Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Teten Masduki mengungkapkan bahwa akses pembiayaan kredit bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia menjadi yang terendah di Asia. Menurutnya, hanya sekitar 21 persen dari UMKM di Indonesia yang mendapatkan akses pembiayaan, sementara negara seperti China dan Jepang sudah mencapai 60 persen dan Korea bahkan di atas 80 persen.
Masduki menjelaskan bahwa hal ini disebabkan oleh mekanisme pemberian kredit di Indonesia yang masih mengandalkan sistem kolateral, yang memerlukan jaminan atau agunan untuk mendapatkan persetujuan dana. Namun, banyak UMKM di Indonesia yang tidak memiliki kemampuan untuk memberikan jaminan saat mengajukan kredit, menjadi penghambat bagi mereka untuk mendapatkan pembiayaan.
“Di 145 negara sudah menerapkan credit scoring, jadi bukan lagi agunan tapi track record digital mengenai kesehatan usahanya. Karena untuk apa ada agunan kalau usahanya macet,” ujarnya.
Ia mengatakan, pelaku usaha di tanah air masih banyak memilih untuk mengajukan pinjaman ke koperasi simpan pinjam karena akses pengajuannya lebih mudah dibandingkan dengan bank, meskipun bank memiliki aset yang jauh lebih besar.
Pada tahun 2023, Kementerian Koperasi dan UKM mencatat kontribusi UMKM terhadap perekonomian nasional mencapai 61 persen, sementara industri hanya menyumbang 18 persen. Dan pada tahun 2024, Kementerian tersebut menargetkan agar 30 juta UMKM memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB).