Pernah pada suatu hari, Umar mengundang makan malam para pejabat tinggi Dinasti Umayyah. Sebelumnya, dia sudah menginstruksikan para koki agar menunda dulu penyajian santapan.
Ketika para undangan mulai tampak mulai menyentuh perut mereka sebagai pertanda lapar, barulah Umar menyuruh agar para pelayan menyiapkan hidangan. Umar menyuruh agar para pelayan terlebih dulu menyajikan roti bakar. Makanan sederhana itu pun langsung disantap Umar yang kemudian diikuti oleh para tamu.
Tak berapa lama, “Menu utama” pun terhidang. Umar kemudian mempersilakan para tamu undangan untuk menyantapnya. Namun para tamu menolak lantaran sudah kenyang.
Pada waktu itu, Umar berkata, “Saudara-saudara. Jika Anda bisa memuaskan nafsu makan dengan makanan sederhana, mengapa harus serakah, sewenang-wenang sampai-sampai harus merampas milik orang lain?” Mendengar perkataan tersebut, hadirin yang merupakan para petinggi negara pun dibuatnya kecut, tertunduk malu. Itulah Umar: adil, tegas dan sederhana.
Ketegasan, keadilan dan kesederhanaannya itulah yang membuatnya dicintai oleh banyak orang, baik Muslim maupun non-Muslim.
Sayangnya pada saat yang sama, ia juga dibenci oleh keluarga, kelompok, teman dekat serta orang-orang yang berhati busuk dan serakah. Itulah risiko menjadi pemimpin adil dan bersih. []