Monitorday.com – Isu bergabungnya kubu Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud menuai kritik dari Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Fahri Hamzah. Wakil Ketua Umum Partai Gelora ini menilai bahwa koalisi antara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah hal yang mustahil dan tidak rasional.
Fahri Hamzah mengatakan bahwa PDIP dan PKS adalah dua partai yang berbeda bagai minyak dan air. Ia mengatakan bahwa dalam 10 tahun terakhir, kedua partai ini terus menunjukkan perbedaan ideologis yang sangat tajam kepada masyarakat dan bangsa Indonesia.
“Dan itu betul betul ditegaskan berkali-kali bahwa PDIP dan PKS tidak akan pernah berkoalisi dalam bentuk apapun,” kata Fahri dalam keterangan tertulis, Selasa (16/1/2024).
Fahri juga menyebut bahwa PDIP dan PKS merupakan kutub ekstrem dari polarisasi politik yang terjadi di Indonesia. Ia mengatakan bahwa pemilih dari kedua partai ini berada pada spektrum terjauh di kiri dan kanan.
“Memang dari pengamatan politik Indonesia yang terpolarisasi secara ekstrem adalah pemilih PKS dan PDIP. Itu nampak sekali bahwa dalam semua pemilu, pemilih dari dua partai ini berada pada spektrum terjauh di kiri dan kanan,” jelasnya.
Menurut Fahri, polarisasi politik ini mendorong munculnya tiga paslon yang ada saat ini. Ia mengatakan bahwa kelompok kanan menarik Anies Baswedan, sementara kelompok kiri ditarik oleh Ganjar Pranowo.
“Sehingga bisa dikatakan bahwa dua kelompok ini adalah kelompok yang mustahil disatukan oleh adanya perbedaan ideologis yang sangat tajam,” tuturnya.
Fahri berpendapat bahwa apabila Partai Pendukung Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud benar-benar bergabung, itu bukan karena gagasan yang rasional, tetapi karena kepentingan dan kemarahan sesaat. Ia mengatakan bahwa hal ini juga didorong oleh soal-soal lain yang tidak strategis dan tidak berdasar kepada agenda dan kepentingan nasional.
“Keinginan bersatu kedua kelompok dan partai ini pastilah bukan karena gagasan yang rasional, tetapi kepentingan dan kemarahan sesaat yang didorong oleh soal soal lain yang tidak strategis dan tidak berdasar kepada agenda dan kepentingan nasional,” ucapnya.
Fahri meyakini bahwa dengan angka elektabilitas yang terus menurun, koalisi PKS-PDIP adalah pertanda berakhirnya politik identitas yang tidak rasional dan hanya didasari emosi sesaat.
“Dapat dikatakan bahwa koalisi PKS-PDIP adalah pertanda dari berakhirnya politik identitas yang tidak rasional yang didasarkan kepada emosi dan kepentingan sesaat, karena jelas akhirnya bergabung. Sesuatu yang secara teoritis mustahil,” pungkas Fahri.