Connect with us

Ruang Sujud

Sekjen DMI Dukung Kritik Menag Soal Tidak Adanya Masjid di PIK

Published

on

Monitorday.com – Sekretaris Jenderal Dewan Masjid Indonesia (DMI), Imam Addaruqutni, memberikan apresiasi atas pernyataan Menteri Agama RI, Prof. Nasaruddin Umar, terkait pentingnya pengumandangan adzan di kawasan elit seperti Pantai Indah Kapuk (PIK). Imam menyebut bahwa adzan adalah seruan universal bagi umat Islam untuk melaksanakan sholat, yang seharusnya dihargai dan didukung di berbagai tempat, termasuk di kawasan elit.

Imam menekankan bahwa mengumandangkan adzan tidak hanya penting sebagai panggilan ibadah, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap umat Islam yang sedang berada atau bekerja di kawasan tersebut. Ia berharap adzan dapat dikumandangkan di PIK dan kawasan serupa untuk mengurangi eksklusivitas yang memprihatinkan.

Sebelumnya, Menteri Agama Nasaruddin Umar menyoroti minimnya masjid yang menonjol di kawasan metropolitan Jakarta, seperti Thamrin-Sudirman dan Kuningan, serta tidak adanya suara adzan di area seluas 1.000 hektare di PIK. Ia menyampaikan bahwa daerah ini perlu memiliki simbol-simbol keislaman, mengingat Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia.

Sebagai solusi, Prof. Nasaruddin Umar menjelaskan bahwa pihaknya telah berupaya membangun kompleks syariah seluas 30 hektare di PIK dan memastikan adanya mushola di tempat-tempat strategis untuk mendukung aktivitas keislaman. Ia mengajak semua pihak, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI), untuk memastikan kawasan strategis tidak kehilangan identitas keislaman yang inklusif.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ruang Sujud

Takabbur: Penyakit Hati yang Menggerogoti Jiwa Manusia

Published

on

Monitorday.com – Takabbur adalah penyakit hati yang pelan-pelan menggerogoti jiwa manusia tanpa terasa. Ia mengendap diam-diam, namun dampaknya begitu merusak, baik terhadap hubungan manusia dengan sesamanya maupun hubungannya dengan Allah. Dalam Islam, takabbur dipandang sebagai sifat tercela yang dapat menjerumuskan seseorang ke dalam kehancuran dunia dan akhirat.

Secara bahasa, takabbur berarti merasa besar atau menganggap diri lebih unggul dari yang lain. Dalam praktiknya, orang yang takabbur sering kali meremehkan orang lain, sulit menerima kritik, dan merasa dirinya paling benar. Penyakit ini bukan hanya tentang ucapan, tapi lebih dalam lagi: tentang keyakinan batin yang salah dalam memandang diri sendiri dan orang lain.

Bahaya takabbur sangat nyata dalam kehidupan sehari-hari. Ketika seseorang merasa lebih pintar, lebih kaya, lebih tampan, atau lebih baik dalam ibadah, lalu mulai memandang rendah orang lain, saat itulah benih takabbur tumbuh. Dalam dunia sosial, orang yang takabbur seringkali dijauhi karena sikapnya yang arogan dan tidak bersahabat. Dalam dunia spiritual, takabbur menjadi hijab antara manusia dan hidayah Allah.

Rasulullah SAW pernah bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun sebesar biji sawi.” (HR. Muslim). Ini adalah peringatan keras tentang betapa bahayanya kesombongan. Sekecil apa pun takabbur itu, tetap bisa menjadi penghalang besar untuk mendapatkan kenikmatan abadi di surga.

Dalam sejarah Islam, kita melihat bagaimana takabbur menghancurkan banyak tokoh besar. Fir’aun yang merasa dirinya sebagai tuhan berakhir tenggelam di Laut Merah. Iblis, makhluk yang dulu mulia, dikutuk karena kesombongannya menolak bersujud kepada Adam. Qarun yang sombong dengan hartanya ditelan bumi bersama seluruh kekayaannya. Semua ini adalah pelajaran nyata tentang betapa takabbur bisa menghancurkan bahkan makhluk yang awalnya tinggi derajatnya.

Takabbur juga menggerogoti jiwa karena ia membutakan mata hati. Seseorang yang terkena takabbur sulit mengakui kesalahan, sulit belajar dari orang lain, dan mudah tersinggung ketika diingatkan. Hatinya tertutup untuk menerima kebenaran, dan pikirannya dipenuhi oleh rasa superioritas palsu. Tanpa disadari, takabbur membuat seseorang terasing dari lingkungan, keluarga, bahkan dari pertolongan Allah.

Lebih jauh lagi, takabbur membuat manusia lupa hakikat penciptaannya. Allah menciptakan manusia dari tanah, sesuatu yang rendah, namun diberikan kehormatan dengan akal dan petunjuk. Namun ketika manusia sombong, ia seolah-olah melupakan asal-usulnya. Ia merasa seolah-olah segalanya adalah hasil jerih payahnya sendiri, padahal semua nikmat adalah karunia dari Allah.

Dalam kehidupan modern, bentuk takabbur juga banyak terlihat. Ada yang sombong dengan gelar akademik, ada yang sombong dengan popularitas, ada pula yang sombong dengan kekayaan atau jabatan. Media sosial sering menjadi ladang subur bagi takabbur berkembang, ketika seseorang sibuk memamerkan pencapaiannya tanpa niat berbagi inspirasi, melainkan untuk mendapatkan pengakuan semu.

Lantas, bagaimana cara menyembuhkan penyakit hati ini?

Pertama, perbanyak mengingat asal-usul manusia. Kita berasal dari tanah, tidak ada alasan untuk menyombongkan diri. Membaca Al-Qur’an dan hadits tentang rendahnya kedudukan manusia tanpa pertolongan Allah akan menumbuhkan kesadaran tentang kelemahan diri.

Kedua, latihlah hati untuk selalu bersyukur. Bersyukur bukan hanya atas nikmat yang besar, tapi juga atas hal-hal kecil. Dengan rasa syukur, kita menyadari bahwa semua yang kita miliki adalah pemberian, bukan semata hasil usaha pribadi. Ini akan meruntuhkan rasa ingin membanggakan diri.

Ketiga, cari lingkungan yang mengingatkan kita akan pentingnya tawadhu’ (rendah hati). Bergaul dengan orang-orang yang rendah hati akan menginspirasi kita untuk memperbaiki diri. Sebaliknya, lingkungan yang penuh dengan pamer dan gengsi hanya akan memupuk penyakit takabbur.

Keempat, biasakan diri untuk mengakui kesalahan. Tidak perlu malu untuk berkata, “Saya salah” atau “Saya belum tahu.” Ini adalah latihan kecil yang sangat efektif untuk menghancurkan ego dalam diri.

Kelima, memperbanyak doa. Salah satu doa yang indah adalah doa Rasulullah SAW: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari sifat sombong dan ujub.” Dengan doa yang tulus, kita memohon pertolongan Allah agar hati kita dibersihkan dari sifat tercela ini.

Takabbur memang penyakit yang berbahaya, tapi bukan berarti tidak bisa diobati. Dengan usaha sadar, latihan hati, dan pertolongan Allah, seseorang bisa membersihkan dirinya dari sifat ini. Hati yang bersih dari takabbur akan menjadi hati yang ringan, damai, dan penuh cinta kepada sesama.

Akhirnya, marilah kita selalu mengingat pesan Rasulullah SAW bahwa orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa, bukan yang paling kaya, paling pintar, atau paling terkenal. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang hatinya bersih dari takabbur, penuh dengan kerendahan hati, dan senantiasa dekat dengan rahmat-Nya.

Aamiin.

Continue Reading

Ruang Sujud

Bahaya Takabbur dalam Kehidupan Sehari-hari dan Cara Menghindarinya

Published

on

Monitorday.com – Takabbur, atau kesombongan, adalah salah satu penyakit hati yang sangat berbahaya dalam kehidupan manusia. Meski sering dianggap sepele, takabbur perlahan bisa merusak jiwa, hubungan sosial, hingga menghancurkan masa depan seseorang. Bahkan, dalam ajaran Islam, takabbur termasuk dosa besar yang dapat menghalangi seseorang dari surga.

Takabbur berarti merasa diri lebih baik, lebih tinggi, atau lebih mulia dibandingkan orang lain. Penyakit ini bisa timbul dari berbagai hal: harta, keturunan, jabatan, kecerdasan, hingga amal ibadah. Siapa pun bisa terjangkit, tanpa melihat usia, status, atau latar belakang.

Bahaya utama dari takabbur adalah membuat seseorang sulit menerima kebenaran. Ketika hati sudah dipenuhi kesombongan, nasihat tidak lagi masuk, kritik dianggap serangan, dan perbaikan diri menjadi sesuatu yang mustahil. Seseorang yang takabbur cenderung merasa dirinya selalu benar, sementara orang lain salah. Ini adalah jalan tercepat menuju kehancuran batin dan keterasingan sosial.

Dalam kehidupan sehari-hari, takabbur bisa muncul dalam banyak bentuk. Seorang pelajar yang meremehkan teman-temannya karena merasa lebih pintar, seorang atasan yang memperlakukan bawahannya dengan merendahkan, atau bahkan seorang relijius yang merasa dirinya lebih suci dibandingkan orang lain. Semua ini adalah bentuk-bentuk nyata dari takabbur yang merusak hubungan antarmanusia.

Tak hanya itu, takabbur juga membuat seseorang jauh dari pertolongan Allah. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat kesombongan seberat biji zarrah.” (HR. Muslim). Ini menunjukkan betapa seriusnya dampak dari sifat ini, bahkan sekecil apa pun kadar kesombongan dalam hati tetap bisa menghalangi jalan menuju rahmat Allah.

Di balik itu semua, takabbur juga membuat manusia lupa bahwa semua kelebihan yang dimiliki sejatinya adalah karunia Allah, bukan murni hasil usahanya sendiri. Harta, ilmu, kekuatan, kecantikan, semuanya adalah amanah yang harus disyukuri dan digunakan untuk kebaikan, bukan untuk membanggakan diri dan merendahkan orang lain.

Salah satu contoh nyata dari akibat takabbur adalah kisah Qarun dalam Al-Qur’an. Qarun adalah orang yang diberikan kekayaan melimpah, namun ia menjadi sombong dan berkata bahwa semua kekayaannya adalah hasil dari ilmunya sendiri. Akhirnya, Allah menenggelamkan dia bersama hartanya ke dalam bumi sebagai hukuman atas kesombongannya.

Lalu, bagaimana cara kita menghindari sifat takabbur ini dalam kehidupan sehari-hari?

Pertama, selalu ingat bahwa semua kelebihan adalah titipan dari Allah. Dengan menyadari bahwa kita hanyalah makhluk yang lemah tanpa bantuan-Nya, hati kita akan lebih mudah tunduk dan tidak merasa lebih baik dari orang lain. Kesadaran ini akan membuat kita lebih rendah hati dan lebih menghargai orang lain.

Kedua, membiasakan diri untuk selalu mengevaluasi diri. Setiap malam sebelum tidur, kita bisa bertanya pada diri sendiri: apakah hari ini ada sikap atau ucapan kita yang menunjukkan kesombongan? Apakah ada orang yang mungkin merasa direndahkan karena perilaku kita? Dengan evaluasi rutin, kita bisa memperbaiki diri sebelum penyakit takabbur mengakar kuat dalam hati.

Ketiga, belajar dari kisah-kisah tentang kehancuran akibat kesombongan. Baik dari Al-Qur’an, hadis, maupun sejarah umum, banyak pelajaran berharga yang bisa kita ambil. Kisah Fir’aun, misalnya, menjadi pengingat bahwa sehebat apa pun kekuasaan seseorang, jika disertai dengan kesombongan, akan berakhir dengan kehinaan.

Keempat, membangun sikap tawadhu’ (rendah hati) dalam setiap aspek kehidupan. Tawadhu’ bukan berarti merendahkan diri secara berlebihan, tetapi lebih kepada menyadari bahwa semua orang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dengan tawadhu’, kita bisa menghormati orang lain tanpa merasa lebih rendah atau lebih tinggi.

Kelima, memperbanyak doa agar Allah menjaga hati kita. Salah satu doa yang diajarkan Rasulullah SAW adalah: “Ya Allah, jauhkanlah aku dari akhlak-akhlak yang buruk, dan dekatkanlah aku kepada akhlak-akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi). Dengan memohon perlindungan kepada Allah, kita berharap diberikan hati yang bersih dari rasa sombong.

Keenam, membiasakan diri untuk memuji orang lain dan mengakui kelebihan mereka. Ini adalah latihan sederhana untuk menghancurkan ego dalam diri kita. Ketika kita terbiasa melihat kebaikan dalam diri orang lain, kita akan lebih mudah bersikap rendah hati.

Terakhir, sadarilah bahwa kesombongan hanya membuat hidup kita sempit dan penuh beban. Orang yang sombong selalu merasa harus mempertahankan citranya, selalu khawatir tentang pendapat orang lain, dan sulit merasakan ketenangan sejati. Sebaliknya, orang yang rendah hati akan lebih mudah bahagia, lebih banyak teman, dan lebih dekat kepada rahmat Allah.

Takabbur memang sering kali hadir secara halus, tanpa kita sadari. Oleh karena itu, penting untuk selalu menjaga hati dan memperbarui niat dalam setiap langkah hidup. Dengan kesadaran, latihan, dan pertolongan Allah, kita bisa membangun jiwa yang bersih, penuh kerendahan hati, dan selalu dekat dengan kebenaran.

Semoga Allah melindungi kita dari penyakit takabbur, membimbing hati kita untuk selalu rendah hati, dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang dicintai-Nya. Aamiin.

Continue Reading

Ruang Sujud

Takabbur: Penyakit Hati yang Membutakan Kebenaran

Published

on

Monitorday.com – Dalam perjalanan hidup, manusia sering diuji bukan hanya dengan kesusahan, tetapi juga dengan kenikmatan. Salah satu ujian paling berat justru tersembunyi di dalam nikmat, yaitu saat hati mulai merasa lebih unggul dari orang lain. Di sinilah penyakit takabbur tumbuh — sebuah sifat sombong yang bisa membutakan mata hati dari kebenaran.

Takabbur berasal dari bahasa Arab yang berarti membesarkan diri atau merasa lebih hebat. Dalam Islam, takabbur termasuk penyakit hati yang sangat dibenci Allah. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan walau sebesar biji zarrah.” (HR. Muslim). Hadis ini menunjukkan betapa beratnya akibat dari sifat takabbur.

Sifat ini biasanya muncul ketika seseorang merasa memiliki kelebihan — entah itu harta, ilmu, jabatan, keturunan, atau kekuatan. Padahal, semua kelebihan itu sejatinya adalah titipan dari Allah, bukan semata hasil usaha pribadi. Sayangnya, ketika takabbur sudah menguasai hati, seseorang bisa kehilangan kemampuan untuk melihat kebenaran dan menilai diri sendiri dengan jujur.

Sejarah manusia menyimpan banyak kisah tentang orang-orang yang terjerumus dalam takabbur. Iblis adalah contoh utama. Ia membangkang perintah Allah untuk bersujud kepada Adam karena merasa dirinya lebih mulia, terbuat dari api sementara Adam dari tanah. Kesombongan ini akhirnya menjatuhkannya dari kemuliaan menjadi makhluk terlaknat.

Dalam kehidupan sehari-hari, takabbur bisa muncul dalam berbagai bentuk. Ada yang merasa lebih baik karena status sosial, lebih pintar karena pendidikan, atau lebih suci karena ibadah. Yang lebih berbahaya, orang yang takabbur seringkali sulit dinasihati. Ia menganggap dirinya selalu benar dan merendahkan orang lain, tanpa sadar menjauhkan dirinya dari petunjuk Allah.

Takabbur bukan hanya merusak hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga hubungan dengan sesama. Sifat ini bisa membuat seseorang dijauhi orang lain, kehilangan teman sejati, bahkan menyebabkan konflik. Bagaimana bisa tercipta keharmonisan jika seseorang merasa lebih tinggi daripada yang lain?

Allah SWT memperingatkan dalam Al-Qur’an, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS. An-Nisa: 36). Ini adalah pengingat bahwa sifat ini tidak hanya tercela, tetapi juga menjadi penyebab turunnya murka Allah.

Lawan dari takabbur adalah tawadhu’ — rendah hati. Orang yang tawadhu’ menyadari bahwa semua kelebihan yang ia miliki hanyalah amanah yang sewaktu-waktu bisa dicabut. Ia tidak melihat dirinya lebih baik dari orang lain, bahkan tetap menghormati yang tampaknya lebih rendah darinya. Rasulullah SAW, manusia paling mulia, justru dikenal karena kerendahan hatinya.

Untuk menghindari takabbur, langkah pertama adalah menyadari bahwa segala sesuatu berasal dari Allah. Tidak ada yang pantas kita banggakan secara berlebihan. Kemampuan, rezeki, bahkan kesempatan berbuat baik adalah anugerah, bukan hakikat dari diri kita sendiri.

Kedua, penting untuk terus mengevaluasi diri. Jangan hanya melihat kelebihan, tapi juga sadar akan kekurangan. Melatih diri untuk selalu bersyukur dan melihat kehebatan orang lain juga bisa membantu meruntuhkan kesombongan dalam hati.

Ketiga, memperbanyak membaca kisah-kisah tentang kehancuran akibat kesombongan bisa menjadi pelajaran berharga. Misalnya, kisah Fir’aun yang mengaku sebagai tuhan dan akhirnya tenggelam di Laut Merah. Atau Qarun yang membanggakan hartanya hingga ditelan bumi. Semua itu menjadi bukti nyata bahwa takabbur hanya akan membawa kepada kehancuran.

Terakhir, jangan lupa berdoa agar Allah menjaga hati kita dari penyakit ini. Rasulullah SAW sendiri berdoa, “Ya Allah, jauhkanlah aku dari akhlak-akhlak yang buruk.” (HR. Tirmidzi). Berdoa dengan tulus dan terus-menerus menunjukkan kesadaran kita bahwa kita butuh pertolongan Allah untuk menjaga kebersihan hati.

Di zaman sekarang, di mana pencapaian dan popularitas sering dijadikan ukuran keberhasilan, tantangan untuk menghindari takabbur menjadi semakin berat. Media sosial, misalnya, bisa menjadi ladang subur untuk memupuk kesombongan jika tidak diiringi dengan kesadaran diri. Memamerkan keberhasilan, menonjolkan kelebihan, tanpa sadar bisa mengundang rasa takabbur dalam hati.

Namun, orang yang menyadari bahwa kemuliaan sejati adalah di sisi Allah, bukan di mata manusia, akan lebih mudah menjaga dirinya. Ia tidak akan tergoda untuk mencari pengakuan dunia, karena yang ia cari adalah ridha Allah. Seperti yang Allah firmankan, “Sesungguhnya orang-orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13).

Takabbur memang penyakit hati yang tersembunyi, tapi dampaknya nyata dan berat. Membiarkannya tumbuh berarti membiarkan diri buta terhadap kebenaran. Oleh karena itu, penting bagi setiap kita untuk terus membersihkan hati, merendahkan diri, dan menyadari betapa kecilnya kita di hadapan Allah Yang Maha Besar.

Semoga Allah melindungi kita semua dari sifat takabbur dan menghiasi hati kita dengan kerendahan hati yang mulia. Aamiin.

Continue Reading

Ruang Sujud

Iffah: Pilar Kekuatan Spiritual dalam Islam

Published

on

Monitorday.com – Dalam ajaran Islam, kekuatan sejati tidak selalu diukur dari kekuasaan, harta, atau pengaruh sosial. Ada kekuatan yang lebih halus namun jauh lebih berpengaruh: kekuatan spiritual. Salah satu pilar utama kekuatan ini adalah iffah — sikap menjaga kehormatan diri dengan penuh kesadaran dan ketulusan.

Iffah berasal dari kata kerja ‘afafa, yang berarti menjaga diri, menahan nafsu, dan menghindari hal-hal yang dapat mengurangi kemuliaan pribadi. Dalam Al-Qur’an, Allah memuji orang-orang yang memiliki iffah, bahkan menganjurkan untuk membantu mereka, seperti dalam Surah An-Nur ayat 33: “Dan orang-orang yang menjaga kehormatan dirinya yang tidak mampu menikah, hendaklah mereka menjaga kehormatannya sampai Allah memberikan kemampuan kepada mereka dari karunia-Nya.”

Dalam kehidupan sehari-hari, iffah menjadi fondasi bagi kekuatan batin yang kokoh. Orang yang memiliki iffah akan lebih mampu mengendalikan dirinya dalam situasi apa pun, tidak mudah tergoda oleh dunia, dan tetap teguh pada prinsip meski menghadapi godaan besar. Ini adalah kekuatan yang tidak terlihat secara kasat mata, tetapi terpancar dalam sikap, pilihan, dan kepribadian seseorang.

Dalam sejarah Islam, banyak tokoh besar yang membuktikan bahwa iffah adalah sumber kekuatan luar biasa. Salah satunya adalah Nabi Yusuf ‘alaihissalam, yang menjadi simbol kesucian diri dalam menghadapi godaan berat. Saat berhadapan dengan rayuan istri pembesar Mesir, Yusuf memilih mempertahankan kehormatannya meski risikonya adalah dipenjara. Kisah ini bukan sekadar cerita moral, tapi bukti nyata bahwa menjaga iffah adalah kemenangan besar dalam jihad melawan hawa nafsu.

Kekuatan iffah juga terlihat dalam keseharian Rasulullah ﷺ. Beliau adalah sosok yang selalu menjaga adab dalam interaksi, penuh kasih, tetapi tetap tegas dalam menjaga prinsip. Rasulullah mengajarkan bahwa harga diri manusia lebih berharga daripada dunia dan seisinya, dan iffah adalah salah satu cara menjaga harga diri itu tetap utuh.

Saat ini, di tengah zaman yang serba bebas, menjaga iffah bisa terasa sangat menantang. Kita hidup di era di mana batasan-batasan moral sering dipertanyakan, bahkan dihapus. Media sosial, hiburan, dan budaya populer seringkali mengaburkan mana yang pantas dan mana yang tidak. Dalam situasi seperti ini, memiliki iffah bukan hanya soal menjaga citra, tapi tentang mempertahankan identitas diri yang autentik sebagai seorang Muslim.

Menjaga iffah juga membawa banyak dampak positif dalam aspek kehidupan lainnya. Dalam hubungan sosial, seseorang yang ber-iffah akan lebih dihormati, dipercaya, dan diandalkan. Dalam hubungan keluarga, iffah memperkuat nilai kesetiaan, rasa hormat, dan kasih sayang yang tulus. Dalam dunia kerja, iffah menjauhkan seseorang dari praktik curang, korupsi, atau perilaku tidak etis lainnya.

Sikap iffah mengajarkan kita untuk menahan diri bukan karena takut dilihat orang, tapi karena sadar bahwa Allah selalu mengawasi. Ini menumbuhkan keikhlasan dalam hati, membangun hubungan yang lebih dalam dengan Allah, dan menguatkan keteguhan iman. Seorang ulama besar, Imam Al-Ghazali, dalam kitab Ihya’ Ulumuddin menulis bahwa iffah adalah bagian penting dari akhlak mulia yang menjadi jalan menuju kebahagiaan hakiki.

Lebih dari sekadar menjaga diri dari dosa, iffah mengajarkan kita untuk menjaga pikiran, niat, dan sikap dari segala sesuatu yang bisa mengotori hati. Ini termasuk menjaga pandangan, menjaga ucapan, mengontrol emosi, dan menghindari niat buruk terhadap sesama. Semua ini, jika dijalani dengan konsisten, akan membentuk karakter pribadi yang luhur dan kuat.

Untuk menumbuhkan iffah, dibutuhkan kesadaran diri dan latihan yang terus menerus. Tidak cukup hanya mengandalkan keinginan sesaat. Seperti atlet yang berlatih setiap hari untuk mencapai performa terbaik, menjaga iffah juga perlu komitmen harian: memperbaiki niat, mengevaluasi diri, dan terus belajar dari kesalahan.

Lingkungan juga memegang peran penting. Berada di lingkungan yang positif, bersama orang-orang yang saling mengingatkan dalam kebaikan, akan sangat membantu menjaga iffah. Rasulullah ﷺ bersabda, “Seseorang itu tergantung pada agama temannya. Maka hendaklah salah seorang di antara kalian memperhatikan dengan siapa ia berteman.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Pada akhirnya, iffah adalah karunia dan perjuangan. Ia adalah anugerah bagi siapa pun yang mau berusaha menjaganya dengan kesungguhan. Orang yang hidup dengan iffah tidak hanya menjaga dirinya dari kehinaan, tetapi juga mempersiapkan dirinya untuk meraih kemuliaan di dunia dan akhirat.

Di tengah dunia yang semakin riuh dan penuh godaan, iffah adalah cahaya yang membimbing kita tetap berada di jalan yang lurus. Ia adalah pilar kekuatan spiritual yang akan membuat kita tetap berdiri tegak, meski badai ujian datang bertubi-tubi.

Dan ingat, menjaga iffah bukan berarti membatasi kebebasan, tapi justru memerdekakan diri dari perbudakan nafsu. Dengan iffah, kita menemukan martabat, menemukan makna hidup, dan menemukan cinta sejati dari Sang Pencipta.

Continue Reading

Ruang Sujud

Iffah dalam Kehidupan Sehari-hari: Menemukan Keindahan dalam Menjaga Diri

Published

on

Monitorday.com – Dalam hiruk-pikuk kehidupan modern, banyak nilai yang perlahan-lahan mulai terlupakan. Salah satunya adalah iffah, sikap menjaga kehormatan diri. Meski sering dipandang kuno, sebenarnya iffah justru menawarkan sebuah keindahan yang langka: ketenangan, martabat, dan rasa percaya diri yang sejati.

Iffah berasal dari kata ‘afafa yang berarti menahan diri dari hal-hal yang tidak pantas. Dalam Islam, iffah mencakup menjaga pandangan, menjaga ucapan, menjaga perilaku, hingga menjaga kehormatan dalam relasi sosial. Ini adalah bentuk pengendalian diri yang menuntut kesadaran tinggi, bukan sekadar mengikuti arus.

Bayangkan, di dunia yang serba bebas ini, seseorang yang mampu menjaga dirinya dari godaan, dari perilaku yang merendahkan harga diri, adalah sosok yang sangat berharga. Mereka seperti bunga yang tetap mekar indah di tengah gurun, tetap wangi meski lingkungan sekitarnya penuh debu.

Dalam kehidupan sehari-hari, iffah bisa tampak dalam banyak bentuk sederhana. Seorang mahasiswa yang memilih untuk tidak menyontek meski semua temannya melakukannya. Seorang karyawan yang menolak suap walau ada kesempatan besar. Seorang pemuda yang menahan pandangan saat melewati sesuatu yang menggoda di jalan. Hal-hal kecil ini, saat dikumpulkan, membentuk karakter besar: pribadi ber-iffah.

Menjaga iffah bukan berarti mengasingkan diri dari dunia, tapi justru bersikap cerdas dalam berinteraksi. Ketika seseorang menjaga lisan dari gibah dan fitnah, ia sedang membangun reputasi baik tanpa perlu memaksakan diri. Ketika ia memilih pakaian yang sopan, ia sedang menunjukkan rasa hormat pada dirinya sendiri dan pada orang lain.

Kehidupan sosial kita hari ini seringkali menormalisasi perilaku yang dulu dianggap tercela. Dari konten media sosial yang vulgar, budaya flexing harta secara berlebihan, sampai pergaulan bebas yang dianggap lumrah. Dalam situasi seperti ini, iffah menjadi semacam “perlawanan sunyi” — tidak dengan marah-marah, tapi dengan konsistensi menjaga nilai.

Tentu menjaga iffah itu berat, apalagi saat lingkungan sekitar seperti membiarkan semua batasan runtuh. Tapi justru di situlah keindahannya. Seperti berlian yang terbentuk dari tekanan luar biasa, seseorang yang tetap menjaga dirinya di tengah ujian akan bersinar dengan keindahan yang tidak mudah dipalsukan.

Kita bisa belajar banyak dari teladan para tokoh Islam yang luar biasa dalam menjaga iffah. Misalnya, Mariam binti Imran, ibu Nabi Isa ‘alaihissalam, yang terkenal akan kesucian dan keteguhannya. Dalam Al-Qur’an, ia disebut sebagai wanita pilihan yang menjaga dirinya dengan penuh kehormatan, hingga namanya diabadikan sebagai salah satu surah.

Bagi kita yang hidup di zaman ini, menjaga iffah bisa dimulai dari langkah kecil. Misalnya, memilih tontonan yang bersih, memperhatikan apa yang kita bagikan di media sosial, atau menghindari candaan-candaan yang menjurus pada hal negatif. Kadang kita merasa itu hal sepele, tapi semua kebiasaan kecil itu, lama-lama membentuk siapa diri kita sebenarnya.

Salah satu keindahan dari iffah adalah munculnya rasa damai dalam hati. Ketika kita tidak merasa harus berpura-pura, tidak harus mengikuti standar dunia yang terus berubah, kita jadi lebih bisa menikmati hidup apa adanya. Kita tidak sibuk membandingkan diri, tidak terjebak dalam kebutuhan untuk selalu terlihat sempurna di mata orang lain.

Selain itu, orang yang menjaga iffah seringkali justru lebih dihormati, meskipun awalnya mungkin mereka dianggap “berbeda” atau “ketinggalan zaman”. Kehormatan yang dibangun atas dasar prinsip jauh lebih kokoh daripada popularitas sesaat. Orang lain bisa saja lupa dengan postingan viral atau tren singkat, tapi mereka akan selalu mengingat integritas seseorang.

Menariknya, menjaga iffah juga membuat hubungan antar manusia lebih sehat. Hubungan pertemanan, hubungan bisnis, bahkan hubungan percintaan menjadi lebih tulus karena dibangun atas dasar saling menghormati, bukan saling mengeksploitasi. Dengan iffah, kita tidak hanya menjaga diri sendiri, tapi juga menjaga orang lain dari perbuatan yang bisa menodai martabat mereka.

Dalam skala yang lebih luas, masyarakat yang menjunjung tinggi iffah akan lebih damai. Ketika semua orang saling menjaga adab dan batasan, kepercayaan sosial meningkat, dan kekerasan atau pelecehan bisa ditekan. Dunia yang lebih beradab berawal dari individu-individu yang mau menjaga dirinya.

Pada akhirnya, iffah bukanlah tentang membatasi kebahagiaan, tapi tentang menemukan kebahagiaan yang sejati — kebahagiaan yang tidak bergantung pada validasi orang lain, tapi bersumber dari rasa hormat terhadap diri sendiri. Itulah keindahan sejati yang banyak orang cari, tapi sering salah arah dalam mencapainya.

Jadi, jangan pernah merasa kecil karena memilih menjaga iffah. Justru di dunia yang sering melupakan kehormatan, orang-orang seperti kita lah yang memegang kunci masa depan yang lebih indah. Pelan-pelan, dengan langkah kecil setiap hari, kita bisa tetap menjaga diri, menjaga hati, dan menemukan keindahan yang sebenarnya dalam perjalanan hidup ini.

Continue Reading

Ruang Sujud

Kekuatan Iffah: Mengapa Menjaga Diri Adalah Cermin Kemuliaan

Published

on

Monitorday.com – Di dunia yang semakin cepat berubah ini, banyak orang berpikir bahwa ukuran kesuksesan adalah seberapa populer, kaya, atau berpengaruh seseorang. Tapi seringkali kita lupa, ada satu kekuatan yang jauh lebih mulia dan langka: iffah, kemampuan untuk menjaga kehormatan diri. Ia adalah cermin kemuliaan sejati, yang tidak bisa dibeli dengan uang atau ketenaran.

Iffah berasal dari bahasa Arab yang berarti menahan diri, menjaga martabat, dan menjauhkan diri dari perbuatan tercela. Dalam Islam, iffah dianggap sebagai salah satu akhlak terpuji yang menjadi tanda kematangan iman seseorang. Rasulullah ﷺ sendiri dikenal sebagai sosok yang sangat menjaga kehormatan dirinya, bahkan jauh sebelum diangkat menjadi Nabi.

Apa yang membuat iffah begitu istimewa? Karena menjaga diri bukan perkara mudah. Menahan lisan dari ucapan buruk, menjaga pandangan dari hal-hal yang diharamkan, mengontrol hawa nafsu ketika peluang maksiat terbuka lebar — semua itu butuh kekuatan jiwa yang luar biasa. Dan di situlah letak kemuliaannya: orang yang mampu mengendalikan dirinya menunjukkan bahwa ia telah memenangkan salah satu perang terbesar dalam hidup, yaitu perang melawan hawa nafsu.

Dalam kehidupan modern, iffah menjadi semacam perisai yang melindungi seseorang dari kehancuran moral. Ketika segala sesuatu ditawarkan dengan bebas — mulai dari konten vulgar, hubungan tanpa batas, sampai gaya hidup konsumtif tanpa kendali — orang yang memiliki iffah tetap bisa berdiri tegak. Ia tahu batasannya, dan tidak tergoda oleh tren sesaat yang justru bisa merusak dirinya dalam jangka panjang.

Menariknya, iffah bukan hanya soal hubungan laki-laki dan perempuan, walaupun itu bagian penting. Iffah juga menyentuh soal integritas saat bekerja, kejujuran dalam berdagang, kesopanan dalam berbicara, dan bahkan sikap hemat dalam mengelola harta. Singkatnya, iffah adalah gaya hidup yang penuh kesadaran dan kehormatan di setiap aspek kehidupan.

Banyak orang mengira bahwa menjaga diri berarti hidup dalam keterbatasan dan kekakuan. Padahal, iffah justru membuat seseorang menjadi pribadi yang bebas — bebas dari perbudakan nafsu, bebas dari tekanan sosial, dan bebas dari rasa malu di hadapan Allah dan sesama manusia. Orang yang ber-iffah berjalan dengan kepala tegak, karena ia tahu bahwa ia hidup dengan prinsip yang mulia.

Sejarah Islam dipenuhi dengan kisah-kisah inspiratif tentang kekuatan iffah. Salah satunya adalah kisah Yusuf ‘alaihissalam, yang menolak ajakan Zulaikha meskipun secara manusiawi godaan itu sangat berat. Dengan penuh keteguhan, Yusuf memilih dipenjara daripada harus mengkhianati prinsip kehormatan dirinya. Allah pun memuliakannya, menjadikannya salah satu sosok yang dihormati di dunia dan akhirat.

Dalam konteks sehari-hari, iffah bisa dimulai dari hal-hal kecil. Misalnya, menjaga lisan dari bergosip, menahan tangan dari mengetik komentar jahat di media sosial, memilih tontonan yang bersih, atau menjaga diri dari gaya hidup pamer kekayaan. Setiap tindakan kecil itu membangun kekuatan besar dalam diri: kekuatan untuk tetap menjadi manusia terhormat di tengah dunia yang sering mengajak kita untuk melupakan nilai-nilai luhur.

Tentu saja, membangun iffah tidak bisa instan. Ia perlu dilatih, diuji, dan dipelihara setiap hari. Ada kalanya kita tergoda, jatuh, atau lengah. Tapi bukan berarti kita gagal. Setiap upaya untuk bangkit lagi, setiap niat untuk kembali menjaga kehormatan diri, adalah bagian dari proses menjadi pribadi yang mulia.

Salah satu cara terbaik untuk menjaga iffah adalah dengan memperkuat hubungan dengan Allah SWT. Ketika kita sadar bahwa Allah selalu melihat kita, bahkan saat tak ada manusia lain yang melihat, kita akan lebih berhati-hati dalam bertindak. Shalat, membaca Al-Qur’an, memperbanyak doa, dan mengingat kematian — semua itu membantu kita menjaga kesadaran bahwa hidup ini bukan hanya soal dunia, tapi juga soal mempertanggungjawabkan setiap pilihan kita di hadapan Sang Pencipta.

Lingkungan juga sangat berpengaruh. Berada di tengah orang-orang yang menghargai nilai iffah akan membuat kita lebih kuat dalam menjaganya. Sebaliknya, bergaul dengan lingkungan yang permisif terhadap perilaku buruk bisa perlahan-lahan merusak benteng kehormatan kita tanpa kita sadari.

Pada akhirnya, iffah adalah tentang membangun harga diri sejati. Bukan harga diri yang dibangun dari pencitraan atau pencapaian kosong, tapi harga diri yang lahir dari kejujuran, kesucian niat, dan keteguhan hati. Dan menariknya, orang-orang yang menjaga iffah sering kali lebih dihormati, lebih tenang, dan lebih bahagia dalam hidupnya, karena mereka hidup sesuai dengan prinsip yang mulia.

Menjaga diri adalah pilihan berat di dunia yang penuh godaan, tapi justru itulah yang membuatnya menjadi bentuk kemuliaan yang tinggi. Bukan semua orang bisa, tapi siapa pun yang berusaha akan merasakan keindahan dan ketenangan yang tidak bisa diberikan oleh popularitas atau kekayaan.

Maka, mari kita jadikan iffah sebagai bagian dari perjalanan hidup kita. Bukan hanya sebagai slogan, tapi sebagai karakter sejati yang membentuk siapa diri kita, hari ini dan di masa depan.

Continue Reading

Ruang Sujud

Iffah: Menjaga Kehormatan Diri dalam Kehidupan Modern

Published

on

Monitorday.com – Di tengah dunia modern yang serba terbuka dan serba cepat ini, menjaga kehormatan diri atau iffah sering kali terasa seperti tantangan besar. Segala sesuatu bisa diakses dalam hitungan detik, informasi mengalir deras tanpa filter, dan budaya populer seolah mendorong kita untuk lebih bebas tanpa batas. Lalu, di mana posisi iffah hari ini? Apakah konsep ini masih relevan, atau justru semakin penting untuk dipertahankan?

Secara sederhana, iffah adalah menjaga diri dari segala hal yang merendahkan harga diri dan kehormatan, baik dalam pikiran, ucapan, maupun perbuatan. Ini bukan hanya soal menahan diri dari perbuatan buruk, tapi lebih luas: iffah mencakup kesadaran untuk hidup dengan prinsip, integritas, dan rasa malu yang positif. Dalam Islam, iffah adalah bagian dari akhlak mulia, bahkan Rasulullah ﷺ sendiri mengajarkan bahwa menjaga kehormatan diri adalah bagian dari iman.

Di zaman sekarang, ketika batasan antara yang privat dan publik semakin kabur, iffah menjadi tameng yang menjaga seseorang tetap bermartabat. Misalnya, dalam penggunaan media sosial. Kita sering melihat bagaimana orang mudah sekali mengumbar hal-hal pribadi demi validasi atau popularitas sesaat. Padahal, mempertahankan iffah mengajarkan kita untuk selektif: mana yang layak dibagikan, mana yang sebaiknya disimpan untuk diri sendiri.

Bukan berarti orang yang menjaga iffah harus menjadi sosok kaku dan tertutup. Justru sebaliknya, mereka yang memiliki iffah mampu bergaul, berkontribusi, dan menjadi bagian dari masyarakat tanpa kehilangan prinsip. Mereka bisa beradaptasi dengan dunia modern, tanpa harus larut dalam arus negatifnya. Mereka tetap bisa tampil percaya diri, aktif, dan produktif, dengan tetap menjaga batasan yang sehat.

Menariknya, konsep iffah ini tidak hanya berbicara soal hubungan antara laki-laki dan perempuan saja, walaupun itu bagian penting. Iffah juga menyentuh aspek lain, seperti menjaga lisan dari ucapan yang tidak pantas, menjaga mata dari melihat hal-hal yang dilarang, hingga menjaga hati dari keinginan-keinginan yang berlebihan. Dalam konteks kerja, iffah berarti bekerja dengan jujur, tidak mengambil yang bukan haknya, dan menjaga profesionalitas.

Salah satu contoh konkret iffah di dunia modern adalah sikap selektif dalam pergaulan. Kita hidup di era jaringan sosial yang luas, di mana bertemu orang baru sangat mudah. Namun, iffah mengajarkan bahwa tidak semua pertemanan membawa kebaikan. Ada kalanya kita harus berani menjaga jarak dari lingkungan yang bisa menggerus nilai-nilai kita. Ini bukan soal merasa lebih baik dari orang lain, tetapi soal menjaga diri agar tetap berada di jalur yang benar.

Lalu, bagaimana cara membangun dan mempertahankan iffah dalam kehidupan sehari-hari? Salah satu kuncinya adalah dengan memperkuat hubungan dengan Allah SWT. Kesadaran bahwa kita selalu dalam pengawasan-Nya membuat kita lebih hati-hati dalam bertindak. Selain itu, membiasakan diri membaca Al-Qur’an, memperdalam ilmu agama, serta mencari lingkungan yang mendukung nilai-nilai kebaikan sangat membantu.

Selain aspek spiritual, penting juga untuk memperkuat mental dan karakter. Dunia modern sering kali menawarkan godaan dalam bentuk yang sangat menarik, dari budaya hedonisme, konsumerisme, sampai gaya hidup instan. Dengan mental yang kuat, kita bisa tetap berpegang pada prinsip tanpa merasa minder atau terseret arus. Di sinilah peran iffah terasa sangat nyata: ia menjadi fondasi yang membuat kita tetap kokoh, bahkan ketika dunia di sekitar kita berubah dengan cepat.

Yang tidak kalah penting, iffah juga harus dibarengi dengan kesadaran diri bahwa setiap manusia berharga dan mulia. Ketika seseorang menyadari nilai dirinya, ia akan lebih mudah menjaga kehormatannya. Ia tidak akan sembarangan mengejar pengakuan atau validasi dari orang lain, karena ia tahu bahwa harga dirinya tidak ditentukan oleh jumlah likes, komentar, atau popularitas dunia maya.

Dalam pandangan Islam, orang yang menjaga iffah akan mendapatkan derajat tinggi di sisi Allah SWT. Rasulullah ﷺ bersabda, “Barang siapa yang menjaga kehormatannya, Allah akan menjaga kehormatannya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ini adalah janji luar biasa: ketika kita berusaha menjaga diri, Allah sendiri yang akan membantu dan memuliakan kita.

Pada akhirnya, iffah bukanlah konsep kuno yang harus ditinggalkan. Justru di tengah dunia yang semakin bebas ini, iffah adalah pelindung yang membuat kita tetap menjadi manusia yang bermartabat. Menjaga iffah bukan berarti membatasi diri, tetapi justru membebaskan diri dari perbudakan nafsu dan tekanan sosial yang menyesatkan. Ia adalah bentuk kebebasan sejati—bebas untuk tetap menjadi pribadi yang terhormat, kuat, dan mulia.

Maka, mari kita jadikan iffah sebagai bagian dari gaya hidup modern kita. Bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk membangun masyarakat yang lebih bermartabat, seimbang, dan penuh nilai kebaikan.

Continue Reading

Ruang Sujud

Mengenal Maqashid Syariah: Tujuan Hakiki di Balik Hukum Islam

Published

on

Monitorday.com – Dalam perbincangan mengenai hukum Islam, istilah maqashid syariah kerap muncul sebagai konsep yang fundamental. Maqashid syariah merujuk pada tujuan-tujuan utama yang hendak dicapai oleh syariat Islam dalam menetapkan hukum-hukumnya. Dengan memahami maqashid syariah, kita tidak hanya memahami “apa” dan “bagaimana” hukum itu berlaku, tetapi juga “mengapa” hukum tersebut penting bagi kemaslahatan manusia.

Secara etimologis, maqashid berarti tujuan atau maksud, sedangkan syariah berarti jalan atau aturan yang ditetapkan oleh Allah SWT. Maka, maqashid syariah adalah maksud atau tujuan dari ditetapkannya syariat Islam. Konsep ini menegaskan bahwa syariat tidak hadir dalam ruang hampa; ia bukan sekadar perintah atau larangan tanpa makna, tetapi mengandung hikmah besar untuk mewujudkan kebaikan dan menolak keburukan bagi umat manusia.

Imam Al-Ghazali adalah salah satu ulama klasik yang paling berpengaruh dalam pengembangan konsep maqashid syariah. Menurut beliau, tujuan utama syariah adalah menjaga lima hal pokok: agama (din), jiwa (nafs), akal (‘aql), keturunan (nasl), dan harta (mal). Kelima hal ini disebut sebagai dharuriyat al-khams, yaitu kebutuhan primer manusia yang harus dijaga untuk menciptakan kehidupan yang sejahtera dan harmonis.

1. Menjaga Agama (Hifz al-Din)
Islam sebagai agama memiliki landasan iman dan ibadah yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya. Syariat bertujuan menjaga kemurnian aqidah dan memastikan kebebasan beragama tetap terjaga. Oleh karena itu, kewajiban salat, larangan syirik, dan perlindungan terhadap tempat ibadah merupakan bagian dari realisasi tujuan ini.

2. Menjaga Jiwa (Hifz al-Nafs)
Kehidupan manusia sangat dihargai dalam Islam. Larangan membunuh, kewajiban qisas, dan aturan dalam peperangan yang menghindari pembunuhan terhadap non-kombatan adalah upaya nyata untuk menjaga jiwa. Bahkan dalam konteks kesehatan, Islam menganjurkan pengobatan dan menjaga tubuh sebagai bentuk penghormatan terhadap kehidupan.

3. Menjaga Akal (Hifz al-‘Aql)
Akal adalah anugerah besar dari Allah yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. Karena itu, segala bentuk yang merusak akal seperti minuman keras dan narkotika dilarang keras. Sebaliknya, Islam mendorong pencarian ilmu dan pemikiran rasional dalam memahami alam semesta dan ajaran agama.

4. Menjaga Keturunan (Hifz al-Nasl)
Syariat Islam menetapkan pernikahan sebagai institusi yang sah dalam menjaga kehormatan dan keturunan. Larangan zina, hukum waris, dan tanggung jawab keluarga merupakan implementasi dari tujuan ini. Anak-anak juga dilindungi haknya sejak dini agar tumbuh dalam lingkungan yang sehat secara fisik dan spiritual.

5. Menjaga Harta (Hifz al-Mal)
Harta dalam Islam diakui sebagai salah satu komponen penting dalam kehidupan. Syariat menetapkan berbagai hukum tentang kepemilikan, transaksi, zakat, dan larangan riba demi menjaga keadilan ekonomi dan mencegah penindasan. Pencurian, korupsi, dan penipuan dilarang karena merusak tatanan sosial dan menimbulkan kesenjangan.

Dalam perkembangan kontemporer, para pemikir Islam seperti Syekh Yusuf al-Qaradawi dan Jasser Auda memperluas cakupan maqashid syariah. Mereka menekankan pentingnya maqashid dalam membaca dinamika zaman, seperti hak asasi manusia, keadilan gender, lingkungan hidup, dan tata kelola pemerintahan yang baik. Dengan pendekatan maqashid, syariah menjadi lentur dan adaptif tanpa kehilangan esensinya.

Pendekatan maqashid ini juga menjadi jembatan penting antara teks dan konteks. Dalam dunia yang terus berubah, tidak semua permasalahan dapat diselesaikan dengan pendekatan literal terhadap teks. Maqashid memberikan kerangka pemikiran untuk menimbang maslahat dan mafsadat (kebaikan dan keburukan) dalam menetapkan hukum. Misalnya, dalam kasus pandemi, kebijakan penutupan masjid untuk sementara waktu dapat dibenarkan berdasarkan tujuan menjaga jiwa.

Namun, memahami maqashid tidak boleh dijadikan alasan untuk mengabaikan nash (teks suci). Pendekatan maqashid harus sejalan dengan prinsip-prinsip dasar syariah, dan tidak boleh digunakan untuk melegitimasi kepentingan pribadi atau kelompok. Oleh karena itu, pemahaman maqashid memerlukan keluasan ilmu, kejujuran intelektual, dan niat yang tulus untuk mencari ridha Allah.

Sebagai umat Islam, memahami maqashid syariah adalah bagian dari upaya untuk menghayati agama secara lebih mendalam. Ia mengajarkan bahwa Islam bukan hanya kumpulan aturan, tetapi sistem nilai yang menjunjung tinggi kemaslahatan manusia. Dengan maqashid, kita belajar untuk tidak sekadar patuh pada hukum, tetapi juga memahami jiwa dan tujuannya.

Akhirnya, maqashid syariah menjadi cermin bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Ia hadir untuk menjaga, melindungi, dan memuliakan manusia dalam seluruh dimensi kehidupannya—spiritual, fisik, intelektual, sosial, dan ekonomi. Maka, memahami maqashid syariah bukan hanya tugas ulama, tetapi juga panggilan bagi setiap Muslim yang ingin hidup sesuai dengan nilai-nilai ilahiah yang penuh hikmah.

Continue Reading

Ruang Sujud

Peran Maqashid Syariah dalam Mewujudkan Keadilan Sosial

Published

on

Monitorday.com – Islam bukan hanya agama yang mengatur ibadah individual, tetapi juga memiliki sistem nilai yang menyentuh seluruh aspek kehidupan, termasuk keadilan sosial. Dalam konteks ini, maqashid syariah atau tujuan-tujuan utama syariat Islam memainkan peran penting sebagai fondasi dalam mewujudkan masyarakat yang adil, harmonis, dan sejahtera.

Maqashid syariah secara umum merujuk pada lima tujuan pokok syariat, yaitu menjaga agama (hifz al-din), jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz al-‘aql), keturunan (hifz al-nasl), dan harta (hifz al-mal). Kelima hal ini dikenal sebagai dharuriyat al-khams atau kebutuhan dasar manusia yang harus dilindungi demi tercapainya kemaslahatan. Ketika lima hal ini ditegakkan secara menyeluruh, maka lahirlah sistem sosial yang berkeadilan.

Keadilan Sosial dalam Perspektif Islam

Keadilan dalam Islam bukan sekadar distribusi kekayaan yang merata, melainkan sebuah tatanan hidup yang menjamin hak-hak dasar manusia dihormati dan dilindungi. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan…” (QS. An-Nahl: 90). Ini menjadi dasar bahwa keadilan adalah prinsip utama dalam setiap aspek kebijakan dan hukum Islam.

Dalam maqashid syariah, keadilan sosial terwujud saat setiap individu, tanpa memandang status sosial atau ekonomi, memperoleh haknya untuk hidup layak, mendapatkan pendidikan, bekerja, beragama, serta dilindungi dari penindasan. Keadilan sosial tidak bisa dilepaskan dari upaya menjaga kelima maqashid tersebut, karena di sanalah letak keutuhan martabat manusia.

Menjaga Jiwa dan Akal sebagai Pilar Kemanusiaan

Salah satu bentuk keadilan sosial adalah memastikan setiap orang mendapatkan hak untuk hidup sehat dan berakal. Dalam konteks ini, maqashid syariah menekankan pentingnya perlindungan terhadap jiwa dan akal. Negara dan masyarakat wajib menjamin akses terhadap layanan kesehatan, kebersihan lingkungan, serta edukasi yang layak. Larangan terhadap segala bentuk kekerasan, eksploitasi, dan penyalahgunaan zat adiktif adalah bagian dari upaya menjaga jiwa dan akal manusia.

Negara yang menelantarkan rakyatnya dalam hal kesehatan atau membiarkan mereka tenggelam dalam kebodohan dan keterbelakangan ilmu, telah gagal menjalankan amanah maqashid syariah. Pendidikan dan kesehatan bukan sekadar fasilitas, melainkan hak dasar yang menjadi pilar utama keadilan sosial.

Menjaga Harta dan Keseimbangan Ekonomi

Dalam maqashid syariah, harta memiliki kedudukan penting. Islam mengakui hak kepemilikan, namun sekaligus menekankan tanggung jawab sosial atas harta yang dimiliki. Keadilan sosial dalam bidang ekonomi terwujud ketika ada mekanisme yang menjamin bahwa kekayaan tidak hanya berputar di kalangan tertentu. Zakat, infak, sedekah, dan larangan riba adalah instrumen syariah yang bertujuan menciptakan redistribusi kekayaan secara adil.

Di sinilah peran maqashid begitu terasa: ia mencegah penumpukan kekayaan pada segelintir elit, dan mendorong terciptanya solidaritas sosial. Kewajiban zakat, misalnya, bukan hanya ibadah spiritual, tetapi juga instrumen ekonomi untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan.

Menjaga Keturunan dan Martabat Sosial

Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat, dan maqashid syariah menempatkan perlindungan terhadap keturunan sebagai salah satu tujuannya. Masyarakat yang adil adalah masyarakat yang menjamin perlindungan terhadap anak-anak, perempuan, dan kelompok rentan lainnya. Pernikahan, pengasuhan, serta perlindungan dari kekerasan dalam rumah tangga merupakan bagian integral dari maqashid menjaga nasab dan martabat manusia.

Dalam masyarakat modern, keadilan sosial juga meliputi perlindungan hukum terhadap eksploitasi seksual, kekerasan dalam rumah tangga, serta penyediaan akses yang sama terhadap layanan pendidikan dan pekerjaan bagi semua kelompok tanpa diskriminasi gender.

Menjaga Agama dan Kebebasan Berkeyakinan

Keadilan sosial menurut maqashid syariah juga mencakup kebebasan beragama dan berkeyakinan. Meskipun Islam memiliki hukum-hukum tersendiri, tetapi maqashid mengajarkan toleransi dan perlindungan terhadap kelompok minoritas. Islam tidak memaksakan keyakinan, sebagaimana firman Allah, “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama” (QS. Al-Baqarah: 256).

Negara yang adil adalah negara yang menghormati keyakinan warga negaranya, selama tidak mengganggu ketertiban umum. Dalam konteks pluralisme, maqashid syariah memberi ruang bagi hidup berdampingan secara damai antar pemeluk agama yang berbeda.

Maqashid sebagai Kompas Etika dalam Kebijakan Publik

Dalam dunia modern, maqashid syariah dapat dijadikan sebagai kerangka moral dan etis dalam perumusan kebijakan publik. Prinsip maqashid tidak hanya relevan di wilayah fikih, tetapi juga dalam bidang-bidang strategis seperti pembangunan ekonomi, pendidikan, perlindungan lingkungan, dan sistem hukum.

Para ulama kontemporer seperti Jasser Auda bahkan mengembangkan maqashid dalam format yang lebih luas, mencakup nilai-nilai seperti kebebasan, kesetaraan, keterbukaan, dan perlindungan hak asasi manusia. Dengan pendekatan ini, maqashid tidak hanya menjadi warisan tradisi, tetapi juga solusi bagi tantangan zaman.

Penutup

Maqashid syariah adalah roh dari hukum Islam yang menekankan pada pencapaian kemaslahatan dan pencegahan kerusakan. Dalam konteks keadilan sosial, maqashid menjadi panduan yang menuntun umat Islam untuk membangun masyarakat yang manusiawi, adil, dan seimbang. Ia bukan hanya alat untuk memahami hukum, tetapi juga panduan moral dalam menciptakan peradaban yang memberi ruang bagi semua.

Ketika maqashid dijadikan pijakan dalam membangun sistem sosial, maka hukum Islam bukan hanya tampak relevan, tetapi juga transformatif—menghadirkan keadilan yang nyata di tengah dunia yang kompleks dan penuh tantangan.

Continue Reading

Ruang Sujud

Maqashid Syariah sebagai Landasan Etika dalam Ekonomi Islam

Published

on

Monitorday.com – Ekonomi Islam bukan hanya sekadar sistem finansial yang melarang riba atau menganjurkan zakat, tetapi sebuah tatanan ekonomi yang dibangun di atas nilai-nilai moral dan spiritual. Di tengah sistem ekonomi konvensional yang sering kali mengejar keuntungan tanpa batas, ekonomi Islam hadir dengan pendekatan yang lebih seimbang—mengutamakan kemaslahatan, keadilan, dan kesejahteraan bersama. Semua ini berakar pada satu konsep penting dalam Islam: maqashid syariah.

Maqashid syariah adalah tujuan-tujuan utama dari diterapkannya hukum Islam. Tujuan ini mencakup perlindungan terhadap lima aspek utama kehidupan manusia: agama (din), jiwa (nafs), akal (‘aql), keturunan (nasl), dan harta (mal). Dalam konteks ekonomi Islam, maqashid ini berperan sebagai fondasi etis yang menentukan arah kebijakan, strategi bisnis, hingga perilaku konsumen.

Etika Ekonomi: Lebih dari Sekadar Keuntungan

Dalam sistem kapitalisme, orientasi utama pelaku ekonomi adalah profit maximization atau memaksimalkan keuntungan. Sementara dalam ekonomi Islam, prinsip keadilan dan keseimbangan lebih dikedepankan. Di sinilah maqashid syariah memainkan peran penting sebagai kompas moral: ia memastikan bahwa kegiatan ekonomi tidak melanggar prinsip-prinsip dasar syariat dan tetap berpihak pada kemanusiaan.

Contohnya, maqashid menjaga harta (hifz al-mal) bukan hanya berarti menghormati kepemilikan individu, tetapi juga mendorong agar kekayaan tidak terpusat pada kelompok tertentu saja. Hal ini sejalan dengan perintah Allah dalam QS. Al-Hasyr: 7: “…supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”

Distribusi Kekayaan dan Prinsip Keadilan

Konsep keadilan dalam ekonomi Islam diwujudkan melalui sistem distribusi kekayaan yang adil dan merata. Ini tidak berarti setiap orang harus memiliki jumlah kekayaan yang sama, tetapi bahwa setiap individu punya kesempatan dan hak untuk hidup layak. Zakat, infak, dan wakaf menjadi instrumen penting dalam memastikan distribusi ini berjalan.

Zakat, misalnya, bukan hanya ibadah, tapi juga mekanisme distribusi kekayaan. Ia berfungsi sebagai pembersih harta dan sekaligus alat untuk menjaga stabilitas sosial. Ini adalah bentuk konkret dari maqashid dalam konteks menjaga harta sekaligus menjaga jiwa masyarakat miskin agar tidak terlantar dan kehilangan hak dasarnya untuk hidup layak.

Larangan Riba dan Perlindungan Konsumen

Salah satu bentuk nyata dari penerapan maqashid dalam ekonomi Islam adalah larangan riba. Riba merusak keseimbangan ekonomi karena menindas pihak yang lemah secara finansial dan memperkaya pemilik modal tanpa usaha produktif. Larangan riba sejalan dengan maqashid menjaga harta dan jiwa, karena mencegah eksploitasi ekonomi dan potensi kehancuran finansial bagi individu atau masyarakat.

Selain riba, praktik spekulatif berlebihan (gharar) juga dilarang dalam Islam. Hal ini demi menjaga transparansi dan perlindungan konsumen dalam transaksi ekonomi. Dalam Islam, transaksi yang adil, jelas, dan saling menguntungkan menjadi syarat sahnya akad. Maka dari itu, maqashid menjaga akal dan harta tercermin dalam mekanisme perbankan syariah, asuransi syariah, dan pasar modal syariah yang lebih transparan dan berbasis prinsip syariah.

Etika Produksi dan Konsumsi

Dalam maqashid syariah, aktivitas ekonomi seperti produksi dan konsumsi tidak bebas nilai. Segala bentuk produksi harus memperhatikan kemaslahatan umat dan tidak merusak lingkungan atau menciptakan kemudaratan. Produk yang haram atau membahayakan kesehatan dilarang, karena bertentangan dengan maqashid menjaga jiwa dan akal.

Begitu pula dalam konsumsi, Islam mengajarkan prinsip keseimbangan. Tidak boros, tapi juga tidak kikir. “Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan.” (QS. Al-A’raf: 31). Gaya hidup konsumtif yang mendorong seseorang hidup di luar batas kemampuannya justru merusak tatanan ekonomi dan sosial. Maka, maqashid hadir untuk menyeimbangkan antara hak menikmati dunia dan tanggung jawab sosial terhadap sesama.

Peran Negara dan Kebijakan Publik

Dalam skala lebih besar, maqashid syariah menjadi dasar bagi penyusunan kebijakan ekonomi publik. Negara yang menjalankan ekonomi Islam seharusnya menjamin perlindungan terhadap hak-hak warga, terutama kelompok miskin dan rentan. Subsidi kebutuhan pokok, pendidikan gratis, layanan kesehatan, dan penciptaan lapangan kerja adalah bagian dari manifestasi maqashid dalam kebijakan negara.

Negara juga wajib mengawasi pasar agar tidak terjadi praktik monopoli, penimbunan, atau manipulasi harga yang merugikan masyarakat. Ini selaras dengan prinsip Islam dalam menjaga keseimbangan pasar dan mencegah kedzaliman dalam transaksi.

Maqashid sebagai Kerangka Berpikir Dinamis

Salah satu kekuatan maqashid adalah fleksibilitas dan relevansinya dalam menjawab tantangan zaman. Para pemikir kontemporer seperti Jasser Auda mengembangkan pendekatan sistemik terhadap maqashid yang mencakup aspek kebebasan, keadilan, pembangunan berkelanjutan, hingga hak asasi manusia. Dalam ekonomi, ini memberi ruang untuk inovasi dan adaptasi dalam menciptakan sistem keuangan yang inklusif, adil, dan modern, namun tetap berakar pada nilai-nilai Islam.

Penutup

Maqashid syariah bukan hanya sekadar teori dalam buku fikih, tetapi panduan etis dan moral yang hidup dalam seluruh aspek ekonomi Islam. Ia memastikan bahwa setiap aktivitas ekonomi membawa maslahat, menjauhkan dari kerusakan, dan menjaga hak-hak dasar manusia.

Dengan menjadikan maqashid sebagai landasan etika ekonomi, Islam menunjukkan bahwa spiritualitas dan keadilan bisa berjalan seiring. Ia bukan sistem yang utopis, tetapi sistem yang manusiawi—dimana keuntungan, etika, dan keberkahan bisa bersatu dalam harmoni.

Continue Reading

Monitor Saham BUMN



News5 hours ago

Kasus Kalibata, BGN Perketat Seleksi Mitra Program Makan Bergizi Gratis

Sportechment8 hours ago

Comeback Dramatis, Persib Tumbangkan Bali United di GBLA

Review9 hours ago

SMK Indonesia Menembus Dunia Kerja Global

Ruang Sujud13 hours ago

Takabbur: Penyakit Hati yang Menggerogoti Jiwa Manusia

News16 hours ago

Berantas Ilegal Fishing, ORCA 03 Tangkap 2 Kapal Ikan Asing Vietnam di Laut Natuna

News17 hours ago

Dapur Bergizi, Uang Digoreng Sampai Gosong

Ruang Sujud17 hours ago

Bahaya Takabbur dalam Kehidupan Sehari-hari dan Cara Menghindarinya

Sportechment20 hours ago

Duh! Hakim AS Putuskan Google Bersalah Gegara Kasus Ini

Review21 hours ago

Damai yang Membunuh Palestina

Sportechment21 hours ago

Derby Korea Batal Terjadi di Final Piala Asia U-17 2025, Penakluk Indonesia Keok

Ruang Sujud21 hours ago

Takabbur: Penyakit Hati yang Membutakan Kebenaran

Sportechment21 hours ago

Comeback Gila MU Bikin Old Trafford Bergemuruh, Amorim Sindir Suporter yang Balik Duluan

News1 day ago

Pesan Wamendikdasmen Saat Melepas 1.500 Lulusan SMK Siap Kerja ke LN

News1 day ago

Tingkatkan Kualitas Pendidikan, Mendikdasmen Wajibkan Guru Ikuti Pelatihan Rutin

News1 day ago

MUI dan Tokoh Lintas Agama Sikapi Rencana Evakuasi Penduduk Gaza

News1 day ago

Menlu RI dan AS Sepakat Perluas Kemitraan Strategis

News1 day ago

Prabowo Siapkan Langkah Strategis untuk Evakuasi Warga Gaza ke Indonesia

News1 day ago

Mensos: Guru Sekolah Rakyat Diprioritaskan dari PNS dan PPPK

Ruang Sujud1 day ago

Iffah: Pilar Kekuatan Spiritual dalam Islam

Sportechment1 day ago

Tertinggal dari Marquez, Manajer Ducati Soroti Masalah Mental Bagnaia