Review
Burger, Sawit, dan Kiamat
Published
3 months agoon
SIAPA PUN hari ini sepertinya suka burger. Sejenis roti berbentuk bundar yang diiris dua, dengan isian daging, sayuran, dan saus di tengahnya.
Burger adalah salah satu makanan favorit dari sekian ribu jenis makanan lezat lainnya. Rahasianya ada pada molekul lemak. Inilah yang membuat banyak makanan terasa berair, mudah meleleh, dan rasa unik di mulut.
Sayangnya, di balik lezatnya burger tersimpan potensi bencana bagi iklim kita. Karena ternyata, untuk memproduksi lemak dan minyak [hewani, nabati] manusia harus menyemburkan sekira 3,5 juta ton gas rumah kaca.
Pendiri Microsoft, Bill Gates lebih spesifik lagi, soal perubahan iklim gegara produksi lemak, terutama lemak nabati ini. Salah satu biang keroknya, kata dia, adalah sawit yang banyak ditanam di Indonesia.
“Untuk memerangi perubahan iklim, kita harus mengubah angka tersebut ke nol,” kata dia, dikutip dari blog pribadinya, Selasa [20/8/2024].
Gates tentu paham, menghilangkan konsumsi lemak dari hidup kita adalah hil yang mustahal. Secara, dari zaman purba sampe sekarang lemak memang tak cuma enak, tapi juga memberi kita nutrisi dan kalori yang dibutuhkan manusia.
Sawit adalah satu-satunya minyak nabati dengan keseimbangan lemak jenuh dan tak jenuh yang nyaris sempurna. Minyak sawit hampir berhubungan dengan semua makanan yang kita konsumsi sehari-hari. Seperti kue, mie instan, krim kopi, makanan beku, makeup, sabun badan, odol, deterjen, deodoran, susu formula, biofuel, atau bahkan makanan kucing.
Kenapa Gates begitu ngotot soal isu pengganti minyak sawit ini? jawabannya bisa ada tiga kemungkinan. Pertama, ini merupakan misi tulusnya untuk menyelamatkan dunia dari kerusakan lingkungan yang lebih parah.
Menurut Gates, gegara minyak sawit, apa yang selama ini kita sebut-sebut sebagai ‘kiamat’ akan menjadi nyata dan bisa jadi lebih cepat terjadi.
Gates mengatakan, masalah pada minyak sawit bukan cuma soal penggunaannya, tetapi bagaimana proses produksinya. Karena sawit tidak tumbuh di banyak wilayah, pohon itu hanya tumbuh subur di tempat-tempat yang dilewati garis khatulistiwa.
Celakanya, proses ini berdampak buruk bagi keragaman alam dan jadi pukulan telak bagi perubahan iklim. Pembakaran hutan menciptakan emisi yang banyak di atmosfer dan mengakitbatkan peningkatan suhu.
“Pada 2018, kehancuran yang terjadi di malaysia dan Indonesia saja sudah cukup parah hingga menyumbang 1,4 % emisi global. Angka itu lebih besar dari seluruh bagian california dan hampir sama besarnya dengan industri penerbangan di seluruh dunia,” tutur gates.
Kedua, Gates melihat ada potensi cuan tak kecil dari gurihnya industri minyak sawit. Karena menurut dia, peran minyak sawit sulit tergantikan. Sebab, komoditas sawit murah, tidak berbau, dan melimpah. Sehingga jika bisa digantikan akan sangat menguntungkan.
Ketiga, ini sebetulnya hanya kegenitan intelektual Gates saja. Tidak realistis dalam jangka pendek lantaran bakal banyak orang malah kehilangan pekerjaan gegara ide gila Gates ini.
Sama gilanya, dengan apa yang dituduhkan beberapa mantan karyawannya soal kegenitan Gates kepada karyawan-karyawan perempuannya baik di Microsoft maupun di Yayasan Bill & Mellinda Gates.