Perang Badar telah usai, dan kemenangan meliputi kaum Muslimin, sementara orang-orang Quraisy mengalami kekalahan yang menghancurkan semangat mereka. Kembali dengan hati yang hancur dan kekuatan yang runtuh, dendam kesumat mereka semakin berkobar terhadap Muhammad SAW dan para sahabatnya.
Setelah pertempuran mereda, pemandangan darah dan puing-puing kekalahan menyelimuti medan perang. Orang Quraisy menyaksikan kerabat dan kawan mereka terbujur kaku dalam darah, beberapa di antaranya ditawan oleh pasukan Muslim. Kehilangan ini tidak hanya dirasakan sebagai kehilangan nyawa biasa, tetapi juga kehilangan pemimpin dan tokoh terhormat di antara mereka.
Rasulullah, di sisi lain, memperoleh kemenangan yang diberikan oleh Allah SWT. Dia memerintahkan penguburan mayat musuh, menjaga mayat kaum Muslimin, dan adil dalam pembagian harta rampasan perang di antara pasukannya. Namun, tugas yang lebih sulit menanti: menangani para tawanan perang.
Rasulullah tidak memiliki petunjuk yang jelas dari Allah mengenai nasib para tawanan. Saat berkumpul dengan para sahabat, beliau bertanya tentang pendapat mereka. Abu Bakar menyarankan agar memberi kesempatan pada tawanan untuk bertaubat dan mengambil tebusan sebagai upaya menguatkan kaum Muslim. Sementara itu, Umar berpendapat untuk menghukum mati tawanan karena mereka telah mengusir dan mendustakan Rasulullah.
Rasulullah, setelah pertimbangan, menyatakan bahwa Allah dapat melunakkan hati sebagian tawanan untuk bertobat. Beliau memilih jalan tengah, memberi pilihan pada tawanan antara tebusan atau kemungkinan ampunan Allah. Kabar ini menyebar di Makkah, mendorong orang Quraisy memberikan tebusan untuk membebaskan tawanan mereka.
Namun, setelah urusan tawanan terselesaikan, Allah menurunkan wahyu yang menggambarkan bahwa seorang Nabi seharusnya tidak memiliki tawanan sebelum berhasil mengalahkan musuh di medan perang. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan penerimaan tebusan seharusnya tidak menjadi prioritas utama, tetapi mengalahkan musuh secara keseluruhan adalah langkah yang lebih diutamakan.
Pada waktu itu, kaum Muslimin sedang membentuk pemerintahan di Madinah. Keputusan untuk menerima tebusan atau menghukum mati tawanan adalah pilihan yang mencerminkan kehormatan dan kedaulatan mereka. Dengan menunjukkan kekuatan melalui pemberian hukuman, mereka dapat mempertahankan martabat mereka dan menanamkan rasa takut pada musuh yang menyombongkan diri. Oleh karena itu, harta tebusan dianggap sebagai opsi kedua setelah berhasil melemahkan musuh melalui perang.