Monitorday.com – Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), Prof Jimly Asshiddiqie, mengomentari situasi politik hari ini yang dianggapnya sudah tak lagi berpijak pada akal sehat akibat neoliberalisme.
Hal itu ia sampaikan dalam sidang perdana MKMK beragendakan klarifikasi para pelapor dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat usia capres-cawapres.
“Sekarang ini akal sehat itu sudah dikalahkan oleh akal bulus dan akal fulus. Akal fulus itu untuk kekayaan, uang. Akal bulus itu untuk jabatan. Akal sehat sekarang lagi terancam oleh dua iblis kekuasaan kekayaan,” ujar Jimly, Kamis (26/10/2023).
“Maka MKMK ini harus kita manfaatkan untuk menghidupkan akal sehat itu. Itu yang menuntun ke arah kemajuan peradaban bangsa,” tuturnya.
Jimly menyebut, semua orang tidak lagi “sharing, caring, dan giving” kepada negara. Tidak ada lagi orang yang mau membagi, peduli, dan memberi kepada negara.
“Kebanyakan orang itu taking (mengambil), asking, requesting (meminta), dan bilang perlu robbing (merampok). Ini gara-gara neoliberalisme,” ucap pendiri MK itu.
“Ini urusan tetek-bengek jabatan. Nanti sudah dapat jabatan pakai pula untuk jabatan lebih tinggi lagi. Itu perebutan kekayaan juga sama. Dapat kekayaan dia pakai untuk mencari kekayaan banyak lagi,” ujar Jimly.
Ia menyindir MK yang dianggapnya dalam titik nadir sepanjang hayat lembaga tersebut. Jimly bahkan menyebut kasus yang akan diusutnya ini sebagai sejarah yang belum pernah terjadi di dunia.
“Ini perlu diketahui, ini perkara belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia di seluruh dunia: semua hakim dilaporkan melanggar kode etik. Baru kali ini,” ucap Jimly.
Jimly juga mengungkap dirinya semula tak bersedia didapuk sebagai anggota MKMK karena khawatir terlibat konflik kepentingan, sehubungan dengan jabatannya selaku senator perwakilan DKI Jakarta di DPD RI.
Namun, ia mengaku diyakinkan bahwa konflik kepentingan itu tidak akan terjadi, karena Jimly tidak mencalonkan diri lagi pada 2024, sehingga tidak mungkin menjadi pihak yang beperkara dalam perselisihan hasil pemilu yang kelak diadili MK.
“Apalagi saya punya beban sejarah, belum pernah MK terpuruk image-nya kayak sekarang. Saya sebagai pendiri tidak tega. Maka saya bersedia ini,” kata Jimly.
Jimly menyebut, semua orang tidak lagi “sharing, caring, dan giving” kepada negara. Tidak ada lagi orang yang mau membagi, peduli, dan memberi kepada negara. “Kebanyakan orang itu taking (mengambil), asking, requesting (meminta), dan bilang perlu robbing (merampok). Ini gara-gara neoliberalisme,” ucap pendiri MK itu.
“Ini urusan tetek-bengek jabatan. Nanti sudah dapat jabatan pakai pula untuk jabatan lebih tinggi lagi. Itu perebutan kekayaan juga sama. Dapat kekayaan dia pakai untuk mencari kekayaan banyak lagi,” ujar Jimly.