Monitorday.com – ‘Israel’ kembali menyerang wilayah Suriah pada Sabtu, 3 Mei 2025, dengan target yang simbolik dan strategis dekat istana Presiden Ahmad Sharaa.
Serangan ini bukan sekadar untuk alasan keamanan, melainkan bagian dari konflik geopolitik yang semakin rumit.
Ahmad Sharaa dikenal sebagai pemimpin Suriah yang menolak normalisasi dengan ‘Israel’ dan bersikap tegas atas kedaulatan negaranya.
Ia menyerukan penarikan total pasukan dan intelijen ‘Israel’ dari wilayah yang masih diduduki secara ilegal, termasuk Dataran Tinggi Golan.
Sikap keras ini membuat Sharaa menjadi sasaran utama tidak hanya secara politik, tapi juga militer.
‘Israel’ berusaha memecah Suriah dari dalam dengan memanfaatkan isu sektarian, terutama lewat komunitas Druze.
Komunitas Druze yang berada di Suriah, Lebanon, dan ‘Israel’ dijadikan alat untuk membangun narasi perpecahan.
Namun pada Maret lalu, Sharaa berhasil menandatangani kesepakatan integrasi penuh dengan wilayah Druze Suwayda.
Kesepakatan ini memperkuat persatuan nasional Suriah dan menjadi pukulan bagi skema adu domba ‘Israel’.
Sebagai respons, ‘Israel’ mendorong pemimpin spiritual Druze pro-Zionis, Mowafaq Tarif, untuk melakukan kampanye separatis.
Ziarah tokoh Druze Suriah ke wilayah pendudukan dimanfaatkan sebagai manuver politik identitas oleh ‘Israel’.
Netanyahu bahkan disebut berterima kasih atas serangan ke istana Sharaa, sebagai pesan politik yang tegas.
Dana sebesar USD 1 miliar dikucurkan oleh ‘Israel’ untuk mendukung skema pecah-belah berbasis sektarian di Suriah.
Namun tidak semua tokoh Druze mendukung upaya separatis, seperti Walid Jumblatt yang konsisten bersikap anti-Zionis.
Tokoh-tokoh lokal Druze Suriah menolak intervensi asing dan mendukung persatuan nasional dengan Damaskus.
Gubernur Suwayda dan pemuka Druze menegaskan komitmen pada stabilitas dan menolak ‘Israel’ sebagai penengah.
Serangan ini mencerminkan ketakutan Tel Aviv atas kebangkitan Suriah di bawah kepemimpinan Ahmad Sharaa yang kuat dan menyatukan.