Monitorday.com – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengungkapkan keprihatinannya terhadap permasalahan pendidikan di Indonesia.
Menurut dia, sektor pendidikan adalah kunci utama untuk perkembangan negara, namun seringkali sulit untuk menemukan akar permasalahan yang ada.
“Pendidikan merupakan hal terpenting untuk perkembangan negara,” kata Bamsoet, dalam keterangan tertulis yang diterima Minggu (18/7).
Dosen pascasarjana Pascasarjana Universitas Borobudur dan Universitas Trisakti ini menekankan bahwa negara besar harus memprioritaskan pendidikan untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Namun, Bamsoet mencatat bahwa pengembangan pendidikan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan yang memerlukan partisipasi aktif dari seluruh pemangku kepentingan.
Dalam pandangannya, tulisan Prof. Abdul Haris, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi RI, mengenai ‘Kebesaran Guru Besar’ sangat relevan.
“Prof. Haris menjelaskan bahwa gelar profesor atau guru besar adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen, yang diangkat oleh negara berdasarkan usulan perguruan tinggi, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005,” jelas Bamsoet.
Nammun, dia mengakui bahwa jumlah profesor di Indonesia kurang dari 6.000 dari total 300.000 dosen, di mana hal ini belum memenuhi rasio ideal yang seharusnya 20 persen dari jumlah dosen.
“Selain itu, proses pengajuan jabatan guru besar sering kali terhambat oleh persyaratan yang ketat dan birokrasi yang tidak mendukung,” jelas Bamsoet, yang juga Dosen Pascasarjana Universitas Jayabaya dan Universitas Pertahanan RI ini.
Di sisi lain, kekurangan tenaga pendidik juga menjadi masalah krusial. Data dari Kemendikbudristek menunjukkan bahwa Indonesia akan kekurangan 1,3 juta guru pada tahun 2024, sementara jumlah guru yang pensiun setiap tahun mencapai 70.000 orang.
Kecenderungan ini juga terjadi di perguruan tinggi, di mana jumlah dosen tidak sebanding dengan jumlah mahasiswa yang terus meningkat. Kebijakan larangan pengangkatan dosen tetap non-ASN juga menambah kompleksitas masalah ini.
Bamsoet juga menyoroti ketidakstabilan kurikulum pendidikan yang sering berubah, dari kurikulum berbasis kompetensi hingga Kurikulum Merdeka Belajar, yang dinilai tidak responsif terhadap kebutuhan digital anak dan remaja di era teknologi saat ini.
Data menunjukkan bahwa hanya 40 persen guru yang melek Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), sementara 60 persen masih gagap teknologi.
Menurut Bamsoet, pemerintah harus lebih sigap dalam menyediakan akses pendidikan digital yang luas agar anak-anak dan remaja dapat mengembangkan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja digital.
Jika tidak, Indonesia berisiko menghadapi kekurangan tenaga pendidik dan ketidakcocokan kompetensi dengan kebutuhan industri di masa depan.
“Untuk itu, semua pihak perlu menunjukkan kepedulian dan bekerja sama, daripada mempertontonkan sikap ego sektoral yang kontraproduktif. Tanpa solusi yang efektif, kita akan menghadapi paceklik guru, dosen, dan guru besar dalam jangka waktu yang lama,” tegas Bamsoet.