Review
Tukang Kayu
Published
3 months agoon
Narasi ‘tukang kayu’ mendadak kembali menjadi topik hangat di linimasa. Hal itu sampai dikeluhkan Presiden Jokowi saat berpidato di Munas Golkar, Rabu [21/8] kemarin.
Presiden Jokowi menyentil, “Kenapa soal keputusan MK soal Pilkada yang disebut-sebut justru si tukang kayu?” Kalimat ini seolah menegaskan, di era digital, persoalan serius seperti politik kadang bisa kalah pamor dengan humor dan simbolisme sederhana.
Jadi wajar, Jokowi yang dulu dikenal sebagai pengusaha mebel alias “tukang kayu,” mendadak kembali menjadi topik hangat di linimasa. Publik lebih tertarik membahas “si tukang kayu” ketimbang menyelami dinamika yuridis antara Mahkamah Konstitusi (MK) dan DPR.
Padahal kan bisa saja, jika drama keputusan MK dan Baleg soal Pilkada sebetulnya merupakan ulah orang-orang di sekelilingnya yang mencari muka sekaligus meraih keuntungan politik. Meski presiden sendiri bisa saja melakukannya.
Atau orang-orang yang kepentingannya di Pilkada terhalang aturan, lalu menggugatnya di MK. Tujuannya bisa dobel, memuluskan cakada kelompoknya sekaligus mengesankan cawe-cawe buat anak ‘Si Tukang Kayu’.
Lagipula, narasi ‘Tukang Kayu’ sendiri sebetulnya tidak sepenuhnya negatif. Seorang tukang kayu adalah sosok yang teliti memotong, mengukir, dan menyusun kayu untuk menciptakan furnitur yang kuat dan indah, begitu juga peran pemimpin dalam politik.
Jokowi, dengan latar belakangnya, sering kali dipandang sebagai sosok yang membangun dari bawah, merangkai negeri ini dengan cermat. Namun, dalam beberapa kasus, seperti perubahan aturan Pilkada, masyarakat merasa ada “potongan kayu” yang tidak pas. Mungkin ada yang terpotong terlalu pendek atau terpasang di tempat yang salah, menyebabkan konstruksi politik yang dibangun terasa goyah.
Namun, di tengah semua kritik, tidak bisa dipungkiri bahwa netizen juga memiliki rasa humor yang tinggi. Alih-alih memprotes langsung soal keputusan Pilkada, banyak yang memilih untuk menggunakan istilah “si tukang kayu” sebagai bentuk kritik halus.
Di sini, Jokowi digambarkan seolah-olah sedang merancang sesuatu di balik layar, membuat keputusan penting yang berdampak pada banyak orang. Tetapi, seperti seorang tukang kayu yang tidak selalu menunjukkan proses kerjanya, hasil akhirnya lah yang kemudian dilihat dan dinilai oleh publik.
Seorang tukang kayu yang baik tahu bahwa kesalahan kecil bisa berdampak besar pada hasil akhir. Demikian pula dengan keputusan politik yang dibuat. Kritik yang muncul di media sosial sering kali mencerminkan kekhawatiran bahwa ada “paku” yang mungkin tidak terpasang dengan benar, atau “papan” yang dipotong terlalu pendek.
Kekeliruan kecil dalam perubahan aturan Pilkada bisa berujung pada ketidakstabilan politik yang lebih besar, dan inilah yang sebenarnya menjadi perhatian publik. Namun, humor yang menyelimuti perdebatan ini juga menunjukkan bahwa masyarakat tidak kehilangan harapan. Ada harapan bahwa “si tukang kayu” ini akan menemukan cara untuk menyelesaikan pekerjaannya dengan baik, meskipun mungkin ada kesalahan di sana-sini. Sama seperti furnitur yang butuh beberapa kali diperbaiki sebelum sempurna, demikian juga dengan sistem politik yang perlu penyesuaian.
Fenomena “si tukang kayu” ini mengajarkan kita bahwa politik, khususnya di era media sosial, tidak hanya soal keputusan hukum dan regulasi. Ini juga soal simbolisme dan bagaimana publik memaknai figur pemimpinnya.
Di satu sisi, ini adalah cerminan dari betapa terhubungnya Jokowi dengan rakyatnya. Namun, di sisi lain, ini juga menjadi pengingat bahwa dalam politik, setiap “paku” dan “potongan kayu” harus dipasang dengan hati-hati, karena kesalahan kecil bisa berujung pada ketidakpuasan besar.
Inilah gambaran bagaimana humor dan kritik bisa bersanding, menciptakan dinamika yang unik di tengah debat politik. Dan meski “si tukang kayu” ini terus menjadi perbincangan, harapannya, fondasi yang dibangun tetap kokoh dan bermanfaat bagi semua.
Tukang kayu selalu punya cara menyelesaikan masalah. Gergaji dulu yang besar-besar, lem yang retak-retak, lalu kalau masih ada masalah cukup disandarkan ke ‘tembok’ yang kuat alias ‘sekutu politik.’