. Jika ini menjadi kebiasaan, hati-hati, bisa jadi kita sedang menyerupai sifat orang munafik.
3. Jika Diberi Amanah, Ia Khianat
Ciri terakhir adalah mengkhianati amanah. Amanah adalah tanggung jawab yang diberikan seseorang kepada kita, baik dalam bentuk barang, tugas, kepercayaan, atau jabatan. Orang munafik tidak menjaga amanah, bahkan sering menyalahgunakannya demi kepentingan pribadi.
Mengkhianati amanah bisa berarti banyak hal: menyelewengkan dana yang dipercayakan, membocorkan rahasia yang seharusnya dijaga, atau menyalahgunakan posisi kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Nabi SAW bersabda, “Tidak beriman orang yang tidak amanah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati janji.” (HR. Ahmad)
Sifat ini bisa sangat merusak. Dalam skala kecil, bisa membuat orang lain kehilangan kepercayaan kepada kita. Dalam skala besar, bisa merusak struktur masyarakat dan menyebabkan krisis kepercayaan yang meluas.
Mengapa Sifat Ini Sangat Berbahaya?
Sifat munafik sangat berbahaya karena orang munafik adalah musuh dalam selimut. Mereka tampak seperti bagian dari umat, namun sebenarnya menjadi sumber perpecahan. Dalam sejarah Islam, kaum munafik di Madinah sering menjadi penghasut, memecah belah umat, dan bahkan bersekongkol dengan musuh Islam seperti kaum Quraisy dalam perang Ahzab.
Lebih mengerikannya lagi, kemunafikan sering kali tidak disadari oleh pelakunya sendiri. Ia merasa benar, merasa pintar, merasa punya alasan, tapi ternyata telah jauh dari nilai-nilai kejujuran dan keikhlasan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk selalu melakukan introspeksi dan mengevaluasi sikap serta niat dalam setiap tindakan.
Bagaimana Cara Menghindarinya?
Menghindari sifat munafik dimulai dari kejujuran dalam hati. Niat harus lurus karena Allah, bukan demi kepentingan duniawi. Selain itu, membiasakan diri untuk berkata benar, menepati janji, dan menjaga amanah adalah latihan harian yang harus dijaga.
Berdoalah kepada Allah agar dijauhkan dari sifat munafik. Rasulullah SAW sendiri selalu berdoa agar hatinya dijaga dari kemunafikan. Salah satu doanya adalah:
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari sifat nifak, dari amal yang tidak ikhlas, dan dari hati yang tidak khusyuk.”
Penutup
Tiga ciri orang munafik yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW—berdusta saat berbicara, mengingkari janji, dan mengkhianati amanah—bukan hanya tanda, tapi peringatan. Kita tidak bisa menilai seseorang hanya dari tampilan luar atau seberapa fasih ia berbicara tentang agama. Yang penting adalah ketulusan hati dan konsistensi dalam amal.
Mari kita jaga diri dan hati kita dari sifat-sifat tersebut. Jangan sampai kita termasuk golongan orang-orang yang celaka di akhirat karena kemunafikan yang tak disadari. Jadilah pribadi yang jujur, amanah, dan konsisten—karena itulah ciri sejati seorang Muslim yang beriman.
Ruang Sujud
Ghaddul Bashar: Menjaga Pandangan, Menjaga Hati dalam Islam

Published
2 days agoon
24/04/2025
Monitorday.com – Dalam kehidupan sehari-hari, mata adalah salah satu jendela utama yang menghubungkan kita dengan dunia luar. Namun dalam Islam, pandangan bukan hanya tentang melihat, tapi juga tentang menjaga. Inilah yang dikenal dengan konsep ghaddul bashar—menundukkan atau menjaga pandangan.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surah An-Nur ayat 30-31 yang artinya:
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.'”
Perintah ini tak hanya ditujukan kepada laki-laki, tapi juga kepada perempuan. Ini menunjukkan bahwa menjaga pandangan adalah bentuk tanggung jawab spiritual bagi semua muslim, tanpa terkecuali.
Tapi kenapa pandangan harus dijaga? Karena dari pandangan bisa tumbuh berbagai rasa di hati. Dari sekadar melihat, bisa muncul ketertarikan, dari ketertarikan bisa jadi godaan, lalu bisa berujung pada tindakan yang tidak dibenarkan. Islam mengajarkan ghaddul bashar sebagai bentuk penjagaan pertama sebelum hati dan pikiran terbawa lebih jauh.
Menjaga pandangan bukan berarti kita harus berjalan dengan mata tertutup. Bukan. Tapi kita diajarkan untuk selektif, sadar, dan bertanggung jawab atas apa yang kita lihat. Di era digital seperti sekarang, ini makin penting. Dengan sekali scroll saja, kita bisa terpapar pada gambar atau video yang bisa mengganggu hati dan iman. Maka ghaddul bashar tak hanya berlaku di dunia nyata, tapi juga di dunia maya.
Menundukkan pandangan juga punya manfaat luar biasa bagi ketenangan batin. Mata yang dijaga akan membawa ketenangan pada hati. Hati yang tenang akan lebih mudah menerima petunjuk Allah. Bahkan, ulama mengatakan bahwa menjaga pandangan adalah awal dari kemuliaan jiwa.
Bukan perkara mudah memang. Tapi setiap usaha menjaga diri adalah bentuk ibadah. Dan setiap ibadah akan dibalas dengan pahala. Rasulullah ﷺ bersabda, “Pandangan adalah anak panah beracun dari panah-panah Iblis. Barangsiapa yang menundukkan pandangannya karena Allah, maka Allah akan memberikan kelezatan iman yang manisnya ia rasakan dalam hatinya.” (HR. Al-Hakim)
Akhirnya, ghaddul bashar bukan hanya soal memalingkan mata, tapi tentang memilih jalan untuk menjaga kesucian hati. Dalam dunia yang penuh godaan visual, ghaddul bashar adalah bentuk keberanian dan komitmen seorang muslim dalam memelihara dirinya dari hal-hal yang bisa menjauhkan dari Allah.
Mari belajar menjaga pandangan, demi menjaga hati. Karena hati yang bersih adalah jalan menuju ridha Ilahi.
Ruang Sujud
Pandangan yang Terjaga: Hikmah dan Manfaat Ghaddul Bashar bagi Kehidupan Sehari-hari

Published
2 days agoon
24/04/2025
Monitorday.com – Pernah nggak kamu merasa hati jadi nggak tenang cuma karena lihat sesuatu yang sebenarnya nggak perlu dilihat? Dalam Islam, ada konsep indah yang bisa jadi solusi: ghaddul bashar—menundukkan pandangan.
Menjaga pandangan bukan cuma soal menghindari hal-hal yang haram, tapi juga soal memelihara hati dari hal-hal yang mengganggu ketenangan jiwa. Allah SWT berfirman dalam Surah An-Nur ayat 30-31, bahwa laki-laki dan perempuan yang beriman diperintahkan untuk menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Ini bukan sekadar larangan, tapi bentuk penjagaan diri yang luar biasa.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita nggak bisa lepas dari visual. Di jalan, di TV, apalagi di media sosial—semuanya berlomba-lomba menampilkan hal-hal yang kadang bisa memicu syahwat atau memancing rasa iri dan cemas. Dengan ghaddul bashar, kita belajar memilih mana yang layak dilihat, dan mana yang lebih baik dihindari.
Salah satu hikmah dari menjaga pandangan adalah menjaga hati dari keruhnya pikiran negatif. Saat mata nggak liar, hati jadi lebih tenang. Kamu bisa lebih fokus, lebih damai, bahkan lebih percaya diri karena nggak terus-terusan membandingkan diri dengan apa yang kamu lihat.
Selain itu, ghaddul bashar juga punya manfaat sosial. Orang yang menjaga pandangannya akan lebih dihormati, terlihat sopan, dan terhindar dari fitnah. Ini juga menjadi bentuk penghormatan terhadap sesama. Nggak heran, orang-orang saleh zaman dulu sangat menjaga mata mereka, karena mereka tahu betul, satu pandangan bisa mengantar pada dosa, tapi juga bisa jadi awal dari keberkahan jika dijaga karena Allah.
Menjaga pandangan juga bisa memperkuat hubungan kita dengan Allah. Ketika kita sadar bahwa setiap pandangan kita diperhatikan oleh-Nya, kita jadi lebih berhati-hati dan makin merasa dekat dengan-Nya. Ini bentuk muraqabah—merasa diawasi oleh Allah dalam setiap detik kehidupan.
Tentu, menjaga pandangan bukan perkara gampang. Tapi setiap perjuangan pasti ada ganjarannya. Nabi Muhammad ﷺ pernah bersabda, “Tidaklah seorang hamba menundukkan pandangannya karena Allah, kecuali Allah akan memberikan keimanan yang ia rasakan manisnya dalam hatinya.” (HR. Ahmad)
Jadi, jangan anggap enteng ghaddul bashar. Di balik tindakan kecil ini, tersembunyi hikmah besar yang bisa membuat hidup kita lebih bersih, lebih damai, dan lebih dekat kepada Allah. Pandangan yang terjaga bukan sekadar soal mata, tapi juga tentang kualitas hidup dan kebeningan hati.
Ruang Sujud
Ghaddul Bashar dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadis: Panduan Etika Visual Muslim

Published
2 days agoon
24/04/2025
Monitorday.com – Di tengah derasnya arus informasi visual yang menghampiri kita setiap hari, Islam hadir dengan sebuah prinsip mulia bernama ghaddul bashar, atau menundukkan pandangan. Konsep ini bukan sekadar ajaran etika, tapi merupakan bagian dari tuntunan syariat yang bersumber langsung dari Al-Qur’an dan Hadis.
Allah SWT berfirman dalam Surah An-Nur ayat 30:
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’”
Ayat selanjutnya (ayat 31) memerintahkan hal yang sama kepada perempuan beriman. Ini menunjukkan bahwa menjaga pandangan adalah perintah langsung dari Allah untuk seluruh umat Islam—baik laki-laki maupun perempuan.
Menundukkan pandangan dalam konteks ini bukan berarti kita harus memalingkan mata sepanjang waktu. Islam tidak melarang kita melihat dunia, tapi mengajarkan kita untuk melihat dengan bijak, penuh kesadaran, dan tanggung jawab. Inti dari ghaddul bashar adalah menahan pandangan dari hal-hal yang haram dan menjaga mata agar tidak menjadi pintu masuk bagi dosa.
Rasulullah ﷺ juga menekankan pentingnya menjaga pandangan. Dalam sebuah hadis riwayat Imam Muslim, Nabi bersabda:
“Pandangan adalah anak panah beracun dari panah-panah Iblis. Barangsiapa menundukkan pandangannya karena Allah, maka Allah akan memberinya kelezatan iman yang ia rasakan dalam hatinya.”
Dari sini kita bisa melihat, menjaga pandangan bukan sekadar menahan diri, tapi juga bentuk ibadah hati. Saat kita memilih untuk tidak melihat sesuatu yang haram demi Allah, saat itu juga kita sedang membangun kedekatan ruhani dengan-Nya.
Menariknya, ghaddul bashar bukan hanya soal menjaga dari pandangan syahwat. Ulama kontemporer juga mengaitkannya dengan menjaga pandangan dari hal-hal yang bisa memicu iri, dengki, atau bahkan depresi, seperti membandingkan hidup kita dengan konten orang lain di media sosial. Maka dari itu, ghaddul bashar juga relevan sebagai etika visual di era digital.
Dalam Islam, setiap anggota tubuh memiliki amanah. Mata adalah salah satunya. Ia bisa menjadi sumber pahala atau dosa, tergantung bagaimana kita menggunakannya. Oleh karena itu, menjaga pandangan bukan semata-mata tentang larangan, melainkan sebuah panduan hidup yang menjaga kesucian hati dan kesehatan jiwa.
Ghaddul bashar adalah pelindung batin. Ketika mata dijaga, hati lebih mudah untuk bersih. Dan ketika hati bersih, maka cahaya petunjuk akan lebih mudah masuk.
Ruang Sujud
Remaja Muslim dan Tantangan Zaman Digital: Pentingnya Ghaddul Bashar di Era Media Sosial

Published
3 days agoon
24/04/2025
Monitorday.com – Kehidupan remaja hari ini udah nggak bisa dipisahkan dari layar. Bangun tidur buka HP, tidur lagi pun kadang sambil scroll. Di tengah dunia yang super visual kayak sekarang, ada satu nilai Islam yang sering terlupakan tapi justru makin penting: ghaddul bashar, alias menundukkan pandangan.
Kamu mungkin mikir, “Emang penting ya segitu banget?” Jawabannya: iya banget. Karena dari mata, bisa masuk banyak hal ke hati. Dan apa yang masuk ke hati, bisa pengaruhin banget cara kita mikir, ngerasa, dan bertindak.
Islam udah lama ngajarin pentingnya menjaga pandangan. Dalam Surah An-Nur ayat 30-31, Allah SWT perintahkan laki-laki dan perempuan beriman buat menundukkan pandangan. Bukan karena Allah nggak pengen kita nikmatin dunia, tapi karena Allah sayang banget sama kita—dan pengen hati kita tetap bersih.
Zaman sekarang, tantangannya beda banget. Dulu, kalau mau lihat yang aneh-aneh atau yang bisa ngerusak hati, harus keluar rumah. Sekarang? Tinggal buka explore Instagram atau FYP TikTok. Bahkan kadang tanpa kita cari, konten yang nggak layak udah muncul duluan. Inilah kenapa ghaddul bashar penting banget buat remaja.
Menjaga pandangan bukan berarti kamu jadi kuper atau sok alim. Justru ini soal kendali diri dan tahu batas. Orang yang bisa ngontrol pandangannya, artinya dia juga punya kemampuan ngontrol nafsunya. Dan itu keren banget. Di saat semua orang ngikutin arus, kamu bisa berdiri teguh karena punya prinsip.
Selain itu, ghaddul bashar juga bisa bikin kamu lebih fokus dalam hidup. Nggak gampang terdistraksi, nggak gampang insecure karena liat “kehidupan sempurna” orang lain di medsos. Kamu jadi lebih jujur sama dirimu sendiri dan nggak gampang ngebandingin hidupmu dengan hidup orang lain yang belum tentu real.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Pandangan adalah anak panah beracun dari panah-panah Iblis. Siapa yang menundukkannya karena Allah, maka Allah akan memberikan kelezatan iman dalam hatinya.” (HR. Al-Hakim)
Keren ya? Satu langkah kecil, tapi impact-nya luar biasa.
Jadi, yuk mulai belajar jaga pandangan. Nggak harus langsung sempurna, tapi mulai dari kesadaran kecil: saat buka medsos, tanyain ke diri sendiri, “Perlu dilihat nggak, ya?” Kalau nggak, skip. Kalau perlu, lanjut, tapi tetap jaga hati.
Karena di era digital ini, ghaddul bashar bukan cuma soal adab, tapi juga soal kesehatan mental, kualitas hidup, dan kedekatan kita sama Allah.
Ruang Sujud
Mengenal Lauhul Mahfuzh: Kitab Tertulis di Sisi Allah Sebelum Segala Sesuatu Ada

Published
3 days agoon
23/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Dalam ajaran Islam, ada satu konsep yang sangat menarik dan mendalam, yaitu Lauhul Mahfuzh. Istilah ini sering disebut dalam berbagai kajian keislaman, namun tidak sedikit umat Islam yang belum benar-benar memahami maknanya. Apa sebenarnya Lauhul Mahfuzh itu? Mengapa keberadaannya begitu penting dalam akidah Islam? Artikel ini akan membahas secara ringkas namun lengkap mengenai Lauhul Mahfuzh: dari definisi, dasar dalil, fungsi, hingga relevansinya dalam kehidupan sehari-hari.
Apa Itu Lauhul Mahfuzh?
Secara bahasa, Lauh berarti papan, dan Mahfuzh berarti yang terjaga atau yang terpelihara. Jadi, Lauhul Mahfuzh dapat diartikan sebagai “papan yang terpelihara”. Namun dalam istilah syar’i, Lauhul Mahfuzh adalah kitab catatan di sisi Allah yang mencatat segala sesuatu yang telah, sedang, dan akan terjadi di alam semesta ini, sejak zaman azali hingga hari kiamat dan seterusnya.
Lauhul Mahfuzh merupakan manifestasi dari ilmu Allah yang sempurna dan meliputi segala sesuatu. Tidak ada satu pun kejadian, peristiwa, atau makhluk, baik besar maupun kecil, kecuali telah tercatat di dalamnya. Ini menunjukkan bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu secara mutlak.
Dalil-Dalil Tentang Lauhul Mahfuzh
Keberadaan Lauhul Mahfuzh disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an dan hadis Rasulullah ﷺ. Di antaranya:
- Surah Al-Buruj ayat 21-22
“Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al-Qur’an yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauhul Mahfuzh.” Ayat ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an sendiri berasal dari Lauhul Mahfuzh, yaitu tempat penyimpanan ilmu dan ketetapan Allah. - Surah Al-Hadid ayat 22
“Tiada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” Ayat ini menjelaskan bahwa setiap peristiwa, termasuk musibah, telah dicatat dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum terjadinya. - Hadis riwayat Muslim
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Allah telah menetapkan takdir-takdir makhluk 50.000 tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi.”
(HR. Muslim, no. 2653) Hadis ini memperkuat keyakinan bahwa semua hal telah tertulis jauh sebelum dunia diciptakan.
Fungsi Lauhul Mahfuzh
Lauhul Mahfuzh bukan hanya sekadar catatan pasif, tetapi memiliki beberapa fungsi penting dalam sistem keimanan Islam:
- Sebagai Bukti Ilmu Allah yang Maha Luas
Allah mengetahui segala sesuatu, dan Lauhul Mahfuzh menjadi bukti konkret dari pengetahuan-Nya yang sempurna. - Menjadi Dasar Takdir
Segala ketetapan Allah terhadap makhluk-Nya berasal dari catatan dalam Lauhul Mahfuzh. Apa yang kita alami, baik rezeki, ajal, jodoh, maupun musibah, semuanya berasal dari catatan tersebut. - Sebagai Penguat Keimanan
Mengetahui adanya Lauhul Mahfuzh membuat seorang Muslim lebih tenang menghadapi hidup. Ia tahu bahwa segala sesuatu sudah dalam kendali Allah, dan tidak ada yang terjadi secara kebetulan.
Apakah Isi Lauhul Mahfuzh Bisa Diubah?
Ini adalah pertanyaan yang sering muncul. Apakah yang tertulis di Lauhul Mahfuzh bisa diubah?
Jawabannya: tidak. Apa yang tertulis di Lauhul Mahfuzh adalah ketetapan final dan tidak bisa berubah. Namun, dalam beberapa hadis, Rasulullah ﷺ menyebut adanya “catatan takdir” yang masih bisa berubah, seperti dalam istilah kitab di tangan malaikat, misalnya takdir seseorang bisa berubah karena doa, sedekah, atau amal saleh. Ini disebut dengan takdir muallaq (yang tergantung), sedangkan yang tertulis di Lauhul Mahfuzh adalah takdir mubram (yang pasti dan tidak berubah).
Dengan kata lain, perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia sebenarnya sudah termasuk dalam catatan Lauhul Mahfuzh. Misalnya: “Jika si Fulan berdoa, maka akan begini; jika tidak, maka akan begitu.” Semua kemungkinan itu sudah tertulis, termasuk keputusan akhirnya.
Relevansi Lauhul Mahfuzh dalam Kehidupan Sehari-hari
Meski konsep Lauhul Mahfuzh sangat metafisik dan tidak bisa diakses oleh manusia, namun keyakinan akan keberadaannya memiliki dampak besar dalam kehidupan:
- Menumbuhkan sikap tawakal: Setelah berusaha, kita berserah diri kepada Allah karena tahu hasilnya sudah ditentukan oleh-Nya.
- Menghindari stres dan kecewa berlebihan: Karena apa pun yang terjadi, baik atau buruk, semuanya sudah menjadi ketetapan yang terbaik menurut Allah.
- Memotivasi untuk terus berbuat baik: Sebab kita tidak tahu takdir mana yang akan menimpa kita, maka sebaiknya kita terus memperbaiki diri.
Penutup
Lauhul Mahfuzh adalah konsep penting dalam Islam yang mengajarkan kita tentang ilmu Allah yang tak terbatas dan kekuasaan-Nya atas segala sesuatu. Keberadaan Lauhul Mahfuzh memperkuat keyakinan kita bahwa hidup ini bukan kebetulan, melainkan bagian dari rencana ilahi yang sempurna. Dengan memahami dan meyakini Lauhul Mahfuzh, kita bisa menjalani hidup dengan lebih ikhlas, sabar, dan penuh harapan.
Ruang Sujud
Rahasia Takdir dalam Lauhul Mahfuzh: Apakah Bisa Diubah?

Published
3 days agoon
23/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Konsep takdir merupakan salah satu bagian paling mendalam dalam akidah Islam. Ia menyimpan banyak pertanyaan dan rasa penasaran dalam benak umat Muslim. Di antara pertanyaan yang sering muncul adalah: Apakah takdir bisa diubah? Dan bagaimana hubungan takdir dengan Lauhul Mahfuzh, yaitu kitab catatan di sisi Allah? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu menelusuri pengertian Lauhul Mahfuzh, jenis-jenis takdir, dan bagaimana Islam memandang perubahan dalam kehidupan manusia.
Apa Itu Lauhul Mahfuzh?
Lauhul Mahfuzh secara harfiah berarti “papan yang terpelihara”. Dalam ajaran Islam, ia adalah kitab catatan yang berada di sisi Allah, tempat tertulisnya segala hal yang terjadi di alam semesta — dari awal penciptaan hingga akhir zaman. Segala sesuatu yang terjadi, mulai dari kelahiran, rezeki, ajal, pertemuan, hingga perpisahan, semuanya telah ditulis dalam Lauhul Mahfuzh.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
(QS. Al-Hadid: 22)
Ayat ini menegaskan bahwa semua peristiwa, bahkan sebelum terjadi, telah tercatat rapi dalam kitab tersebut. Namun, muncul pertanyaan: Kalau semua sudah tertulis, apakah manusia masih bisa mengubah takdirnya?
Jenis-Jenis Takdir dalam Islam
Untuk memahami hal ini, para ulama membagi takdir menjadi dua jenis utama:
- Takdir Mubram (takdir pasti)
Ini adalah takdir yang sudah ditetapkan secara final dan tidak akan berubah, karena sudah tercatat di Lauhul Mahfuzh. Contohnya adalah hari kiamat, kematian seseorang (ajal), dan ketetapan Allah terhadap alam semesta secara keseluruhan. Takdir jenis ini bersifat mutlak. - Takdir Muallaq (takdir yang tergantung)
Ini adalah takdir yang ditangguhkan atau tergantung pada usaha manusia dan izin Allah. Contohnya: seseorang yang sakit bisa sembuh jika berobat dan berdoa. Dalam takdir muallaq, perubahan bisa terjadi melalui doa, sedekah, amal saleh, dan ikhtiar lainnya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tidak ada yang bisa menolak takdir kecuali doa.”
(HR. Tirmidzi)
Hadis ini menunjukkan bahwa ada takdir yang bisa berubah, namun tentunya tetap dalam batasan ilmu Allah yang telah mencakup semua kemungkinan.
Takdir Bisa Berubah? Bagaimana?
Pertanyaan “apakah takdir bisa diubah?” bisa dijawab ya, tetapi dengan pemahaman yang benar. Perubahan yang terjadi tidak keluar dari catatan Allah. Misalnya, dalam Lauhul Mahfuzh sudah tertulis: “Jika si Fulan berdoa, maka ia akan sembuh. Jika tidak berdoa, maka ia akan terus sakit.” Maka apapun yang dilakukan Fulan, baik berdoa atau tidak, semuanya sudah tercatat sebelumnya.
Dengan kata lain, perubahan yang terjadi di dunia ini tidak bertentangan dengan Lauhul Mahfuzh. Semua pilihan dan skenario hidup sudah masuk dalam catatan ilmu Allah. Itulah mengapa meskipun takdir terlihat berubah dari sudut pandang manusia, sebenarnya semua itu adalah bagian dari kehendak dan ketentuan Allah yang sempurna.
Peran Doa dan Usaha dalam Takdir
Salah satu hikmah penting dari pembagian takdir adalah untuk memotivasi manusia agar tidak pasrah secara buta. Dalam Islam, kita diajarkan untuk selalu berusaha, bekerja keras, dan berdoa — bukan hanya menyerah pada nasib.
Dalam hadits, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya seseorang di antara kalian ada yang beramal dengan amalan penghuni surga hingga jarak antara dia dan surga hanya tinggal satu hasta, namun catatan telah mendahuluinya sehingga dia beramal dengan amalan penghuni neraka lalu masuk neraka.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini mengajarkan bahwa seseorang bisa mengubah nasib hidupnya — dari baik menjadi buruk, atau sebaliknya — tergantung pada amal dan keputusannya.
Mengapa Allah Tetap Mencatat Segalanya Jika Bisa Berubah?
Mungkin muncul pertanyaan, “Kalau takdir bisa berubah, mengapa Allah tetap mencatatnya?” Jawabannya adalah: ilmu Allah tidak terbatas oleh waktu dan ruang. Allah sudah mengetahui semua skenario yang akan terjadi, termasuk kemungkinan perubahan karena doa atau usaha. Maka catatan dalam Lauhul Mahfuzh mencakup semua kemungkinan tersebut secara sempurna.
Misalnya: “Jika Ahmad berdoa dan bersedekah, maka hidupnya akan dimudahkan. Jika ia bermalas-malasan, maka hidupnya akan sulit.” Maka saat Ahmad memilih jalan tertentu, takdir itu berjalan sesuai pilihan tersebut — dan semuanya sudah Allah catat.
Hikmah Memahami Takdir dan Lauhul Mahfuzh
- Menumbuhkan semangat ikhtiar dan doa
Mengetahui bahwa takdir tertentu bisa berubah memotivasi kita untuk terus berusaha dan berdoa kepada Allah. - Menghindari sikap fatalis
Islam tidak mengajarkan pasrah tanpa usaha. Justru kita diperintahkan untuk bertindak aktif dalam hidup ini. - Meningkatkan keimanan
Memahami bahwa semua yang terjadi sudah dalam catatan Allah membuat hati menjadi lebih tenang dan yakin bahwa Allah selalu punya rencana terbaik. - Menumbuhkan harapan
Tidak ada kata terlambat untuk berubah. Selama masih hidup, setiap manusia memiliki peluang untuk memperbaiki takdirnya.
Penutup
Takdir adalah misteri ilahi yang tidak sepenuhnya bisa dijangkau akal manusia. Namun, Islam memberikan kita arahan yang jelas: Lauhul Mahfuzh adalah kitab catatan yang mencerminkan ilmu Allah yang sempurna, dan di dalamnya sudah tercatat segala kemungkinan yang akan terjadi. Takdir bisa tampak berubah dari sisi manusia, namun semuanya tetap dalam kendali dan ilmu Allah.
Maka tugas kita bukan untuk menebak takdir, melainkan berusaha, berdoa, dan bertawakal. Sebab dalam Islam, berjuang memperbaiki diri adalah bagian dari iman kepada takdir itu sendiri.
Monitor Saham BUMN

Beruk Saja Punya Ijazah, Pejabat Malu!

Duh! Dibantai Real Betis, Klub Milik Ronaldo Dipastikan Degradasi

Persaingan Ketat di Sprint Race MotoGP Spanyol 2025, Catat Jadwal Siaran Langsungnya

Pupuk Indonesia Wujudkan Ketahanan Pangan di Forum Internasional

Mendikdasmen Tegaskan Pentingnya Penguatan Bahasa Indonesia untuk Kedaulatan Bangsa

Membasmi Judi Online

5 Hal yang Harus Dipersiapkan Sebelum Menikah

Pemuda Riau Siap Jaga Lingkungan

Hidupkan Petrus, Basmi Preman Berkedok Ormas

Pasar Mangga Dua Jadi Sorotan Dunia

Spanyol Bangkit, Tegas Tolak Senjata Zionis

Akhirnya, Prancis Lawan Kebejatan Israel

Pertamina Dukung Scooter Prix 2025 di Sentul

Wamendikdasmen: Kompetensi dan Kesejahteraan Guru Jadi Prioritas Pembenahan Pendidikan

Menlu RI Bakal Hadiri Pertemuan BRICS di Brasil

Dukung Gerina, Ustaz Adi Hidayat Kenalkan Dua Program Inovatif

Mendikdasmen: Karakter Pilar Utama Pendidikan Nasional yang Berdaya Saing

Munafik: Penyakit Hati yang Merusak Masyarakat

Munafik dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadis
