Kita seringkali terjebak dalam pandangan bahwa kebahagiaan dapat diukur oleh seberapa besar GNP (Gross National Product) sebuah negara. Namun, pada bulan September 2012, PBB merilis sesuatu yang mereka sebut sebagai “Laporan Kebahagiaan Dunia,” yang mengubah pandangan kita tentang kebahagiaan. Laporan tersebut memperlihatkan hubungan antara tingkat kemakmuran suatu negara dengan tingkat kebahagiaan penduduknya, dan hasilnya cukup menggelitik.
Menurut data ini, negara-negara Skandinavia masih mendominasi daftar negara yang paling bahagia di dunia. Namun, perhatian kita tertuju pada temuan yang lebih mencengangkan. Sebuah penelitian sebelumnya oleh para profesor di LSE (London School of Economics) pada tahun 2005 menempatkan Bangladesh sebagai negara paling bahagia di dunia! (dilansir oleh www.satuharapan.com)
Tentu saja, hal ini sulit dipercaya mengingat citra Bangladesh yang sering dikaitkan dengan kemiskinan dan bencana alam. Meskipun kita tidak memiliki akses ke detail-indikator yang digunakan dalam penelitian PBB dan LSE ini, setidaknya laporan ini memberikan sinyal bahwa kebahagiaan tidak selalu beriringan dengan tingkat kepemilikan materi.
Bahkan Amerika Serikat, yang merupakan negara besar dan memiliki pengaruh global yang signifikan, hanya menempati peringkat ke-11 dalam Laporan Kebahagiaan Dunia PBB. Bahkan LSE menempatkan negara mereka sendiri, Inggris, pada peringkat ke-32.
Kebahagiaan tidak dapat diukur dengan variabel dunia, melainkan dalam pemahaman akan makna kehidupan.
Jika kita mengukur kebahagiaan dengan standar kekayaan, maka orang-orang miskin akan terusir dari bahagia. Jika kita mengukurnya dengan jabatan atau kekuasaan, maka rakyat biasa tidak akan pernah merasakan kebahagiaan itu. Tetapi, jika kita meletakkan kebahagiaan dalam hal-hal duniawi semata, maka hanya segelintir orang yang akan merasakannya. Namun, tidaklah demikian.
Kebahagiaan sejati dapat ditemukan dalam kedalaman pemahaman kita akan makna kehidupan. Artinya, setiap orang memiliki hak untuk mencari dan meraih kebahagiaannya masing-masing, baik mereka kaya maupun miskin, pejabat atau rakyat biasa, raja atau rakyat jelata.
“Allah meluaskan rezeki dan membatasinya bagi siapa yang Dia kehendaki. Mereka bersukacita dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia ini, jika dibandingkan dengan kehidupan akhirat, hanya merupakan kenikmatan yang sedikit.” (Al-Rum: 26)
Jadi, mari mencari makna dalam kehidupan ini, sesuai dengan kemampuan kita. Tidak perlu menjadi terlalu serakah, tidak perlu memaksakan diri, tidak perlu saling menjatuhkan satu sama lain. Semuanya ini hanyalah sementara. Anak-anak kita hanyalah titipan, pangkat dan kedudukan kita hanya sesaat dalam dunia ini.
Mari berhenti bersedih, karena dunia ini hanyalah sementara dan fana. Mari mulai menjalani kehidupan yang bahagia dengan memahami makna sejati dari kehidupan itu sendiri. Dari mana kita datang? Di mana kita berada? Dan kemana kita akan pergi? Semoga Allah Subhanallahu Wata’ala memberikan izin kepada kita untuk masuk ke dalam surga-Nya. Wallahu Alam.