Connect with us

Ruang Sujud

Bahaya Istihza’: Ketika Candaan Menjadi Kufur

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Dalam kehidupan sehari-hari, bercanda adalah hal yang lumrah. Humor bisa mencairkan suasana, menghibur hati yang gundah, dan mempererat hubungan. Namun dalam Islam, tidak semua candaan dibenarkan, terutama jika menyangkut hal-hal suci. Ada satu jenis candaan yang sangat berbahaya, yaitu istihza’, atau memperolok agama. Bahayanya tidak main-main: bisa membuat seseorang jatuh dalam kekufuran meskipun awalnya ia adalah seorang muslim.

Apa Itu Istihza’?

Istihza’ adalah tindakan mengejek, merendahkan, atau mempermainkan hal-hal yang berhubungan dengan agama. Ini bisa berupa ejekan terhadap Allah, Rasul-Nya, Al-Qur’an, hadis, hukum-hukum syariat, atau segala sesuatu yang menjadi bagian dari simbol dan ajaran Islam.

Yang membuat istihza’ sangat serius adalah karena ia bukan sekadar dosa besar—ia bisa membatalkan iman seseorang secara langsung, apalagi jika dilakukan dengan sadar dan sengaja.

Ketika Candaan Menjadi Kekufuran

Banyak orang yang terjebak dalam istihza’ karena niat awalnya hanya bercanda. Mereka mengatakan, “Cuma bercanda kok,” atau, “Itu hanya untuk lucu-lucuan.” Padahal, Allah telah memberikan peringatan keras tentang hal ini dalam Al-Qur’an:

> “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan), pasti mereka akan menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah, ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok?’ Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah: 65–66)

Ayat ini turun ketika sekelompok orang mengolok-olok Nabi dan para sahabat. Ketika ditegur, mereka mengaku hanya bercanda. Namun Allah tidak menerima alasan itu. Ini menjadi dalil utama bahwa candaan yang merendahkan agama tetap dihitung sebagai kekufuran, tidak peduli seberapa “ringan” niat di baliknya.

Contoh Istihza’ dalam Kehidupan Modern

Di era media sosial saat ini, bentuk-bentuk istihza’ makin marak dan sering dibungkus dengan gaya lucu. Berikut beberapa contohnya:

Meme atau video yang memperolok ibadah seperti salat, puasa, haji, atau azan.

Lelucon tentang surga dan neraka yang dibuat seenaknya.

Sindiran terhadap ajaran poligami, hukum waris, atau syariat Islam dengan nada menghina.

Olok-olok terhadap ulama, sunnah Nabi, atau istilah-istilah Islam (seperti “jilbab itu gaya Arab”).

Ucapan yang meremehkan ajaran: “Zaman sekarang masih percaya kiamat?”, atau “Islam kok atur-atur hidup sih?”

Meskipun tampaknya hanya sekadar ekspresi, istihza’ bisa muncul dari lisan, tulisan, ekspresi wajah, bahkan emoji, dan semua itu dihitung jika mengandung makna merendahkan agama.

Pandangan Ulama Mengenai Istihza’

Para ulama sepakat bahwa istihza’ terhadap agama adalah kekufuran. Imam an-Nawawi berkata, “Barang siapa yang memperolok Al-Qur’an atau sebagian darinya, atau memperolok hukum Allah, maka ia telah kafir dengan kesepakatan para ulama.”

Imam Ibn Taimiyah juga menegaskan, “Orang yang memperolok Allah, Rasul-Nya, atau agama-Nya, maka ia kafir, baik ia melakukannya karena serius atau bercanda.”

Ini menunjukkan betapa bahayanya mempermainkan agama, meskipun dengan niat yang dianggap ringan oleh pelakunya.

Hukum Taubat bagi Pelaku Istihza’

Jika seseorang pernah melakukan istihza’ secara sadar, maka jalan satu-satunya adalah bertaubat dengan sungguh-sungguh (taubat nasuha). Taubatnya mencakup:

1. Menyesali perbuatannya dengan sepenuh hati.

2. Segera berhenti dari ejekan tersebut dan menjauhi segala yang sejenis.

3. Berjanji dalam hati untuk tidak mengulangi perbuatan itu.

4. Mengucapkan kembali dua kalimat syahadat, karena ia telah keluar dari Islam.

Jika perbuatannya dilakukan di depan umum, maka ia juga harus mengklarifikasi dan meminta maaf secara terbuka, agar tidak menjadi contoh buruk bagi orang lain.

Kenapa Kita Harus Hati-Hati?

Iman itu hal yang mahal. Rasulullah SAW bersabda:

> “Sesungguhnya ada seseorang yang mengucapkan satu kalimat yang ia anggap biasa, namun karena kalimat itu ia tergelincir ke neraka sejauh 70 tahun.” (HR. Tirmidzi)

Ucapan ringan bisa punya konsekuensi besar dalam Islam. Maka penting bagi kita untuk menjaga lisan dan jari-jari kita saat menulis atau membagikan sesuatu, terutama di dunia maya. Jangan sampai kita menjadi penyebab hilangnya iman sendiri atau bahkan orang lain.

Islam Bukan Anti-Humor, Tapi Ada Batasannya

Islam tidak melarang umatnya untuk bercanda. Bahkan Rasulullah SAW sendiri pernah bercanda dengan para sahabat dan keluarganya. Namun, beliau tidak pernah berdusta dalam candaannya, apalagi memperolok agama.

Contoh candaan Rasulullah adalah ketika seorang sahabat meminta agar beliau membawanya naik unta. Rasul menjawab, “Akan kuberikan kepadamu anak unta.” Si sahabat bingung dan berkata, “Apa gunanya anak unta?” Rasul pun menjelaskan, “Bukankah setiap unta itu juga anak dari unta?”

Candaan beliau ringan, cerdas, dan tidak merendahkan siapa pun. Ini menjadi teladan bagi kita bahwa humor dalam Islam boleh, selama tidak melanggar adab, apalagi akidah.

Penutup

Istihza’ adalah penyakit yang diam-diam bisa merusak iman. Ia bisa muncul dalam bentuk guyonan, sindiran, atau komentar ringan, namun dampaknya bisa fatal. Islam mengajarkan untuk menjaga kesucian agama dengan penuh hormat dan kehati-hatian, baik dalam perkataan maupun tindakan.

Di tengah budaya hiburan dan konten viral yang semakin bebas, seorang muslim dituntut untuk lebih selektif dan bertanggung jawab terhadap setiap hal yang ia katakan atau bagikan. Jangan sampai demi lucu-lucuan, kita menggadaikan iman yang nilainya tak tergantikan.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ruang Sujud

Mengenal Maqashid Syariah: Tujuan Hakiki di Balik Hukum Islam

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Dalam perbincangan mengenai hukum Islam, istilah maqashid syariah kerap muncul sebagai konsep yang fundamental. Maqashid syariah merujuk pada tujuan-tujuan utama yang hendak dicapai oleh syariat Islam dalam menetapkan hukum-hukumnya. Dengan memahami maqashid syariah, kita tidak hanya memahami “apa” dan “bagaimana” hukum itu berlaku, tetapi juga “mengapa” hukum tersebut penting bagi kemaslahatan manusia.

Secara etimologis, maqashid berarti tujuan atau maksud, sedangkan syariah berarti jalan atau aturan yang ditetapkan oleh Allah SWT. Maka, maqashid syariah adalah maksud atau tujuan dari ditetapkannya syariat Islam. Konsep ini menegaskan bahwa syariat tidak hadir dalam ruang hampa; ia bukan sekadar perintah atau larangan tanpa makna, tetapi mengandung hikmah besar untuk mewujudkan kebaikan dan menolak keburukan bagi umat manusia.

Imam Al-Ghazali adalah salah satu ulama klasik yang paling berpengaruh dalam pengembangan konsep maqashid syariah. Menurut beliau, tujuan utama syariah adalah menjaga lima hal pokok: agama (din), jiwa (nafs), akal (‘aql), keturunan (nasl), dan harta (mal). Kelima hal ini disebut sebagai dharuriyat al-khams, yaitu kebutuhan primer manusia yang harus dijaga untuk menciptakan kehidupan yang sejahtera dan harmonis.

1. Menjaga Agama (Hifz al-Din)
Islam sebagai agama memiliki landasan iman dan ibadah yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya. Syariat bertujuan menjaga kemurnian aqidah dan memastikan kebebasan beragama tetap terjaga. Oleh karena itu, kewajiban salat, larangan syirik, dan perlindungan terhadap tempat ibadah merupakan bagian dari realisasi tujuan ini.

2. Menjaga Jiwa (Hifz al-Nafs)
Kehidupan manusia sangat dihargai dalam Islam. Larangan membunuh, kewajiban qisas, dan aturan dalam peperangan yang menghindari pembunuhan terhadap non-kombatan adalah upaya nyata untuk menjaga jiwa. Bahkan dalam konteks kesehatan, Islam menganjurkan pengobatan dan menjaga tubuh sebagai bentuk penghormatan terhadap kehidupan.

3. Menjaga Akal (Hifz al-‘Aql)
Akal adalah anugerah besar dari Allah yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. Karena itu, segala bentuk yang merusak akal seperti minuman keras dan narkotika dilarang keras. Sebaliknya, Islam mendorong pencarian ilmu dan pemikiran rasional dalam memahami alam semesta dan ajaran agama.

4. Menjaga Keturunan (Hifz al-Nasl)
Syariat Islam menetapkan pernikahan sebagai institusi yang sah dalam menjaga kehormatan dan keturunan. Larangan zina, hukum waris, dan tanggung jawab keluarga merupakan implementasi dari tujuan ini. Anak-anak juga dilindungi haknya sejak dini agar tumbuh dalam lingkungan yang sehat secara fisik dan spiritual.

5. Menjaga Harta (Hifz al-Mal)
Harta dalam Islam diakui sebagai salah satu komponen penting dalam kehidupan. Syariat menetapkan berbagai hukum tentang kepemilikan, transaksi, zakat, dan larangan riba demi menjaga keadilan ekonomi dan mencegah penindasan. Pencurian, korupsi, dan penipuan dilarang karena merusak tatanan sosial dan menimbulkan kesenjangan.

Dalam perkembangan kontemporer, para pemikir Islam seperti Syekh Yusuf al-Qaradawi dan Jasser Auda memperluas cakupan maqashid syariah. Mereka menekankan pentingnya maqashid dalam membaca dinamika zaman, seperti hak asasi manusia, keadilan gender, lingkungan hidup, dan tata kelola pemerintahan yang baik. Dengan pendekatan maqashid, syariah menjadi lentur dan adaptif tanpa kehilangan esensinya.

Pendekatan maqashid ini juga menjadi jembatan penting antara teks dan konteks. Dalam dunia yang terus berubah, tidak semua permasalahan dapat diselesaikan dengan pendekatan literal terhadap teks. Maqashid memberikan kerangka pemikiran untuk menimbang maslahat dan mafsadat (kebaikan dan keburukan) dalam menetapkan hukum. Misalnya, dalam kasus pandemi, kebijakan penutupan masjid untuk sementara waktu dapat dibenarkan berdasarkan tujuan menjaga jiwa.

Namun, memahami maqashid tidak boleh dijadikan alasan untuk mengabaikan nash (teks suci). Pendekatan maqashid harus sejalan dengan prinsip-prinsip dasar syariah, dan tidak boleh digunakan untuk melegitimasi kepentingan pribadi atau kelompok. Oleh karena itu, pemahaman maqashid memerlukan keluasan ilmu, kejujuran intelektual, dan niat yang tulus untuk mencari ridha Allah.

Sebagai umat Islam, memahami maqashid syariah adalah bagian dari upaya untuk menghayati agama secara lebih mendalam. Ia mengajarkan bahwa Islam bukan hanya kumpulan aturan, tetapi sistem nilai yang menjunjung tinggi kemaslahatan manusia. Dengan maqashid, kita belajar untuk tidak sekadar patuh pada hukum, tetapi juga memahami jiwa dan tujuannya.

Akhirnya, maqashid syariah menjadi cermin bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Ia hadir untuk menjaga, melindungi, dan memuliakan manusia dalam seluruh dimensi kehidupannya—spiritual, fisik, intelektual, sosial, dan ekonomi. Maka, memahami maqashid syariah bukan hanya tugas ulama, tetapi juga panggilan bagi setiap Muslim yang ingin hidup sesuai dengan nilai-nilai ilahiah yang penuh hikmah.

Continue Reading

Ruang Sujud

Peran Maqashid Syariah dalam Mewujudkan Keadilan Sosial

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Islam bukan hanya agama yang mengatur ibadah individual, tetapi juga memiliki sistem nilai yang menyentuh seluruh aspek kehidupan, termasuk keadilan sosial. Dalam konteks ini, maqashid syariah atau tujuan-tujuan utama syariat Islam memainkan peran penting sebagai fondasi dalam mewujudkan masyarakat yang adil, harmonis, dan sejahtera.

Maqashid syariah secara umum merujuk pada lima tujuan pokok syariat, yaitu menjaga agama (hifz al-din), jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz al-‘aql), keturunan (hifz al-nasl), dan harta (hifz al-mal). Kelima hal ini dikenal sebagai dharuriyat al-khams atau kebutuhan dasar manusia yang harus dilindungi demi tercapainya kemaslahatan. Ketika lima hal ini ditegakkan secara menyeluruh, maka lahirlah sistem sosial yang berkeadilan.

Keadilan Sosial dalam Perspektif Islam

Keadilan dalam Islam bukan sekadar distribusi kekayaan yang merata, melainkan sebuah tatanan hidup yang menjamin hak-hak dasar manusia dihormati dan dilindungi. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan…” (QS. An-Nahl: 90). Ini menjadi dasar bahwa keadilan adalah prinsip utama dalam setiap aspek kebijakan dan hukum Islam.

Dalam maqashid syariah, keadilan sosial terwujud saat setiap individu, tanpa memandang status sosial atau ekonomi, memperoleh haknya untuk hidup layak, mendapatkan pendidikan, bekerja, beragama, serta dilindungi dari penindasan. Keadilan sosial tidak bisa dilepaskan dari upaya menjaga kelima maqashid tersebut, karena di sanalah letak keutuhan martabat manusia.

Menjaga Jiwa dan Akal sebagai Pilar Kemanusiaan

Salah satu bentuk keadilan sosial adalah memastikan setiap orang mendapatkan hak untuk hidup sehat dan berakal. Dalam konteks ini, maqashid syariah menekankan pentingnya perlindungan terhadap jiwa dan akal. Negara dan masyarakat wajib menjamin akses terhadap layanan kesehatan, kebersihan lingkungan, serta edukasi yang layak. Larangan terhadap segala bentuk kekerasan, eksploitasi, dan penyalahgunaan zat adiktif adalah bagian dari upaya menjaga jiwa dan akal manusia.

Negara yang menelantarkan rakyatnya dalam hal kesehatan atau membiarkan mereka tenggelam dalam kebodohan dan keterbelakangan ilmu, telah gagal menjalankan amanah maqashid syariah. Pendidikan dan kesehatan bukan sekadar fasilitas, melainkan hak dasar yang menjadi pilar utama keadilan sosial.

Menjaga Harta dan Keseimbangan Ekonomi

Dalam maqashid syariah, harta memiliki kedudukan penting. Islam mengakui hak kepemilikan, namun sekaligus menekankan tanggung jawab sosial atas harta yang dimiliki. Keadilan sosial dalam bidang ekonomi terwujud ketika ada mekanisme yang menjamin bahwa kekayaan tidak hanya berputar di kalangan tertentu. Zakat, infak, sedekah, dan larangan riba adalah instrumen syariah yang bertujuan menciptakan redistribusi kekayaan secara adil.

Di sinilah peran maqashid begitu terasa: ia mencegah penumpukan kekayaan pada segelintir elit, dan mendorong terciptanya solidaritas sosial. Kewajiban zakat, misalnya, bukan hanya ibadah spiritual, tetapi juga instrumen ekonomi untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan.

Menjaga Keturunan dan Martabat Sosial

Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat, dan maqashid syariah menempatkan perlindungan terhadap keturunan sebagai salah satu tujuannya. Masyarakat yang adil adalah masyarakat yang menjamin perlindungan terhadap anak-anak, perempuan, dan kelompok rentan lainnya. Pernikahan, pengasuhan, serta perlindungan dari kekerasan dalam rumah tangga merupakan bagian integral dari maqashid menjaga nasab dan martabat manusia.

Dalam masyarakat modern, keadilan sosial juga meliputi perlindungan hukum terhadap eksploitasi seksual, kekerasan dalam rumah tangga, serta penyediaan akses yang sama terhadap layanan pendidikan dan pekerjaan bagi semua kelompok tanpa diskriminasi gender.

Menjaga Agama dan Kebebasan Berkeyakinan

Keadilan sosial menurut maqashid syariah juga mencakup kebebasan beragama dan berkeyakinan. Meskipun Islam memiliki hukum-hukum tersendiri, tetapi maqashid mengajarkan toleransi dan perlindungan terhadap kelompok minoritas. Islam tidak memaksakan keyakinan, sebagaimana firman Allah, “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama” (QS. Al-Baqarah: 256).

Negara yang adil adalah negara yang menghormati keyakinan warga negaranya, selama tidak mengganggu ketertiban umum. Dalam konteks pluralisme, maqashid syariah memberi ruang bagi hidup berdampingan secara damai antar pemeluk agama yang berbeda.

Maqashid sebagai Kompas Etika dalam Kebijakan Publik

Dalam dunia modern, maqashid syariah dapat dijadikan sebagai kerangka moral dan etis dalam perumusan kebijakan publik. Prinsip maqashid tidak hanya relevan di wilayah fikih, tetapi juga dalam bidang-bidang strategis seperti pembangunan ekonomi, pendidikan, perlindungan lingkungan, dan sistem hukum.

Para ulama kontemporer seperti Jasser Auda bahkan mengembangkan maqashid dalam format yang lebih luas, mencakup nilai-nilai seperti kebebasan, kesetaraan, keterbukaan, dan perlindungan hak asasi manusia. Dengan pendekatan ini, maqashid tidak hanya menjadi warisan tradisi, tetapi juga solusi bagi tantangan zaman.

Penutup

Maqashid syariah adalah roh dari hukum Islam yang menekankan pada pencapaian kemaslahatan dan pencegahan kerusakan. Dalam konteks keadilan sosial, maqashid menjadi panduan yang menuntun umat Islam untuk membangun masyarakat yang manusiawi, adil, dan seimbang. Ia bukan hanya alat untuk memahami hukum, tetapi juga panduan moral dalam menciptakan peradaban yang memberi ruang bagi semua.

Ketika maqashid dijadikan pijakan dalam membangun sistem sosial, maka hukum Islam bukan hanya tampak relevan, tetapi juga transformatif—menghadirkan keadilan yang nyata di tengah dunia yang kompleks dan penuh tantangan.

Continue Reading

Ruang Sujud

Maqashid Syariah sebagai Landasan Etika dalam Ekonomi Islam

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Ekonomi Islam bukan hanya sekadar sistem finansial yang melarang riba atau menganjurkan zakat, tetapi sebuah tatanan ekonomi yang dibangun di atas nilai-nilai moral dan spiritual. Di tengah sistem ekonomi konvensional yang sering kali mengejar keuntungan tanpa batas, ekonomi Islam hadir dengan pendekatan yang lebih seimbang—mengutamakan kemaslahatan, keadilan, dan kesejahteraan bersama. Semua ini berakar pada satu konsep penting dalam Islam: maqashid syariah.

Maqashid syariah adalah tujuan-tujuan utama dari diterapkannya hukum Islam. Tujuan ini mencakup perlindungan terhadap lima aspek utama kehidupan manusia: agama (din), jiwa (nafs), akal (‘aql), keturunan (nasl), dan harta (mal). Dalam konteks ekonomi Islam, maqashid ini berperan sebagai fondasi etis yang menentukan arah kebijakan, strategi bisnis, hingga perilaku konsumen.

Etika Ekonomi: Lebih dari Sekadar Keuntungan

Dalam sistem kapitalisme, orientasi utama pelaku ekonomi adalah profit maximization atau memaksimalkan keuntungan. Sementara dalam ekonomi Islam, prinsip keadilan dan keseimbangan lebih dikedepankan. Di sinilah maqashid syariah memainkan peran penting sebagai kompas moral: ia memastikan bahwa kegiatan ekonomi tidak melanggar prinsip-prinsip dasar syariat dan tetap berpihak pada kemanusiaan.

Contohnya, maqashid menjaga harta (hifz al-mal) bukan hanya berarti menghormati kepemilikan individu, tetapi juga mendorong agar kekayaan tidak terpusat pada kelompok tertentu saja. Hal ini sejalan dengan perintah Allah dalam QS. Al-Hasyr: 7: “…supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”

Distribusi Kekayaan dan Prinsip Keadilan

Konsep keadilan dalam ekonomi Islam diwujudkan melalui sistem distribusi kekayaan yang adil dan merata. Ini tidak berarti setiap orang harus memiliki jumlah kekayaan yang sama, tetapi bahwa setiap individu punya kesempatan dan hak untuk hidup layak. Zakat, infak, dan wakaf menjadi instrumen penting dalam memastikan distribusi ini berjalan.

Zakat, misalnya, bukan hanya ibadah, tapi juga mekanisme distribusi kekayaan. Ia berfungsi sebagai pembersih harta dan sekaligus alat untuk menjaga stabilitas sosial. Ini adalah bentuk konkret dari maqashid dalam konteks menjaga harta sekaligus menjaga jiwa masyarakat miskin agar tidak terlantar dan kehilangan hak dasarnya untuk hidup layak.

Larangan Riba dan Perlindungan Konsumen

Salah satu bentuk nyata dari penerapan maqashid dalam ekonomi Islam adalah larangan riba. Riba merusak keseimbangan ekonomi karena menindas pihak yang lemah secara finansial dan memperkaya pemilik modal tanpa usaha produktif. Larangan riba sejalan dengan maqashid menjaga harta dan jiwa, karena mencegah eksploitasi ekonomi dan potensi kehancuran finansial bagi individu atau masyarakat.

Selain riba, praktik spekulatif berlebihan (gharar) juga dilarang dalam Islam. Hal ini demi menjaga transparansi dan perlindungan konsumen dalam transaksi ekonomi. Dalam Islam, transaksi yang adil, jelas, dan saling menguntungkan menjadi syarat sahnya akad. Maka dari itu, maqashid menjaga akal dan harta tercermin dalam mekanisme perbankan syariah, asuransi syariah, dan pasar modal syariah yang lebih transparan dan berbasis prinsip syariah.

Etika Produksi dan Konsumsi

Dalam maqashid syariah, aktivitas ekonomi seperti produksi dan konsumsi tidak bebas nilai. Segala bentuk produksi harus memperhatikan kemaslahatan umat dan tidak merusak lingkungan atau menciptakan kemudaratan. Produk yang haram atau membahayakan kesehatan dilarang, karena bertentangan dengan maqashid menjaga jiwa dan akal.

Begitu pula dalam konsumsi, Islam mengajarkan prinsip keseimbangan. Tidak boros, tapi juga tidak kikir. “Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan.” (QS. Al-A’raf: 31). Gaya hidup konsumtif yang mendorong seseorang hidup di luar batas kemampuannya justru merusak tatanan ekonomi dan sosial. Maka, maqashid hadir untuk menyeimbangkan antara hak menikmati dunia dan tanggung jawab sosial terhadap sesama.

Peran Negara dan Kebijakan Publik

Dalam skala lebih besar, maqashid syariah menjadi dasar bagi penyusunan kebijakan ekonomi publik. Negara yang menjalankan ekonomi Islam seharusnya menjamin perlindungan terhadap hak-hak warga, terutama kelompok miskin dan rentan. Subsidi kebutuhan pokok, pendidikan gratis, layanan kesehatan, dan penciptaan lapangan kerja adalah bagian dari manifestasi maqashid dalam kebijakan negara.

Negara juga wajib mengawasi pasar agar tidak terjadi praktik monopoli, penimbunan, atau manipulasi harga yang merugikan masyarakat. Ini selaras dengan prinsip Islam dalam menjaga keseimbangan pasar dan mencegah kedzaliman dalam transaksi.

Maqashid sebagai Kerangka Berpikir Dinamis

Salah satu kekuatan maqashid adalah fleksibilitas dan relevansinya dalam menjawab tantangan zaman. Para pemikir kontemporer seperti Jasser Auda mengembangkan pendekatan sistemik terhadap maqashid yang mencakup aspek kebebasan, keadilan, pembangunan berkelanjutan, hingga hak asasi manusia. Dalam ekonomi, ini memberi ruang untuk inovasi dan adaptasi dalam menciptakan sistem keuangan yang inklusif, adil, dan modern, namun tetap berakar pada nilai-nilai Islam.

Penutup

Maqashid syariah bukan hanya sekadar teori dalam buku fikih, tetapi panduan etis dan moral yang hidup dalam seluruh aspek ekonomi Islam. Ia memastikan bahwa setiap aktivitas ekonomi membawa maslahat, menjauhkan dari kerusakan, dan menjaga hak-hak dasar manusia.

Dengan menjadikan maqashid sebagai landasan etika ekonomi, Islam menunjukkan bahwa spiritualitas dan keadilan bisa berjalan seiring. Ia bukan sistem yang utopis, tetapi sistem yang manusiawi—dimana keuntungan, etika, dan keberkahan bisa bersatu dalam harmoni.

Continue Reading

Ruang Sujud

Menggali Relevansi Maqashid Syariah di Era Digital

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Di tengah revolusi digital yang kian cepat dan disruptif, umat Islam dihadapkan pada tantangan baru dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, termasuk dalam urusan ekonomi, sosial, pendidikan, hingga ibadah. Kemajuan teknologi telah mengubah cara manusia berinteraksi, bertransaksi, hingga mengakses informasi. Dalam situasi yang terus berubah ini, maqashid syariah hadir sebagai kompas moral dan nilai dasar Islam yang tetap relevan, bahkan sangat dibutuhkan, untuk menjaga arah kehidupan tetap sesuai dengan tuntunan syariat.

Maqashid syariah adalah tujuan-tujuan utama dari syariat Islam, yaitu menjaga agama (din), jiwa (nafs), akal (‘aql), keturunan (nasl), dan harta (mal). Kelima tujuan ini bukan sekadar prinsip normatif, melainkan kerangka etis yang membumi dan dapat diterapkan dalam berbagai kondisi zaman, termasuk era digital yang kompleks dan serba cepat ini.

Menjaga Agama di Tengah Banjir Informasi

Salah satu ciri utama era digital adalah banjir informasi. Internet menawarkan akses tanpa batas terhadap berbagai macam konten, mulai dari ilmu pengetahuan hingga hiburan. Namun, tidak sedikit pula konten yang menyesatkan, provokatif, atau bahkan mengandung penodaan agama.

Di sinilah maqashid menjaga agama menjadi penting. Umat Islam harus memiliki literasi digital yang baik agar dapat membedakan antara informasi yang benar dan hoaks, antara dakwah yang mencerahkan dan konten yang justru memecah belah. Para dai dan ulama juga dituntut untuk berdakwah melalui platform digital agar nilai-nilai Islam tetap hadir di ruang publik virtual.

Menjaga Jiwa di Dunia yang Penuh Tekanan

Era digital memberi kemudahan luar biasa, tetapi juga membawa tekanan mental dan sosial yang tak kalah besar. Budaya media sosial mendorong manusia untuk terus membandingkan hidupnya dengan orang lain, yang sering kali berujung pada kecemasan, iri hati, dan depresi.

Konsep hifz al-nafs (menjaga jiwa) dalam maqashid mengajarkan bahwa menjaga kesehatan mental sama pentingnya dengan menjaga fisik. Islam mengajarkan keseimbangan, ketenangan, dan kesabaran dalam menghadapi kehidupan. Dalam konteks digital, ini berarti bijak menggunakan media sosial, tidak larut dalam budaya FOMO (Fear of Missing Out), dan mengatur waktu agar tidak kecanduan layar.

Menjaga Akal dalam Arus Disinformasi

Maqashid syariah juga menekankan pentingnya menjaga akal (‘aql). Di era digital, menjaga akal berarti membentengi diri dari informasi yang menyesatkan, teori konspirasi, dan radikalisme berbasis dunia maya. Banyak generasi muda yang menjadi korban indoktrinasi online karena kurangnya literasi kritis.

Oleh karena itu, pendidikan yang terintegrasi dengan nilai-nilai Islam menjadi sangat penting. Teknologi seharusnya digunakan untuk meningkatkan kualitas berpikir dan nalar ilmiah, bukan sebaliknya. Penggunaan platform e-learning, aplikasi pembelajaran Islam, hingga AI berbasis dakwah bisa menjadi sarana memperkuat akal umat di era ini.

Menjaga Keturunan dan Etika Digital

Di dunia digital, ancaman terhadap moral generasi muda datang dalam berbagai bentuk, mulai dari pornografi, cyberbullying, hingga penyimpangan perilaku akibat konsumsi konten bebas yang tak terkendali. Dalam konteks ini, maqashid menjaga keturunan (hifz al-nasl) sangat relevan.

Orang tua dan pendidik memiliki peran krusial dalam membekali anak-anak dengan nilai-nilai Islam sejak dini, termasuk dalam mengajarkan etika berinternet. Pengawasan terhadap konten yang dikonsumsi anak, serta pembiasaan terhadap penggunaan media digital secara sehat dan produktif, adalah bagian dari usaha menjaga maqashid dalam kehidupan modern.

Menjaga Harta: Etika Finansial di Dunia Digital

Ekonomi digital membuka banyak peluang, tapi juga tantangan besar. Investasi online, kripto, NFT, dan berbagai skema bisnis digital lainnya sering kali menjerumuskan banyak orang dalam praktik yang bertentangan dengan syariat, seperti riba, gharar (ketidakjelasan), hingga penipuan.

Maqashid menjaga harta (hifz al-mal) mendorong umat Islam untuk berhati-hati dalam bertransaksi, memastikan setiap aktivitas ekonomi sesuai prinsip halal dan toyyib. Ekonomi digital yang sesuai dengan maqashid harus didorong melalui inovasi keuangan syariah digital, seperti fintech halal, zakat online, dan dompet digital berbasis syariah.

Teknologi untuk Maslahat: Inovasi Sesuai Maqashid

Alih-alih menjadi tantangan semata, teknologi digital sebetulnya bisa menjadi alat untuk mewujudkan maqashid syariah secara lebih efektif. Aplikasi pengingat waktu salat, marketplace halal, platform zakat online, hingga pemanfaatan big data untuk distribusi bantuan sosial adalah contoh bagaimana teknologi bisa menjadi sarana maslahat umat.

Namun tentu saja, semua itu harus dikembangkan dengan niat yang benar dan arah yang sesuai maqashid. Di sinilah pentingnya peran ulama, akademisi, dan profesional Muslim dalam menciptakan ekosistem digital yang islami—bukan hanya dalam kontennya, tapi juga dalam arsitektur dan nilainya.

Penutup: Maqashid sebagai Kompas Digital

Era digital adalah era penuh peluang, tetapi juga penuh jebakan. Agar tidak tersesat, umat Islam memerlukan kompas nilai yang kokoh. Maqashid syariah adalah panduan itu—ia memberi arah bagi setiap aktivitas digital agar tetap berada dalam koridor Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Dengan memahami dan menerapkan maqashid secara kontekstual, umat Islam bisa tetap relevan dan unggul di tengah perubahan zaman, tanpa kehilangan jati diri dan nilai-nilai luhur syariat.

Continue Reading

Ruang Sujud

Istihza’ dalam Perspektif Islam: Antara Dosa Besar dan Ancaman Aqidah

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Dalam kehidupan sosial yang kompleks dan penuh perbedaan, sikap saling menghormati menjadi kunci harmoni. Namun tak jarang, kita menjumpai perilaku yang justru bertentangan dengan nilai tersebut—seperti istihza’, yaitu mengejek atau memperolok hal-hal yang dianggap suci dalam Islam. Dalam pandangan syariat, istihza’ bukan hanya bentuk keburukan akhlak, tapi bisa menjadi ancaman serius terhadap keimanan seorang muslim.

Apa Itu Istihza’?

Secara bahasa, istihza’ berasal dari kata hazaa-a yang berarti mengejek, memperolok, atau merendahkan sesuatu dengan maksud menghina. Dalam konteks Islam, istihza’ merujuk pada tindakan meremehkan atau mempermainkan ajaran agama, baik itu Al-Qur’an, hadis, Allah, Rasul-Nya, syariat, maupun simbol-simbol keagamaan lainnya.

Istihza’ bisa muncul dalam berbagai bentuk, seperti ucapan yang mengejek ajaran agama, mimik wajah yang menghina praktik keislaman, bahkan konten humor atau meme yang menyindir simbol-simbol Islam secara tidak pantas. Meskipun kadang dikemas dalam bentuk candaan, tindakan ini tetap dianggap serius dalam Islam.

Dalil dan Penegasan dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an secara tegas mencela perilaku istihza’. Salah satu ayat yang sering dijadikan rujukan adalah firman Allah dalam Surah At-Taubah ayat 65-66:

“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka katakan), niscaya mereka akan menjawab: ‘Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah: ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’ Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.”

Ayat ini turun berkenaan dengan sekelompok munafik yang mengejek Rasulullah dan para sahabat. Mereka beralasan bahwa apa yang mereka katakan hanyalah candaan, namun Allah menegaskan bahwa ejekan terhadap agama tidak bisa dianggap sepele. Bahkan, Allah menyatakan bahwa tindakan tersebut bisa menggugurkan keimanan seseorang.

Hukum Istihza’ dalam Islam

Mayoritas ulama sepakat bahwa istihza’ terhadap Allah, Rasul, Al-Qur’an, ataupun syariat Islam termasuk kufur akbar, yakni kekafiran besar yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam. Ini menunjukkan betapa beratnya konsekuensi dari tindakan istihza’, meskipun pelakunya tidak berniat untuk keluar dari Islam.

Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa memperolok agama, baik dengan sungguh-sungguh maupun dalam bentuk candaan, tetap masuk dalam kategori kekufuran. Karena dalam hal ini, niat tidak menjadi pertimbangan utama—yang dilihat adalah objek dan substansi olok-oloknya.

Bentuk-Bentuk Istihza’ di Era Modern

Di zaman media sosial, istihza’ bisa menyebar dalam bentuk konten viral yang tampak lucu namun sebenarnya merendahkan agama. Contohnya adalah meme yang memperolok bacaan shalat, video yang menertawakan adzan, atau candaan tentang hukum-hukum fikih. Ironisnya, hal ini sering kali dikonsumsi oleh umat Islam sendiri tanpa kesadaran akan bahayanya.

Tak hanya itu, sebagian orang yang merasa ‘bebas berekspresi’ juga berani menyampaikan kritik terhadap agama dengan nada ejekan, seperti mempertanyakan ajaran poligami, jihad, atau jilbab dengan nada sinis dan menyudutkan. Kritik semacam ini bisa berubah menjadi istihza’ jika dilakukan dengan niat merendahkan dan memperolok.

Mengapa Istihza’ Berbahaya?

Istihza’ merusak dua hal penting dalam Islam: adab dan akidah. Dari sisi adab, mengejek hal-hal suci menunjukkan hilangnya rasa hormat terhadap sesuatu yang seharusnya diagungkan. Dari sisi akidah, istihza’ dapat menjadi tanda lemahnya iman, bahkan indikasi kemunafikan.

Lebih dari itu, istihza’ memiliki efek sosial yang destruktif. Ia bisa memicu kebencian antarumat beragama, memunculkan ketegangan sosial, dan membentuk opini negatif terhadap Islam. Maka, menjaga lisan dan etika komunikasi adalah bagian dari menjaga stabilitas sosial dan harmoni antarumat manusia.

Solusi dan Sikap Seorang Muslim

Seorang muslim hendaknya memiliki ghirah (kecemburuan) terhadap agamanya. Ketika mendengar ada yang mengejek ajaran Islam, ia tidak boleh diam atau ikut-ikutan. Sikap yang tepat adalah menegur dengan bijak, menjelaskan dengan hikmah, dan jika tidak mampu, maka menjauh dari majelis tersebut sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an:

“Dan sungguh, Dia telah menurunkan kepada kamu di dalam Kitab (Al-Qur’an) bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk bersama mereka sampai mereka membicarakan pembicaraan yang lain.” (QS. An-Nisa: 140)

Selain itu, penting bagi para dai, guru, dan pembina umat untuk menyampaikan pendidikan akidah dan adab kepada generasi muda. Media sosial harus dijadikan ruang edukasi, bukan ruang olok-olokan terhadap ajaran agama.

Penutup

Istihza’ bukanlah sekadar candaan atau ekspresi bebas. Dalam Islam, istihza’ adalah tindakan yang sangat serius karena menyangkut kehormatan agama, kebenaran wahyu, dan akidah seorang muslim. Setiap individu dituntut untuk menjaga lisannya, menghormati hal-hal yang suci, dan tidak menjadikan ajaran agama sebagai bahan olok-olokan. Sebab dalam pandangan Islam, iman dan ejekan terhadap agama tidak akan pernah bisa berdampingan.

Continue Reading

Ruang Sujud

Mengapa Istihza’ Terhadap Ajaran Islam Bisa Menggugurkan Iman?

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menjumpai candaan, sindiran, bahkan hinaan yang ditujukan pada ajaran agama. Tak jarang, hal itu dianggap biasa atau bahkan lucu oleh sebagian orang. Namun dalam Islam, tindakan seperti ini dikenal sebagai istihza’, yaitu mengejek hal-hal suci dalam agama. Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa perbuatan ini bukan sekadar dosa besar, melainkan dapat menggugurkan iman seseorang.

Definisi Istihza’ dalam Islam

Istihza’ secara bahasa berarti ejekan, olok-olok, atau mempermainkan. Dalam konteks syariat Islam, istihza’ adalah sikap memperolok ajaran agama, seperti menghina Allah, Rasulullah, Al-Qur’an, hadis, hukum Islam, atau syiar-syiar lainnya. Perilaku ini bisa dilakukan lewat ucapan, tindakan, tulisan, gambar, atau bahkan hanya dengan ekspresi wajah.

Yang menjadikan istihza’ sangat berbahaya adalah karena ia bukan hanya merusak adab, tapi juga merusak akidah. Orang yang melakukan istihza’ bisa tergelincir dalam kekafiran meski sebelumnya telah beriman.

Dalil Al-Qur’an: Ancaman Tegas bagi Pelaku Istihza’

Al-Qur’an mengabadikan kejadian yang menjadi peringatan keras bagi umat Islam agar tidak meremehkan ajaran agama. Dalam Surah At-Taubah ayat 65-66, Allah berfirman:

“Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.”

Ayat ini turun ketika sekelompok munafik memperolok Nabi Muhammad dan para sahabatnya, lalu mereka berdalih bahwa ucapan mereka hanyalah gurauan. Namun Allah menolak alasan tersebut dan langsung menyatakan bahwa tindakan mereka adalah bentuk kekafiran yang menggugurkan keimanan mereka.

Ayat ini menjadi dalil utama bahwa istihza’ terhadap ajaran Islam adalah perbuatan kufur meskipun pelakunya menganggap itu hanya candaan.

Mengapa Bisa Membatalkan Iman?

Iman tidak hanya sekadar percaya dalam hati, tetapi juga menghormati dan membela ajaran agama. Ketika seseorang memperolok sesuatu yang suci, berarti ia telah merendahkan dan tidak mengagungkan agama sebagaimana mestinya. Ini bertentangan dengan esensi keimanan.

Ulama menegaskan bahwa menghina Allah, Rasul, atau Al-Qur’an secara sadar dan sengaja adalah bentuk keluar dari Islam, walaupun tidak diiringi dengan niat murtad. Karena dalam perkara ini, niat tidak lagi menjadi ukuran utama, melainkan objek dan substansi dari ejekan itu sendiri.

Imam Ibn Hazm berkata, “Setiap orang yang mengejek Allah, atau satu ayat dari Kitab-Nya, atau satu hukum dari hukum-Nya, maka dia telah kafir dengan sebenar-benarnya kufur, dan keluar dari agama.”

Contoh-Contoh Istihza’ yang Sering Diabaikan

Ada banyak contoh istihza’ yang muncul dalam kehidupan modern, dan sering kali dianggap sepele:

Membuat lelucon tentang surga dan neraka.

Menyindir ajaran Islam seperti hijab, zakat, atau jihad dengan nada merendahkan.

Mengolok-ngolok suara imam saat shalat.

Membuat meme yang mempermainkan ayat Al-Qur’an atau hadis Nabi.

Berkata sinis, “Kalau Islam mengatur segalanya, kenapa umat Islam tertinggal?”

Contoh-contoh ini mungkin dikemas dengan niat bercanda, tetapi dalam pandangan syariat, itu tetap bisa termasuk istihza’ yang membatalkan keimanan, apalagi jika dilakukan secara terang-terangan dan berulang.

Sikap Islam terhadap Candaan

Islam bukan agama yang kaku dan anti-humor. Rasulullah sendiri dikenal suka bercanda, namun tidak pernah berdusta dan tidak pernah menjadikan agama sebagai bahan lelucon. Candaan beliau selalu dalam batas kebenaran dan tidak merendahkan siapa pun, apalagi agama.

Dalam hadis, Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya aku bercanda, tapi aku tidak mengatakan kecuali yang benar.” (HR. Tirmidzi)

Ini menunjukkan bahwa dalam Islam, humor diperbolehkan selama tidak mengandung kebohongan, penghinaan, atau pelecehan terhadap ajaran agama.

Bagaimana Jika Sudah Terlanjur Melakukan Istihza’?

Jika seseorang pernah melakukan istihza’, baik secara sadar maupun karena ketidaktahuan, maka yang harus dilakukan adalah:

1. Segera bertaubat dengan taubat nasuha.

2. Mengucapkan kembali dua kalimat syahadat, karena ia telah tergelincir dalam kekafiran.

3. Menyesali perbuatan tersebut dan bertekad tidak mengulanginya lagi.

4. Menjaga lisan dan sikap agar tidak terjerumus dalam perbuatan serupa.

Jangan meremehkan ucapan yang tampaknya kecil. Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya ada seseorang yang mengucapkan suatu perkataan yang ia anggap remeh, namun perkataan itu menyebabkan ia tergelincir ke dalam neraka selama tujuh puluh tahun.”

Menjaga Iman di Era Media Sosial

Di era digital ini, batas antara hiburan dan penghinaan sering kali kabur. Banyak konten viral yang mengandung unsur istihza’, dan umat Islam dituntut lebih bijak dalam memilah dan menyikapi. Jangan hanya karena ingin lucu atau mengikuti tren, lalu tanpa sadar ikut menyebarkan konten yang merendahkan agama sendiri.

Maka dari itu, menjaga iman bukan hanya soal ibadah pribadi, tapi juga soal menjaga lisan, tulisan, dan postingan dari hal-hal yang merendahkan Islam. Ingatlah bahwa iman bisa runtuh hanya dengan satu ejekan yang dianggap sepele.

Penutup

Istihza’ terhadap ajaran Islam adalah perbuatan sangat berbahaya yang bisa menggugurkan iman. Dalam Islam, iman bukan hanya diyakini dalam hati, tetapi harus diwujudkan dalam sikap penghormatan terhadap agama. Siapa pun yang mempermainkan ajaran Islam, baik lewat ucapan, tindakan, maupun candaan, berarti telah merusak fondasi keimanan itu sendiri.

Karenanya, seorang muslim harus berhati-hati, menjaga lisan dan perilaku, serta menjauhkan diri dari konten atau pergaulan yang menjadikan agama sebagai bahan ejekan. Iman itu mahal, dan tidak layak ditukar dengan candaan sesaat.

Continue Reading

Ruang Sujud

Menjaga Lisan dari Istihza’: Refleksi untuk Muslim Milenial

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Di era digital saat ini, kita hidup dalam dunia yang serba cepat, dinamis, dan penuh kebebasan berekspresi. Setiap orang bebas membuat status, membagikan meme, menulis komentar, dan membuat konten. Namun di tengah semangat ekspresi ini, ada satu bahaya besar yang sering luput dari perhatian: istihza’, atau memperolok agama. Sebuah lisan atau tulisan yang tampak ringan, ternyata bisa menjadi penyebab seseorang tergelincir dari keislamannya.

Apa Itu Istihza’?

Istihza’ secara sederhana berarti mengejek, mempermainkan, atau merendahkan sesuatu yang suci. Dalam konteks Islam, istihza’ berarti memperolok hal-hal yang berkaitan dengan agama, seperti Allah, Rasul-Nya, Al-Qur’an, syariat, ibadah, dan simbol-simbol Islam lainnya.

Istihza’ bukan sekadar maksiat ringan. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT menyebut bahwa orang-orang yang memperolok agama telah kafir setelah beriman, meskipun mereka berdalih hanya sedang bergurau.

> “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan), pasti mereka akan menjawab: ‘Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah: ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’ Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.”
(QS. At-Taubah: 65–66)

Ayat ini menunjukkan bahwa niat bercanda tidak menjadi alasan yang dapat membenarkan perbuatan istihza’. Bahkan gurauan yang melecehkan agama tetap dihitung sebagai tindakan kekufuran.

Fenomena Istihza’ di Kalangan Muslim Milenial

Di era media sosial, kita dengan mudah menemukan candaan yang menyerempet hal-hal sensitif dalam agama. Beberapa contohnya:

Meme tentang malaikat pencatat amal yang digambarkan seperti satpam atau CCTV.

Lelucon tentang surga dan neraka yang disampaikan dalam konteks komedi.

Sindiran terhadap ajaran poligami atau hukum waris yang diungkapkan dengan nada meremehkan.

Komentar sinis terhadap ibadah, seperti menyebut salat sebagai “ritual kuno.”

Video parodi azan atau orang berdakwah yang dijadikan bahan tertawaan.

Seringkali semua itu dibungkus dengan kalimat, “Ini cuma lucu-lucuan kok.” Padahal, apa pun yang merendahkan nilai-nilai Islam tetap termasuk dalam kategori istihza’, bahkan jika tidak dimaksudkan untuk menghina secara serius.

Menjaga Lisan dan Jari di Era Digital

Islam sangat menekankan pentingnya menjaga lisan. Rasulullah SAW bersabda:

> “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Namun, dalam konteks hari ini, menjaga lisan saja tidak cukup. Kita juga perlu menjaga jari dan layar—yakni apa yang kita ketik, kita posting, kita bagikan. Sebab dalam pandangan syariat, apa yang ditulis sama beratnya dengan apa yang diucapkan.

Bayangkan jika seseorang membuat atau menyebarkan konten yang memperolok agama. Lalu konten itu dilihat ribuan orang dan ditiru. Maka bukan hanya dia yang berdosa, tapi juga menanggung dosa dari setiap orang yang terpengaruh olehnya.

Mengapa Kita Sering Lengah?

Banyak dari kita, terutama generasi muda, tidak menyadari seriusnya bahaya istihza’. Ada beberapa faktor yang membuat kita lengah:

1. Budaya Komedi yang Bebas: Banyak komedian atau kreator konten menggunakan agama sebagai bahan tertawaan demi viralitas.

2. Kurangnya Pemahaman Agama: Sebagian orang tidak tahu bahwa bercanda soal agama bisa membatalkan keimanan.

3. Normalisasi di Media Sosial: Karena sudah sering melihat, kita jadi menganggap biasa hal-hal yang sebenarnya sangat serius dalam pandangan Islam.

4. Keinginan Terlihat Kritis atau “Berani”: Kadang orang merasa keren jika bisa menyindir agama dengan gaya intelektual, padahal yang dilakukan justru memperolok syariat.

Solusi: Literasi Iman dan Etika Digital

Untuk menghindari jebakan istihza’, ada beberapa langkah yang bisa kita lakukan:

Perbanyak ilmu tentang akidah, agar kita tahu mana batas bercanda dan mana yang sudah masuk wilayah kekufuran.

Berlatih berpikir sebelum bicara dan mengetik. Jika kita ragu apakah sesuatu pantas untuk diucapkan, maka diam adalah pilihan paling aman.

Bersihkan timeline dan pergaulan digital dari akun-akun atau konten yang sering memperolok agama.

Tegur dengan bijak jika ada teman atau kerabat yang mulai masuk ke wilayah istihza’.

Isi media sosial dengan konten positif yang menguatkan iman dan mencerdaskan umat, bukan sekadar lucu-lucuan.

Penutup: Menjaga Iman Adalah Prioritas Utama

Bagi seorang muslim, iman adalah aset paling berharga. Ia tidak boleh ditukar dengan apa pun, apalagi dengan tawa singkat yang menjerumuskan. Rasulullah SAW bersabda:

> “Seseorang mengucapkan suatu perkataan yang ia anggap ringan, namun karena itu ia tergelincir ke dalam neraka sejauh antara timur dan barat.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Istihza’ bukan hanya dosa, tapi bisa menjadi jalan kekufuran jika tidak segera disadari dan ditaubati. Maka, wahai saudara Muslim, jagalah lisan, jagalah jari, jagalah iman. Karena tidak ada yang tahu ucapan mana yang akan menjadi penentu keselamatan kita di akhirat nanti.

Continue Reading

Ruang Sujud

Ijtihad dalam Islam: Kunci Dinamisasi Hukum di Era Modern

Yusuf Hasyim

Published

on

Mokitorday.com – Dalam sejarah Islam, ijtihad selalu menjadi instrumen penting dalam merespons berbagai persoalan baru yang tidak ditemukan jawabannya secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan hadis. Istilah ijtihad berasal dari akar kata Arab jahada, yang berarti bersungguh-sungguh. Dalam konteks hukum Islam, ijtihad merujuk pada upaya sungguh-sungguh seorang mujtahid untuk menggali hukum dari sumber-sumber syariat melalui pendekatan rasional dan metodologis.

Sejak masa para sahabat hingga era klasik Islam, ijtihad menjadi pilar utama dalam perkembangan hukum Islam (fiqh). Para sahabat Rasulullah seperti Umar bin Khattab dikenal sebagai tokoh ijtihad yang menghasilkan banyak kebijakan kontekstual. Misalnya, ketika Umar menangguhkan hukuman potong tangan bagi pencuri saat masa kelaparan, hal itu bukanlah bentuk pembangkangan terhadap syariat, tetapi contoh konkret penerapan ijtihad demi keadilan.

Ijtihad sangat penting karena Islam tidak turun hanya untuk satu masa atau satu tempat. Ajarannya bersifat universal dan elastis. Namun, elastisitas itu membutuhkan alat agar tetap relevan: di sinilah ijtihad berperan. Tanpa ijtihad, Islam berisiko terlihat kaku dan tak mampu menjawab kompleksitas kehidupan modern, mulai dari teknologi, bioetika, hingga sistem keuangan global.

Dalam sejarah, ijtihad tidak selalu berjalan mulus. Sekitar abad ke-10 M, sebagian ulama menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup (insidad bab al-ijtihad). Alasannya, menurut mereka, semua permasalahan sudah memiliki jawaban dari para ulama terdahulu. Pandangan ini kemudian dikritik oleh banyak cendekiawan Muslim modern karena dianggap membatasi dinamika hukum Islam dan menghambat pembaruan pemikiran.

Di era modern, kebutuhan akan ijtihad semakin mendesak. Munculnya fenomena-fenomena baru seperti teknologi rekayasa genetika, kecerdasan buatan, dan fintech memunculkan pertanyaan etis dan hukum yang belum pernah ada sebelumnya. Ulama dan cendekiawan Muslim tidak bisa hanya mengandalkan pendapat masa lampau, tetapi harus melakukan ijtihad dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip syariat.

Contoh paling nyata adalah dalam bidang keuangan. Sistem perbankan syariah merupakan hasil dari ijtihad kontemporer yang mencoba menghindari riba, spekulasi, dan ketidakpastian, sembari tetap menghadirkan instrumen keuangan modern yang relevan. Ini menunjukkan bahwa ijtihad bukan hanya alat teoretis, tapi juga solusi praktis dalam merumuskan sistem yang Islami dan sekaligus kontekstual.

Namun demikian, ijtihad bukan berarti sembarang orang bisa menafsirkan hukum sesuai kehendaknya. Ada syarat dan metodologi yang ketat. Seorang mujtahid harus menguasai ilmu-ilmu keislaman secara mendalam, seperti tafsir, hadis, usul fikih, bahasa Arab, serta memahami maqashid syariah — tujuan umum dari hukum Islam seperti keadilan, kemaslahatan, dan perlindungan terhadap jiwa, akal, dan harta.

Ijtihad yang sembarangan dan tanpa dasar ilmu hanya akan melahirkan kekacauan. Oleh sebab itu, dalam Islam dikenal juga konsep taqlid yaitu mengikuti pendapat ulama yang terpercaya. Namun, taqlid yang membabi buta juga tidak sehat. Dalam konteks modern, umat Islam dituntut untuk kritis, menghargai otoritas ilmiah, namun tetap terbuka pada pembaruan.

Tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh, Rashid Rida, dan Fazlur Rahman adalah contoh cendekiawan yang menghidupkan kembali semangat ijtihad. Mereka menyadari bahwa Islam adalah agama yang tidak hanya mengatur ibadah, tapi juga memberi arah bagi peradaban. Melalui ijtihad, hukum Islam tidak statis, melainkan dinamis mengikuti perkembangan zaman tanpa kehilangan nilai-nilai utamanya.

Hari ini, tantangan terbesar ijtihad bukan hanya pada soal teknis keilmuan, tetapi juga soal keberanian dan kebijaksanaan. Ijtihad harus bisa menyeimbangkan antara teks dan konteks, antara tradisi dan inovasi, antara idealisme syariat dan realitas kehidupan. Sebab, hukum Islam sejatinya hadir bukan untuk membebani, melainkan untuk membawa kemaslahatan dan keadilan bagi umat manusia.

Dalam dunia yang serba berubah dengan cepat ini, umat Islam membutuhkan mujtahid-mujtahid baru yang tidak hanya paham ilmu agama, tapi juga melek terhadap isu-isu kontemporer. Tantangan global seperti krisis iklim, kecanggihan teknologi, hingga isu-isu gender dan keadilan sosial menuntut adanya jawaban-jawaban Islami yang segar, mendalam, dan kontekstual. Jawaban-jawaban itu hanya bisa lahir lewat ijtihad yang cerdas dan bertanggung jawab.

Penutupnya, ijtihad adalah bukti bahwa Islam tidak berhenti pada masa lalu. Ia adalah agama yang terus hidup, tumbuh, dan menjawab zaman. Ijtihad menjadi jembatan antara wahyu dan realitas, antara nilai dan praktik, antara teks dan konteks. Dengan ijtihad, hukum Islam tetap relevan dan aplikatif, tak hanya sebagai warisan, tapi sebagai panduan hidup di abad ke-21 dan seterusnya.

Kalau kamu butuh versi artikel ini untuk blog dengan SEO, atau versi singkatnya, tinggal bilang aja ya!

Continue Reading

Ruang Sujud

Ijtihad sebagai Pilar Dinamis dalam Hukum Islam

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Islam adalah agama yang membawa ajaran yang lengkap dan menyeluruh, namun juga adaptif terhadap zaman. Hal ini tampak jelas dalam cara Islam mengatur kehidupan manusia melalui hukum-hukum syariat. Meski banyak hukum Islam sudah diatur dalam Al-Qur’an dan hadis, tidak semua persoalan memiliki dalil eksplisit. Oleh karena itu, muncullah konsep ijtihad sebagai pilar dinamis dalam hukum Islam. Ijtihad memungkinkan ajaran Islam untuk terus hidup, berkembang, dan menjawab tantangan zaman tanpa kehilangan esensinya.

Secara bahasa, ijtihad berasal dari kata jahada yang berarti bersungguh-sungguh. Dalam istilah fikih, ijtihad berarti mencurahkan seluruh kemampuan oleh seorang mujtahid untuk menemukan hukum syariat atas suatu permasalahan yang tidak dijelaskan secara eksplisit dalam nash (Al-Qur’an dan hadis). Ijtihad bukan berarti membuat hukum baru yang bertentangan dengan wahyu, melainkan menggali hukum yang tersirat dari prinsip-prinsip ajaran Islam.

Dalam sejarahnya, ijtihad memiliki posisi yang sangat sentral dalam perkembangan hukum Islam. Sejak masa sahabat Nabi Muhammad saw., ijtihad sudah menjadi praktik yang umum dilakukan. Para sahabat seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, dan Ibn Mas’ud sering menggunakan ijtihad dalam mengeluarkan keputusan hukum saat tidak ada ayat atau hadis yang secara langsung membahas persoalan yang dihadapi.

Contoh terkenal dari praktik ijtihad adalah ketika Khalifah Umar menangguhkan hukuman potong tangan bagi pencuri pada masa paceklik. Meskipun hukuman itu ditetapkan dalam Al-Qur’an, Umar menggunakan ijtihadnya untuk menilai bahwa situasi darurat seperti kelaparan dapat menjadi alasan untuk tidak menerapkan hukuman tersebut, karena tujuan utama syariat adalah menjaga kemaslahatan dan mencegah kerugian.

Dari contoh tersebut, terlihat bahwa ijtihad tidak sekadar soal teks, tetapi juga melibatkan pemahaman terhadap konteks sosial dan kondisi masyarakat. Ini menunjukkan betapa fleksibelnya hukum Islam ketika ditopang oleh semangat ijtihad yang dinamis. Ijtihad menjadi kunci untuk menjaga relevansi syariat sepanjang zaman.

Ijtihad juga menjadi fondasi dalam pembentukan mazhab-mazhab fikih seperti Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Para imam mazhab melakukan ijtihad dengan metode yang berbeda-beda, namun semuanya bertujuan untuk menjawab persoalan hukum berdasarkan sumber-sumber utama Islam. Perbedaan hasil ijtihad ini bukan pertentangan, melainkan kekayaan intelektual dalam khazanah Islam yang patut dihargai.

Seiring berjalannya waktu, terjadi stagnasi dalam perkembangan ijtihad. Sekitar abad ke-10 M, sebagian ulama menyatakan bahwa bab al-ijtihad telah ditutup. Mereka beranggapan bahwa seluruh hukum sudah dijelaskan oleh para imam mazhab, sehingga tidak ada lagi kebutuhan untuk ijtihad. Hal ini menyebabkan praktik taqlid (mengikuti pendapat ulama tanpa analisis kritis) menjadi dominan. Akibatnya, hukum Islam kehilangan dinamikanya dan seakan-akan tidak bisa menjawab perubahan zaman.

Pandangan ini kemudian dikritik oleh banyak pembaharu Islam di era modern. Tokoh seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha menyerukan pentingnya membuka kembali pintu ijtihad. Mereka menekankan bahwa Islam adalah agama yang relevan sepanjang masa, dan ijtihad adalah kunci untuk memastikan keberlanjutan relevansi itu. Menutup pintu ijtihad sama saja dengan membatasi ajaran Islam hanya pada masa lalu.

Di zaman kontemporer ini, peran ijtihad semakin dibutuhkan. Dunia modern menghadirkan banyak persoalan baru seperti teknologi informasi, rekayasa genetika, transaksi keuangan digital, hingga masalah ekologi dan perubahan iklim. Banyak dari persoalan ini tidak dijumpai pada masa klasik, sehingga tidak mungkin hanya diselesaikan dengan taqlid semata. Para ulama dan cendekiawan muslim dituntut untuk melakukan ijtihad agar hukum Islam bisa menjawab tantangan tersebut secara adil dan kontekstual.

Namun demikian, ijtihad tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Seorang mujtahid harus memenuhi sejumlah syarat seperti menguasai ilmu bahasa Arab, tafsir, hadis, ushul fikih, dan memahami tujuan-tujuan syariat (maqashid syariah). Selain itu, ijtihad harus dilakukan dengan sikap amanah, bertanggung jawab, dan berorientasi pada kemaslahatan umat.

Saat ini, ijtihad tidak hanya dilakukan secara individual, tetapi juga secara kolektif melalui lembaga fatwa dan majelis ulama. Praktik ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) ini lebih mampu menjawab persoalan kompleks dengan berbagai perspektif keilmuan. Misalnya, dalam menentukan hukum vaksinasi, investasi digital, dan pengelolaan lingkungan, ijtihad kolektif melibatkan pakar-pakar dari berbagai bidang agar hasilnya lebih komprehensif.

Dalam kerangka maqashid syariah, ijtihad harus menjamin lima prinsip utama: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Ini berarti bahwa hasil ijtihad harus mampu melindungi hak-hak dasar manusia dan mendorong terciptanya keadilan sosial. Maka dari itu, ijtihad menjadi lebih dari sekadar penafsiran hukum—ia adalah upaya untuk merealisasikan nilai-nilai luhur Islam dalam kehidupan nyata.

Kesimpulannya, ijtihad adalah pilar dinamis dalam hukum Islam yang menjaga ajaran Islam tetap hidup, relevan, dan kontekstual. Tanpa ijtihad, hukum Islam bisa menjadi kaku dan terasing dari realitas sosial. Namun dengan ijtihad, Islam menunjukkan wajahnya yang progresif, solutif, dan responsif terhadap perubahan zaman. Oleh karena itu, umat Islam perlu terus mendorong semangat ijtihad sebagai bagian dari upaya membangun peradaban Islam yang maju dan inklusif.

Continue Reading

Ruang Sujud

Peran Ijtihad dalam Menjawab Tantangan Zaman Modern

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Islam adalah agama yang sempurna, namun tidak kaku. Dalam ajarannya, Islam memberikan panduan yang lengkap untuk kehidupan manusia, tetapi juga memberi ruang untuk dinamika dan perubahan zaman. Salah satu instrumen utama dalam menjaga fleksibilitas ajaran Islam adalah ijtihad. Dalam konteks dunia modern yang serba cepat dan kompleks, ijtihad memegang peran penting untuk menjawab berbagai persoalan baru yang tidak ditemukan pada masa Nabi Muhammad saw.

Secara etimologis, ijtihad berasal dari kata jahada, yang berarti mencurahkan tenaga atau bersungguh-sungguh. Dalam terminologi hukum Islam, ijtihad adalah proses intelektual seorang mujtahid untuk menggali dan menetapkan hukum syariat terhadap persoalan yang belum diatur secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan hadis. Ijtihad bukan bentuk penyimpangan dari nash, tetapi metode untuk menafsirkan ajaran Islam agar tetap relevan dalam segala kondisi.

Zaman modern menghadirkan tantangan yang jauh lebih kompleks dibanding masa lalu. Kemajuan teknologi, globalisasi, perkembangan ekonomi digital, perubahan sosial, hingga isu lingkungan, semuanya menciptakan persoalan-persoalan baru yang belum ada presedennya dalam teks-teks klasik. Dalam menghadapi hal tersebut, umat Islam tidak bisa hanya berpaku pada penafsiran lama tanpa mempertimbangkan konteks kekinian.

Contoh nyata dari kebutuhan ijtihad dalam dunia modern adalah munculnya sistem keuangan berbasis digital, seperti mata uang kripto (cryptocurrency), e-wallet, dan layanan pinjaman online. Pada masa Nabi, tentu belum ada transaksi digital seperti ini. Maka, peran ijtihad menjadi penting untuk menilai apakah sistem tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip syariah, seperti keadilan, transparansi, dan bebas dari riba.

Isu lain yang memerlukan ijtihad adalah bidang medis dan bioetika. Perkembangan teknologi kedokteran seperti transplantasi organ, fertilisasi in vitro (bayi tabung), hingga rekayasa genetika, menimbulkan pertanyaan hukum yang kompleks. Para ulama dan pakar syariah harus melakukan ijtihad dengan mempertimbangkan maqashid syariah, yaitu tujuan-tujuan syariat Islam, seperti menjaga jiwa, keturunan, dan akal.

Ijtihad juga penting dalam merespons tantangan sosial dan budaya. Misalnya, isu kesetaraan gender dalam dunia kerja, hak minoritas, atau sistem pendidikan modern. Semua itu memerlukan pendekatan ijtihadi agar hukum Islam tetap inklusif dan solutif, tanpa meninggalkan nilai-nilai dasar ajaran Islam. Ijtihad tidak hanya bicara halal-haram, tetapi juga mempertimbangkan aspek maslahat, keadilan, dan kemanusiaan.

Dalam dunia yang serba terbuka dan cepat seperti sekarang, muncul juga tantangan baru dalam dakwah dan komunikasi Islam. Media sosial, film, dan platform digital membawa cara baru dalam menyampaikan nilai-nilai agama. Di sinilah ijtihad menjadi alat penting untuk menentukan batas-batas etika dakwah di dunia digital, sekaligus mencari pendekatan yang paling efektif bagi generasi muda tanpa kehilangan esensi dakwah itu sendiri.

Namun, ijtihad bukan sembarang berpikir bebas. Ia memiliki kaidah dan syarat ketat. Seorang mujtahid harus menguasai ilmu-ilmu dasar seperti bahasa Arab, tafsir, hadis, ushul fikih, serta memahami konteks sosial dan maqashid syariah. Dengan bekal itu, hasil ijtihad akan memiliki kredibilitas dan dapat dipercaya sebagai bagian dari pemikiran Islam yang sahih.

Di era sekarang, muncul konsep ijtihad kolektif (ijtihad jama’i), di mana para ulama, akademisi, dan praktisi dari berbagai bidang berkumpul untuk menyelesaikan persoalan kontemporer. Contohnya bisa kita lihat dalam keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau Dewan Fiqih Islam Internasional yang melibatkan ahli hukum, ekonomi, kesehatan, hingga teknologi untuk merumuskan fatwa. Ini adalah bentuk adaptasi ijtihad yang sangat relevan dengan dunia modern yang multidisipliner.

Ijtihad juga menjadi jembatan antara tradisi dan pembaruan. Ia menjaga kesinambungan ajaran Islam dengan tetap membuka ruang untuk inovasi. Seperti yang dikatakan oleh Imam Asy-Syathibi dalam al-Muwafaqat, syariat diturunkan untuk kemaslahatan manusia, dan kemaslahatan itu bisa berubah sesuai dengan waktu dan tempat. Maka, ijtihad adalah sarana untuk menyesuaikan hukum dengan realitas tanpa mengubah prinsip dasarnya.

Penting juga dipahami bahwa ijtihad tidak dimaksudkan untuk menggantikan wahyu, tetapi sebagai upaya memahami wahyu secara lebih kontekstual. Dengan ijtihad, hukum Islam menjadi hidup dan mampu menjawab tantangan zaman dengan tetap menjaga identitasnya. Tanpa ijtihad, hukum Islam akan tampak kaku dan sulit diterima dalam masyarakat modern yang dinamis dan plural.

Oleh karena itu, penting bagi umat Islam, khususnya generasi muda, untuk mendukung pengembangan tradisi ijtihad. Ini bisa dimulai dari memperkuat literasi keislaman, mengkaji karya-karya ulama klasik dan kontemporer, serta membuka ruang diskusi dan dialog yang sehat dalam memahami agama. Pendidikan Islam juga perlu menanamkan semangat berpikir kritis, kreatif, dan kontekstual—bukan sekadar hafalan atau pengulangan pendapat lama.

Kesimpulannya, ijtihad adalah ruh dari dinamika hukum Islam. Di tengah perubahan zaman yang cepat, ijtihad menjadi alat utama untuk menjaga relevansi, kemaslahatan, dan keadilan dalam pelaksanaan syariat. Islam bukan agama yang terpenjara masa lalu, tetapi agama yang hadir untuk setiap zaman. Dan ijtihad adalah jembatan menuju masa depan Islam yang lebih inklusif, solutif, dan manusiawi.

Continue Reading

Monitor Saham BUMN



News4 minutes ago

Arab Saudi Siap Bantu Suriah Bayar Utang Bank Dunia

Sportechment29 minutes ago

Linkin Park Siap Meriahkan Final Liga Champions 2024/2025 di Allianz Arena

News1 hour ago

AS Naikkan Tarif Impor 245 Persen, China: Kami Tak Takut Perang

News2 hours ago

Indonesia – Rusia Perkuat Kerja Sama Ekonomi dan Pariwisata

Ruang Sujud2 hours ago

Mengenal Maqashid Syariah: Tujuan Hakiki di Balik Hukum Islam

News3 hours ago

Tunjangan Kinerja Dosen ASN Segera Cair, Mulai Kapan?

News4 hours ago

Intelijen Elit Israel Serukan Penghentian Serangan ke Gaza

Ruang Sujud7 hours ago

Peran Maqashid Syariah dalam Mewujudkan Keadilan Sosial

News8 hours ago

Presiden Erdogan Siap Dukung Perdamaian di Suriah

News9 hours ago

Rusia Incar Papua, Australia Panas

Ruang Sujud11 hours ago

Maqashid Syariah sebagai Landasan Etika dalam Ekonomi Islam

News12 hours ago

Kadin Gaspol Renovasi Rumah Warga Miskin

News12 hours ago

179 Calon Hakim MA Siap Diuji Kualitas

News12 hours ago

Maladewa Larang Pemegang Paspor Israel Masuk Negaranya

News13 hours ago

Mendikdasmen Bicara Program Sekolah Rakyat, Soroti Sistem dan Rekrutmen Guru

Sportechment13 hours ago

Kejutan! Jadwal Laga Timnas Indonesia vs China Bakal Digelar Lebih Malam

News14 hours ago

Trump Ancam Bekukan Dana Rp36,9 Triliun untuk Harvard, Ada Apa?

Sportechment14 hours ago

Barcelona Kembali Tembus Semifinal Liga Champions Usai Era Messi, Hansi Flick Komentar Begini

Ruang Sujud15 hours ago

Menggali Relevansi Maqashid Syariah di Era Digital

Sportechment22 hours ago

Deretan Musisi Penerima Royalti Terbesar 2025