Monitorday.com – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo meresmikan PT Sapta Inti Perkasa sebagai pabrik amunisi swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Karang Ploso, Malang, Jawa Timur.
“Kehadiran perusahaan ini berkontribusi dalam membangun kemandirian dan kekuatan pertahanan Indonesia melalui industri pertahanan swasta yang mandiri, solid, dan berdaya saing tinggi,” ujar Bambang dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Minggu (16/6).
Pabrik ini beroperasi di bawah pembinaan Kementerian Pertahanan RI, berdasarkan penetapan sebagai Industri Pertahanan Swasta dengan Surat Penetapan SP/14/IV/2020/DJPOT dan Surat Ijin Produksi SIPROD/11/V/2020/DJPOT.
PT Sapta Inti Perkasa berkomitmen menjadi lini produksi amunisi yang terintegrasi, mulai dari penyediaan bahan baku (CoilStrip) CuZn28 dan CuZn10, BrassCup, pembuatan selongsong, proses perakitan amunisi, pengendalian kualitas, hingga pengepakan.
Saat ini, mereka telah berhasil memproduksi brasscup dan selongsong kaliber 5,56 mm dan kaliber 9 mm, dengan target produksi 100 juta amunisi per tahun untuk kaliber 5,56 mm dan peningkatan bertahap hingga 500 juta amunisi per tahun untuk kaliber 9 mm.
Bambang menegaskan bahwa seperti yang disampaikan Presiden Joko Widodo, kebutuhan akan peluru tidak hanya ada di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia.
Sementara itu, PINDAD baru mampu menyuplai sekitar 400 juta amunisi, sedangkan kebutuhan nasional mencapai 5 miliar amunisi per tahun untuk operasional dan cadangan TNI, menurut Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto.
“Dengan adanya UU Cipta Kerja, pemerintah memberikan kesempatan kepada pelaku usaha swasta untuk memperkuat Industri Pertahanan Nasional. Sehingga kebutuhan amunisi dapat dipenuhi dari industri dalam negeri, tanpa harus terus menerus bergantung pada impor,” jelas Bambang.
Bambang juga menegaskan pentingnya memastikan seluruh proses produksi, dari tahap awal hingga akhir, dijalankan sesuai ketentuan agar kualitas produksi terjamin.
Menurut data BPS, pada pertengahan tahun 2023, Indonesia mengimpor senjata dan amunisi serta bagiannya sebesar 202,73 juta dolar AS atau setara Rp3,52 triliun.
Angka ini diperkirakan terus meningkat pada tahun 2024 dan 2025. Jika nilai tersebut bisa dialihkan ke produksi dalam negeri, hal ini akan memberikan efek ekonomi berganda yang besar bagi perekonomian dan kesejahteraan rakyat.