HARI ini, di perjalanan menuju tempat kumpul lingkaran kecil, saya menemukan dua ‘simbol’ kebahagiaan dan duka dalam jarak yang berdekatan (terlepas dari kenyataan bahwa dua simbol itu bukan berasal dari tradisi islam). Hanya berbeda 3 gang ada dua simbol yang berbeda.
Di detik itu juga, saya merenung. Kira-kira, nama saya lebih dulu ditempel di mana? Janur Kuning atau Bendera Kuning ya?
Selama ini, kita terlalu sibuk menyimpan iri pada teman-teman, kerabat, tetangga yang di usia mudanya sudah memasuki fase hidup yang bernama pernikahan. Sibuk berandai dan merangkai angan-angan seperti apakah rupa jodoh kita? Bagaimana akhlaknya? Dari kalangan mana?
Kita juga sibuk iri pada pasangan hidup dan rumah tangga orang lain. Betapa enaknya jadi dia, memiliki suami shalih yang baik akhlaknya. Betapa indah hidupnya, di usia muda sudah dikelilingi anak dan suami yang sama-sama berakhlak mulia. Rumah tangga mereka bahagia di bawah naungan Rahmat Sang Pencipta.
Tapi, pernahkah kita iri pada seseorang yang masih muda sudah Allah jemput ajalnya? Iri karena ternyata, meski masih muda dia telah menoreh tinta dakwah di mana-mana. Sehingga Allah teramat rindu pada jiwanya. Enggan membuatnya merasai lebih lama pahitnya dunia. Ingin ia segera kembali dan beristirahat dengan tenang di sisi-Nya.
Pernahkah kita iri, pada para sahabat Rasulullah yang sejak hidup telah dijamin masuk surga? Yang amalannya tak pernah berkurang meski Allah dan Rasul-Nya sudah menjanjikan surga?
Pernahkah kita iri pada airmata para ulama yang menangisi waktu mereka yang tak dihabiskan untuk beribadah pada-Nya? Padahal, dibanding kita, waktu mereka sudah sangat jauh produktinya.
Pernahkah kita iri pada seseorang yang ketika wafat betapa harum namanya disebut-sebut. Betapa dia telah banyak menorehkan cerita istimewa di benak keluarga, para tetangga, sahabat-sahabatnya karena akhlaknya yang begitu mulia?
Pernahkah kita iri pada seseorang yang meninggal ketika ia tengah beribadah pada-Nya? Pada posisi-posisi yang menunjukkan bahwa mereka begitu menjadikan ibadah tersebut sebagai tujuan utama hidup.
Pernahkah kita iri pada seseorang yang meninggal dengan wajah tersenyum dan bercahaya? Seakan menunjukkan bahwa ketika nyawanya dijemput, Allah telah membisikkan kenyamanan alam barzakh padanya.
Pernahkah kita iri pada semua itu?
Mungkin, sesekali. Kita harus rutin mengunjungi takziah orang yang meninggal. Agar kita tahu bahwa yang menanti kita bukan hanya bayang-bayang jodoh yang shalih, tapi juga malaikat maut yang bisa jadi lebih dulu menjemput.