Monitorday.com – Ketika mendengar kata “zuhud”, sebagian orang mungkin langsung membayangkan seseorang yang menjauh dari dunia, hidup di tempat terpencil, berpakaian sederhana, dan tak punya harta. Bahkan, ada yang menganggap zuhud sebagai sikap yang tidak sesuai lagi dengan kehidupan zaman sekarang yang maju, modern, dan serba cepat. Namun benarkah demikian?
Zuhud bukan berarti menolak kemajuan. Ia juga bukan tanda kemunduran. Justru, zuhud adalah ajaran Islam yang memberi arah agar kita tidak tenggelam dalam gemerlap dunia, tanpa harus meninggalkan peran penting dalam kehidupan. Dalam Islam, seseorang bisa menjadi ilmuwan, pebisnis sukses, pejabat tinggi, bahkan orang terkaya sekalipun—selama hatinya tidak bergantung pada dunia, itulah zuhud.
Zuhud berasal dari bahasa Arab “zuhd”, yang berarti menjauhkan diri atau tidak tertarik pada sesuatu. Dalam konteks agama, ia berarti tidak mencintai dunia secara berlebihan dan lebih mementingkan akhirat. Tapi penting dipahami, zuhud tidak identik dengan miskin atau tidak memiliki harta. Seseorang boleh memiliki kekayaan, namun jika hatinya tidak terikat padanya dan ia mampu menggunakan kekayaannya untuk kebaikan, maka ia tetap dikatakan zuhud.
Contoh paling nyata dari hal ini adalah sahabat Nabi Muhammad SAW, seperti Abdurrahman bin Auf. Ia adalah salah satu sahabat paling kaya, namun tetap zuhud. Kekayaannya tidak membuatnya sombong atau lalai. Ia bahkan lebih sibuk mencari akhirat, dengan membelanjakan hartanya untuk membela Islam. Begitu pula Utsman bin Affan, yang dalam kekayaannya tetap rendah hati dan dermawan. Keduanya adalah bukti nyata bahwa zuhud dan kemajuan bukan hal yang bertentangan.
Zuhud justru menjadi fondasi kuat bagi seseorang untuk tetap stabil di tengah kemajuan. Ketika dunia menawarkan kenyamanan, teknologi, kemewahan, dan kemudahan, zuhud hadir sebagai rem yang menjaga keseimbangan. Ia mengajarkan bahwa kita boleh memanfaatkan dunia, tapi jangan sampai diperbudak oleh dunia. Inilah yang menjadi pembeda antara orang yang cerdas secara spiritual dan yang hanya sibuk mengejar dunia tanpa arah.
Saat ini, dunia tengah melaju dengan cepat. Teknologi informasi, ekonomi digital, kendaraan canggih, dan gaya hidup mewah mudah ditemui. Dalam konteks ini, zuhud mengajak kita untuk tetap berpijak. Memiliki smartphone terbaru boleh saja, tapi jangan sampai ia menjadi pusat hidup kita. Memakai mobil mewah tidak dilarang, asalkan tidak menjadikan kita arogan dan merasa lebih baik dari yang lain. Memiliki rumah megah bukan kesalahan, selama kita tidak menjadikannya sumber kesombongan atau lalai dari ibadah.
Zuhud juga mengajarkan sikap efisien dan fokus. Orang yang zuhud tahu mana yang penting dan mana yang hanya keinginan sesaat. Di era konsumtif seperti sekarang, zuhud mengajari kita untuk tidak tergoda oleh gaya hidup boros. Ia mendorong kita hidup dengan kesadaran, bukan sekadar mengikuti tren atau tuntutan sosial.
Lebih jauh lagi, zuhud memperkuat integritas diri. Ketika seseorang mampu menahan diri dari mencintai dunia secara berlebihan, ia menjadi lebih jujur, tidak mudah tergoda oleh suap, dan tidak korup. Inilah yang dibutuhkan bangsa ini: pemimpin dan generasi yang tidak gila hormat, gila harta, dan gila pujian. Semua itu hanya bisa dicapai dengan sikap zuhud yang tertanam dalam hati.
Zuhud juga sangat relevan bagi dunia kerja dan bisnis. Dalam dunia yang kompetitif, banyak orang menghalalkan segala cara demi mendapatkan hasil. Tapi orang yang zuhud tetap menjunjung kejujuran, keadilan, dan keberkahan. Ia tidak tergiur oleh keuntungan sesaat yang bisa mengorbankan nilai-nilai Islam. Bahkan dalam meraih kemajuan, orang yang zuhud tetap menjaga akhlaknya, karena ia tahu bahwa dunia hanyalah sarana menuju Allah.
Dalam kehidupan sosial pun, zuhud menciptakan harmoni. Ia membuat seseorang rendah hati, tidak iri dengan keberhasilan orang lain, dan tidak membanggakan apa yang dimilikinya. Zuhud menyuburkan rasa syukur, bukan keluhan. Ia juga menjauhkan kita dari stres akibat tekanan hidup yang disebabkan oleh tuntutan gaya hidup. Hati yang zuhud cenderung tenang, tidak mudah baper, dan selalu fokus pada hal yang lebih besar: ridha Allah.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menghidupkan kembali nilai zuhud di tengah masyarakat modern. Ini bukan berarti menolak kemajuan, tapi memberi ruh pada kemajuan itu sendiri. Apa artinya teknologi canggih jika hanya membuat manusia makin tamak? Apa artinya kekayaan berlimpah jika hanya menciptakan ketimpangan dan kesombongan?
Zuhud adalah seni hidup dengan cerdas. Ia tidak memusuhi dunia, tapi juga tidak memujanya. Ia menempatkan dunia sebagai titipan, bukan tujuan. Dengan zuhud, kita bisa tetap maju dalam karier, bisnis, teknologi, dan pendidikan, tanpa kehilangan nilai-nilai spiritual dan moral yang menjadi akar kehidupan.
Maka, mari jadikan zuhud sebagai prinsip dalam menghadapi dunia modern. Bukan untuk menjauhi kemajuan, tapi untuk mengarahkannya ke jalan yang lebih bermakna. Karena pada akhirnya, bukan banyaknya harta atau tingginya jabatan yang menentukan nilai hidup kita, melainkan seberapa tulus kita dalam mengelola semua itu untuk mendekat kepada-Nya.