News
Prabowo Nilai Bahlil Lebih Tepat Jadi Menteri Desa Tertinggal, Telaah Sastra
Published
5 hours agoon
By
Natsir AmirMonitorday.com – Presiden Prabowo Subianto mengaku sempat merasa aneh saat Presiden ke-7 Joko Widodo memilih Bahlil Lahadalia menjadi Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Kabinet Indonesia Maju. Prabowo bahkan sempat bertanya asal kampus Bahlil.
Pengakuan itu disampaikan oleh Prabowo Subianto saat memberikan sambutan di perayaan HUT ke-60 Partai Golkar di Sentul, Bogor, Kamis (12/12/2024) malam. Prabowo mengaku terkesan oleh Bahlil meskipun belum lama mengenalnya.
“Walaupun kenalnya belum lama, tapi saya harus akui saya terkesan sama saudara Bahlil, terkesan, benar. Beliau saya lihat gerak-geriknya, pemikirannya, ucapan-ucapannya, pandangan-pandangannya cukup meyakinkan. Benar, serius ini, serius,” kata Prabowo dalam sambutannya.
Prabowo kemudian menceritakan momen dirinya merasa aneh karena Bahlil ditunjuk Presiden Jokowi menjadi Menteri Investasi. Padahal, kata dia, biasanya seorang Menteri Investasi almamaternya kampus besar di dunia, seperti Harvard dan Oxford.
“Waktu saya gabung dengan Pak Jokowi di Kabinet Indonesia Maju, saya agak aneh juga beliau dipilih jadi Menteri Investasi. Biasanya, Menteri Investasi itu lulusan universitas di Amerika, iya kan? Harvard University atau Stanford atau Brooklyn. Kalau nggak Amerika, minimal Inggris-lah. Oxford University, Cambridge University, atau Sorbonne,” ucapnya.
“Aneh ini, kenapa Pak Jokowi milih Pak Bahlil menteri investasi, apalagi beliau dari Papua kan? Biasanya jabatannya Menteri Pembangunan Desa Tertinggal, gitu-gitu, tapi beliau pilih menteri investasi,” tambahnya.
Prabowo kemudian mencoba bertanya kepada Bahlil soal almamater kampusnya. Ia juga berkelakar apakah Bahlil fasih berbahasa Inggris untuk berbicara dengan calon investor.
“Waktu saya ketemu saya tanya, Pak Bahlil, Anda, pelan-pelan saya nanyanya, nggak enak, takut tersinggung, Pak Bahlil, Anda lulus dari universitas mana? Pak universitas saya nggak ada di Google, katanya. Abis itu, Anda kalau ketemu investor-investor asing gimana? Saya nggak mau nanya, Anda Bahasa Inggrisnya bagus enggak,” ucap Prabowo yang disambut gelak tawa.
Menjawab pertanyaan Prabowo, Bahlil menyebut bahasa tak menjadi masalah. Bahlil, kata Prabowo, kemudian membandingkan kemampuan berbahasa Inggris dengan investor maupun pejabat negara lain. Saat itulah Prabowo menilai sosok Bahlil sebagai orang yang cerdas.
Telaah Sastra
Pernyataan Presiden Prabowo yang menyebut Bahlil Lahadalia, lebih tepat jika menjabat sebagai Menteri Desa Tertinggal menciptakan ruang untuk perenungan lebih dalam tentang hubungan antara jabatan, kapasitas individu, dan persepsi publik dalam konteks pemerintahan. Frasa tersebut tidak hanya menyentuh perihal pemilihan kabinet, tetapi juga menyingkap bagaimana politik dalam negeri seringkali melibatkan kekuatan opini dan pandangan subjektif terhadap seseorang, bahkan lebih jauh, terhadap kebijakan yang dijalankannya.
Dalam sentuhan sastra, kita bisa membayangkan pernyataan ini sebagai sebuah “Narasi Menggelitik”, yang memicu banyak tafsiran.
Kita mestinya melihat pernyataan tersebut dengan lapisan makna yang bisa diurai secara mendalam. Ada pesan yang bisa diambil mengenai pandangan Prabowo terhadap kekuatan individual yang melampaui label sosial, pendidikan, atau asal-usul geografis. Ketika Prabowo mengatakan bahwa seorang Menteri Investasi seharusnya berasal dari universitas ternama seperti Oxford University, Cambridge University, atau Sorbonne, ia secara tidak langsung menyentuh fenomena globalisasi pendidikan tinggi yang mengagungkan gelar dari institusi-institusi elit.
Namun, dengan mengangkat Bahlil sebagai contoh, ia justru mengkritik anggapan tersebut dan menegaskan bahwa kapasitas sejati tidak selalu terukur dari tempat seseorang menimba ilmu.
Bahlil, yang lahir dan besar di Papua, dan lulus dari kampus swasta yang tidak ternama, menjadi simbol dari perjuangan dan ketekunan. Dalam konteks ini, Bahlil bukan hanya representasi dari individu yang sukses melawan keterbatasan, tetapi juga gambaran dari suatu realitas sosial yang lebih besar: bahwa akses terhadap pendidikan berkualitas tidak selalu merata.
Prabowo dengan tegas menegaskan bahwa meski Bahlil tidak memiliki latar belakang pendidikan dari universitas terkenal, ia memiliki kapasitas luar biasa yang seringkali lebih dihargai dalam dunia politik dan pemerintahan ketimbang sekadar gelar akademik.
Pernyataan ini juga mencerminkan kritik terhadap dominasi sistem pendidikan elit yang kerap menganggap bahwa pendidikan tinggi adalah satu-satunya jalan menuju kesuksesan. Prabowo, dengan gaya bicaranya yang bernuansa humoris, tidak hanya ingin menunjukkan bahwa pendidikan dari universitas ternama bukanlah jaminan seseorang akan menjadi pemimpin yang efektif.
Dalam suatu dunia yang semakin terhubung, kemampuan untuk mengelola masalah nyata, seperti sumber daya alam di Indonesia, membutuhkan pengalaman praktis dan kemampuan manajerial, bukan hanya teori yang diajarkan di kampus-kampus ternama.
Lebih lanjut, ada kritik sosial yang dapat diinterpretasikan dari cara Prabowo menggambarkan Bahlil sebagai “anak desa.” Dengan memposisikan Bahlil yang berasal dari latar belakang sederhana, ia mengingatkan kita akan kesenjangan sosial dan ekonomi yang masih ada di Indonesia.
Bahlil, yang berhasil melampaui rintangan-rintangan tersebut, membuktikan bahwa ketekunan dan integritas lebih penting dari sekadar asal-usul atau label sosial. Ini adalah refleksi dari pandangan sosial Prabowo tentang pentingnya pemberdayaan daerah-daerah terpencil dan bagaimana mereka bisa memberi kontribusi besar bagi kemajuan negara.
Secara keseluruhan, candaan Presiden Prabowo terhadap Bahlil bisa dipandang sebagai sebuah pernyataan yang lebih dalam mengenai bagaimana masyarakat dan negara seharusnya menilai potensi individu.
Lebih dari sekadar mengkritik sistem pendidikan tinggi yang elit, Prabowo mengajak kita untuk merenung, apakah kita telah terlalu lama terkukung dalam penilaian-penilaian sempit yang hanya mengandalkan gelar dan status?
Dalam konteks ini, Bahlil Lahadalia adalah simbol bahwa dalam dunia yang dinamis, kemampuan sejati bukanlah hasil dari tempat seseorang belajar, melainkan hasil dari bagaimana mereka berjuang dan memberikan kontribusi nyata bagi bangsa dan negara.