Ruang Sujud
Memaknai Kehidupan
Published
2 years agoon
By
Robby Karman
SETIAP makhluk hidup pasti diciptakan oleh Allah SWT memiliki tujuannya. Ibarat seorang penulis yang membuat buku pasti ada tujuannya tersendiri kenapa ia ingin membuat buku tersebut.
Begitupun dengan Allah SWT yang menciptakan kehidupan ini, semua sudah tersistematis dengan aturan yang sangat wooww dan super spektakuler yang tanpa seorang makhluk-Nya pun dapat membuatnya bahkan sekaliberan manusia yang diciptakan Allah SWT memiliki akal yang dapat digunakan untuk berfikir pun tidak mampu menciptakan sesuatu yang sama seperti penciptaan Allah SWT.
Buktinya ada banyak milyaran bahkan trilyunan benda-benda langit di angkasa yang sangat indah dan banyak memiliki manfaat buat kehidupan manusia dapat beredar menurut garis orbitnya tanpa harus saling bertabrakan antara benda langit yang satu dengan benda langit yang lainnya.
Selain itu, coba perhatikan keadaan di sekeliling kita yakni mengenai pergantian siang dan malam setiap hari, bagaimana Allah SWT dengan sebegitu hebatnya menentukan batas waktu malam dan waktu siang, dimana keduanya memiliki batasan-batasan waktu yang sudah tersistem.
Mungkin jika kita dalam sehari hanya merasakan siang saja, maka waktu untuk bekerja dan beraktifitas akan lebih banyak dilakukan sehingga bisa membuat kita sulit untuk tidur , karena memang pada hakikatnya kualitas tidur di malam hari meski sebentar itu lebih baik daripada tidur lama di waktu siang hari.
Bayangkan juga jika semua itu terjadi pada semua wilayah di bumi ini ,maka yang ada hanyalah kekacauan dan kesehatan manusia yang semakin memburuk. Begitupun sebaliknya bayangkan jika dalam sehari ini kita hanya merasakan keadaan malam saja, mungkin banyak aktifitas manusia yang akan terganggu dan sangat sulit untuk dikerjakan di malam hari, karena hakikatnya malam itu ya untuk beristirahat. Seperti yang tertuang dalam firman Allah SWT pada QS. Al Furqaan ayat 47 yang bunyinya :
“Dialah yang menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha”.(QS. Al Furqaan : 47
Berdasarkan keterangan ini menjelaskan bahwa sungguh semua penciptaan manusia, alam semesta, dan kehidupan ini semuanya tersusun secara sistematis dan sudah di persiapkan oleh Allah SWT dengan begitu sangat matangnya tanpa ada celah kesalahan sedikitpun, karena memang Dialah Allah SWT sebagai Al Mudabbir yakni yang maha pengatur kehidupan ini, Dia juga sebagai pencipta makhluk-Nya tentunya Dia juga yang mengetahui kadar dari setiap makhluk yang diciptakan-Nya.
Oleh karena itu, kita harusnya sadar bahwa diri ini adalah diri-diri lemah yang tidak dapat menjalani kehidupan tanpa adanya kekuasaan Allah SWT yang menolong kita.
Semua itu membuktikan bahwa manusia membutuhkan adanya Dzat yang memiliki kekuatan lebih dari dirinya, memang sejatinya manusia memiliki potensi tadayyun yakni potensi yang ada dalam setiap diri seseorang untuk mensucikan sesuatu pada Dzat yang di anggap lebih dari dirinya, lantas siapakah Dzat itu? Dialah Allah SWT sebagai sang khalik yang menciptakan manusia dari sesuatu yang tak ada menjadi ada.
Sehingga kita sebagai orang yang di ciptakan sepatutnya harus mengenal terhadap yang menciptakan diri kita. Adapun untuk mengenal Allah SWT yakni dengan memperhatikan semua ciptaan-Nya, karena dengan memperhatikan ciptaan-Nya maka kita akan menemukan titik akhir bahwa semua alam semesta dan kehidupan ini tidak akan ada tanpa ada yang menciptakan oleh Dzat yang memiliki kekuasaan yang sangat besar tentunya berbeda dengan makhluk-Nya. Bahkan lebih lanjut, Allah SWT sudah banyak memperingatkan manusia untuk selalu memperhatikan tanda-tanda kekuasaan-Nya melalui ciptaan-Nya.
Di dalam al Quran pun ada banyak ayat-ayat yang memperingatkan manusia untuk memperhatikan semua yang ada di alam semesta ini sebagai penguat keimanan manusia akan bukti ke eksistensian Allah SWT, adapun bunyi terjemahannya sebagai berikut :
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (TQS.Al-Imran : 190-191)
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan? Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” .(TQS.Al-Ghasiyyah : 17-20)
“Maka hendaknya manusia itu memikirkan dari apa ia diciptakan. Ia diciptakan dari air yang memancar (mani). yang keluar dari tulang-belulang (laki-laki) dan tulang rusuk (perempuan).”(TQS. At-Thariq : 5-7).
Melihat dari berbagai ayat-ayat al Quran di atas, semua itu mengindikasikan bahwa dengan memperhatikan petunjuk Allah lewat ciptaan-Nya baik memperhatikan alam semesta, hidup ini bahkan proses penciptaan manusia itu sendiri maka akan tumbuh keyakinan kita tentang-Nya sehingga akan menambaah keimanan kita terhadap-Nya.
Tentunya semua itu bisa muncul dalam diri kita jika karena manusia mau menggunakan kemampuan akalnya untuk berfikir, tentunya bukan hanya sekedar berfikir saja tapi berfikir sampai ke akar-akarnya hingga akal kita pun terpuaskan dan kita pun menjadi yakin akan ke eksistensian Allah SWT. Waallahu’alam.
Mungkin Kamu Suka
-
Banyak Yang Salah Paham, Inilah Hakikat Zuhud Yang Sesungguhnya!
-
Inilah Perbuatan Yang Membuat Setan Sedih Menurut Para Sufi
-
Bisakah Kita Mengubah Takdir? Simak Penjelasannya!
-
Mujahadah Dalam Tradisi Tasawuf, Bagaimana Cara Melakukannya?
-
Sering Berdoa Saat Tahajud Namun Belum Terkabul, Ini Penjelasannya!
Ruang Sujud
Zuhud di Era Digital: Menjadi Hamba yang Merdeka dari Dunia
Published
1 hour agoon
09/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Dalam sejarah spiritualitas Islam, zuhud selalu menjadi sikap yang dimuliakan. Ia bukan sekadar praktik menjauhi dunia, tetapi sebuah kesadaran mendalam bahwa dunia hanyalah tempat persinggahan, bukan tujuan akhir. Di era digital yang serba cepat dan penuh godaan ini, zuhud bukan kehilangan makna, justru semakin relevan untuk menjaga kebeningan hati dan keteguhan iman.
Zuhud secara sederhana dapat dimaknai sebagai sikap tidak tergantung pada dunia, meskipun seseorang memilikinya. Bukan berarti seseorang harus meninggalkan harta, pekerjaan, atau kehidupan sosial. Zuhud bukan kemiskinan, tetapi kebebasan batin. Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Zuhud itu bukan berarti kamu tidak memiliki apa-apa, tetapi kamu tidak diperbudak oleh apa yang kamu miliki.”
Kini, kita hidup di tengah kemewahan digital: gawai canggih, media sosial, aplikasi yang memanjakan, hingga budaya viral yang serba instan. Kita terhubung dengan dunia dalam sekejap, namun seringkali menjadi hamba dari layar yang ada di genggaman. Ketergantungan ini membuat zuhud terasa jauh dari kehidupan modern, padahal justru dibutuhkan lebih dari sebelumnya.
Salah satu tantangan terbesar di era digital adalah overstimulation—banjir informasi, notifikasi tanpa henti, dan dorongan untuk selalu terlihat eksis. Inilah bentuk perbudakan modern yang halus: kita merasa harus terus merespon, terus mengikuti tren, terus membandingkan hidup dengan orang lain. Dalam situasi ini, zuhud hadir sebagai jalan pembebasan. Ia mengajak kita melepaskan keterikatan, bukan benda fisik semata, tapi juga ikatan mental terhadap pengakuan, validasi, dan pencitraan.
Zuhud di era ini bisa dimulai dengan langkah-langkah kecil: membatasi waktu layar, mengurangi konsumsi media sosial, atau memilih untuk tidak mengikuti tren yang tak bermanfaat. Hal ini bukan berarti menolak teknologi, tapi menggunakannya dengan bijak. Dalam pandangan seorang zahid, teknologi adalah alat, bukan tujuan. Ia tidak membiarkan hidupnya dikendalikan oleh algoritma, melainkan tetap menjaga ruh dan arah hidupnya dengan sadar.
Para ulama dahulu memberi contoh tentang bagaimana memiliki dunia tapi tidak mencintainya secara berlebihan. Umar bin Khattab, meski seorang pemimpin besar, tetap hidup sederhana dan tidak terikat pada kekayaan duniawi. Begitu pula Imam Hasan al-Bashri yang sangat meyakini bahwa ketenangan hanya didapat ketika hati tidak bergantung pada dunia. Dalam konteks hari ini, kita bisa meneladani mereka dengan cara menjadi pengguna teknologi yang beretika, tidak silau dengan gaya hidup digital yang penuh glamor, dan tetap menjadikan akhirat sebagai orientasi utama.
Menjadi zahid di era digital juga berarti mampu mengatakan “cukup” ketika dunia terus menawarkan “lebih”. Kita tidak harus selalu memiliki gadget terbaru, mengikuti gaya hidup influencer, atau merasa tertinggal saat tidak mengonsumsi hal-hal viral. Zuhud menanamkan rasa qana’ah—merasa cukup dengan yang ada. Dengan itu, hati menjadi tenang, dan hidup lebih fokus.
Lebih dari itu, zuhud melatih kita untuk hidup dengan kesadaran. Setiap interaksi digital seharusnya menjadi ladang amal, bukan ladang kesia-siaan. Kita bisa bertanya pada diri: apakah waktu yang saya habiskan di media sosial mendekatkan saya pada Allah? Apakah unggahan saya membawa manfaat atau sekadar pamer? Apakah saya menjadi hamba Allah, atau hamba dari likes dan komentar?
Dalam perspektif sufistik, zuhud adalah langkah awal menuju ma’rifatullah, mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Tanpa melepaskan diri dari keterikatan dunia, hati sulit menerima cahaya ilahi. Maka, siapa yang ingin naik derajat spiritual, ia harus rela membersihkan hatinya dari cinta dunia. Di zaman sekarang, cinta dunia itu bisa berbentuk obsesi pada popularitas digital, pencapaian semu, atau kemewahan virtual yang hanya tampak di layar.
Zuhud bukan pelarian dari kehidupan, tapi cara hidup yang jernih. Seorang zahid tetap bekerja, tetap bersosialisasi, bahkan bisa sukses di dunia, tapi hatinya tidak pernah tergantung padanya. Ia tidak sedih saat kehilangan, dan tidak bangga berlebihan saat mendapatkannya. Dunia ada di tangannya, bukan di hatinya.
Maka, menjadi zahid di era digital adalah perjuangan untuk tetap merdeka—merdeka dari keinginan tanpa batas, merdeka dari pencitraan, dan merdeka dari tekanan eksistensi virtual. Merdeka untuk memilih hidup yang bermakna, bukan yang sekadar terlihat menakjubkan di layar. Inilah esensi zuhud yang abadi: menjadikan dunia sebagai jembatan, bukan jebakan.
Zuhud di era digital memang tidak mudah. Tapi ia sangat mungkin, dan sangat dibutuhkan. Ia adalah benteng di tengah banjir informasi. Ia adalah oase di tengah hiruk-pikuk pencitraan. Dan yang terpenting, ia adalah jalan menuju kebebasan sejati—bebas dari dunia yang memperbudak, dan bebas untuk kembali kepada Allah dengan hati yang bersih.
Ruang Sujud
Rahasia Ketenangan Hati: Menyelami Makna Zuhud dalam Kehidupan Sehari-hari
Published
5 hours agoon
09/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Setiap manusia pasti menginginkan hidup yang tenang, damai, dan terbebas dari kegelisahan. Tapi di tengah kesibukan, persaingan, dan hiruk-pikuk kehidupan modern, ketenangan hati seolah menjadi sesuatu yang langka. Banyak orang mengejarnya melalui materi, hiburan, atau pencapaian karier. Namun, semakin dicari ke luar, semakin sulit ditemukan. Padahal, salah satu kunci ketenangan hati justru terletak dalam nilai Islam yang luhur—yaitu zuhud.
Zuhud sering disalahpahami sebagai sikap menjauhi dunia secara total, hidup miskin, atau menolak harta. Padahal, makna sebenarnya jauh lebih dalam. Imam Ahmad bin Hanbal menjelaskan bahwa zuhud bukan berarti tidak memiliki dunia, tetapi tidak menjadikan dunia sebagai tujuan utama. Orang yang zuhud bisa kaya raya, namun hatinya tidak terikat pada kekayaannya. Ia memegang dunia, tapi tidak digenggam olehnya.
Zuhud berasal dari akar kata “zahada” yang berarti meninggalkan. Dalam konteks spiritual, artinya meninggalkan keterikatan terhadap dunia demi sesuatu yang lebih mulia—yaitu akhirat. Zuhud bukanlah membenci dunia, melainkan menempatkannya pada posisi yang benar: sebagai alat, bukan tujuan.
Lalu bagaimana praktik zuhud dalam kehidupan sehari-hari? Apakah mungkin di era modern ini kita bisa mengamalkannya tanpa harus menjadi pertapa? Jawabannya: sangat mungkin. Justru di tengah kehidupan yang penuh distraksi dan kompetisi ini, zuhud menjadi pelindung hati agar tidak hanyut dalam keserakahan dan kecemasan.
Zuhud bisa dimulai dengan melatih diri untuk merasa cukup. Sifat qana’ah—merasa puas dengan apa yang ada—adalah saudara kembar dari zuhud. Saat orang lain sibuk mengejar tren, kita memilih untuk hidup sederhana. Saat orang lain panik karena merasa kurang, kita tenang karena yakin bahwa rezeki sudah ditakar oleh Allah. Sikap ini menumbuhkan rasa syukur, dan dari syukur itulah lahir ketenangan.
Dalam kehidupan sehari-hari, praktik zuhud bisa diterapkan dalam cara kita mengelola waktu, harta, dan perhatian. Misalnya, menghindari belanja berlebihan hanya demi gengsi. Atau, memilih pekerjaan yang halal dan memberi keberkahan, walau tidak membuat cepat kaya. Bahkan dalam penggunaan media sosial, zuhud mengajarkan kita untuk tidak tergoda oleh pencitraan, dan fokus pada kualitas hidup yang sesungguhnya.
Zuhud juga mendorong kita untuk tidak iri terhadap apa yang dimiliki orang lain. Ketika melihat orang lain punya rumah mewah, mobil mahal, atau liburan ke luar negeri, hati yang zuhud tidak tergerak oleh rasa ingin memiliki yang sama. Ia sadar bahwa dunia bukan tolok ukur kebahagiaan. Justru, zuhud membantu kita menciptakan kebahagiaan dari dalam diri, tanpa harus membandingkan hidup dengan orang lain.
Salah satu pelajaran zuhud terbaik datang dari Nabi Muhammad SAW sendiri. Beliau adalah pemimpin umat, tokoh besar, namun hidup dalam kesederhanaan. Beliau tidur di atas tikar kasar, tidak pernah menimbun kekayaan, dan selalu memberi bahkan saat beliau sendiri kekurangan. Namun, justru dari sana lahir pribadi yang kuat, penuh kasih, dan paling tenang menghadapi dunia.
Bahkan para sahabat yang kaya seperti Abdurrahman bin Auf tetap bersikap zuhud. Kekayaan yang ia miliki tidak menjadikannya sombong atau bergantung pada dunia. Ia menggunakan hartanya untuk akhirat, bukan untuk membanggakan diri. Dari sini kita belajar bahwa zuhud bukan soal jumlah, tapi soal sikap hati.
Dalam dunia kerja, zuhud bisa menjelma sebagai kejujuran dan kesederhanaan dalam ambisi. Kita tetap berusaha meraih yang terbaik, namun tidak sampai mengorbankan prinsip atau menjadikan kesuksesan duniawi sebagai segalanya. Zuhud menjaga agar kita tetap rendah hati dalam kemenangan, dan tetap berserah diri saat menghadapi kegagalan.
Zuhud juga memperhalus hubungan sosial. Orang yang zuhud tidak mudah tersinggung, tidak mudah marah karena urusan dunia. Ia tidak berebut pujian, tidak haus pengakuan. Karena hatinya tenang, ia bisa memaafkan, bersabar, dan menghindari konflik yang tidak perlu. Zuhud menanamkan rasa damai, dan kedamaian ini menular ke sekitar.
Ketenangan yang lahir dari zuhud adalah ketenangan sejati—bukan ketenangan yang dibeli atau dicari di luar diri. Zuhud membebaskan hati dari perbudakan dunia. Ia memberi ruang bagi ruhani untuk tumbuh, bagi jiwa untuk merasa cukup, dan bagi pikiran untuk jernih. Zuhud bukan sekadar ajaran, tapi seni menjalani hidup dengan ringan dan bermakna.
Akhirnya, zuhud bukanlah ajaran kuno yang tidak relevan. Justru dalam dunia yang makin bising, zuhud adalah jalan sunyi yang membawa kita kembali pada diri, kembali pada Allah. Dengan zuhud, kita belajar bahwa hidup bukan tentang memiliki segalanya, tapi tentang melepaskan apa yang tidak perlu. Di sanalah rahasia ketenangan hati disimpan, dan hanya mereka yang zuhud-lah yang bisa merasakannya.
Ruang Sujud
Zuhud Bukan Anti-Kemajuan: Menggali Hikmah di Tengah Kemewahan Dunia
Published
9 hours agoon
09/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Ketika mendengar kata “zuhud”, sebagian orang mungkin langsung membayangkan seseorang yang menjauh dari dunia, hidup di tempat terpencil, berpakaian sederhana, dan tak punya harta. Bahkan, ada yang menganggap zuhud sebagai sikap yang tidak sesuai lagi dengan kehidupan zaman sekarang yang maju, modern, dan serba cepat. Namun benarkah demikian?
Zuhud bukan berarti menolak kemajuan. Ia juga bukan tanda kemunduran. Justru, zuhud adalah ajaran Islam yang memberi arah agar kita tidak tenggelam dalam gemerlap dunia, tanpa harus meninggalkan peran penting dalam kehidupan. Dalam Islam, seseorang bisa menjadi ilmuwan, pebisnis sukses, pejabat tinggi, bahkan orang terkaya sekalipun—selama hatinya tidak bergantung pada dunia, itulah zuhud.
Zuhud berasal dari bahasa Arab “zuhd”, yang berarti menjauhkan diri atau tidak tertarik pada sesuatu. Dalam konteks agama, ia berarti tidak mencintai dunia secara berlebihan dan lebih mementingkan akhirat. Tapi penting dipahami, zuhud tidak identik dengan miskin atau tidak memiliki harta. Seseorang boleh memiliki kekayaan, namun jika hatinya tidak terikat padanya dan ia mampu menggunakan kekayaannya untuk kebaikan, maka ia tetap dikatakan zuhud.
Contoh paling nyata dari hal ini adalah sahabat Nabi Muhammad SAW, seperti Abdurrahman bin Auf. Ia adalah salah satu sahabat paling kaya, namun tetap zuhud. Kekayaannya tidak membuatnya sombong atau lalai. Ia bahkan lebih sibuk mencari akhirat, dengan membelanjakan hartanya untuk membela Islam. Begitu pula Utsman bin Affan, yang dalam kekayaannya tetap rendah hati dan dermawan. Keduanya adalah bukti nyata bahwa zuhud dan kemajuan bukan hal yang bertentangan.
Zuhud justru menjadi fondasi kuat bagi seseorang untuk tetap stabil di tengah kemajuan. Ketika dunia menawarkan kenyamanan, teknologi, kemewahan, dan kemudahan, zuhud hadir sebagai rem yang menjaga keseimbangan. Ia mengajarkan bahwa kita boleh memanfaatkan dunia, tapi jangan sampai diperbudak oleh dunia. Inilah yang menjadi pembeda antara orang yang cerdas secara spiritual dan yang hanya sibuk mengejar dunia tanpa arah.
Saat ini, dunia tengah melaju dengan cepat. Teknologi informasi, ekonomi digital, kendaraan canggih, dan gaya hidup mewah mudah ditemui. Dalam konteks ini, zuhud mengajak kita untuk tetap berpijak. Memiliki smartphone terbaru boleh saja, tapi jangan sampai ia menjadi pusat hidup kita. Memakai mobil mewah tidak dilarang, asalkan tidak menjadikan kita arogan dan merasa lebih baik dari yang lain. Memiliki rumah megah bukan kesalahan, selama kita tidak menjadikannya sumber kesombongan atau lalai dari ibadah.
Zuhud juga mengajarkan sikap efisien dan fokus. Orang yang zuhud tahu mana yang penting dan mana yang hanya keinginan sesaat. Di era konsumtif seperti sekarang, zuhud mengajari kita untuk tidak tergoda oleh gaya hidup boros. Ia mendorong kita hidup dengan kesadaran, bukan sekadar mengikuti tren atau tuntutan sosial.
Lebih jauh lagi, zuhud memperkuat integritas diri. Ketika seseorang mampu menahan diri dari mencintai dunia secara berlebihan, ia menjadi lebih jujur, tidak mudah tergoda oleh suap, dan tidak korup. Inilah yang dibutuhkan bangsa ini: pemimpin dan generasi yang tidak gila hormat, gila harta, dan gila pujian. Semua itu hanya bisa dicapai dengan sikap zuhud yang tertanam dalam hati.
Zuhud juga sangat relevan bagi dunia kerja dan bisnis. Dalam dunia yang kompetitif, banyak orang menghalalkan segala cara demi mendapatkan hasil. Tapi orang yang zuhud tetap menjunjung kejujuran, keadilan, dan keberkahan. Ia tidak tergiur oleh keuntungan sesaat yang bisa mengorbankan nilai-nilai Islam. Bahkan dalam meraih kemajuan, orang yang zuhud tetap menjaga akhlaknya, karena ia tahu bahwa dunia hanyalah sarana menuju Allah.
Dalam kehidupan sosial pun, zuhud menciptakan harmoni. Ia membuat seseorang rendah hati, tidak iri dengan keberhasilan orang lain, dan tidak membanggakan apa yang dimilikinya. Zuhud menyuburkan rasa syukur, bukan keluhan. Ia juga menjauhkan kita dari stres akibat tekanan hidup yang disebabkan oleh tuntutan gaya hidup. Hati yang zuhud cenderung tenang, tidak mudah baper, dan selalu fokus pada hal yang lebih besar: ridha Allah.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menghidupkan kembali nilai zuhud di tengah masyarakat modern. Ini bukan berarti menolak kemajuan, tapi memberi ruh pada kemajuan itu sendiri. Apa artinya teknologi canggih jika hanya membuat manusia makin tamak? Apa artinya kekayaan berlimpah jika hanya menciptakan ketimpangan dan kesombongan?
Zuhud adalah seni hidup dengan cerdas. Ia tidak memusuhi dunia, tapi juga tidak memujanya. Ia menempatkan dunia sebagai titipan, bukan tujuan. Dengan zuhud, kita bisa tetap maju dalam karier, bisnis, teknologi, dan pendidikan, tanpa kehilangan nilai-nilai spiritual dan moral yang menjadi akar kehidupan.
Maka, mari jadikan zuhud sebagai prinsip dalam menghadapi dunia modern. Bukan untuk menjauhi kemajuan, tapi untuk mengarahkannya ke jalan yang lebih bermakna. Karena pada akhirnya, bukan banyaknya harta atau tingginya jabatan yang menentukan nilai hidup kita, melainkan seberapa tulus kita dalam mengelola semua itu untuk mendekat kepada-Nya.
Ruang Sujud
BKPRMI Imbau Pemerintah Kirim Pasukan Perdamaian ke Palestina
Published
11 hours agoon
09/04/2025
Monitorday.com – Zionis Israel kembali mengkhianati kesepakatan gencatan senjata dan melancarkan serangan brutal terhadap Palestina.
Serangan yang berubah menjadi genosida ini terus berlangsung meski ada seruan gencatan senjata dari Dewan Keamanan PBB dan Mahkamah Internasional.
Target serangan mencakup sekolah, rumah sakit, tempat pengungsian, dapur umum, dan zona aman yang justru ditetapkan oleh Israel sendiri.
Akibatnya, ribuan warga Palestina menjadi korban jiwa, luka-luka, mengungsi, serta kehilangan tempat tinggal dan akses dasar kehidupan.
Sejak Oktober 2023, serangan Israel telah menewaskan lebih dari 50.000 warga Palestina dan melukai lebih dari 115.000 orang.
Mayoritas korban adalah perempuan dan anak-anak, menjadikan serangan ini sebagai pelanggaran HAM dan tindakan genosida.
Ketua BKPRMI, Nanang Mubarok, menegaskan bahwa penjajahan bertentangan dengan amanat konstitusi Indonesia.
Ia juga merujuk pada fatwa MUI Tahun 2023 tentang kewajiban mendukung perjuangan rakyat Palestina.
BKPRMI mengecam keras Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Israel Katz atas serangan brutal mereka.
Mereka menyerukan penghentian genosida dan semua bentuk kontak senjata yang dilakukan oleh militer Israel.
BKPRMI juga mengecam dukungan tak bersyarat Presiden AS Donald Trump terhadap agresi Israel.
Amerika diminta menghentikan dukungan terhadap serangan militer dan mendorong solusi damai serta bantuan kemanusiaan.
BKPRMI mendesak pemerintah Indonesia di bawah Presiden Prabowo untuk aktif mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina.
Langkah yang diharapkan termasuk diplomasi di PBB, konsolidasi pimpinan negara Islam, dan pengiriman pasukan penjaga perdamaian.
Selain itu, pemerintah diminta menyalurkan bantuan kemanusiaan secara langsung ke Gaza.
BKPRMI juga mengajak seluruh anggotanya dan umat Islam Indonesia untuk melakukan penyadaran publik tentang krisis kemanusiaan di Palestina.
Mereka menyerukan gerakan donasi serta menghindari penggunaan produk yang terafiliasi dengan Israel.
Umat Islam juga diajak untuk mendoakan rakyat Palestina lewat qunut nazilah dan shalat ghaib bagi para syuhada.
Ruang Sujud
Menjadi Kaya Tanpa Terikat: Seni Zuhud di Era Modern
Published
13 hours agoon
09/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Di zaman serba cepat dan penuh kompetisi ini, kekayaan seringkali dianggap sebagai simbol kesuksesan dan tujuan akhir dari perjuangan hidup. Banyak orang berlomba-lomba mengejar harta, jabatan, dan pengaruh, bahkan tak sedikit yang rela mengorbankan waktu, keluarga, dan nilai-nilai spiritual demi mencapainya. Namun, Islam mengajarkan satu prinsip penting yang menjadi penyeimbang dalam kehidupan duniawi: zuhud.
Zuhud sering disalahpahami sebagai sikap menjauhi dunia sepenuhnya, hidup miskin, dan menolak segala bentuk kemewahan. Padahal, makna sebenarnya jauh lebih dalam dan relevan bagi kehidupan modern. Zuhud adalah seni menjaga hati agar tidak terikat pada dunia, meski tangan menggenggamnya. Seseorang boleh kaya, sukses, dan berpengaruh, selama hatinya tidak bergantung pada semua itu.
Konsep zuhud bukan ajakan untuk menolak kekayaan, melainkan untuk tidak diperbudak olehnya. Dalam Islam, kekayaan bukanlah hal yang hina atau harus dijauhi. Bahkan, banyak sahabat Nabi Muhammad SAW yang kaya raya, seperti Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, dan Zubair bin Awwam. Mereka adalah teladan bagaimana seseorang bisa menjadi kaya secara materi, tapi tetap zuhud dalam hati.
Zuhud adalah tentang kebebasan batin. Orang yang zuhud adalah orang yang tidak gelisah ketika kehilangan, dan tidak sombong ketika mendapat banyak. Ia tahu bahwa semua yang dimiliki adalah titipan dari Allah, bukan milik sejati. Inilah seni hidup yang mulia: memiliki tanpa dimiliki.
Di era modern, kita hidup dalam masyarakat yang mendorong konsumerisme dan materialisme. Gaya hidup mewah, kemudahan kredit, iklan-iklan glamor, dan tekanan sosial membuat banyak orang merasa harus selalu lebih—lebih kaya, lebih sukses, lebih terkenal. Di sinilah zuhud menjadi sangat penting: sebagai perisai agar kita tidak larut dalam hasrat yang tak berujung.
Seni zuhud di zaman sekarang bisa diterapkan dengan cara sederhana namun kuat. Pertama, mengelola keinginan. Orang yang zuhud tidak membiarkan keinginannya mengendalikan hidup. Ia tahu mana kebutuhan, mana keinginan, dan mana hawa nafsu. Ia bisa menahan diri dari membeli sesuatu hanya karena ingin terlihat keren atau mengikuti tren.
Kedua, menggunakan harta untuk kebaikan. Zuhud bukan berarti menimbun kekayaan, tapi membagikannya untuk maslahat yang lebih luas. Sedekah, wakaf, membantu usaha kecil, membiayai pendidikan anak yatim—semua itu adalah bentuk konkret dari kekayaan yang bernilai akhirat.
Ketiga, tetap sederhana meski mampu. Kesederhanaan adalah cermin dari zuhud. Tidak harus hidup susah, tapi juga tidak harus memamerkan apa yang dimiliki. Orang zuhud merasa cukup dengan yang ada, walau punya lebih. Ia tidak merasa perlu menunjukkan kekayaan demi pengakuan sosial.
Keempat, memiliki visi akhirat di tengah kehidupan dunia. Zuhud membuat seseorang fokus pada tujuan sejati hidup: bertemu Allah dengan hati yang bersih. Dunia adalah jalan, bukan tujuan. Maka, karier, bisnis, dan pendidikan semua dijalani dengan niat untuk ibadah dan kontribusi, bukan sekadar mengejar gengsi atau kesenangan pribadi.
Menjadi kaya tanpa terikat adalah kebebasan sejati. Banyak orang terlihat sukses di luar, tapi sesungguhnya terpenjara oleh ambisi dan ketakutan kehilangan. Sementara orang yang zuhud, meski hartanya banyak, tetap tenang, ikhlas, dan bahagia karena hatinya tidak bergantung pada harta.
Salah satu nasihat bijak dari Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Zuhud bukan berarti engkau tidak memiliki apa-apa, tapi zuhud adalah ketika dunia tidak menguasai hatimu.” Ini membuktikan bahwa zuhud adalah kondisi hati, bukan soal isi dompet.
Bahkan Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Berzuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah mencintaimu. Dan berzuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia, niscaya manusia mencintaimu.” (HR. Ibnu Majah)
Hadis ini menunjukkan bahwa zuhud tidak hanya mendekatkan kita kepada Allah, tapi juga kepada sesama. Orang yang zuhud tidak memperebutkan dunia, tidak iri, dan tidak rakus. Ia hadir sebagai pribadi yang damai, ringan, dan tulus dalam berinteraksi dengan orang lain.
Zuhud juga membawa dampak sosial yang besar. Jika banyak orang menerapkan zuhud, maka akan lahir masyarakat yang lebih adil, tidak serakah, dan peduli satu sama lain. Ketimpangan sosial bisa ditekan, karena kekayaan tidak hanya dimiliki segelintir orang. Korupsi pun bisa ditekan, karena orang tidak tergila-gila pada harta dan kekuasaan.
Seni zuhud bukanlah sikap anti-kemajuan, tapi justru sarana untuk menjadikan kemajuan itu lebih manusiawi dan bermakna. Dunia bukan untuk dijauhi, tapi untuk dikelola dengan bijak. Dan zuhud adalah kunci agar kita tidak tersesat di dalamnya.
Jadi, tidak perlu memilih antara menjadi kaya atau zuhud. Keduanya bisa berjalan bersama. Jadilah seperti sahabat-sahabat Rasulullah yang kaya raya namun hatinya tetap terikat pada akhirat. Karena pada akhirnya, bukan seberapa banyak yang kita miliki yang menentukan kemuliaan hidup, tapi seberapa lapang hati kita dalam mengelolanya.
Ruang Sujud
Menjadi Kaya Tanpa Terikat: Seni Zuhud di Era Modern
Published
1 day agoon
08/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Di zaman serba cepat dan penuh kompetisi ini, kekayaan seringkali dianggap sebagai simbol kesuksesan dan tujuan akhir dari perjuangan hidup. Banyak orang berlomba-lomba mengejar harta, jabatan, dan pengaruh, bahkan tak sedikit yang rela mengorbankan waktu, keluarga, dan nilai-nilai spiritual demi mencapainya. Namun, Islam mengajarkan satu prinsip penting yang menjadi penyeimbang dalam kehidupan duniawi: zuhud.
Zuhud sering disalahpahami sebagai sikap menjauhi dunia sepenuhnya, hidup miskin, dan menolak segala bentuk kemewahan. Padahal, makna sebenarnya jauh lebih dalam dan relevan bagi kehidupan modern. Zuhud adalah seni menjaga hati agar tidak terikat pada dunia, meski tangan menggenggamnya. Seseorang boleh kaya, sukses, dan berpengaruh, selama hatinya tidak bergantung pada semua itu.
Konsep zuhud bukan ajakan untuk menolak kekayaan, melainkan untuk tidak diperbudak olehnya. Dalam Islam, kekayaan bukanlah hal yang hina atau harus dijauhi. Bahkan, banyak sahabat Nabi Muhammad SAW yang kaya raya, seperti Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, dan Zubair bin Awwam. Mereka adalah teladan bagaimana seseorang bisa menjadi kaya secara materi, tapi tetap zuhud dalam hati.
Zuhud adalah tentang kebebasan batin. Orang yang zuhud adalah orang yang tidak gelisah ketika kehilangan, dan tidak sombong ketika mendapat banyak. Ia tahu bahwa semua yang dimiliki adalah titipan dari Allah, bukan milik sejati. Inilah seni hidup yang mulia: memiliki tanpa dimiliki.
Di era modern, kita hidup dalam masyarakat yang mendorong konsumerisme dan materialisme. Gaya hidup mewah, kemudahan kredit, iklan-iklan glamor, dan tekanan sosial membuat banyak orang merasa harus selalu lebih—lebih kaya, lebih sukses, lebih terkenal. Di sinilah zuhud menjadi sangat penting: sebagai perisai agar kita tidak larut dalam hasrat yang tak berujung.
Seni zuhud di zaman sekarang bisa diterapkan dengan cara sederhana namun kuat. Pertama, mengelola keinginan. Orang yang zuhud tidak membiarkan keinginannya mengendalikan hidup. Ia tahu mana kebutuhan, mana keinginan, dan mana hawa nafsu. Ia bisa menahan diri dari membeli sesuatu hanya karena ingin terlihat keren atau mengikuti tren.
Kedua, menggunakan harta untuk kebaikan. Zuhud bukan berarti menimbun kekayaan, tapi membagikannya untuk maslahat yang lebih luas. Sedekah, wakaf, membantu usaha kecil, membiayai pendidikan anak yatim—semua itu adalah bentuk konkret dari kekayaan yang bernilai akhirat.
Ketiga, tetap sederhana meski mampu. Kesederhanaan adalah cermin dari zuhud. Tidak harus hidup susah, tapi juga tidak harus memamerkan apa yang dimiliki. Orang zuhud merasa cukup dengan yang ada, walau punya lebih. Ia tidak merasa perlu menunjukkan kekayaan demi pengakuan sosial.
Keempat, memiliki visi akhirat di tengah kehidupan dunia. Zuhud membuat seseorang fokus pada tujuan sejati hidup: bertemu Allah dengan hati yang bersih. Dunia adalah jalan, bukan tujuan. Maka, karier, bisnis, dan pendidikan semua dijalani dengan niat untuk ibadah dan kontribusi, bukan sekadar mengejar gengsi atau kesenangan pribadi.
Menjadi kaya tanpa terikat adalah kebebasan sejati. Banyak orang terlihat sukses di luar, tapi sesungguhnya terpenjara oleh ambisi dan ketakutan kehilangan. Sementara orang yang zuhud, meski hartanya banyak, tetap tenang, ikhlas, dan bahagia karena hatinya tidak bergantung pada harta.
Salah satu nasihat bijak dari Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Zuhud bukan berarti engkau tidak memiliki apa-apa, tapi zuhud adalah ketika dunia tidak menguasai hatimu.” Ini membuktikan bahwa zuhud adalah kondisi hati, bukan soal isi dompet.
Bahkan Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Berzuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah mencintaimu. Dan berzuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia, niscaya manusia mencintaimu.” (HR. Ibnu Majah)
Hadis ini menunjukkan bahwa zuhud tidak hanya mendekatkan kita kepada Allah, tapi juga kepada sesama. Orang yang zuhud tidak memperebutkan dunia, tidak iri, dan tidak rakus. Ia hadir sebagai pribadi yang damai, ringan, dan tulus dalam berinteraksi dengan orang lain.
Zuhud juga membawa dampak sosial yang besar. Jika banyak orang menerapkan zuhud, maka akan lahir masyarakat yang lebih adil, tidak serakah, dan peduli satu sama lain. Ketimpangan sosial bisa ditekan, karena kekayaan tidak hanya dimiliki segelintir orang. Korupsi pun bisa ditekan, karena orang tidak tergila-gila pada harta dan kekuasaan.
Seni zuhud bukanlah sikap anti-kemajuan, tapi justru sarana untuk menjadikan kemajuan itu lebih manusiawi dan bermakna. Dunia bukan untuk dijauhi, tapi untuk dikelola dengan bijak. Dan zuhud adalah kunci agar kita tidak tersesat di dalamnya.
Jadi, tidak perlu memilih antara menjadi kaya atau zuhud. Keduanya bisa berjalan bersama. Jadilah seperti sahabat-sahabat Rasulullah yang kaya raya namun hatinya tetap terikat pada akhirat. Karena pada akhirnya, bukan seberapa banyak yang kita miliki yang menentukan kemuliaan hidup, tapi seberapa lapang hati kita dalam mengelolanya.
Ruang Sujud
Zuhud Bukan Anti-Kemajuan: Menggali Hikmah di Tengah Kemewahan Dunia
Published
1 day agoon
08/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Ketika mendengar kata “zuhud”, sebagian orang mungkin langsung membayangkan seseorang yang menjauh dari dunia, hidup di tempat terpencil, berpakaian sederhana, dan tak punya harta. Bahkan, ada yang menganggap zuhud sebagai sikap yang tidak sesuai lagi dengan kehidupan zaman sekarang yang maju, modern, dan serba cepat. Namun benarkah demikian?
Zuhud bukan berarti menolak kemajuan. Ia juga bukan tanda kemunduran. Justru, zuhud adalah ajaran Islam yang memberi arah agar kita tidak tenggelam dalam gemerlap dunia, tanpa harus meninggalkan peran penting dalam kehidupan. Dalam Islam, seseorang bisa menjadi ilmuwan, pebisnis sukses, pejabat tinggi, bahkan orang terkaya sekalipun—selama hatinya tidak bergantung pada dunia, itulah zuhud.
Zuhud berasal dari bahasa Arab “zuhd”, yang berarti menjauhkan diri atau tidak tertarik pada sesuatu. Dalam konteks agama, ia berarti tidak mencintai dunia secara berlebihan dan lebih mementingkan akhirat. Tapi penting dipahami, zuhud tidak identik dengan miskin atau tidak memiliki harta. Seseorang boleh memiliki kekayaan, namun jika hatinya tidak terikat padanya dan ia mampu menggunakan kekayaannya untuk kebaikan, maka ia tetap dikatakan zuhud.
Contoh paling nyata dari hal ini adalah sahabat Nabi Muhammad SAW, seperti Abdurrahman bin Auf. Ia adalah salah satu sahabat paling kaya, namun tetap zuhud. Kekayaannya tidak membuatnya sombong atau lalai. Ia bahkan lebih sibuk mencari akhirat, dengan membelanjakan hartanya untuk membela Islam. Begitu pula Utsman bin Affan, yang dalam kekayaannya tetap rendah hati dan dermawan. Keduanya adalah bukti nyata bahwa zuhud dan kemajuan bukan hal yang bertentangan.
Zuhud justru menjadi fondasi kuat bagi seseorang untuk tetap stabil di tengah kemajuan. Ketika dunia menawarkan kenyamanan, teknologi, kemewahan, dan kemudahan, zuhud hadir sebagai rem yang menjaga keseimbangan. Ia mengajarkan bahwa kita boleh memanfaatkan dunia, tapi jangan sampai diperbudak oleh dunia. Inilah yang menjadi pembeda antara orang yang cerdas secara spiritual dan yang hanya sibuk mengejar dunia tanpa arah.
Saat ini, dunia tengah melaju dengan cepat. Teknologi informasi, ekonomi digital, kendaraan canggih, dan gaya hidup mewah mudah ditemui. Dalam konteks ini, zuhud mengajak kita untuk tetap berpijak. Memiliki smartphone terbaru boleh saja, tapi jangan sampai ia menjadi pusat hidup kita. Memakai mobil mewah tidak dilarang, asalkan tidak menjadikan kita arogan dan merasa lebih baik dari yang lain. Memiliki rumah megah bukan kesalahan, selama kita tidak menjadikannya sumber kesombongan atau lalai dari ibadah.
Zuhud juga mengajarkan sikap efisien dan fokus. Orang yang zuhud tahu mana yang penting dan mana yang hanya keinginan sesaat. Di era konsumtif seperti sekarang, zuhud mengajari kita untuk tidak tergoda oleh gaya hidup boros. Ia mendorong kita hidup dengan kesadaran, bukan sekadar mengikuti tren atau tuntutan sosial.
Lebih jauh lagi, zuhud memperkuat integritas diri. Ketika seseorang mampu menahan diri dari mencintai dunia secara berlebihan, ia menjadi lebih jujur, tidak mudah tergoda oleh suap, dan tidak korup. Inilah yang dibutuhkan bangsa ini: pemimpin dan generasi yang tidak gila hormat, gila harta, dan gila pujian. Semua itu hanya bisa dicapai dengan sikap zuhud yang tertanam dalam hati.
Zuhud juga sangat relevan bagi dunia kerja dan bisnis. Dalam dunia yang kompetitif, banyak orang menghalalkan segala cara demi mendapatkan hasil. Tapi orang yang zuhud tetap menjunjung kejujuran, keadilan, dan keberkahan. Ia tidak tergiur oleh keuntungan sesaat yang bisa mengorbankan nilai-nilai Islam. Bahkan dalam meraih kemajuan, orang yang zuhud tetap menjaga akhlaknya, karena ia tahu bahwa dunia hanyalah sarana menuju Allah.
Dalam kehidupan sosial pun, zuhud menciptakan harmoni. Ia membuat seseorang rendah hati, tidak iri dengan keberhasilan orang lain, dan tidak membanggakan apa yang dimilikinya. Zuhud menyuburkan rasa syukur, bukan keluhan. Ia juga menjauhkan kita dari stres akibat tekanan hidup yang disebabkan oleh tuntutan gaya hidup. Hati yang zuhud cenderung tenang, tidak mudah baper, dan selalu fokus pada hal yang lebih besar: ridha Allah.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menghidupkan kembali nilai zuhud di tengah masyarakat modern. Ini bukan berarti menolak kemajuan, tapi memberi ruh pada kemajuan itu sendiri. Apa artinya teknologi canggih jika hanya membuat manusia makin tamak? Apa artinya kekayaan berlimpah jika hanya menciptakan ketimpangan dan kesombongan?
Zuhud adalah seni hidup dengan cerdas. Ia tidak memusuhi dunia, tapi juga tidak memujanya. Ia menempatkan dunia sebagai titipan, bukan tujuan. Dengan zuhud, kita bisa tetap maju dalam karier, bisnis, teknologi, dan pendidikan, tanpa kehilangan nilai-nilai spiritual dan moral yang menjadi akar kehidupan.
Maka, mari jadikan zuhud sebagai prinsip dalam menghadapi dunia modern. Bukan untuk menjauhi kemajuan, tapi untuk mengarahkannya ke jalan yang lebih bermakna. Karena pada akhirnya, bukan banyaknya harta atau tingginya jabatan yang menentukan nilai hidup kita, melainkan seberapa tulus kita dalam mengelola semua itu untuk mendekat kepada-Nya.
Ruang Sujud
Rahasia Ketenangan Hati: Menyelami Makna Zuhud dalam Kehidupan Sehari-hari
Published
1 day agoon
08/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Setiap manusia pasti menginginkan hidup yang tenang, damai, dan terbebas dari kegelisahan. Tapi di tengah kesibukan, persaingan, dan hiruk-pikuk kehidupan modern, ketenangan hati seolah menjadi sesuatu yang langka. Banyak orang mengejarnya melalui materi, hiburan, atau pencapaian karier. Namun, semakin dicari ke luar, semakin sulit ditemukan. Padahal, salah satu kunci ketenangan hati justru terletak dalam nilai Islam yang luhur—yaitu zuhud.
Zuhud sering disalahpahami sebagai sikap menjauhi dunia secara total, hidup miskin, atau menolak harta. Padahal, makna sebenarnya jauh lebih dalam. Imam Ahmad bin Hanbal menjelaskan bahwa zuhud bukan berarti tidak memiliki dunia, tetapi tidak menjadikan dunia sebagai tujuan utama. Orang yang zuhud bisa kaya raya, namun hatinya tidak terikat pada kekayaannya. Ia memegang dunia, tapi tidak digenggam olehnya.
Zuhud berasal dari akar kata “zahada” yang berarti meninggalkan. Dalam konteks spiritual, artinya meninggalkan keterikatan terhadap dunia demi sesuatu yang lebih mulia—yaitu akhirat. Zuhud bukanlah membenci dunia, melainkan menempatkannya pada posisi yang benar: sebagai alat, bukan tujuan.
Lalu bagaimana praktik zuhud dalam kehidupan sehari-hari? Apakah mungkin di era modern ini kita bisa mengamalkannya tanpa harus menjadi pertapa? Jawabannya: sangat mungkin. Justru di tengah kehidupan yang penuh distraksi dan kompetisi ini, zuhud menjadi pelindung hati agar tidak hanyut dalam keserakahan dan kecemasan.
Zuhud bisa dimulai dengan melatih diri untuk merasa cukup. Sifat qana’ah—merasa puas dengan apa yang ada—adalah saudara kembar dari zuhud. Saat orang lain sibuk mengejar tren, kita memilih untuk hidup sederhana. Saat orang lain panik karena merasa kurang, kita tenang karena yakin bahwa rezeki sudah ditakar oleh Allah. Sikap ini menumbuhkan rasa syukur, dan dari syukur itulah lahir ketenangan.
Dalam kehidupan sehari-hari, praktik zuhud bisa diterapkan dalam cara kita mengelola waktu, harta, dan perhatian. Misalnya, menghindari belanja berlebihan hanya demi gengsi. Atau, memilih pekerjaan yang halal dan memberi keberkahan, walau tidak membuat cepat kaya. Bahkan dalam penggunaan media sosial, zuhud mengajarkan kita untuk tidak tergoda oleh pencitraan, dan fokus pada kualitas hidup yang sesungguhnya.
Zuhud juga mendorong kita untuk tidak iri terhadap apa yang dimiliki orang lain. Ketika melihat orang lain punya rumah mewah, mobil mahal, atau liburan ke luar negeri, hati yang zuhud tidak tergerak oleh rasa ingin memiliki yang sama. Ia sadar bahwa dunia bukan tolok ukur kebahagiaan. Justru, zuhud membantu kita menciptakan kebahagiaan dari dalam diri, tanpa harus membandingkan hidup dengan orang lain.
Salah satu pelajaran zuhud terbaik datang dari Nabi Muhammad SAW sendiri. Beliau adalah pemimpin umat, tokoh besar, namun hidup dalam kesederhanaan. Beliau tidur di atas tikar kasar, tidak pernah menimbun kekayaan, dan selalu memberi bahkan saat beliau sendiri kekurangan. Namun, justru dari sana lahir pribadi yang kuat, penuh kasih, dan paling tenang menghadapi dunia.
Bahkan para sahabat yang kaya seperti Abdurrahman bin Auf tetap bersikap zuhud. Kekayaan yang ia miliki tidak menjadikannya sombong atau bergantung pada dunia. Ia menggunakan hartanya untuk akhirat, bukan untuk membanggakan diri. Dari sini kita belajar bahwa zuhud bukan soal jumlah, tapi soal sikap hati.
Dalam dunia kerja, zuhud bisa menjelma sebagai kejujuran dan kesederhanaan dalam ambisi. Kita tetap berusaha meraih yang terbaik, namun tidak sampai mengorbankan prinsip atau menjadikan kesuksesan duniawi sebagai segalanya. Zuhud menjaga agar kita tetap rendah hati dalam kemenangan, dan tetap berserah diri saat menghadapi kegagalan.
Zuhud juga memperhalus hubungan sosial. Orang yang zuhud tidak mudah tersinggung, tidak mudah marah karena urusan dunia. Ia tidak berebut pujian, tidak haus pengakuan. Karena hatinya tenang, ia bisa memaafkan, bersabar, dan menghindari konflik yang tidak perlu. Zuhud menanamkan rasa damai, dan kedamaian ini menular ke sekitar.
Ketenangan yang lahir dari zuhud adalah ketenangan sejati—bukan ketenangan yang dibeli atau dicari di luar diri. Zuhud membebaskan hati dari perbudakan dunia. Ia memberi ruang bagi ruhani untuk tumbuh, bagi jiwa untuk merasa cukup, dan bagi pikiran untuk jernih. Zuhud bukan sekadar ajaran, tapi seni menjalani hidup dengan ringan dan bermakna.
Akhirnya, zuhud bukanlah ajaran kuno yang tidak relevan. Justru dalam dunia yang makin bising, zuhud adalah jalan sunyi yang membawa kita kembali pada diri, kembali pada Allah. Dengan zuhud, kita belajar bahwa hidup bukan tentang memiliki segalanya, tapi tentang melepaskan apa yang tidak perlu. Di sanalah rahasia ketenangan hati disimpan, dan hanya mereka yang zuhud-lah yang bisa merasakannya.
Ruang Sujud
Zuhud di Era Digital: Menjadi Hamba yang Merdeka dari Dunia
Published
2 days agoon
08/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com -;Dalam sejarah spiritualitas Islam, zuhud selalu menjadi sikap yang dimuliakan. Ia bukan sekadar praktik menjauhi dunia, tetapi sebuah kesadaran mendalam bahwa dunia hanyalah tempat persinggahan, bukan tujuan akhir. Di era digital yang serba cepat dan penuh godaan ini, zuhud bukan kehilangan makna, justru semakin relevan untuk menjaga kebeningan hati dan keteguhan iman.
Zuhud secara sederhana dapat dimaknai sebagai sikap tidak tergantung pada dunia, meskipun seseorang memilikinya. Bukan berarti seseorang harus meninggalkan harta, pekerjaan, atau kehidupan sosial. Zuhud bukan kemiskinan, tetapi kebebasan batin. Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Zuhud itu bukan berarti kamu tidak memiliki apa-apa, tetapi kamu tidak diperbudak oleh apa yang kamu miliki.”
Kini, kita hidup di tengah kemewahan digital: gawai canggih, media sosial, aplikasi yang memanjakan, hingga budaya viral yang serba instan. Kita terhubung dengan dunia dalam sekejap, namun seringkali menjadi hamba dari layar yang ada di genggaman. Ketergantungan ini membuat zuhud terasa jauh dari kehidupan modern, padahal justru dibutuhkan lebih dari sebelumnya.
Salah satu tantangan terbesar di era digital adalah overstimulation—banjir informasi, notifikasi tanpa henti, dan dorongan untuk selalu terlihat eksis. Inilah bentuk perbudakan modern yang halus: kita merasa harus terus merespon, terus mengikuti tren, terus membandingkan hidup dengan orang lain. Dalam situasi ini, zuhud hadir sebagai jalan pembebasan. Ia mengajak kita melepaskan keterikatan, bukan benda fisik semata, tapi juga ikatan mental terhadap pengakuan, validasi, dan pencitraan.
Zuhud di era ini bisa dimulai dengan langkah-langkah kecil: membatasi waktu layar, mengurangi konsumsi media sosial, atau memilih untuk tidak mengikuti tren yang tak bermanfaat. Hal ini bukan berarti menolak teknologi, tapi menggunakannya dengan bijak. Dalam pandangan seorang zahid, teknologi adalah alat, bukan tujuan. Ia tidak membiarkan hidupnya dikendalikan oleh algoritma, melainkan tetap menjaga ruh dan arah hidupnya dengan sadar.
Para ulama dahulu memberi contoh tentang bagaimana memiliki dunia tapi tidak mencintainya secara berlebihan. Umar bin Khattab, meski seorang pemimpin besar, tetap hidup sederhana dan tidak terikat pada kekayaan duniawi. Begitu pula Imam Hasan al-Bashri yang sangat meyakini bahwa ketenangan hanya didapat ketika hati tidak bergantung pada dunia. Dalam konteks hari ini, kita bisa meneladani mereka dengan cara menjadi pengguna teknologi yang beretika, tidak silau dengan gaya hidup digital yang penuh glamor, dan tetap menjadikan akhirat sebagai orientasi utama.
Menjadi zahid di era digital juga berarti mampu mengatakan “cukup” ketika dunia terus menawarkan “lebih”. Kita tidak harus selalu memiliki gadget terbaru, mengikuti gaya hidup influencer, atau merasa tertinggal saat tidak mengonsumsi hal-hal viral. Zuhud menanamkan rasa qana’ah—merasa cukup dengan yang ada. Dengan itu, hati menjadi tenang, dan hidup lebih fokus.
Lebih dari itu, zuhud melatih kita untuk hidup dengan kesadaran. Setiap interaksi digital seharusnya menjadi ladang amal, bukan ladang kesia-siaan. Kita bisa bertanya pada diri: apakah waktu yang saya habiskan di media sosial mendekatkan saya pada Allah? Apakah unggahan saya membawa manfaat atau sekadar pamer? Apakah saya menjadi hamba Allah, atau hamba dari likes dan komentar?
Dalam perspektif sufistik, zuhud adalah langkah awal menuju ma’rifatullah, mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Tanpa melepaskan diri dari keterikatan dunia, hati sulit menerima cahaya ilahi. Maka, siapa yang ingin naik derajat spiritual, ia harus rela membersihkan hatinya dari cinta dunia. Di zaman sekarang, cinta dunia itu bisa berbentuk obsesi pada popularitas digital, pencapaian semu, atau kemewahan virtual yang hanya tampak di layar.
Zuhud bukan pelarian dari kehidupan, tapi cara hidup yang jernih. Seorang zahid tetap bekerja, tetap bersosialisasi, bahkan bisa sukses di dunia, tapi hatinya tidak pernah tergantung padanya. Ia tidak sedih saat kehilangan, dan tidak bangga berlebihan saat mendapatkannya. Dunia ada di tangannya, bukan di hatinya.
Maka, menjadi zahid di era digital adalah perjuangan untuk tetap merdeka—merdeka dari keinginan tanpa batas, merdeka dari pencitraan, dan merdeka dari tekanan eksistensi virtual. Merdeka untuk memilih hidup yang bermakna, bukan yang sekadar terlihat menakjubkan di layar. Inilah esensi zuhud yang abadi: menjadikan dunia sebagai jembatan, bukan jebakan.
Zuhud di era digital memang tidak mudah. Tapi ia sangat mungkin, dan sangat dibutuhkan. Ia adalah benteng di tengah banjir informasi. Ia adalah oase di tengah hiruk-pikuk pencitraan. Dan yang terpenting, ia adalah jalan menuju kebebasan sejati—bebas dari dunia yang memperbudak, dan bebas untuk kembali kepada Allah dengan hati yang bersih.
Ruang Sujud
Amal Saleh: Investasi Abadi yang Mengalir Setelah Kematian
Published
2 days agoon
07/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Setiap manusia pasti akan menghadapi kematian. Itu adalah kepastian yang tak bisa dihindari, apa pun status sosial, kekayaan, atau kekuasaannya di dunia. Namun, yang membedakan tiap manusia setelah meninggal dunia bukanlah hartanya, melainkan amalnya. Dalam Islam, amal saleh memiliki kedudukan yang sangat tinggi, bahkan bisa menjadi bekal utama di kehidupan setelah mati. Lebih dari itu, ada amal-amal tertentu yang disebut sebagai investasi abadi karena pahalanya terus mengalir walau pelakunya telah meninggal dunia.
Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadis yang sangat populer, “Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim). Hadis ini menjadi dasar utama konsep bahwa amal saleh bisa menjadi investasi jangka panjang yang tak lekang oleh waktu.
Sedekah Jariyah: Pahala yang Mengalir Tanpa Henti
Sedekah jariyah adalah jenis sedekah yang dampaknya terus dirasakan oleh orang lain. Contohnya adalah membangun sumur untuk masyarakat, wakaf tanah untuk masjid atau sekolah, mendonasikan mushaf Al-Qur’an, atau mendanai proyek pendidikan. Selama manfaat dari sedekah itu masih digunakan oleh orang lain, pahala akan terus mengalir kepada orang yang memberi sedekah tersebut, bahkan setelah ia meninggal.
Bayangkan seseorang yang membangun sebuah sumur di daerah kekeringan. Setiap kali air digunakan untuk wudu, minum, atau memasak, si pemberi sedekah mendapatkan bagian pahala dari amal itu. Dalam dunia yang semakin maju ini, sedekah jariyah bisa juga dalam bentuk digital, seperti mendanai platform dakwah, aplikasi Al-Qur’an gratis, atau beasiswa online.
Ilmu yang Bermanfaat: Warisan Intelektual dan Spiritual
Amal kedua yang menjadi investasi abadi adalah ilmu yang bermanfaat. Ini bisa berupa ilmu agama, ilmu kedokteran, ilmu pertanian, atau apa pun yang membawa kebaikan bagi umat manusia. Seorang guru yang mengajarkan Al-Qur’an kepada muridnya, kemudian murid itu mengajarkannya kepada orang lain, akan terus mendapatkan pahala berantai.
Ilmu tak selalu dalam bentuk tulisan atau ceramah. Bahkan nasihat kecil yang mengubah hidup seseorang, jika itu membawa kebaikan, juga termasuk ilmu yang bermanfaat. Maka, siapa pun kita, selama kita punya pengetahuan dan membagikannya, kita sedang membangun warisan spiritual yang panjang.
Anak Saleh: Doa yang Menembus Langit
Anak yang saleh adalah cerminan dari pendidikan, doa, dan usaha orang tuanya. Ketika anak terus mendoakan orang tuanya setelah wafat, doa itu akan menjadi pahala yang menyertai di alam kubur. Doa anak saleh bukan hanya sekadar bacaan, tapi merupakan bentuk cinta dan balas budi yang tulus kepada orang tuanya.
Mendidik anak agar menjadi saleh adalah pekerjaan panjang dan penuh tantangan. Tapi hasilnya bisa menjadi sumber pahala yang luar biasa. Oleh karena itu, membina keluarga sakinah dan mendidik anak dengan nilai-nilai Islam sejatinya adalah bentuk amal saleh jangka panjang.
Mengapa Disebut Investasi Abadi?
Dalam dunia modern, orang sering membicarakan investasi saham, properti, atau emas. Semua itu mungkin memberikan keuntungan duniawi, tapi tak ada yang bisa menandingi keuntungan investasi amal saleh di akhirat. Investasi dunia bisa naik turun nilainya, bahkan hilang dalam semalam. Namun investasi amal, apalagi yang pahalanya terus mengalir, nilainya tak terbatas dan dijamin oleh Allah SWT.
Konsep reward dalam amal saleh juga sangat berbeda. Satu amal bisa diganjar sepuluh kali lipat, tujuh ratus kali lipat, bahkan lebih, tergantung keikhlasan dan kondisi orang yang melakukannya. Ini adalah peluang luar biasa yang seharusnya menjadi prioritas utama setiap Muslim.
Amal Saleh dan Keseimbangan Hidup
Berbuat baik dalam Islam bukan hanya soal ibadah ritual seperti salat dan puasa, tapi juga ibadah sosial seperti membantu tetangga, merawat orang tua, atau menjaga lingkungan. Semua itu adalah amal saleh yang bisa bernilai pahala besar. Dalam keseharian kita, ada banyak sekali peluang untuk beramal. Tersenyum kepada orang lain, berkata baik, atau menyingkirkan duri dari jalan bisa menjadi amal yang bernilai di sisi Allah.
Kesalehan dalam Islam tidak bersifat individualistis. Seorang Muslim yang baik bukan hanya sibuk mengejar surga untuk dirinya sendiri, tapi juga berusaha menjadi cahaya bagi orang lain. Inilah keindahan dari amal saleh: ia menciptakan kebaikan yang menyebar dan menular.
Penutup: Mari Menanam untuk Kehidupan Setelah Mati
Kematian bukanlah akhir, tapi awal dari perjalanan yang lebih panjang. Maka penting bagi kita untuk mulai menanam amal saleh sejak hari ini. Tak perlu menunggu kaya, tua, atau terkenal. Setiap orang bisa berkontribusi dalam bentuknya masing-masing. Yang dibutuhkan hanyalah niat yang tulus dan tindakan yang nyata.
Ingatlah bahwa dunia ini hanya tempat singgah sementara. Apa yang kita tanam hari ini akan kita tuai di akhirat nanti. Dan di antara tanaman terbaik adalah amal saleh yang terus mengalir pahalanya bahkan setelah tubuh kita menyatu dengan tanah. Itulah investasi sejati—investasi abadi yang tak pernah rugi.
Monitor Saham BUMN

Zuhud di Era Digital: Menjadi Hamba yang Merdeka dari Dunia

Pemerintah RI Didesak Larang Masuk Warga dengan Paspor Ganda Israel

Rahasia Ketenangan Hati: Menyelami Makna Zuhud dalam Kehidupan Sehari-hari

Ketum PP. Muhammadiyah Dorong Perguruan Tinggi Tingkatkan Kualitas Pendidikan

Zuhud Bukan Anti-Kemajuan: Menggali Hikmah di Tengah Kemewahan Dunia

BKPRMI Imbau Pemerintah Kirim Pasukan Perdamaian ke Palestina

Ariel NOAH Izinkan Momo Nyanyikan Lagu Ciptaannya, Asalkan…

Tunjangan Langsung untuk Guru, Tingkatkan Kesejahteraan dan Motivasi Mengajar

Rencana Evakuasi Warga Gaza ke Indonesia, Prabowo Minta Dukungan 5 Negara Ini

Halalbihalal Kemendikdasmen: Momentum Perkuat Semangat Pengabdian dan Kerja Sama

Declan Rice Ukir Sejarah, 2 Gol Tendangan Bebas Hancurkan Real Madrid

Menjadi Kaya Tanpa Terikat: Seni Zuhud di Era Modern

Impor Bebas, Pajak Naik, Peternak Tersingkir?

Hansi Flick Ingatkan Barcelona Tidak Jemawa Jelang Lawan Borussia Dortmund

Megawati Gagal Antar Red Sparks Juarai Liga Voli Korea Meski Cetak Poin Tertinggi

Hamas Apresiasi Langkah Uni Afrika Usir Dubes Israel dari Konferensi Genosida Rwanda

Madonna dan Elton John Akhirnya Berdamai Usai 20 Tahun Berseteru

D’Masiv Siap Konser Perdana di Jepang, Catat Tanggalnya

Prabowo dan Megawati Gelar Pertemuan di Teuku Umar, Ini yang Dibahas
