Ruang Sujud
Ajaib! Anak Asal Pakistan Ini Pakar AI Termuda Di Dunia
Published
6 months agoon
By
Robby Karman
Monitorday.com – Khawaja Muzammil Ahmed, seorang anak ajaib berusia 13 tahun dari Karachi, telah mencuri perhatian di dunia ilmu komputer.
Ia mendapatkan Sertifikasi Oracle “OCI Generative AI Certified Professional,” menjadikannya pakar termuda di Pakistan dalam AI generatif.
Muzammil adalah seorang programmer otodidak yang mulai membuat kode sejak usia 7 tahun.
Saat ini, ia menguasai bahasa pemrograman seperti Python, C++, Flutter, dan Dart.
Ia telah mengembangkan banyak proyek inovatif menggunakan Generative AI dan Internet of Things (IoT).
Selain itu, Muzammil sering menjadi pembicara yang diundang ke berbagai lembaga bergengsi.
Ia telah memberikan ceramah di tempat-tempat seperti Institut Administrasi Bisnis (IBA) dan Universitas Teknik & Teknologi NED, Karachi.
Kemampuannya dalam menyederhanakan konsep rumit membuatnya populer di kalangan mahasiswa dan profesional.
Ia juga telah berbagi pengetahuannya melalui lokakarya di universitas terkenal seperti EMU dan MAJU.
Muzammil telah meraih banyak sertifikasi global dari lembaga bergengsi seperti Eastern Michigan University dan Oracle.
Selain itu, ia juga mendapatkan sertifikasi dari Google, Deeplearning, dan Coursera.
Dengan semua prestasinya, Muzammil telah mengajar AI kepada siswa dari Amerika Serikat, Kanada, dan UEA.
Mungkin Kamu Suka
Ruang Sujud
Mengapa Adab Berdiskusi Penting? Ini Penjelasan Lengkapnya
Published
4 hours agoon
10/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Diskusi adalah bagian dari kehidupan manusia. Kita berdiskusi di ruang kelas, di tempat kerja, di meja makan, hingga di kolom komentar media sosial. Tapi sering kali, diskusi justru berakhir ricuh, penuh emosi, atau malah jadi ajang saling menjatuhkan. Apa yang salah? Jawabannya sering kali terletak pada satu hal yang sederhana namun sangat fundamental: adab berdiskusi.
Adab berdiskusi adalah seperangkat sikap, etika, dan kebiasaan yang harus dijunjung tinggi saat bertukar pikiran. Ia bukan hanya soal berkata sopan, tapi juga tentang bagaimana kita memperlakukan orang lain saat tidak sepakat. Di tengah dunia yang makin ramai dengan opini, adab ini menjadi semakin penting untuk menjaga nalar sehat, menghargai perbedaan, dan membangun peradaban dialog yang positif.
Bukan Sekadar Menang Argumen
Sering kali orang masuk ke dalam diskusi dengan satu tujuan: menang. Padahal, hakikat diskusi bukanlah saling mengalahkan, tetapi saling melengkapi dan mencari kebenaran bersama. Ketika adab diabaikan, diskusi berubah menjadi debat kusir yang lebih banyak menghasilkan kebencian ketimbang pemahaman.
Adab berdiskusi mengingatkan kita bahwa setiap orang punya hak untuk berbicara, dan setiap pendapat layak untuk didengar. Dalam diskusi yang sehat, tidak ada tempat untuk menyerang pribadi, menyela, atau meremehkan pendapat orang lain. Menang bukan karena suara paling keras, tapi karena argumen paling bijak.
Menjaga Martabat Diri dan Orang Lain
Salah satu alasan utama adab berdiskusi penting adalah karena ia mencerminkan martabat seseorang. Cara seseorang berdiskusi bisa menunjukkan tingkat kedewasaan, wawasan, dan kematangan emosinya. Orang yang bisa berbeda pendapat tanpa emosi adalah orang yang kuat secara mental.
Di sisi lain, adab berdiskusi juga berfungsi menjaga harga diri orang lain. Bahkan jika kita tidak setuju dengan sebuah pendapat, kita tetap bisa menyampaikannya tanpa merendahkan. Ini bukan hanya soal sopan santun, tapi soal respect—bahwa setiap manusia pantas dihormati meski pikirannya berbeda dengan kita.
Adab Berdiskusi dalam Perspektif Keislaman
Dalam Islam, adab berdiskusi bukan hal yang sepele. Banyak ayat dalam Al-Qur’an dan hadis yang menunjukkan betapa pentingnya berdialog dengan cara yang baik. Salah satu ayat yang sering dijadikan rujukan adalah QS. An-Nahl ayat 125:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.”
Ayat ini memberi kita panduan jelas bahwa bahkan dalam perbedaan ideologi atau agama sekalipun, Islam mengajarkan untuk berdebat dengan cara terbaik, bukan dengan caci maki atau emosi.
Rasulullah SAW juga dikenal sebagai sosok yang sangat tenang dalam berdiskusi. Beliau tidak pernah memotong lawan bicara, tidak merendahkan, dan selalu menjawab dengan penuh hikmah. Ini menjadi teladan bagi kita bahwa berdiskusi dengan adab adalah bagian dari akhlak mulia.
Tantangan di Era Digital: Diskusi Tanpa Wajah
Hari ini, banyak diskusi terjadi di dunia maya—grup WhatsApp, kolom komentar, atau media sosial. Tantangannya, ketika diskusi dilakukan tanpa tatap muka, banyak orang merasa bebas berkata seenaknya. Anonimitas memberi ruang bagi komentar pedas, serangan pribadi, bahkan ujaran kebencian.
Di sinilah adab berdiskusi menjadi sangat krusial. Kita harus menyadari bahwa di balik setiap akun ada manusia yang punya perasaan. Ketika adab ditinggalkan, internet bukan lagi tempat belajar dan bertukar ide, tapi jadi ladang konflik yang melelahkan.
Maka penting bagi kita semua—khususnya generasi muda—untuk menjadikan adab berdiskusi sebagai bagian dari literasi digital. Bukan hanya bisa menulis atau membaca, tapi juga tahu bagaimana menyampaikan ide dengan baik dan menghargai yang berbeda.
Manfaat Menjaga Adab dalam Diskusi
Berikut beberapa manfaat nyata dari menjaga adab saat berdiskusi:
- Membangun Citra Positif
Orang yang santun dan tenang dalam diskusi akan dihormati, bahkan oleh mereka yang berbeda pandangan. Ia akan dikenal sebagai pribadi yang dewasa dan berkelas. - Meningkatkan Daya Pengaruh
Ide yang baik bisa tidak diterima jika disampaikan dengan cara yang salah. Sebaliknya, ide yang biasa-biasa saja bisa didengar jika disampaikan dengan adab dan strategi komunikasi yang tepat. - Menghindari Konflik yang Tidak Perlu
Banyak konflik sebenarnya bisa dicegah jika sejak awal diskusi dijalankan dengan adab. Emosi bisa diredam, perbedaan bisa dijembatani. - Membuka Jalan Kolaborasi
Diskusi yang sehat bisa membuka jalan bagi kerja sama, inovasi, dan solusi bersama. Ini jauh lebih produktif dibanding saling menjatuhkan.
Kesimpulan: Saatnya Kembali ke Nilai-Nilai Dasar
Di tengah dunia yang makin gaduh, kita butuh ruang diskusi yang sehat dan bermartabat. Adab berdiskusi bukan hanya soal gaya bicara, tapi tentang bagaimana kita membangun dunia yang lebih toleran, adil, dan saling menghormati. Ia adalah jembatan antara perbedaan dan pemahaman.
Jadi mulai sekarang, sebelum menanggapi sebuah pendapat—baik di dunia nyata maupun digital—cobalah tanyakan pada diri sendiri:
Apakah saya sedang berdiskusi untuk mencari kebenaran, atau hanya ingin menang?
Apakah kata-kata saya membangun, atau justru menyakiti?
Jika jawabannya membangun dan menghargai, maka kita telah mempraktikkan adab berdiskusi. Dan itu adalah langkah kecil namun sangat berarti untuk menciptakan perubahan besar.
Ruang Sujud
Adab Berdiskusi: Kunci Membangun Komunikasi yang Sehat
Published
8 hours agoon
10/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Komunikasi adalah bagian penting dalam kehidupan manusia. Namun, di tengah derasnya arus informasi dan perbedaan pandangan, komunikasi tidak selalu berjalan mulus. Salah satu penyebab utama keretakan dalam komunikasi adalah minimnya adab dalam berdiskusi. Padahal, adab berdiskusi adalah kunci utama dalam membangun komunikasi yang sehat, produktif, dan bermakna.
Diskusi bukan sekadar adu argumen atau pamer pengetahuan. Lebih dari itu, diskusi adalah sarana untuk saling memahami, menambah wawasan, dan mencari titik temu dalam perbedaan. Tanpa adab, diskusi mudah berubah menjadi debat kusir yang justru merusak hubungan sosial dan memperkeruh suasana.
Apa Itu Adab Berdiskusi?
Adab berdiskusi adalah seperangkat etika dan tata krama yang dijunjung tinggi saat seseorang terlibat dalam percakapan atau pertukaran pendapat. Ini mencakup sikap saling menghargai, kesediaan untuk mendengarkan, tidak menyela, tidak menyerang pribadi, dan mampu menerima perbedaan pendapat dengan lapang dada.
Adab berdiskusi juga mencerminkan kepribadian dan kecerdasan emosional seseorang. Orang yang santun dalam berdiskusi cenderung memiliki pemahaman yang baik tentang dirinya, menghormati orang lain, dan tidak mudah terpancing emosi.
Mengapa Adab Berdiskusi Penting?
- Menjaga Keutuhan Relasi Sosial
Tanpa adab, diskusi bisa berubah menjadi konflik yang merusak hubungan. Sebaliknya, dengan adab, perbedaan pendapat bisa menjadi peluang untuk memperkuat koneksi dan memperkaya sudut pandang. - Mendorong Dialog yang Produktif
Diskusi yang dijalankan dengan adab mendorong semua pihak untuk berpikir terbuka, rasional, dan konstruktif. Hasilnya, diskusi menjadi lebih bermakna dan solutif. - Membentuk Budaya Komunikasi yang Dewasa
Masyarakat yang terbiasa berdiskusi dengan adab akan tumbuh menjadi komunitas yang dewasa dalam berpikir, tidak mudah terprovokasi, dan mampu menyikapi perbedaan secara bijak. - Menjadi Cermin Akhlak Individu
Cara seseorang berdiskusi mencerminkan seberapa dalam ia memegang nilai-nilai kebaikan dalam hidupnya. Adab menjadi tolak ukur apakah seseorang benar-benar berilmu dan berakhlak.
Adab Berdiskusi dalam Perspektif Islam
Dalam ajaran Islam, berdiskusi atau berdialog bukan hanya diperbolehkan, tetapi sangat dianjurkan. Al-Qur’an mengajarkan agar manusia menyampaikan pendapat dan berdakwah dengan cara yang baik. Dalam QS. An-Nahl: 125, Allah berfirman:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.”
Ayat ini menekankan pentingnya menggunakan kata-kata yang bijak dan lembut, bahkan dalam perbedaan ideologi sekalipun. Rasulullah SAW juga menjadi contoh terbaik dalam berdiskusi. Beliau tidak pernah menyela, selalu sabar mendengarkan, dan memilih kata-kata yang penuh hikmah saat menanggapi lawan bicara.
Bahkan dalam kondisi beliau diserang dengan perkataan kasar, Rasulullah tetap menanggapi dengan kelembutan. Ini menunjukkan bahwa adab bukan hanya soal komunikasi, tapi bagian dari misi akhlak mulia dalam Islam.
Tantangan Diskusi di Era Digital
Di era digital seperti sekarang, diskusi sering terjadi lewat media sosial. Sayangnya, banyak diskusi online yang kehilangan adab. Kolom komentar penuh dengan caci maki, sarkasme, bahkan hoaks. Keberanian bersembunyi di balik layar membuat banyak orang merasa bebas berkata seenaknya.
Padahal, komunikasi digital tetap memerlukan adab. Kita harus sadar bahwa di balik layar itu tetap ada manusia. Maka, sama seperti diskusi tatap muka, berdiskusi secara digital juga menuntut kita untuk menjaga etika dan sopan santun.
Prinsip-Prinsip Adab Berdiskusi
Untuk membangun komunikasi yang sehat, ada beberapa prinsip adab berdiskusi yang bisa kita pegang:
- Saling Mendengarkan
Diskusi yang baik dimulai dari kesediaan untuk mendengar, bukan hanya ingin didengar. Dengan mendengarkan, kita bisa memahami sudut pandang orang lain sebelum menyampaikan tanggapan. - Hindari Serangan Pribadi
Fokuslah pada gagasan, bukan pada orangnya. Mengkritik pendapat boleh, tapi jangan sampai merendahkan atau menyerang personal. - Gunakan Bahasa yang Sopan dan Jelas
Sampaikan argumen dengan kata-kata yang baik dan tidak menyinggung. Hindari nada sarkastik, kasar, atau meremehkan. - Terima Perbedaan dengan Lapang Dada
Tidak semua orang akan sepakat dengan kita, dan itu tidak masalah. Yang penting adalah tetap saling menghargai dalam perbedaan. - Bersedia Mengakui Kesalahan
Salah bukan aib. Dalam diskusi, jika argumen kita terbukti lemah atau keliru, maka mengakui dan memperbaiki adalah sikap yang mulia.
Kesimpulan: Mulai dari Diri Sendiri
Adab berdiskusi adalah fondasi dari komunikasi yang sehat. Ia membantu kita menjadi pribadi yang lebih terbuka, bijaksana, dan toleran. Dalam dunia yang semakin beragam dan dinamis, kemampuan berdiskusi dengan adab akan menjadi nilai tambah yang luar biasa.
Kita mungkin tidak bisa mengubah cara semua orang berdiskusi, tapi kita bisa mulai dari diri sendiri. Dengan menunjukkan contoh diskusi yang beradab, kita memberi kontribusi positif dalam membangun masyarakat yang saling menghargai dan berpikir kritis tanpa saling menyakiti.
Jadi, setiap kali kamu terlibat dalam sebuah diskusi—baik di dunia nyata maupun digital—ingatlah bahwa adab bukan hiasan, tapi jiwa dari komunikasi yang sehat.
Ruang Sujud
Menanamkan Adab Berdiskusi Sejak Dini pada Anak dan Remaja
Published
12 hours agoon
10/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Di era informasi yang serba cepat ini, anak-anak dan remaja tidak hanya dituntut cerdas secara akademik, tapi juga tangguh dalam berkomunikasi. Salah satu keterampilan penting yang perlu mereka miliki adalah kemampuan berdiskusi dengan baik. Namun, diskusi yang baik tidak cukup hanya dengan bisa berbicara, melainkan juga harus ditopang oleh adab atau etika. Maka, menanamkan adab berdiskusi sejak dini menjadi langkah penting untuk membentuk generasi yang bijak dalam menyampaikan dan menerima pendapat.
Diskusi yang sehat bukan hanya wadah bertukar pikiran, tapi juga sarana belajar memahami orang lain. Di dalamnya ada nilai-nilai seperti empati, kesabaran, ketulusan, dan keterbukaan. Anak yang terbiasa berdiskusi dengan adab akan tumbuh menjadi pribadi yang mampu menyampaikan ide dengan bijak, menerima kritik dengan lapang dada, dan tidak mudah tersulut emosi ketika berbeda pendapat.
Mengapa Perlu Ditanamkan Sejak Dini?
Usia anak-anak dan remaja adalah masa pembentukan karakter yang paling efektif. Pada fase ini, otak mereka masih sangat plastis, mudah menyerap kebiasaan dan nilai-nilai yang diajarkan. Jika sejak dini mereka dibiasakan berdiskusi secara santun dan beretika, maka itu akan melekat kuat dalam diri mereka hingga dewasa.
Selain itu, di masa remaja, seseorang mulai membangun identitas dirinya. Mereka mulai aktif menyuarakan opini, baik di lingkungan sekolah, keluarga, maupun media sosial. Jika tidak dibekali adab berdiskusi, mereka bisa tumbuh menjadi pribadi yang arogan dalam menyampaikan pendapat, atau sebaliknya—takut berbicara karena terbiasa dihakimi saat berbeda pandangan.
Peran Keluarga dalam Menanamkan Adab Diskusi
Keluarga adalah madrasah pertama bagi anak. Orang tua memiliki peran kunci dalam mengajarkan adab berdiskusi secara alami di rumah. Mulailah dengan menciptakan suasana yang terbuka, di mana setiap anggota keluarga diberi ruang untuk berbicara dan didengar.
Misalnya, saat makan malam, biasakan anak mengutarakan pendapatnya tentang topik tertentu. Dengarkan pendapat mereka dengan sabar, koreksi dengan lembut jika ada kekeliruan, dan beri pujian atas keberanian mereka dalam berbicara. Dari interaksi kecil seperti inilah anak belajar bahwa menyampaikan dan menerima pendapat itu hal yang wajar, selama dilakukan dengan santun.
Sekolah Sebagai Ruang Latihan Diskusi Beradab
Selain keluarga, sekolah juga berperan besar dalam membentuk karakter diskusi anak. Guru tidak hanya berfungsi sebagai penyampai materi, tetapi juga sebagai fasilitator diskusi yang baik. Salah satu metode yang bisa digunakan adalah debat edukatif atau diskusi kelompok dalam pembelajaran, yang tidak hanya menekankan pada isi argumen, tapi juga pada cara menyampaikannya.
Guru juga perlu menjadi teladan dalam berdiskusi. Ketika seorang guru terbiasa mendengarkan, menghargai pendapat siswa, dan menjawab dengan bahasa yang lembut, maka siswa pun akan meniru sikap tersebut. Dalam jangka panjang, suasana kelas akan tumbuh menjadi lingkungan yang kondusif untuk berdialog secara sehat.
Adab Berdiskusi dalam Perspektif Islam
Dalam Islam, adab berdiskusi sangat ditekankan. Rasulullah SAW dikenal sebagai sosok yang penuh kelembutan dalam berdialog, bahkan dengan orang-orang yang menentang beliau. Salah satu contoh paling indah adalah ketika beliau didatangi orang-orang Quraisy yang kasar dalam menyampaikan pendapatnya, beliau tetap membalas dengan kalimat yang tenang dan penuh hikmah.
Al-Qur’an pun mengajarkan kita untuk mendebat dengan cara yang baik, seperti dalam QS. An-Nahl ayat 125:
“Dan bantahlah mereka dengan cara yang paling baik.”
Ayat ini seolah menegaskan bahwa cara menyampaikan pendapat sama pentingnya dengan isi pendapat itu sendiri. Inilah nilai yang sangat relevan untuk ditanamkan kepada anak-anak dan remaja Muslim sejak dini, agar mereka tidak hanya cerdas intelektual, tapi juga unggul dalam adab dan akhlak.
Strategi Menanamkan Adab Diskusi
Berikut beberapa cara praktis yang bisa diterapkan orang tua dan guru dalam menanamkan adab berdiskusi:
- Jadilah Pendengar yang Baik
Anak akan belajar menjadi pendengar jika ia juga merasa didengar. Tunjukkan bahwa pendapat mereka penting. - Ajarkan Cara Mengungkapkan Pendapat dengan Sopan
Gunakan kalimat seperti “Menurut saya…”, “Saya setuju, tapi…” atau “Boleh saya tambahkan?” sebagai pola komunikasi yang santun. - Biasakan Menerima Perbedaan
Tanamkan bahwa berbeda pendapat adalah hal biasa, dan tidak semua diskusi harus berujung pada kesepakatan. - Berikan Umpan Balik Positif
Berikan apresiasi ketika anak berhasil menyampaikan pendapat dengan baik dan adab yang benar. - Latih Empati
Ajak anak membayangkan bagaimana perasaan orang lain saat mendengar ucapan mereka. Ini akan membentuk sensitivitas sosial.
Tantangan dan Harapan
Memang tidak mudah mengajarkan adab berdiskusi di tengah era digital yang penuh ujaran kebencian dan debat tak sehat di media sosial. Anak-anak bisa dengan mudah meniru gaya komunikasi yang kasar jika tidak diawasi. Maka, penting bagi orang tua dan guru untuk mendampingi anak dalam berinteraksi digital, sekaligus memberi contoh nyata komunikasi yang baik.
Harapannya, dengan membiasakan diskusi yang santun sejak kecil, kita bisa mencetak generasi yang tak hanya unggul dalam berpikir kritis, tapi juga arif dalam menyampaikan dan menerima ide. Inilah cikal bakal masyarakat yang demokratis, toleran, dan beradab.
Penutup
Adab berdiskusi bukan hanya bekal untuk meraih kesuksesan akademik atau karier, tapi juga pondasi untuk menjadi manusia yang utuh. Anak-anak dan remaja yang mampu berdiskusi dengan adab akan menjadi pemimpin masa depan yang tidak hanya pintar, tapi juga mampu membawa keteduhan dalam keberagaman. Maka, mari kita mulai dari hal kecil: memberi ruang kepada anak untuk berbicara, dan membimbing mereka untuk melakukannya dengan adab.
Ruang Sujud
Zuhud di Era Digital: Menjadi Hamba yang Merdeka dari Dunia
Published
1 day agoon
09/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Dalam sejarah spiritualitas Islam, zuhud selalu menjadi sikap yang dimuliakan. Ia bukan sekadar praktik menjauhi dunia, tetapi sebuah kesadaran mendalam bahwa dunia hanyalah tempat persinggahan, bukan tujuan akhir. Di era digital yang serba cepat dan penuh godaan ini, zuhud bukan kehilangan makna, justru semakin relevan untuk menjaga kebeningan hati dan keteguhan iman.
Zuhud secara sederhana dapat dimaknai sebagai sikap tidak tergantung pada dunia, meskipun seseorang memilikinya. Bukan berarti seseorang harus meninggalkan harta, pekerjaan, atau kehidupan sosial. Zuhud bukan kemiskinan, tetapi kebebasan batin. Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Zuhud itu bukan berarti kamu tidak memiliki apa-apa, tetapi kamu tidak diperbudak oleh apa yang kamu miliki.”
Kini, kita hidup di tengah kemewahan digital: gawai canggih, media sosial, aplikasi yang memanjakan, hingga budaya viral yang serba instan. Kita terhubung dengan dunia dalam sekejap, namun seringkali menjadi hamba dari layar yang ada di genggaman. Ketergantungan ini membuat zuhud terasa jauh dari kehidupan modern, padahal justru dibutuhkan lebih dari sebelumnya.
Salah satu tantangan terbesar di era digital adalah overstimulation—banjir informasi, notifikasi tanpa henti, dan dorongan untuk selalu terlihat eksis. Inilah bentuk perbudakan modern yang halus: kita merasa harus terus merespon, terus mengikuti tren, terus membandingkan hidup dengan orang lain. Dalam situasi ini, zuhud hadir sebagai jalan pembebasan. Ia mengajak kita melepaskan keterikatan, bukan benda fisik semata, tapi juga ikatan mental terhadap pengakuan, validasi, dan pencitraan.
Zuhud di era ini bisa dimulai dengan langkah-langkah kecil: membatasi waktu layar, mengurangi konsumsi media sosial, atau memilih untuk tidak mengikuti tren yang tak bermanfaat. Hal ini bukan berarti menolak teknologi, tapi menggunakannya dengan bijak. Dalam pandangan seorang zahid, teknologi adalah alat, bukan tujuan. Ia tidak membiarkan hidupnya dikendalikan oleh algoritma, melainkan tetap menjaga ruh dan arah hidupnya dengan sadar.
Para ulama dahulu memberi contoh tentang bagaimana memiliki dunia tapi tidak mencintainya secara berlebihan. Umar bin Khattab, meski seorang pemimpin besar, tetap hidup sederhana dan tidak terikat pada kekayaan duniawi. Begitu pula Imam Hasan al-Bashri yang sangat meyakini bahwa ketenangan hanya didapat ketika hati tidak bergantung pada dunia. Dalam konteks hari ini, kita bisa meneladani mereka dengan cara menjadi pengguna teknologi yang beretika, tidak silau dengan gaya hidup digital yang penuh glamor, dan tetap menjadikan akhirat sebagai orientasi utama.
Menjadi zahid di era digital juga berarti mampu mengatakan “cukup” ketika dunia terus menawarkan “lebih”. Kita tidak harus selalu memiliki gadget terbaru, mengikuti gaya hidup influencer, atau merasa tertinggal saat tidak mengonsumsi hal-hal viral. Zuhud menanamkan rasa qana’ah—merasa cukup dengan yang ada. Dengan itu, hati menjadi tenang, dan hidup lebih fokus.
Lebih dari itu, zuhud melatih kita untuk hidup dengan kesadaran. Setiap interaksi digital seharusnya menjadi ladang amal, bukan ladang kesia-siaan. Kita bisa bertanya pada diri: apakah waktu yang saya habiskan di media sosial mendekatkan saya pada Allah? Apakah unggahan saya membawa manfaat atau sekadar pamer? Apakah saya menjadi hamba Allah, atau hamba dari likes dan komentar?
Dalam perspektif sufistik, zuhud adalah langkah awal menuju ma’rifatullah, mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Tanpa melepaskan diri dari keterikatan dunia, hati sulit menerima cahaya ilahi. Maka, siapa yang ingin naik derajat spiritual, ia harus rela membersihkan hatinya dari cinta dunia. Di zaman sekarang, cinta dunia itu bisa berbentuk obsesi pada popularitas digital, pencapaian semu, atau kemewahan virtual yang hanya tampak di layar.
Zuhud bukan pelarian dari kehidupan, tapi cara hidup yang jernih. Seorang zahid tetap bekerja, tetap bersosialisasi, bahkan bisa sukses di dunia, tapi hatinya tidak pernah tergantung padanya. Ia tidak sedih saat kehilangan, dan tidak bangga berlebihan saat mendapatkannya. Dunia ada di tangannya, bukan di hatinya.
Maka, menjadi zahid di era digital adalah perjuangan untuk tetap merdeka—merdeka dari keinginan tanpa batas, merdeka dari pencitraan, dan merdeka dari tekanan eksistensi virtual. Merdeka untuk memilih hidup yang bermakna, bukan yang sekadar terlihat menakjubkan di layar. Inilah esensi zuhud yang abadi: menjadikan dunia sebagai jembatan, bukan jebakan.
Zuhud di era digital memang tidak mudah. Tapi ia sangat mungkin, dan sangat dibutuhkan. Ia adalah benteng di tengah banjir informasi. Ia adalah oase di tengah hiruk-pikuk pencitraan. Dan yang terpenting, ia adalah jalan menuju kebebasan sejati—bebas dari dunia yang memperbudak, dan bebas untuk kembali kepada Allah dengan hati yang bersih.
Ruang Sujud
Rahasia Ketenangan Hati: Menyelami Makna Zuhud dalam Kehidupan Sehari-hari
Published
1 day agoon
09/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Setiap manusia pasti menginginkan hidup yang tenang, damai, dan terbebas dari kegelisahan. Tapi di tengah kesibukan, persaingan, dan hiruk-pikuk kehidupan modern, ketenangan hati seolah menjadi sesuatu yang langka. Banyak orang mengejarnya melalui materi, hiburan, atau pencapaian karier. Namun, semakin dicari ke luar, semakin sulit ditemukan. Padahal, salah satu kunci ketenangan hati justru terletak dalam nilai Islam yang luhur—yaitu zuhud.
Zuhud sering disalahpahami sebagai sikap menjauhi dunia secara total, hidup miskin, atau menolak harta. Padahal, makna sebenarnya jauh lebih dalam. Imam Ahmad bin Hanbal menjelaskan bahwa zuhud bukan berarti tidak memiliki dunia, tetapi tidak menjadikan dunia sebagai tujuan utama. Orang yang zuhud bisa kaya raya, namun hatinya tidak terikat pada kekayaannya. Ia memegang dunia, tapi tidak digenggam olehnya.
Zuhud berasal dari akar kata “zahada” yang berarti meninggalkan. Dalam konteks spiritual, artinya meninggalkan keterikatan terhadap dunia demi sesuatu yang lebih mulia—yaitu akhirat. Zuhud bukanlah membenci dunia, melainkan menempatkannya pada posisi yang benar: sebagai alat, bukan tujuan.
Lalu bagaimana praktik zuhud dalam kehidupan sehari-hari? Apakah mungkin di era modern ini kita bisa mengamalkannya tanpa harus menjadi pertapa? Jawabannya: sangat mungkin. Justru di tengah kehidupan yang penuh distraksi dan kompetisi ini, zuhud menjadi pelindung hati agar tidak hanyut dalam keserakahan dan kecemasan.
Zuhud bisa dimulai dengan melatih diri untuk merasa cukup. Sifat qana’ah—merasa puas dengan apa yang ada—adalah saudara kembar dari zuhud. Saat orang lain sibuk mengejar tren, kita memilih untuk hidup sederhana. Saat orang lain panik karena merasa kurang, kita tenang karena yakin bahwa rezeki sudah ditakar oleh Allah. Sikap ini menumbuhkan rasa syukur, dan dari syukur itulah lahir ketenangan.
Dalam kehidupan sehari-hari, praktik zuhud bisa diterapkan dalam cara kita mengelola waktu, harta, dan perhatian. Misalnya, menghindari belanja berlebihan hanya demi gengsi. Atau, memilih pekerjaan yang halal dan memberi keberkahan, walau tidak membuat cepat kaya. Bahkan dalam penggunaan media sosial, zuhud mengajarkan kita untuk tidak tergoda oleh pencitraan, dan fokus pada kualitas hidup yang sesungguhnya.
Zuhud juga mendorong kita untuk tidak iri terhadap apa yang dimiliki orang lain. Ketika melihat orang lain punya rumah mewah, mobil mahal, atau liburan ke luar negeri, hati yang zuhud tidak tergerak oleh rasa ingin memiliki yang sama. Ia sadar bahwa dunia bukan tolok ukur kebahagiaan. Justru, zuhud membantu kita menciptakan kebahagiaan dari dalam diri, tanpa harus membandingkan hidup dengan orang lain.
Salah satu pelajaran zuhud terbaik datang dari Nabi Muhammad SAW sendiri. Beliau adalah pemimpin umat, tokoh besar, namun hidup dalam kesederhanaan. Beliau tidur di atas tikar kasar, tidak pernah menimbun kekayaan, dan selalu memberi bahkan saat beliau sendiri kekurangan. Namun, justru dari sana lahir pribadi yang kuat, penuh kasih, dan paling tenang menghadapi dunia.
Bahkan para sahabat yang kaya seperti Abdurrahman bin Auf tetap bersikap zuhud. Kekayaan yang ia miliki tidak menjadikannya sombong atau bergantung pada dunia. Ia menggunakan hartanya untuk akhirat, bukan untuk membanggakan diri. Dari sini kita belajar bahwa zuhud bukan soal jumlah, tapi soal sikap hati.
Dalam dunia kerja, zuhud bisa menjelma sebagai kejujuran dan kesederhanaan dalam ambisi. Kita tetap berusaha meraih yang terbaik, namun tidak sampai mengorbankan prinsip atau menjadikan kesuksesan duniawi sebagai segalanya. Zuhud menjaga agar kita tetap rendah hati dalam kemenangan, dan tetap berserah diri saat menghadapi kegagalan.
Zuhud juga memperhalus hubungan sosial. Orang yang zuhud tidak mudah tersinggung, tidak mudah marah karena urusan dunia. Ia tidak berebut pujian, tidak haus pengakuan. Karena hatinya tenang, ia bisa memaafkan, bersabar, dan menghindari konflik yang tidak perlu. Zuhud menanamkan rasa damai, dan kedamaian ini menular ke sekitar.
Ketenangan yang lahir dari zuhud adalah ketenangan sejati—bukan ketenangan yang dibeli atau dicari di luar diri. Zuhud membebaskan hati dari perbudakan dunia. Ia memberi ruang bagi ruhani untuk tumbuh, bagi jiwa untuk merasa cukup, dan bagi pikiran untuk jernih. Zuhud bukan sekadar ajaran, tapi seni menjalani hidup dengan ringan dan bermakna.
Akhirnya, zuhud bukanlah ajaran kuno yang tidak relevan. Justru dalam dunia yang makin bising, zuhud adalah jalan sunyi yang membawa kita kembali pada diri, kembali pada Allah. Dengan zuhud, kita belajar bahwa hidup bukan tentang memiliki segalanya, tapi tentang melepaskan apa yang tidak perlu. Di sanalah rahasia ketenangan hati disimpan, dan hanya mereka yang zuhud-lah yang bisa merasakannya.
Ruang Sujud
Zuhud Bukan Anti-Kemajuan: Menggali Hikmah di Tengah Kemewahan Dunia
Published
1 day agoon
09/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Ketika mendengar kata “zuhud”, sebagian orang mungkin langsung membayangkan seseorang yang menjauh dari dunia, hidup di tempat terpencil, berpakaian sederhana, dan tak punya harta. Bahkan, ada yang menganggap zuhud sebagai sikap yang tidak sesuai lagi dengan kehidupan zaman sekarang yang maju, modern, dan serba cepat. Namun benarkah demikian?
Zuhud bukan berarti menolak kemajuan. Ia juga bukan tanda kemunduran. Justru, zuhud adalah ajaran Islam yang memberi arah agar kita tidak tenggelam dalam gemerlap dunia, tanpa harus meninggalkan peran penting dalam kehidupan. Dalam Islam, seseorang bisa menjadi ilmuwan, pebisnis sukses, pejabat tinggi, bahkan orang terkaya sekalipun—selama hatinya tidak bergantung pada dunia, itulah zuhud.
Zuhud berasal dari bahasa Arab “zuhd”, yang berarti menjauhkan diri atau tidak tertarik pada sesuatu. Dalam konteks agama, ia berarti tidak mencintai dunia secara berlebihan dan lebih mementingkan akhirat. Tapi penting dipahami, zuhud tidak identik dengan miskin atau tidak memiliki harta. Seseorang boleh memiliki kekayaan, namun jika hatinya tidak terikat padanya dan ia mampu menggunakan kekayaannya untuk kebaikan, maka ia tetap dikatakan zuhud.
Contoh paling nyata dari hal ini adalah sahabat Nabi Muhammad SAW, seperti Abdurrahman bin Auf. Ia adalah salah satu sahabat paling kaya, namun tetap zuhud. Kekayaannya tidak membuatnya sombong atau lalai. Ia bahkan lebih sibuk mencari akhirat, dengan membelanjakan hartanya untuk membela Islam. Begitu pula Utsman bin Affan, yang dalam kekayaannya tetap rendah hati dan dermawan. Keduanya adalah bukti nyata bahwa zuhud dan kemajuan bukan hal yang bertentangan.
Zuhud justru menjadi fondasi kuat bagi seseorang untuk tetap stabil di tengah kemajuan. Ketika dunia menawarkan kenyamanan, teknologi, kemewahan, dan kemudahan, zuhud hadir sebagai rem yang menjaga keseimbangan. Ia mengajarkan bahwa kita boleh memanfaatkan dunia, tapi jangan sampai diperbudak oleh dunia. Inilah yang menjadi pembeda antara orang yang cerdas secara spiritual dan yang hanya sibuk mengejar dunia tanpa arah.
Saat ini, dunia tengah melaju dengan cepat. Teknologi informasi, ekonomi digital, kendaraan canggih, dan gaya hidup mewah mudah ditemui. Dalam konteks ini, zuhud mengajak kita untuk tetap berpijak. Memiliki smartphone terbaru boleh saja, tapi jangan sampai ia menjadi pusat hidup kita. Memakai mobil mewah tidak dilarang, asalkan tidak menjadikan kita arogan dan merasa lebih baik dari yang lain. Memiliki rumah megah bukan kesalahan, selama kita tidak menjadikannya sumber kesombongan atau lalai dari ibadah.
Zuhud juga mengajarkan sikap efisien dan fokus. Orang yang zuhud tahu mana yang penting dan mana yang hanya keinginan sesaat. Di era konsumtif seperti sekarang, zuhud mengajari kita untuk tidak tergoda oleh gaya hidup boros. Ia mendorong kita hidup dengan kesadaran, bukan sekadar mengikuti tren atau tuntutan sosial.
Lebih jauh lagi, zuhud memperkuat integritas diri. Ketika seseorang mampu menahan diri dari mencintai dunia secara berlebihan, ia menjadi lebih jujur, tidak mudah tergoda oleh suap, dan tidak korup. Inilah yang dibutuhkan bangsa ini: pemimpin dan generasi yang tidak gila hormat, gila harta, dan gila pujian. Semua itu hanya bisa dicapai dengan sikap zuhud yang tertanam dalam hati.
Zuhud juga sangat relevan bagi dunia kerja dan bisnis. Dalam dunia yang kompetitif, banyak orang menghalalkan segala cara demi mendapatkan hasil. Tapi orang yang zuhud tetap menjunjung kejujuran, keadilan, dan keberkahan. Ia tidak tergiur oleh keuntungan sesaat yang bisa mengorbankan nilai-nilai Islam. Bahkan dalam meraih kemajuan, orang yang zuhud tetap menjaga akhlaknya, karena ia tahu bahwa dunia hanyalah sarana menuju Allah.
Dalam kehidupan sosial pun, zuhud menciptakan harmoni. Ia membuat seseorang rendah hati, tidak iri dengan keberhasilan orang lain, dan tidak membanggakan apa yang dimilikinya. Zuhud menyuburkan rasa syukur, bukan keluhan. Ia juga menjauhkan kita dari stres akibat tekanan hidup yang disebabkan oleh tuntutan gaya hidup. Hati yang zuhud cenderung tenang, tidak mudah baper, dan selalu fokus pada hal yang lebih besar: ridha Allah.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menghidupkan kembali nilai zuhud di tengah masyarakat modern. Ini bukan berarti menolak kemajuan, tapi memberi ruh pada kemajuan itu sendiri. Apa artinya teknologi canggih jika hanya membuat manusia makin tamak? Apa artinya kekayaan berlimpah jika hanya menciptakan ketimpangan dan kesombongan?
Zuhud adalah seni hidup dengan cerdas. Ia tidak memusuhi dunia, tapi juga tidak memujanya. Ia menempatkan dunia sebagai titipan, bukan tujuan. Dengan zuhud, kita bisa tetap maju dalam karier, bisnis, teknologi, dan pendidikan, tanpa kehilangan nilai-nilai spiritual dan moral yang menjadi akar kehidupan.
Maka, mari jadikan zuhud sebagai prinsip dalam menghadapi dunia modern. Bukan untuk menjauhi kemajuan, tapi untuk mengarahkannya ke jalan yang lebih bermakna. Karena pada akhirnya, bukan banyaknya harta atau tingginya jabatan yang menentukan nilai hidup kita, melainkan seberapa tulus kita dalam mengelola semua itu untuk mendekat kepada-Nya.
Ruang Sujud
BKPRMI Imbau Pemerintah Kirim Pasukan Perdamaian ke Palestina
Published
1 day agoon
09/04/2025
Monitorday.com – Zionis Israel kembali mengkhianati kesepakatan gencatan senjata dan melancarkan serangan brutal terhadap Palestina.
Serangan yang berubah menjadi genosida ini terus berlangsung meski ada seruan gencatan senjata dari Dewan Keamanan PBB dan Mahkamah Internasional.
Target serangan mencakup sekolah, rumah sakit, tempat pengungsian, dapur umum, dan zona aman yang justru ditetapkan oleh Israel sendiri.
Akibatnya, ribuan warga Palestina menjadi korban jiwa, luka-luka, mengungsi, serta kehilangan tempat tinggal dan akses dasar kehidupan.
Sejak Oktober 2023, serangan Israel telah menewaskan lebih dari 50.000 warga Palestina dan melukai lebih dari 115.000 orang.
Mayoritas korban adalah perempuan dan anak-anak, menjadikan serangan ini sebagai pelanggaran HAM dan tindakan genosida.
Ketua BKPRMI, Nanang Mubarok, menegaskan bahwa penjajahan bertentangan dengan amanat konstitusi Indonesia.
Ia juga merujuk pada fatwa MUI Tahun 2023 tentang kewajiban mendukung perjuangan rakyat Palestina.
BKPRMI mengecam keras Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Israel Katz atas serangan brutal mereka.
Mereka menyerukan penghentian genosida dan semua bentuk kontak senjata yang dilakukan oleh militer Israel.
BKPRMI juga mengecam dukungan tak bersyarat Presiden AS Donald Trump terhadap agresi Israel.
Amerika diminta menghentikan dukungan terhadap serangan militer dan mendorong solusi damai serta bantuan kemanusiaan.
BKPRMI mendesak pemerintah Indonesia di bawah Presiden Prabowo untuk aktif mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina.
Langkah yang diharapkan termasuk diplomasi di PBB, konsolidasi pimpinan negara Islam, dan pengiriman pasukan penjaga perdamaian.
Selain itu, pemerintah diminta menyalurkan bantuan kemanusiaan secara langsung ke Gaza.
BKPRMI juga mengajak seluruh anggotanya dan umat Islam Indonesia untuk melakukan penyadaran publik tentang krisis kemanusiaan di Palestina.
Mereka menyerukan gerakan donasi serta menghindari penggunaan produk yang terafiliasi dengan Israel.
Umat Islam juga diajak untuk mendoakan rakyat Palestina lewat qunut nazilah dan shalat ghaib bagi para syuhada.
Ruang Sujud
Menjadi Kaya Tanpa Terikat: Seni Zuhud di Era Modern
Published
2 days agoon
09/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Di zaman serba cepat dan penuh kompetisi ini, kekayaan seringkali dianggap sebagai simbol kesuksesan dan tujuan akhir dari perjuangan hidup. Banyak orang berlomba-lomba mengejar harta, jabatan, dan pengaruh, bahkan tak sedikit yang rela mengorbankan waktu, keluarga, dan nilai-nilai spiritual demi mencapainya. Namun, Islam mengajarkan satu prinsip penting yang menjadi penyeimbang dalam kehidupan duniawi: zuhud.
Zuhud sering disalahpahami sebagai sikap menjauhi dunia sepenuhnya, hidup miskin, dan menolak segala bentuk kemewahan. Padahal, makna sebenarnya jauh lebih dalam dan relevan bagi kehidupan modern. Zuhud adalah seni menjaga hati agar tidak terikat pada dunia, meski tangan menggenggamnya. Seseorang boleh kaya, sukses, dan berpengaruh, selama hatinya tidak bergantung pada semua itu.
Konsep zuhud bukan ajakan untuk menolak kekayaan, melainkan untuk tidak diperbudak olehnya. Dalam Islam, kekayaan bukanlah hal yang hina atau harus dijauhi. Bahkan, banyak sahabat Nabi Muhammad SAW yang kaya raya, seperti Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, dan Zubair bin Awwam. Mereka adalah teladan bagaimana seseorang bisa menjadi kaya secara materi, tapi tetap zuhud dalam hati.
Zuhud adalah tentang kebebasan batin. Orang yang zuhud adalah orang yang tidak gelisah ketika kehilangan, dan tidak sombong ketika mendapat banyak. Ia tahu bahwa semua yang dimiliki adalah titipan dari Allah, bukan milik sejati. Inilah seni hidup yang mulia: memiliki tanpa dimiliki.
Di era modern, kita hidup dalam masyarakat yang mendorong konsumerisme dan materialisme. Gaya hidup mewah, kemudahan kredit, iklan-iklan glamor, dan tekanan sosial membuat banyak orang merasa harus selalu lebih—lebih kaya, lebih sukses, lebih terkenal. Di sinilah zuhud menjadi sangat penting: sebagai perisai agar kita tidak larut dalam hasrat yang tak berujung.
Seni zuhud di zaman sekarang bisa diterapkan dengan cara sederhana namun kuat. Pertama, mengelola keinginan. Orang yang zuhud tidak membiarkan keinginannya mengendalikan hidup. Ia tahu mana kebutuhan, mana keinginan, dan mana hawa nafsu. Ia bisa menahan diri dari membeli sesuatu hanya karena ingin terlihat keren atau mengikuti tren.
Kedua, menggunakan harta untuk kebaikan. Zuhud bukan berarti menimbun kekayaan, tapi membagikannya untuk maslahat yang lebih luas. Sedekah, wakaf, membantu usaha kecil, membiayai pendidikan anak yatim—semua itu adalah bentuk konkret dari kekayaan yang bernilai akhirat.
Ketiga, tetap sederhana meski mampu. Kesederhanaan adalah cermin dari zuhud. Tidak harus hidup susah, tapi juga tidak harus memamerkan apa yang dimiliki. Orang zuhud merasa cukup dengan yang ada, walau punya lebih. Ia tidak merasa perlu menunjukkan kekayaan demi pengakuan sosial.
Keempat, memiliki visi akhirat di tengah kehidupan dunia. Zuhud membuat seseorang fokus pada tujuan sejati hidup: bertemu Allah dengan hati yang bersih. Dunia adalah jalan, bukan tujuan. Maka, karier, bisnis, dan pendidikan semua dijalani dengan niat untuk ibadah dan kontribusi, bukan sekadar mengejar gengsi atau kesenangan pribadi.
Menjadi kaya tanpa terikat adalah kebebasan sejati. Banyak orang terlihat sukses di luar, tapi sesungguhnya terpenjara oleh ambisi dan ketakutan kehilangan. Sementara orang yang zuhud, meski hartanya banyak, tetap tenang, ikhlas, dan bahagia karena hatinya tidak bergantung pada harta.
Salah satu nasihat bijak dari Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Zuhud bukan berarti engkau tidak memiliki apa-apa, tapi zuhud adalah ketika dunia tidak menguasai hatimu.” Ini membuktikan bahwa zuhud adalah kondisi hati, bukan soal isi dompet.
Bahkan Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Berzuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah mencintaimu. Dan berzuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia, niscaya manusia mencintaimu.” (HR. Ibnu Majah)
Hadis ini menunjukkan bahwa zuhud tidak hanya mendekatkan kita kepada Allah, tapi juga kepada sesama. Orang yang zuhud tidak memperebutkan dunia, tidak iri, dan tidak rakus. Ia hadir sebagai pribadi yang damai, ringan, dan tulus dalam berinteraksi dengan orang lain.
Zuhud juga membawa dampak sosial yang besar. Jika banyak orang menerapkan zuhud, maka akan lahir masyarakat yang lebih adil, tidak serakah, dan peduli satu sama lain. Ketimpangan sosial bisa ditekan, karena kekayaan tidak hanya dimiliki segelintir orang. Korupsi pun bisa ditekan, karena orang tidak tergila-gila pada harta dan kekuasaan.
Seni zuhud bukanlah sikap anti-kemajuan, tapi justru sarana untuk menjadikan kemajuan itu lebih manusiawi dan bermakna. Dunia bukan untuk dijauhi, tapi untuk dikelola dengan bijak. Dan zuhud adalah kunci agar kita tidak tersesat di dalamnya.
Jadi, tidak perlu memilih antara menjadi kaya atau zuhud. Keduanya bisa berjalan bersama. Jadilah seperti sahabat-sahabat Rasulullah yang kaya raya namun hatinya tetap terikat pada akhirat. Karena pada akhirnya, bukan seberapa banyak yang kita miliki yang menentukan kemuliaan hidup, tapi seberapa lapang hati kita dalam mengelolanya.
Ruang Sujud
Menjadi Kaya Tanpa Terikat: Seni Zuhud di Era Modern
Published
2 days agoon
08/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Di zaman serba cepat dan penuh kompetisi ini, kekayaan seringkali dianggap sebagai simbol kesuksesan dan tujuan akhir dari perjuangan hidup. Banyak orang berlomba-lomba mengejar harta, jabatan, dan pengaruh, bahkan tak sedikit yang rela mengorbankan waktu, keluarga, dan nilai-nilai spiritual demi mencapainya. Namun, Islam mengajarkan satu prinsip penting yang menjadi penyeimbang dalam kehidupan duniawi: zuhud.
Zuhud sering disalahpahami sebagai sikap menjauhi dunia sepenuhnya, hidup miskin, dan menolak segala bentuk kemewahan. Padahal, makna sebenarnya jauh lebih dalam dan relevan bagi kehidupan modern. Zuhud adalah seni menjaga hati agar tidak terikat pada dunia, meski tangan menggenggamnya. Seseorang boleh kaya, sukses, dan berpengaruh, selama hatinya tidak bergantung pada semua itu.
Konsep zuhud bukan ajakan untuk menolak kekayaan, melainkan untuk tidak diperbudak olehnya. Dalam Islam, kekayaan bukanlah hal yang hina atau harus dijauhi. Bahkan, banyak sahabat Nabi Muhammad SAW yang kaya raya, seperti Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, dan Zubair bin Awwam. Mereka adalah teladan bagaimana seseorang bisa menjadi kaya secara materi, tapi tetap zuhud dalam hati.
Zuhud adalah tentang kebebasan batin. Orang yang zuhud adalah orang yang tidak gelisah ketika kehilangan, dan tidak sombong ketika mendapat banyak. Ia tahu bahwa semua yang dimiliki adalah titipan dari Allah, bukan milik sejati. Inilah seni hidup yang mulia: memiliki tanpa dimiliki.
Di era modern, kita hidup dalam masyarakat yang mendorong konsumerisme dan materialisme. Gaya hidup mewah, kemudahan kredit, iklan-iklan glamor, dan tekanan sosial membuat banyak orang merasa harus selalu lebih—lebih kaya, lebih sukses, lebih terkenal. Di sinilah zuhud menjadi sangat penting: sebagai perisai agar kita tidak larut dalam hasrat yang tak berujung.
Seni zuhud di zaman sekarang bisa diterapkan dengan cara sederhana namun kuat. Pertama, mengelola keinginan. Orang yang zuhud tidak membiarkan keinginannya mengendalikan hidup. Ia tahu mana kebutuhan, mana keinginan, dan mana hawa nafsu. Ia bisa menahan diri dari membeli sesuatu hanya karena ingin terlihat keren atau mengikuti tren.
Kedua, menggunakan harta untuk kebaikan. Zuhud bukan berarti menimbun kekayaan, tapi membagikannya untuk maslahat yang lebih luas. Sedekah, wakaf, membantu usaha kecil, membiayai pendidikan anak yatim—semua itu adalah bentuk konkret dari kekayaan yang bernilai akhirat.
Ketiga, tetap sederhana meski mampu. Kesederhanaan adalah cermin dari zuhud. Tidak harus hidup susah, tapi juga tidak harus memamerkan apa yang dimiliki. Orang zuhud merasa cukup dengan yang ada, walau punya lebih. Ia tidak merasa perlu menunjukkan kekayaan demi pengakuan sosial.
Keempat, memiliki visi akhirat di tengah kehidupan dunia. Zuhud membuat seseorang fokus pada tujuan sejati hidup: bertemu Allah dengan hati yang bersih. Dunia adalah jalan, bukan tujuan. Maka, karier, bisnis, dan pendidikan semua dijalani dengan niat untuk ibadah dan kontribusi, bukan sekadar mengejar gengsi atau kesenangan pribadi.
Menjadi kaya tanpa terikat adalah kebebasan sejati. Banyak orang terlihat sukses di luar, tapi sesungguhnya terpenjara oleh ambisi dan ketakutan kehilangan. Sementara orang yang zuhud, meski hartanya banyak, tetap tenang, ikhlas, dan bahagia karena hatinya tidak bergantung pada harta.
Salah satu nasihat bijak dari Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Zuhud bukan berarti engkau tidak memiliki apa-apa, tapi zuhud adalah ketika dunia tidak menguasai hatimu.” Ini membuktikan bahwa zuhud adalah kondisi hati, bukan soal isi dompet.
Bahkan Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Berzuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah mencintaimu. Dan berzuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia, niscaya manusia mencintaimu.” (HR. Ibnu Majah)
Hadis ini menunjukkan bahwa zuhud tidak hanya mendekatkan kita kepada Allah, tapi juga kepada sesama. Orang yang zuhud tidak memperebutkan dunia, tidak iri, dan tidak rakus. Ia hadir sebagai pribadi yang damai, ringan, dan tulus dalam berinteraksi dengan orang lain.
Zuhud juga membawa dampak sosial yang besar. Jika banyak orang menerapkan zuhud, maka akan lahir masyarakat yang lebih adil, tidak serakah, dan peduli satu sama lain. Ketimpangan sosial bisa ditekan, karena kekayaan tidak hanya dimiliki segelintir orang. Korupsi pun bisa ditekan, karena orang tidak tergila-gila pada harta dan kekuasaan.
Seni zuhud bukanlah sikap anti-kemajuan, tapi justru sarana untuk menjadikan kemajuan itu lebih manusiawi dan bermakna. Dunia bukan untuk dijauhi, tapi untuk dikelola dengan bijak. Dan zuhud adalah kunci agar kita tidak tersesat di dalamnya.
Jadi, tidak perlu memilih antara menjadi kaya atau zuhud. Keduanya bisa berjalan bersama. Jadilah seperti sahabat-sahabat Rasulullah yang kaya raya namun hatinya tetap terikat pada akhirat. Karena pada akhirnya, bukan seberapa banyak yang kita miliki yang menentukan kemuliaan hidup, tapi seberapa lapang hati kita dalam mengelolanya.
Ruang Sujud
Zuhud Bukan Anti-Kemajuan: Menggali Hikmah di Tengah Kemewahan Dunia
Published
2 days agoon
08/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Ketika mendengar kata “zuhud”, sebagian orang mungkin langsung membayangkan seseorang yang menjauh dari dunia, hidup di tempat terpencil, berpakaian sederhana, dan tak punya harta. Bahkan, ada yang menganggap zuhud sebagai sikap yang tidak sesuai lagi dengan kehidupan zaman sekarang yang maju, modern, dan serba cepat. Namun benarkah demikian?
Zuhud bukan berarti menolak kemajuan. Ia juga bukan tanda kemunduran. Justru, zuhud adalah ajaran Islam yang memberi arah agar kita tidak tenggelam dalam gemerlap dunia, tanpa harus meninggalkan peran penting dalam kehidupan. Dalam Islam, seseorang bisa menjadi ilmuwan, pebisnis sukses, pejabat tinggi, bahkan orang terkaya sekalipun—selama hatinya tidak bergantung pada dunia, itulah zuhud.
Zuhud berasal dari bahasa Arab “zuhd”, yang berarti menjauhkan diri atau tidak tertarik pada sesuatu. Dalam konteks agama, ia berarti tidak mencintai dunia secara berlebihan dan lebih mementingkan akhirat. Tapi penting dipahami, zuhud tidak identik dengan miskin atau tidak memiliki harta. Seseorang boleh memiliki kekayaan, namun jika hatinya tidak terikat padanya dan ia mampu menggunakan kekayaannya untuk kebaikan, maka ia tetap dikatakan zuhud.
Contoh paling nyata dari hal ini adalah sahabat Nabi Muhammad SAW, seperti Abdurrahman bin Auf. Ia adalah salah satu sahabat paling kaya, namun tetap zuhud. Kekayaannya tidak membuatnya sombong atau lalai. Ia bahkan lebih sibuk mencari akhirat, dengan membelanjakan hartanya untuk membela Islam. Begitu pula Utsman bin Affan, yang dalam kekayaannya tetap rendah hati dan dermawan. Keduanya adalah bukti nyata bahwa zuhud dan kemajuan bukan hal yang bertentangan.
Zuhud justru menjadi fondasi kuat bagi seseorang untuk tetap stabil di tengah kemajuan. Ketika dunia menawarkan kenyamanan, teknologi, kemewahan, dan kemudahan, zuhud hadir sebagai rem yang menjaga keseimbangan. Ia mengajarkan bahwa kita boleh memanfaatkan dunia, tapi jangan sampai diperbudak oleh dunia. Inilah yang menjadi pembeda antara orang yang cerdas secara spiritual dan yang hanya sibuk mengejar dunia tanpa arah.
Saat ini, dunia tengah melaju dengan cepat. Teknologi informasi, ekonomi digital, kendaraan canggih, dan gaya hidup mewah mudah ditemui. Dalam konteks ini, zuhud mengajak kita untuk tetap berpijak. Memiliki smartphone terbaru boleh saja, tapi jangan sampai ia menjadi pusat hidup kita. Memakai mobil mewah tidak dilarang, asalkan tidak menjadikan kita arogan dan merasa lebih baik dari yang lain. Memiliki rumah megah bukan kesalahan, selama kita tidak menjadikannya sumber kesombongan atau lalai dari ibadah.
Zuhud juga mengajarkan sikap efisien dan fokus. Orang yang zuhud tahu mana yang penting dan mana yang hanya keinginan sesaat. Di era konsumtif seperti sekarang, zuhud mengajari kita untuk tidak tergoda oleh gaya hidup boros. Ia mendorong kita hidup dengan kesadaran, bukan sekadar mengikuti tren atau tuntutan sosial.
Lebih jauh lagi, zuhud memperkuat integritas diri. Ketika seseorang mampu menahan diri dari mencintai dunia secara berlebihan, ia menjadi lebih jujur, tidak mudah tergoda oleh suap, dan tidak korup. Inilah yang dibutuhkan bangsa ini: pemimpin dan generasi yang tidak gila hormat, gila harta, dan gila pujian. Semua itu hanya bisa dicapai dengan sikap zuhud yang tertanam dalam hati.
Zuhud juga sangat relevan bagi dunia kerja dan bisnis. Dalam dunia yang kompetitif, banyak orang menghalalkan segala cara demi mendapatkan hasil. Tapi orang yang zuhud tetap menjunjung kejujuran, keadilan, dan keberkahan. Ia tidak tergiur oleh keuntungan sesaat yang bisa mengorbankan nilai-nilai Islam. Bahkan dalam meraih kemajuan, orang yang zuhud tetap menjaga akhlaknya, karena ia tahu bahwa dunia hanyalah sarana menuju Allah.
Dalam kehidupan sosial pun, zuhud menciptakan harmoni. Ia membuat seseorang rendah hati, tidak iri dengan keberhasilan orang lain, dan tidak membanggakan apa yang dimilikinya. Zuhud menyuburkan rasa syukur, bukan keluhan. Ia juga menjauhkan kita dari stres akibat tekanan hidup yang disebabkan oleh tuntutan gaya hidup. Hati yang zuhud cenderung tenang, tidak mudah baper, dan selalu fokus pada hal yang lebih besar: ridha Allah.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menghidupkan kembali nilai zuhud di tengah masyarakat modern. Ini bukan berarti menolak kemajuan, tapi memberi ruh pada kemajuan itu sendiri. Apa artinya teknologi canggih jika hanya membuat manusia makin tamak? Apa artinya kekayaan berlimpah jika hanya menciptakan ketimpangan dan kesombongan?
Zuhud adalah seni hidup dengan cerdas. Ia tidak memusuhi dunia, tapi juga tidak memujanya. Ia menempatkan dunia sebagai titipan, bukan tujuan. Dengan zuhud, kita bisa tetap maju dalam karier, bisnis, teknologi, dan pendidikan, tanpa kehilangan nilai-nilai spiritual dan moral yang menjadi akar kehidupan.
Maka, mari jadikan zuhud sebagai prinsip dalam menghadapi dunia modern. Bukan untuk menjauhi kemajuan, tapi untuk mengarahkannya ke jalan yang lebih bermakna. Karena pada akhirnya, bukan banyaknya harta atau tingginya jabatan yang menentukan nilai hidup kita, melainkan seberapa tulus kita dalam mengelola semua itu untuk mendekat kepada-Nya.
Monitor Saham BUMN

Jaga Kedaulatan Laut, KKP Tambah Armada

Mengapa Adab Berdiskusi Penting? Ini Penjelasan Lengkapnya

Adab Berdiskusi: Kunci Membangun Komunikasi yang Sehat

Halal Bihalal UNJ, Tekad Baru Menuju Kampus Kelas Dunia

Rhenald Kasali Bicara Tarif Resiprokal Trump, Dorong Reformasi Regulasi

Tarif Membara: Trump Naikkan ke 125%

Antusiasme Tinggi Dispora dan Mahasiswa Sambut Prabowo di Turki

Ngeri! 23 Laga Beruntun Tanpa Kalah di Semua Ajang, Kans Barcelona Sabet 4 Gelar

Catat! Jadwal Wakil Indonesia di 16 Besar Kejuaraan Asia 2025 Hari Ini, Ada Jonatan

Kontra Borneo FC, Bojan Hodak: Ujian Berat untuk Persib Bandung

Menanamkan Adab Berdiskusi Sejak Dini pada Anak dan Remaja

Bertemu MBZ, Prabowo Sepakati 8 MoU dan LoI

Megawati dan Bukilic Tinggalkan Red Sparks Musim Depan, Lha Kok Kenapa?

IKADI Desak Pemerintah RI Tegas Kecam Serangan Israel ke Gaza

Zuhud di Era Digital: Menjadi Hamba yang Merdeka dari Dunia

Pemerintah RI Didesak Larang Masuk Warga dengan Paspor Ganda Israel

Rahasia Ketenangan Hati: Menyelami Makna Zuhud dalam Kehidupan Sehari-hari

Ketum PP. Muhammadiyah Dorong Perguruan Tinggi Tingkatkan Kualitas Pendidikan

Zuhud Bukan Anti-Kemajuan: Menggali Hikmah di Tengah Kemewahan Dunia
