Monitorday.com – Dalam konferensi pers Digiland Run 2024 yang diadakan di Jakarta pada Senin (10/6), Direktur Utama Telkom Indonesia, Ririek Adriansyah, menyoroti peran penting teknologi satelit orbit rendah seperti Starlink dalam memenuhi kebutuhan telekomunikasi di wilayah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T).
Namun, ia juga mengakui bahwa penggunaan teknologi ini mungkin akan mengalami gangguan di daerah padat permukiman.
Menurut Ririek, Starlink lebih efektif digunakan di wilayah 3T karena biaya penggelaran BTS (Base Transceiver Station) di daerah tersebut sangat tinggi. Sebaliknya, teknologi fiber optik menjadi pilihan yang lebih baik untuk daerah perkotaan.
Indonesia sebagai negara kepulauan, menurut Ririek, membutuhkan tiga teknologi utama untuk memenuhi kebutuhan telekomunikasinya, yaitu fiber optik, mobile, dan satelit. Setiap teknologi ini memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing, yang secara bersama-sama dapat saling melengkapi.
Fiber optik, kata Ririek, sangat bermanfaat di wilayah perkotaan yang penduduknya padat karena memiliki kapasitas yang sangat besar. Namun, di wilayah dengan kepadatan penduduk yang rendah seperti 3T, penggelaran fiber optik menjadi tidak efisien secara finansial.
Untuk wilayah dengan kepadatan penduduk rendah, jaringan mobile menjadi solusi yang cukup baik meskipun kapasitasnya tidak sebesar fiber optik. Sementara itu, internet satelit seperti Starlink diperlukan ketika menghadapi wilayah 3T.
Meskipun memiliki fleksibilitas yang cukup tinggi, teknologi satelit juga memiliki tantangan, terutama terkait dengan sensitivitas frekuensi tinggi terhadap rintangan seperti pohon atau bangunan.
Meski demikian, Ririek optimis bahwa teknologi satelit seperti Starlink akan menjadi pelengkap yang efektif untuk memenuhi kebutuhan internet di wilayah 3T.
Meskipun demikian, ia juga menegaskan bahwa teknologi ini tidak dapat secara langsung menggantikan semua kebutuhan telekomunikasi dan memiliki kelemahan yang perlu diatasi, seperti sensitivitas frekuensi tinggi terhadap rintangan.