Review
Kegagalan Food Estate, Aib Prabowo Subianto
Program Food estate sejak awal memiliki perencanaan yang buruk sehingga investasi yang dikucurkan untuk daerah-daerah yang kekurangan ekosistem dan infrastruktur produksi pangan menjadi sia-sia belaka. Proyek-proyek tersebut tidak berdampak pada produksi pangan dan ketahanan pangan, meskipun pemerintah telah menghabiskan banyak uang untuk itu.

Published
1 year agoon
By
Deni Irawan
Monitorday.com – Dalam sebuah Forum Keamanan Pangan di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Bali, Menteri Pertahanan Indonesia Prabowo Subianto mengusulkan produk pengembangan food estate berupa singkong sebagai solusi untuk mengatasi krisis pangan global yang diakibatkan perubahan iklim dan terhambatnya rantai pasok pangan karena perang Rusia – Ukraina yang tidak berkesudahan
“Singkong akan terbukti menjadi tanaman penyelamat dunia,” kata Menhan Prabowo. Memang sejak masuk dalam struktur kabinet dirinya sudah mendorong program food estate sebagai upayanya untuk meningkatkan produksi pertanian.
Terlebih sejak Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) memberikan peringatan akan adanya ancaman krisis pangan dunia yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19, dua tahun silam.
Di Bali, Menhan berbicara dalam sebuah forum yang diinisiasi oleh Atlantic Council sebuah organisasi non-partisan yang berbasis di Amerika Serikat yang memiliki visi menyeimbangkan rantai pasok dunia yang terhambat karena Vladimir Putin menjadikan kerawanan pangan dari komoditas gandum yang dihasilkan Rusia dan Ukraina sebagai senjata untuk memengaruhi dunia.
Singkong menurut Prabowo akan terbukti menjadi penyelamat dunia, dan Indonesia bisa menjadi penghasil singkong terbesar dunia melalui program food estate yang diembankan kepada Kementeriannya sebagai leading sector bersama Kementerian PUPR, Pertanian, dan Kementerian BUMN. Program ini kemudian mendapat stempel ‘ketahanan non-militer’.
Secara meyakinkan Prabowo mempersentasikan singkong sebagai sebuah produk holtikultura yang paling efisien dari sisi kebutuhan air dan input lainnya; menghasilkan 250 ribu kalori dengan hanya membutuhkan 65 meter kubik air per metrik ton.
Bandingkan dengan beras yang membutuhkan air sebanyak 1139 per metrik ton, gandum 954 per metrik ton dan jagung 850 per metrik ton dengan luasan lahan yang sama. Singkong juga bisa menjadi tanaman pangan strategis yang bisa diolah sebagai pengganti gandum, mie, pasta, dan roti.
“Ini sudah diproduksi oleh pengusaha kami. Kami memproduksi pasta dari singkong. Mie instan, bioetanol, alkohol, vitamin, bioflavonoid, bioplastik, lem, bahan peledak,” tuturnya.
Sejurus kemudian Prabowo memamerkan beberapa produk olahan dari singkong yang sudah dikemas apik kepada para peserta forum yang bertajuk Global Food Security Forum tersebut, tentu saja apa yang ditunjukan Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia periode 2010-2015 mendapat banyak apresiasi.
Namun, jauh dari hingar-bingar tepuk tangan di forum elite dunia itu. Di salah satu lokasi food estate di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Muchlisin yang sehari-hari bekerja sebagai buruh tani hanya mendapati hektaran luasan tanah yang terlantar dan batang singkong yang terlalu tipis untuk bisa produktif.
Dia adalah generasi kedua sejak program food estate Pengembangan Lahan Gambut (PLG) ditandatangani Presiden Soeharto dalam Kepres No. 82/1995. Dari tahun 1995 sampai 1999 dilaksanakan program itu gagal secara spektakuler.
Muchlisin yang puluhan tahun mendiami kawasan tersebut paham tanah eks PLG itu berpasir dan asam, dan petani tidak bisa menumbuhkan apa pun, kecuali sudah dilakukan pengapuran seperti di Desa Rawa Subur, Kabupaten Kapuas. Problem pertanian itu kompleks, menjadi tambah kompleks dengan hadirnya program kebijakan pangan berskala luas seperti food estate ini yang seperti meniadakan kajian ilmiah yang komprehensif.
Miskonsepsi Lumbung Pangan
Menurut Dwi Andreas Santosa Profesor Bioteknologi Institut Pertanian Bogor kepada Monitorday.com, mengungkapkan program food estate sejak awal memiliki perencanaan yang buruk sehingga investasi yang dikucurkan untuk daerah-daerah yang kekurangan ekosistem dan infrastruktur produksi pangan menjadi sia-sia belaka. Proyek-proyek tersebut tidak berdampak pada produksi pangan dan ketahanan pangan, meskipun pemerintah telah menghabiskan banyak uang untuk itu.
Sejak tahun 1996 sudah keluar dana puluhan triliun, uang dibuang percuma dan lingkungan rusak berat. Misalnya lahan gambut di Kalteng ada 26 juta kubik kayu di dalamnya, dan itu lari ke mana? Sudah barang tentu amat sangat banyak orang yang mendapatkan keuntungan dari situ.
Memutar waktu ke dua tahun belakang, November 2020, tak lama setelah Presiden Joko Widodo meresmikan kebijakan pangannya, Kementerian Pertahanan mulai bekerja di sepetak hutan hujan di Gunung Mas, Kalimantan Tengah, menebang pohon untuk membuka 600 hektar lahan untuk singkong.
Kawasan itu belum dizonasi untuk agribisnis, apalagi untuk proyek food estate. Penanaman singkong di Gunung Mas dilakukan dengan membuka hutan dan perkebunan masyarakat hingga 31.000 hektar.
Dalam siaran pers, Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK Sigit Hardwinarto menerangkan kawasan hutan lindung yang digunakan untuk food estate masuk dalam kategori Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan (KHKP).
Lagipula, kata Sigit, Kawasan hutan lindung yang digunakan tidak sepenuhnya berfungsi lindung, dalam artian kondisinya sudah sedemikian terbuka, terdegradasi, dan sudah tidak ada tegakan hutan. Dengan adanya food estate, menurut Sigit justru akan memulihkan fungsi hutan dengan berbagai kombinasi tanaman hutan.
Sering diberitakan, awal dari program pertanian skala massif ini merupakan respon Presiden akan peringatan krisis pangan dari FAO yang memprediksikan sebanyak 132 juta orang mengalami kelaparan pada 2020 akibat resesi ekonomi yang dipicu oleh pandemi, “Peringatan dari FAO agar betul-betul diperhatikan, harus digarisbawahi mengenai peringatan bahwa virus corona bisa berdampak pada krisis pangan dunia,” ujar Presiden di Istana Bogor, April 2020.
Dengan alasan tersebut sepanjang tahun 2020, Jokowi langsung menggeber program food estate dengan mengadakan dua kali rapat terbatas. Pertama pada 26 Juni 2020, Ratas Program Peningkatan Penyediaan Pangan Nasional dan Pembangunan Kawasan Industri yang menetapkan tiga lokasi pengembangan food estate yakni Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan dan Papua. Rapat kedua di bulan Juli 2020 menetapkan Kalteng masuk dalam proyek ambisius ini dengan mengalokasikan ratusan ribu hektar wilayah sebagai lumbung pangan nasional.
Pada rapat terbatas yang digelar tanggal 26 Juni 2020, pemerintah menetapkan seluas 770.601 hektar kawasan eks PLG sebagai wilayah pengembangan food estate yang terdapat di dua kabupaten, Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas. Nampaknya luasan wilayah Kalimantan Tengah menjadi pertimbangan utama untuk memasukkan provinsi ini sebagai wilayah cadangan pangan nasional.
Dalam pidato kenegaraan pada sidang tahunan MPR (14 Agustus 2020) Presiden menegaskan food estate sebagai lumbung pangan dibangun untuk memperkuat cadangan pangan nasional, dari hulu hingga hilir. Proyek food estate kemudian masuk dalam Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024.
Namun, narasi awal pemerintah untuk food estate sebagai antisipasi krisis pangan di masa pandemi, tak lama bergeser menjadi antisipasi menghadapi perubahan iklim. Koordinator Nasional Pantau Gambut Iola Abas mengatakan perubahan narasi ini menjadi pertanyaan awal dari sederetan pertanyaan yang muncul seiring pengerjaan proyek ini dalam dua tahun terakhir.
Menurut Iola, narasi ini didorong lagi dengan alasan prediksi krisis iklim. Padahal program ini harus dikaji ulang karena banyak temuan di lapangan yang menunjukkan tanda-tanda kegagalan. Selain itu, pemerintah kerap kali meminggirkan tata kelola pangan, seolah bagaimana pangan diproduksi, diolah dan sampai di tangan konsumen itu suatu hal secara otomatis.
Ada persoalan struktur ekonomi politik pangan, kebijakan, dan tingkatan tata kelola yang berbeda dari lokal hingga global yang menentukan makanan apa yang sampai di tangan konsumen.
Food estate hanya jadi satu bagian dari tata kelola pangan ini, dari perspektif pemerintah menjustifikasi lumbung pangan menjadi penting dari mulai produksi, distribusi, dan jual beli. Padahal hanya jual beli yang menjadi titik tekan utama dalam perspektif ini.
Untuk itu, Iola Abas, menghimbau sebaiknya pemerintah fokus pada pola distribusi dan produksi pertanian yang tepat bagi kebutuhan masyarakat di tingkat pusat hingga lokal. “Permasalahan pada distribusi dan pemasaran produk pertanian akibat pandemi, bukan ketersediaanya. Kami khawatir program ini akan mengulang kegagalan banyak program food estate masa lalu, apalagi di Kalimantan Tengah yang menggunakan lahan bekas Proyek Lahan Gambut (PLG),” kata Iola.
Lantas bagaimana dengan anggaran yang sudah digelontorkan untuk pengembangan proyek ini? Dalam audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dirilis Juni 2022, ditemukan permasalahan program Food estate di tiga provinsi; Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, dan Nusa Tenggara Timur.
Misalnya, pelaksanaan kegiatan swakelola survei, investigasi, dan desain (SID), ekstensifikasi, dan intensifikasi di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau Kalimantan Tengah belum sesuai ketentuan. Sehingga realisasi anggarannya sebesar Rp 5,03 miliar perlu dipertanyakan. BPK juga mencatat ada potensi terjadi kelebihan pembayaran sebesar Rp24,29 miliar.
Dari awal rencana program ini sudah menuai kritik. Terutama akademisi dan pegiat lingkungan yang menduga tidak berdasarkan studi lingkungan hidup berkelanjutan. Penambahan kawasan ditengarai akan membuka hutan alam sehingga memicu deforestasi serta mendatangkan bencana. Berkaca pada temuan BPK, pemerintah seperti tidak belajar dari masa lalu.
Mungkin Kamu Suka
-
Jika Pilpres di 2026: Prabowo-Dedi Mulyadi, Duet Paling Tepat!
-
Prabowo Percepat Program Sekolah Rakyat, 184 Daerah Ajukan Pembangunan
-
Temui Prabowo, Menteri PKP Laporkan 20 Menara Hunian di IKN Siap Huni
-
Politik 2029: Prabowo-Dedi, Duet Harmoni yang Mengguncang Nusantara
-
Tunjangan Guru Tanpa Perantara
Review
Strategi Global, Dimana Posisi Indonesia?
Di tengah eskalasi geopolitik antara Amerika, Israel, Iran, dan BRICIS, Indonesia harus segera menentukan arah strategisnya agar tetap relevan dan diperhitungkan dalam perubahan tatanan dunia.
Published
14 hours agoon
02/04/2025By
Natsir Amir
Monitorday.com – Ketika Amerika dan Israel semakin mematangkan rencana serangan terhadap Iran, dunia memasuki babak baru dalam geopolitik global. Negara-negara BRICIS—Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan, dan yang baru bergabung, Arab Saudi—tidak tinggal diam.
Mereka merespons dengan langkah-langkah strategis yang bisa mengguncang keseimbangan kekuatan dunia. Namun, di tengah tarikan kepentingan global ini, satu pertanyaan besar mengemuka: di mana posisi Indonesia? Apakah masih diperhitungkan dalam peta politik dunia, atau justru hanya menjadi penonton dalam percaturan ini?
Dalam lanskap politik internasional yang semakin kompleks, perang tidak hanya terjadi di medan tempur, tetapi juga di panggung diplomasi, ekonomi, dan aliansi strategis. BRICIS, sebagai blok ekonomi dan politik yang semakin solid, mulai menunjukkan peran aktifnya. Rusia dan Tiongkok, sebagai kekuatan utama dalam kelompok ini, berusaha mengamankan kepentingan mereka, baik di Timur Tengah maupun di kawasan lain yang menjadi medan pertempuran geopolitik. Langkah-langkah konkret telah diambil, dari pertemuan tingkat tinggi hingga kesepakatan ekonomi yang bisa melemahkan dominasi dolar sebagai mata uang global.
Amerika Serikat, yang sejak lama menjadi kekuatan utama dunia, kini menghadapi tantangan yang semakin besar. Aliansi yang dibangun dengan Israel dalam menghadapi Iran bukan sekadar isu regional, tetapi juga bagian dari strategi mempertahankan dominasi global. Iran, sebagai negara yang memiliki pengaruh kuat di Timur Tengah, menjadi ancaman bagi kepentingan Barat, terutama dalam hal kontrol energi dan pengaruh politik di kawasan. Sementara itu, negara-negara BRICIS semakin solid dalam membangun kekuatan alternatif, berusaha menciptakan tatanan dunia baru yang tidak lagi sepenuhnya didikte oleh Barat.
Di tengah dinamika ini, posisi Indonesia menjadi pertanyaan besar. Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan anggota G20, Indonesia memiliki potensi untuk memainkan peran strategis. Namun, apakah potensi itu benar-benar dimanfaatkan? Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia cenderung mengambil posisi netral dalam berbagai isu global, menjaga hubungan baik dengan semua pihak tanpa terlalu condong ke salah satu blok.
Namun, dalam dunia yang semakin multipolar, sikap netral tidak selalu menjadi keuntungan. Ada saatnya Indonesia harus menunjukkan keberpihakan berdasarkan kepentingan nasionalnya. Jika negara-negara BRICIS mulai menguat sebagai poros baru, apakah Indonesia akan tetap bertahan dalam posisi ambigu, atau justru memanfaatkan momentum ini untuk mendapatkan keuntungan strategis?
Selain faktor politik, ekonomi menjadi faktor krusial dalam menentukan langkah Indonesia. Dengan ketergantungan yang cukup tinggi pada investasi asing, Indonesia harus berhati-hati dalam memainkan kartunya. Hubungan dagang dengan Tiongkok semakin kuat, tetapi di sisi lain, keterkaitan dengan Barat masih menjadi penopang utama ekonomi nasional. Jika konflik global semakin memanas dan Indonesia tidak segera menentukan arah kebijakan yang jelas, maka ada risiko terseret dalam pusaran kekuatan besar tanpa kesiapan yang memadai.
Saat ini, dunia tidak lagi hanya bicara tentang kekuatan militer, tetapi juga tentang ketahanan ekonomi, teknologi, dan diplomasi. Indonesia harus lebih agresif dalam menentukan posisinya, tidak hanya sebagai negara yang menunggu dan bereaksi terhadap situasi global, tetapi sebagai pemain yang bisa menciptakan peluang baru dalam perubahan tatanan dunia.
Dengan semakin panasnya konflik yang melibatkan Amerika, Israel, Iran, dan reaksi dari BRICIS, Indonesia harus segera menyusun strategi yang tidak hanya menjaga kepentingan nasional, tetapi juga memperkuat posisi di mata dunia. Jika tidak, maka Indonesia bisa kehilangan momentum dan hanya menjadi penonton dalam pergeseran kekuatan global yang sedang berlangsung.
Review
Jika Pilpres di 2026: Prabowo-Dedi Mulyadi, Duet Paling Tepat!
Jika Pilpres dipercepat pada 2026, duet Prabowo Subianto dan Dedi Mulyadi adalah pilihan ideal. Kombinasi ketegasan dan kerja nyata mereka menjawab harapan publik akan pemimpin yang tidak hanya berbicara tetapi juga bertindak.

Published
14 hours agoon
02/04/2025By
N Ayu Ashari
Monitorday.com – Riuh rendah harapan publik semakin nyaring terdengar. Andai Pilpres dipercepat pada 2026, nama Prabowo Subianto sebagai calon presiden dan Dedi Mulyadi sebagai calon wakil presiden menjadi pasangan yang dinanti-nanti. Bukan tanpa alasan, Prabowo adalah sosok pemimpin berkarisma, tegas, dan berpengalaman di pemerintahan.
Sementara itu, Dedi Mulyadi adalah pemimpin yang lahir dari rahim rakyat, terbukti dengan kerja nyata dan tidak sekadar omong besar. Publik menginginkan pemimpin yang tidak hanya pandai bersuara tetapi juga mampu bertindak langsung, dan duet ini menjawab harapan tersebut.
Prabowo Subianto, dengan segala pengalaman politik dan militer yang dimilikinya, telah membuktikan diri sebagai sosok yang konsisten memperjuangkan kepentingan bangsa. Prabowo sebagai mantan Menteri Pertahanan dan Presiden ke 8 saat ini, terus menunjukkan kepiawaian dalam memperkuat pertahanan negara.
Kiprah Prabowo dalam berbagai lini strategis menunjukkan kualitas kepemimpinan yang dibutuhkan Indonesia di masa depan. Dengan wibawa yang kuat dan komitmen terhadap kedaulatan bangsa, Prabowo adalah figur yang tepat untuk memimpin negeri ini menuju era kejayaan.
Di sisi lain, Dedi Mulyadi adalah figur yang mewakili akar rumput. Tidak seperti politisi lain yang lebih banyak berpikir simbolis, Dedi adalah sosok yang benar-benar turun ke lapangan. Dari membantu rakyat kecil, membangun infrastruktur pedesaan, hingga menyelesaikan berbagai permasalahan sosial dengan pendekatan langsung—semua telah ia lakukan dengan nyata.
Karakter ‘talk to walk’-nya menjadikannya pemimpin yang dicintai dan dipercaya banyak orang. Kinerjanya sudah terbukti sejak menjabat sebagai Bupati Purwakarta, di mana kebijakan-kebijakan progresifnya mengubah wajah daerah menjadi lebih maju dan sejahtera.
Selain itu, posisi Dedi Mulyadi sebagai putra daerah Jawa Barat semakin memperkuat kombinasi ini. Jawa Barat adalah provinsi dengan jumlah pemilih terbesar di Indonesia, dan figur pemimpin yang dekat dengan rakyat seperti Dedi tentu memiliki daya tarik politik yang kuat.
Dalam berbagai kesempatan, Dedi menunjukkan bahwa ia tidak hanya sekadar hadir dalam perbincangan politik, tetapi juga benar-benar bekerja untuk rakyat. Ia mengerti betul permasalahan di tingkat bawah dan tahu bagaimana cara menyelesaikannya dengan solusi konkret. Ini bukan soal janji politik semata, tetapi tentang realisasi kebijakan yang berpihak pada rakyat.
Pasangan Prabowo-Dedi juga merupakan perpaduan antara ketegasan dan kepedulian sosial. Prabowo dengan visi besar dalam menjaga stabilitas nasional dan Dedi dengan kepiawaian dalam membangun kesejahteraan rakyat di tingkat akar rumput adalah kombinasi yang solid.
Mereka bisa saling melengkapi untuk menghadirkan pemerintahan yang lebih efektif dan responsif terhadap kebutuhan rakyat. Jika melihat dinamika politik saat ini, banyak pihak menilai bahwa duet ini akan menjadi jawaban atas kebuntuan kepemimpinan yang lebih mengutamakan pencitraan ketimbang aksi nyata.
Tak hanya itu, masyarakat kini semakin cerdas dalam memilih pemimpin. Mereka menginginkan sosok yang bukan sekadar populer di media, tetapi juga benar-benar bekerja untuk mereka. Di tengah tren politik yang cenderung retoris, Prabowo dan Dedi menawarkan sesuatu yang berbeda: kepemimpinan berbasis aksi nyata. Ini yang membuat publik semakin antusias dengan kemungkinan duet ini di Pilpres 2026.
Sinyal kuat dari masyarakat pun terus mengalir. Dukungan terhadap Prabowo terus menguat, sementara Dedi Mulyadi semakin mendapat tempat di hati rakyat sebagai calon pemimpin masa depan. Jika benar Pilpres dipercepat, maka duet Prabowo-Dedi bisa menjadi kekuatan yang sulit dikalahkan. Dengan rekam jejak yang telah terbukti, mereka membawa harapan baru bagi Indonesia yang lebih baik.
Review
Lebaran Usai, Janda Muda Meroket
Setelah Lebaran 2025, Indonesia mengalami lonjakan jumlah janda muda akibat peningkatan perceraian, terutama di Jawa Barat, dengan perselisihan dan masalah ekonomi sebagai penyebab utama.
Published
21 hours agoon
02/04/2025By
Natsir Amir
Monitorday.com –Setelah gema takbir mereda dan opor ayam tinggal kenangan di meja makan, Indonesia dihadapkan pada fenomena yang tak kalah menggelegar: lonjakan jumlah janda muda pasca mudik Lebaran 2025. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang tahun 2024 tercatat 394.608 kasus perceraian, dengan Jawa Barat menyumbang angka tertinggi, yakni 88.842 kasus.
Bayangkan, setelah perjalanan mudik yang penuh perjuangan—berdesakan di kereta, terjebak macet berjam-jam, hingga drama rebutan kursi di bus—pasangan suami istri akhirnya tiba di kampung halaman. Namun, alih-alih mempererat tali kasih, momen ini justru menjadi ajang pembuktian bahwa mertua memang selalu benar dan menantu harus selalu siap mental.
Tak heran, perselisihan dan pertengkaran menduduki peringkat teratas sebagai penyebab perceraian, dengan 251.125 kasus. Masalah ekonomi menyusul di belakangnya dengan 100.198 kasus. Mungkin, setelah Lebaran, dompet yang menipis akibat tradisi bagi-bagi THR membuat pasangan suami istri sadar bahwa cinta saja tak cukup untuk membayar cicilan motor dan kuota internet.
Di Jakarta, kota yang tak pernah tidur, angka perceraian juga menunjukkan tren yang menarik. Sepanjang 2021 hingga 2023, lebih dari 45 ribu pasangan memutuskan untuk berpisah. Tiga faktor utama yang mendominasi adalah perselisihan yang tak kunjung usai, masalah ekonomi yang mencekik, dan keputusan salah satu pihak untuk meninggalkan pasangan. Mungkin, hiruk-pikuk ibu kota membuat pasangan lebih memilih berpisah daripada terus-menerus terjebak dalam kemacetan rumah tangga
Namun, tak semua provinsi mengalami nasib serupa. Nusa Tenggara Timur (NTT) mencatatkan jumlah perceraian paling sedikit pada 2023, hanya 621 kasus. Apakah ini berarti cinta di NTT lebih kuat? Atau mungkin, akses menuju pengadilan yang jauh membuat pasangan berpikir dua kali sebelum mengajukan gugatan cerai?
Fenomena ini tentu mengundang berbagai spekulasi. Apakah tradisi mudik yang seharusnya mempererat silaturahmi justru menjadi pemicu retaknya rumah tangga? Ataukah, momen kumpul keluarga besar membuka mata pasangan akan realita bahwa mereka lebih bahagia saat berjauhan?
Yang jelas, lonjakan jumlah janda muda pasca Lebaran ini menjadi cerminan kompleksitas dinamika rumah tangga di Indonesia. Mungkin, di masa depan, kita perlu mempertimbangkan untuk menambahkan sesi konseling pernikahan dalam rangkaian tradisi mudik, agar perjalanan pulang kampung tak berakhir dengan perjalanan ke pengadilan agama.
Review
Ketika Hukum Diperjualbelikan, Tunggulah Kehancuran
Kasus suap hakim dalam vonis bebas Ronald Tannur mengungkap bobroknya sistem peradilan, mencerminkan krisis moral dan integritas yang mendalam.
Published
3 days agoon
31/03/2025By
Natsir Amir
Monitorday.com – Bayangkan sebuah negeri di mana palu hakim tidak lagi menggema sebagai simbol keadilan, melainkan sebagai alat transaksi. Indonesia, dengan segala kebanggaannya sebagai negara hukum, kini dihadapkan pada kenyataan pahit: hukum dapat diperjualbelikan. Kasus suap yang melibatkan tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya dalam vonis bebas Gregorius Ronald Tannur adalah bukti nyata betapa bobroknya sistem peradilan kita.
Gregorius Ronald Tannur, terdakwa dalam kasus kematian kekasihnya, Dini Sera Afrianti, seharusnya menghadapi konsekuensi hukum yang setimpal. Namun, kenyataan berkata lain. Ibu Ronald, Meirizka Widjaja, dengan segala daya upaya, berusaha membebaskan anaknya dari jerat hukum. Ia menggandeng pengacara Lisa Rahmat, yang kemudian menjalin komunikasi dengan mantan pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar, untuk mencari hakim yang ‘bersedia’ memberikan vonis bebas. Hasilnya? Suap sebesar Rp 1 miliar dan SGD 308 ribu atau setara Rp 3,6 miliar mengalir ke kantong tiga hakim: Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, dan Mangapul.
Erintuah Damanik, yang menjabat sebagai ketua majelis hakim dalam kasus ini, mengaku sempat ingin mengakhiri hidupnya sebelum akhirnya mengakui perbuatannya. Ia merasa dihantui oleh dosa dan takut kutukan menimpa keluarganya. Dalam sebuah kontemplasi mendalam, Erintuah membaca Alkitab dan menemukan bahwa kejujuran adalah jalan terbaik. Ia pun memutuskan untuk mengakui segalanya demi menghentikan ‘kutukan’ ini agar tidak berlanjut ke anak-cucunya.
Namun, pengakuan ini tidak serta-merta membersihkan noda hitam yang telah tercoreng di wajah peradilan Indonesia. Sebaliknya, hal ini justru menyingkap tabir betapa dalamnya krisis moral yang melanda institusi penegak hukum kita. Jika hakim, yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan, dapat tergoda oleh uang dan kekuasaan, lalu kepada siapa lagi rakyat harus mencari keadilan?
Lebih ironis lagi, kasus ini bukanlah yang pertama dan mungkin bukan yang terakhir. Berbagai kasus serupa telah mencuat ke permukaan, namun tampaknya belum ada perubahan signifikan dalam sistem peradilan kita. Korupsi telah mengakar begitu dalam, sehingga sulit untuk membedakan antara penegak hukum dan pelanggar hukum.
Pemerintah memang telah mengambil beberapa langkah untuk memperbaiki keadaan. Misalnya, Presiden Prabowo Subianto berencana memberikan amnesti kepada puluhan ribu narapidana, termasuk aktivis Papua, sebagai upaya mengatasi overkapasitas penjara dan memberikan kesempatan kedua bagi mereka yang dianggap layak. Namun, apakah langkah-langkah ini cukup untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan?
Masyarakat Indonesia berhak mendapatkan sistem hukum yang adil dan bersih dari korupsi. Diperlukan reformasi menyeluruh yang tidak hanya menyentuh aspek struktural, tetapi juga kultural. Pendidikan moral dan etika harus ditanamkan sejak dini, terutama bagi mereka yang bercita-cita menjadi penegak hukum. Selain itu, pengawasan ketat dan sanksi tegas harus diterapkan bagi siapa saja yang terbukti menyalahgunakan wewenangnya.
Kasus suap dalam vonis bebas Ronald Tannur adalah alarm keras bagi kita semua. Ini adalah panggilan untuk segera bertindak, untuk tidak lagi menutup mata terhadap kebobrokan yang terjadi di depan kita. Kita tidak boleh membiarkan hukum diperjualbelikan, karena ketika itu terjadi, maka keadilan hanyalah ilusi belaka.
Saatnya kita bangkit dan menuntut perubahan. Keadilan bukanlah barang dagangan yang bisa dibeli oleh mereka yang memiliki kekayaan atau kekuasaan. Keadilan adalah hak setiap warga negara, dan kita semua bertanggung jawab untuk menjaganya tetap murni dan tidak ternoda.
Review
Israel! The Real Betrayer Till the end of the World
Israel berkali-kali mengingkari janji gencatan senjata, menggunakan strategi manipulasi untuk menipu masyarakat internasional. Dengan framing yang terencana, Israel terus melanjutkan agresi meski mengklaim ingin berdamai.
Published
3 days agoon
30/03/2025By
Natsir Amir
Monitorday.com – Setiap kali kata “gencatan senjata” mencuat dalam diskusi konflik Palestina-Israel, harapan akan perdamaian kembali mengemuka. Namun, harapan itu selalu kandas di tangan Israel, yang berulang kali mengingkari janji dan merancang framing untuk membenarkan agresinya. Seolah menjadi pola yang terus berulang, Israel menerima proposal gencatan senjata hanya untuk kemudian melanggarnya dengan dalih baru.
Sejarah panjang konflik di Gaza mencatat betapa seringnya Israel menandatangani perjanjian gencatan senjata, hanya untuk kemudian membatalkannya. Sejak awal agresi besar-besaran pada Oktober 2023, proposal gencatan senjata kerap disepakati melalui perantara internasional, seperti Mesir, Qatar, dan Amerika Serikat. Namun, dalam setiap kesepakatan, Israel selalu menemukan celah untuk melanjutkan serangan brutalnya.
Kasus terbaru adalah bagaimana Hamas telah menerima proposal gencatan senjata terbaru yang diajukan mediator, sementara Israel menolak dan malah mengajukan proposal balasan. Sikap ini bukan sekadar negosiasi biasa, tetapi strategi yang digunakan untuk mengulur waktu dan mengalihkan perhatian dari kebrutalan yang terjadi di Gaza. Israel selalu berhasil membingkai dirinya sebagai pihak yang mencari solusi, padahal faktanya, serangan terus berlanjut tanpa henti.
Sejarah mencatat pola yang sama terjadi di berbagai kesempatan. Setiap kali gencatan senjata mulai berlaku, Israel selalu punya alasan untuk melanggar perjanjian yang telah disepakati. Entah dengan dalih serangan roket dari kelompok militan atau “ancaman baru” yang diklaim tanpa bukti konkret. Pada akhirnya, Israel memanfaatkan gencatan senjata hanya sebagai taktik untuk meredakan tekanan internasional, sebelum kembali melanjutkan agresi dengan intensitas lebih besar.
Selain itu, framing media yang digunakan Israel juga menjadi senjata ampuh untuk membentuk opini global. Israel kerap menggunakan bahasa yang menggiring opini, seperti “operasi kontra-terorisme” atau “hak untuk membela diri,” meskipun serangannya telah menewaskan puluhan ribu warga sipil, termasuk anak-anak dan perempuan. Dengan dukungan sekutu kuatnya, terutama Amerika Serikat, Israel berhasil mengontrol narasi dan membungkam kritik internasional terhadap pelanggaran hukum perang yang dilakukannya.
Perang propaganda ini bukan sekadar permainan kata, tetapi strategi nyata yang memungkinkan Israel terus melakukan pembantaian tanpa konsekuensi berarti. Setiap laporan korban jiwa atau kehancuran di Gaza dibantah dengan klaim sepihak dari militer Israel, sementara penderitaan warga Palestina semakin memburuk.
Dengan catatan panjang pelanggaran gencatan senjata, sulit untuk percaya bahwa Israel benar-benar menginginkan perdamaian. Setiap langkah negosiasi hanya dimanfaatkan sebagai alat diplomasi kosong untuk memperpanjang kekuasaan dan mendominasi jalur politik di Timur Tengah. Selama dunia masih membiarkan Israel mengendalikan narasi dan menghindari tanggung jawab atas kejahatan perang yang dilakukannya, konflik ini akan terus berulang tanpa akhir yang jelas.
Jika dunia benar-benar peduli terhadap perdamaian di Palestina, sudah saatnya ilusi gencatan senjata ini dibongkar. Israel harus bertanggung jawab atas pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan, bukan terus diberi ruang untuk menipu masyarakat internasional dengan janji-janji kosong.
Review
Revolusi Energi! Bioavtur Minyak Jelantah Siap Mengudara
Pertamina mulai uji coba produksi bioavtur berbahan minyak jelantah di Kilang Cilacap dengan target 9.000 barel per hari, membuka era baru energi hijau bagi industri penerbangan Indonesia.
Published
4 days agoon
30/03/2025By
Natsir Amir
Monitorday.com –Energi hijau kini bukan lagi sekadar wacana. Pertamina, melalui subholding Refining and Petrochemical, PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), siap menggebrak industri penerbangan dengan produksi bioavtur berbasis minyak jelantah. Uji coba skala besar ini akan dimulai pada kuartal II-2025 di Kilang Cilacap, Jawa Tengah, dengan target produksi awal mencapai 9.000 barel per hari. Langkah ini menandai era baru bagi penerbangan Indonesia yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Direktur Utama KPI, Taufik Aditiyawarman, menegaskan bahwa produksi bioavtur ini adalah solusi tepat bagi maskapai penerbangan yang harus memenuhi standar energi bersih global. Dengan metode coprocessing, minyak jelantah akan dicampur sebanyak tiga persen dalam setiap produksi harian avtur. Artinya, untuk 9.000 barel avtur, dibutuhkan sekitar 270 barel minyak jelantah. Angka ini menunjukkan bahwa limbah yang sebelumnya dianggap tidak berguna kini bisa menjadi sumber energi bernilai tinggi.
Pertamina tidak sendiri dalam proyek ambisius ini. KPI telah menyiapkan kerja sama strategis dengan berbagai kolektor minyak jelantah guna memastikan ketersediaan bahan baku yang stabil. Sinergi juga dijalin dengan Pertamina Patra Niaga sebagai penyedia pasokan minyak jelantah yang akan diolah menjadi bioavtur. Dengan jaringan distribusi yang luas dan pasokan yang terjamin, proyek ini siap berjalan tanpa hambatan berarti.
Langkah Pertamina ini bukan hanya tentang inovasi energi, tetapi juga menjawab tantangan regulasi global. Negara-negara seperti Singapura dan Malaysia sudah lebih dulu mewajibkan maskapai menggunakan bahan bakar berkelanjutan dalam operasional mereka. Dengan kehadiran bioavtur berbasis minyak jelantah ini, maskapai yang transit di Indonesia akan lebih mudah memenuhi regulasi negara tujuan mereka. Hal ini juga membuka peluang besar bagi Indonesia sebagai hub energi bersih di Asia Tenggara.
Namun, produksi bioavtur ini tidak bisa langsung diterapkan tanpa pengujian ketat. Pertamina akan menjalankan serangkaian uji coba, termasuk uji statis dan uji terbang, guna memastikan kualitas dan performa bahan bakar ini sesuai standar penerbangan internasional. Setiap langkah dipastikan memenuhi regulasi ketat agar bioavtur ini bisa diandalkan dalam operasional penerbangan.
Revolusi energi ini membuka banyak peluang baru, termasuk dalam aspek ekonomi dan lingkungan. Pemanfaatan minyak jelantah yang selama ini menjadi limbah berbahaya bisa diubah menjadi produk bernilai tinggi. Ini bukan hanya mengurangi dampak pencemaran lingkungan, tetapi juga menciptakan ekosistem bisnis baru, mulai dari pengumpulan hingga distribusi bahan baku bioavtur. Selain itu, dengan semakin banyaknya negara yang menerapkan kebijakan energi bersih, Indonesia memiliki peluang untuk menjadi pemain utama dalam industri bioavtur global.
Ke depan, Pertamina berencana untuk terus meningkatkan skala produksi bioavtur dan mencari alternatif bahan baku lain yang berkelanjutan. Dengan inovasi ini, Indonesia tidak hanya memenuhi kebutuhan domestik, tetapi juga bisa menjadi eksportir bioavtur ke pasar internasional.
Revolusi energi hijau telah dimulai. Langkah berani ini menunjukkan bahwa transisi ke energi berkelanjutan bukan lagi impian, melainkan kenyataan yang siap mengudara. Maskapai, regulator, dan masyarakat kini memiliki alasan lebih kuat untuk mendukung pergeseran menuju masa depan yang lebih ramah lingkungan.
Review
Shahid Khan: Dari Cuci Piring ke Miliarder
Shahid Khan, pengusaha muslim Amerika, memulai kariernya sebagai pencuci piring sebelum sukses di industri otomotif dan olahraga. Kini, ia memiliki kekayaan 12,2 miliar dolar AS.
Published
5 days agoon
29/03/2025By
Natsir Amir
Monitorday.com – Tidak ada kesuksesan yang datang dalam semalam. Perjalanan Shahid Khan dari seorang pencuci piring hingga menjadi miliarder adalah bukti bahwa mimpi bisa diwujudkan dengan kerja keras, ketekunan, dan strategi yang tepat. Pengusaha muslim asal Amerika Serikat ini adalah inspirasi bagi banyak orang yang ingin menaklukkan dunia bisnis.
Lahir di Lahore, Pakistan, pada 18 Juli 1950, Khan memiliki impian menjadi arsitek. Demi mengejar mimpinya, ia memberanikan diri merantau ke Amerika Serikat pada usia 16 tahun. Namun, kenyataan tak selalu sejalan dengan harapan. Setibanya di Negeri Paman Sam, Khan harus bekerja sebagai pencuci piring di sebuah restoran dengan bayaran hanya 1,20 dolar AS per jam. Namun, dengan semangat yang tak tergoyahkan, ia berhasil menyelesaikan studi di University of Illinois at Urbana-Champaign (UIUC) dan meraih gelar sarjana teknik industri pada tahun 1971.
Sejak duduk di bangku kuliah, Khan sudah mulai merintis karier di dunia industri. Ia bergabung dengan Flex-N-Gate, sebuah perusahaan suku cadang otomotif, dan terus menunjukkan kemampuannya hingga akhirnya dipercaya menjadi Direktur Teknis. Pada tahun 1980, ia mengambil langkah besar dengan membeli perusahaan tersebut. Dalam waktu kurang dari satu dekade, ia berhasil mengubah Flex-N-Gate menjadi satu-satunya pemasok suku cadang Toyota di Amerika Serikat, menjadikannya salah satu pengusaha paling sukses di industri otomotif.
Keberhasilan di sektor otomotif tidak membuatnya cepat puas. Khan memahami bahwa diversifikasi bisnis adalah kunci untuk mempertahankan kesuksesan. Maka, pada 2011, ia mengakuisisi Jacksonville Jaguars, sebuah tim American Football yang berlaga di National Football League (NFL). Dua tahun kemudian, ia melanjutkan ekspansinya di dunia olahraga dengan membeli klub sepak bola Fulham di Inggris. Investasinya di dunia olahraga semakin memperkuat posisinya sebagai salah satu pebisnis paling berpengaruh di dunia.
Di luar bisnis, Khan dikenal sebagai sosok yang setia pada keluarga. Ia menikah dengan Ann Khan, kekasihnya sejak kuliah, pada tahun 1977. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai dua anak, Tony dan Shanna. Saat ini, keluarga Khan menetap di Naples, Florida, menikmati hasil kerja keras yang telah dibangun selama puluhan tahun.
Menurut Forbes, kekayaan bersih Shahid Khan kini mencapai 12,2 miliar dolar AS atau sekitar 195 triliun rupiah, menjadikannya salah satu orang terkaya di dunia dengan peringkat ke-162. Kesuksesan ini tidak diraihnya secara instan, tetapi melalui proses panjang yang penuh dengan tantangan. Perjalanan hidupnya mengajarkan bahwa kerja keras, visi yang jelas, dan keberanian mengambil risiko adalah faktor utama dalam meraih kesuksesan.
Kisah Shahid Khan membuktikan bahwa siapa pun, tanpa memandang latar belakang, dapat mencapai puncak kesuksesan jika memiliki tekad yang kuat. Dari mencuci piring hingga menjadi pemilik perusahaan otomotif raksasa dan klub olahraga elite, ia adalah contoh nyata bahwa batasan hanya ada di dalam pikiran kita. Inspirasi dari Shahid Khan bukan hanya tentang kesuksesan finansial, tetapi juga tentang semangat pantang menyerah dalam mengejar impian.
Review
Bantu Mudik di Indonesia? Putin Kabarnya Bakal Kirim Kapal Selam Supersonik
Putin ingin mengirim kapal selam supersonik untuk membantu pemudik motor di Indonesia yang selalu terjebak macet. Ide nyeleneh ini menggambarkan realitas transportasi kita yang absurd.
Published
6 days agoon
28/03/2025By
Natsir Amir
Monitorday.com – Mudik di Indonesia itu bukan sekadar tradisi, tapi uji nyali tingkat dunia. Ketahanan fisik, mental, serta kreativitas dalam menyusun barang di atas motor adalah skill yang tak bisa dipelajari di bangku sekolah. Dari tahun ke tahun, jalan tol yang katanya solusi justru ikut merayakan macet bersama jutaan pemudik. Dan kini, di tengah kebuntuan transportasi, muncullah sosok penyelamat tak terduga: Vladimir Putin. Loh kosa bisa?
Konon, Presiden Rusia ini tak tahan melihat pemotor Indonesia berjuang melawan macet. Empat penumpang di atas satu motor plus tumpukan barang yang lebih tinggi dari menara Eiffel miniatur memang sesuatu yang tak ada duanya. Jika negara lain mengirim kapal induk untuk membantu, Putin malah ingin mengirim kapal selam supersonik! Logikanya sederhana, jika darat macet dan udara penuh pesawat delay, maka laut dan bawahnya adalah harapan terakhir.
Tentu, ide Putin ini bisa jadi solusi anti-mainstream bagi pemudik. Bayangkan, para pemotor dengan muatan maksimal bisa menyelam melewati kemacetan dengan kecepatan supersonik. Bukan hanya lebih cepat, pemudik juga tak perlu lagi berjibaku dengan teriknya matahari atau hujan deras. Bisa langsung nyelam, muncul di kampung halaman, dan disambut keluarga dengan tumpukan ketupat yang masih hangat.
Namun, sebelum kapal selam supersonik beroperasi, ada hal yang perlu dipertimbangkan. Pertama, bagaimana teknis memasukkan motor ke dalam kapal selam? Haruskah ada palka khusus untuk pemotor dengan bambu penyangga barang bawaan? Kedua, apakah pemudik harus punya sertifikat menyelam sebelum naik? Jangan sampai di tengah perjalanan, ada yang panik lalu membuka jendela kapal selam!
Di sisi lain, jika rencana ini berhasil, Putin akan semakin dicintai pemudik Indonesia. Bisa jadi, di musim mudik berikutnya, poster Putin akan lebih banyak menghiasi truk-truk di Indonesia, dengan nada satrikal ” Gimana Jika tukaran Presiden”.
Bahkan, bukan tak mungkin, para pemudik akan mengganti klakson motor mereka dengan suara khas Putin “Uraaaaa, Uraaaaaaa,”.
Namun, tak semua pihak setuju dengan ide cemerlang ini. Pejabat Indonesia bisa merasa tersaingi, karena selama ini hanya mereka yang bisa melawan macet dengan mudah—entah dengan pengawalan, valet rider, atau kalau kepepet, pura-pura jadi ambulans. Jika kapal selam Putin benar-benar beroperasi, bisa jadi para pejabat harus mencari cara baru agar tetap eksklusif. Misalnya, pindah ke kendaraan luar angkasa agar bisa langsung teleportasi ke rumah masing-masing.
Di balik humor ini, ada realitas yang perlu digarisbawahi: sistem transportasi kita memang tak pernah benar-benar tuntas mengatasi mudik. Setiap tahun, pemudik masih harus menghadapi kemacetan yang sama, jalan tol yang justru jadi lautan kendaraan, serta aturan lalu lintas yang sekadar wacana. Putin mungkin hanya bercanda (atau tidak?), tapi idenya menggambarkan betapa lucu sekaligus mirisnya kondisi mudik kita.
Maka, jika kapal selam Putin akhirnya batal beroperasi, pemudik Indonesia harus tetap kreatif. Siapkan fisik, mental, dan jangan lupa bawa camilan super banyak. Karena di negeri ini, mudik bukan sekadar perjalanan pulang—ini adalah petualangan epik yang bisa mengalahkan cerita superhero manapun!
Review
Trump Mau Kirim Kapal Induk Bantu Lerai Kemacetan Mudik 2025? Lantas Putin…
Tradisi mudik Indonesia memang unik. Meski macet selalu jadi bumbu utama, rakyat tetap sabar dan kreatif. Trump mau bantu? Lucu, tapi hanya bisa terjadi di imajinasi.
Published
6 days agoon
28/03/2025By
Natsir Amir
Monitorday.com – Coba bayangkan, saat jutaan pemudik bersiap mengarungi pulang kampung, tiba-tiba terdengar kabar mengejutkan: Presiden Donald Trump akan mengirim “kepala induk” untuk membantu Mudik Lebaran 2025 di Indonesia.
Kepala induk? Apa itu, ayam petelur raksasa? Atau mungkin kepala negara cadangan? Tidak ada yang tahu pasti, karena pernyataan ini jelas-jelas hanya ilusi dan guyonan. Tapi, justru di situlah letak keasyikannya. Bisa-bisanya, Trump yang sedang sibuk dengan segala urusan dalam negerinya, kepikiran mau ngurusin mudik di Indonesia? Ini seperti berharap badut sirkus jadi navigator Formula 1, seru tapi absurd.
Namun, jangan salah, isu ini menjadi cermin kocak betapa “ajaibnya” tradisi mudik kita. Setiap tahun, jalan tol yang katanya bebas hambatan itu malah penuh dengan hambatan, mulai dari mobil mogok, truk parkir sembarangan, sampai manusia-manusia super yang nekat putar balik lawan arah. Jalan tol berubah jadi panggung sandiwara raksasa, tempat drama kemacetan dan komedi kehidupan dipentaskan tanpa henti. Semua pemudik sudah hafal, tapi tetap saja, setiap tahun mereka rela ikut dalam “festival macet” yang entah kenapa terasa wajib.
Lucunya lagi, selalu ada yang berharap mudik tahun ini lebih lancar. Menteri, polisi, sampai tukang cilok di pinggir jalan ikut optimis. Tapi faktanya? Setiap Lebaran, kemacetan justru seperti mendapat promosi jabatan: makin tinggi pangkatnya, makin parah macetnya. Jalan tol yang dibanggakan itu akhirnya berubah fungsi, bukan lagi jalur cepat, tapi ruang tunggu raksasa. Bedanya, kalau di bandara ada ruang tunggu dengan AC dan kursi empuk, di tol hanya ada panas, klakson yang tak pernah berhenti, dan aroma bumbu rendang dari bekal pemudik yang mulai menggoda.
Nah, di sinilah sesungguhnya letak keunikan Indonesia. Alih-alih marah atau kapok, pemudik justru menjadikan macet sebagai bagian dari perjalanan. Ada yang buka tikar di bahu jalan, bakar jagung, main kartu, sampai karaoke bareng dari mobil ke mobil. Bisa dibilang, hanya di Indonesia kemacetan tol menjadi ajang silaturahmi dadakan yang tak dirancang, tapi dinikmati.
Jika Donald Trump betulan datang dan melihat langsung pemandangan ini, mungkin dia akan mengeluarkan kebijakan baru: mengakui tol Indonesia sebagai World Heritage Site atas nama “kemacetan abadi yang penuh kehangatan”. Siapa tahu? Tapi ya, tentu saja ini hanya khayalan. Amerika tak akan pernah serius mengurus mudik kita, karena sejatinya, hanya orang Indonesia yang mengerti cara menikmati macet, dengan sabar dan tetap tersenyum, sambil nyengir menertawakan nasibnya sendiri.
Maka dari itu, mau Trump kirim kepala induk atau kepala negara sekalipun, selama budaya mudik masih melekat kuat, dan sistem transportasi kita belum bertransformasi total, kemacetan akan tetap menjadi tradisi tahunan yang tak bisa dihindari. Tapi itulah Indonesia, negara dengan rakyat paling tabah dan paling kreatif dalam menghadapi cobaan, termasuk cobaan bernama mudik.
Jadi, selamat mudik, nikmati macetnya, karena siapa tahu di tengah kemacetan, justru kamu menemukan cerita unik yang bisa diceritakan nanti saat Lebaran.
Review
Makan Bergizi Gratis: Antara Harapan dan Tantangan
MBG menjanjikan solusi gizi nasional dengan tambahan anggaran besar, tetapi menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas, pengawasan, dan sumber dana. Sukses atau gagal? Semua tergantung eksekusi.
Published
1 week agoon
26/03/2025By
Natsir Amir
Monitorday.com – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali menjadi sorotan setelah anggarannya terkena efisiensi sebesar Rp200 miliar. Namun, kabar baiknya, pada September mendatang, pemerintah menjanjikan tambahan Rp100 triliun. Sebuah lonjakan dana yang luar biasa besar, tapi benarkah ini solusi atau justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan?
Tidak dapat disangkal, MBG adalah program ambisius yang diharapkan dapat menanggulangi masalah gizi di Indonesia. Dengan target 82,9 juta penerima manfaat pada 2025, program ini diharapkan menjadi game changer dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Apalagi, menurut Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hidayana, perputaran ekonomi dari MBG bisa memberikan dampak positif ke berbagai sektor, terutama pertanian dan peternakan. Dengan kebutuhan harian yang luar biasa—dari 200 kilogram beras hingga 3.000 telur—MBG berpotensi menjadi stimulus ekonomi bagi para petani dan peternak lokal.
Namun, di balik optimisme itu, ada banyak tanda tanya besar. Efisiensi anggaran sebesar Rp200 miliar mungkin terlihat kecil dibandingkan tambahan Rp100 triliun yang dijanjikan. Namun, apakah anggaran yang membengkak ini benar-benar akan terserap dengan efektif?
Bagaimana dengan sistem pengawasan agar tidak terjadi kebocoran atau penyalahgunaan dana? Jangan lupa, program dengan alokasi dana sebesar ini selalu berisiko mengalami korupsi atau ketidakefisienan.
Selain itu, ada tantangan logistik yang harus diperhitungkan. Dengan jumlah penerima manfaat yang mencapai puluhan juta orang, distribusi makanan bergizi secara merata bukanlah hal mudah. Infrastruktur di daerah terpencil masih menjadi masalah, dan ancaman bencana seperti banjir—seperti yang terjadi di Jabodetabek—menambah kompleksitas eksekusi program ini.
Pemerintah memang berencana merelokasi Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) ke lokasi yang lebih aman, tetapi apakah itu cukup untuk menjamin keberlanjutan program?
Dari segi ekonomi, dana sebesar Rp1,2 triliun per hari untuk MBG memang menggiurkan. Tetapi, pertanyaan besar lainnya adalah: dari mana sumber dana ini? Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara telah menyatakan bahwa anggaran MBG akan disiapkan, tetapi apakah ini berarti peningkatan pajak, pemotongan anggaran dari sektor lain, atau bahkan utang baru? Masyarakat perlu transparansi penuh tentang bagaimana uang sebesar ini akan dikelola tanpa mengorbankan sektor lain yang juga krusial seperti pendidikan dan kesehatan.
Di sisi lain, ada kelompok yang melihat MBG sebagai langkah progresif. Jika benar-benar terealisasi dengan baik, ini bisa menjadi lompatan besar dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Masalah gizi buruk dan stunting masih menghantui negeri ini, dan MBG bisa menjadi solusi konkret untuk mengatasinya. Apalagi, jika eksekusinya melibatkan petani dan peternak lokal, dampaknya bisa lebih luas dari sekadar pemberian makanan gratis—yaitu meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat.
Tetapi, kritik tetap perlu disuarakan. Tidak sedikit yang khawatir bahwa program ini lebih bersifat populis ketimbang substansial. Apakah program ini akan berjalan dengan efektif dalam jangka panjang, atau hanya akan menjadi proyek mercusuar yang perlahan redup akibat ketidaksiapan manajemen?
Transparansi dan akuntabilitas harus menjadi prioritas utama, agar MBG tidak menjadi proyek yang menghambur-hamburkan uang rakyat tanpa hasil nyata.
Jadi, MBG ini solusi atau ilusi? Jawabannya bergantung pada bagaimana pemerintah memastikan program ini berjalan dengan efektif, transparan, dan akuntabel. Karena pada akhirnya, niat baik saja tidak cukup—harus ada eksekusi yang benar-benar berpihak pada rakyat.
Monitor Saham BUMN

Wanita Ini Jadi Korban Kekerasan Seksual Tentara Israel

Timnas U-17 Siap Tempur di Ajang Piala Asia 2025, Erick Thohir Kirim Pesan Ini

Jejak Ulama dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

Terjadi Saat Shalat Jumat, Ratusan Muslim Dikhawatirkan Syahid Akibat Gempa Myanmar

Peran Ulama dalam Membangun Peradaban Islam

Trump Bicara Soal Jelang TikTok Kena Banned 5 April

Strategi Global, Dimana Posisi Indonesia?

Val Kilmer, Pemeran Batman Forever Meninggal Dunia di Usia 65 Tahun

Jika Pilpres di 2026: Prabowo-Dedi Mulyadi, Duet Paling Tepat!

Zakat dari Harta Haram, Apa Hukumnya?

Ulama dan Perkembangan Ilmu Keislaman di Nusantara

Syaikh Usamah Ar Rifa’i Terpilih Jadi Mufti Agung Suriah

Pengakuan Carlo Ancelotti Usai Real Madrid Kebobolan 4 Gol

Hari Ini Jasa Marga Berlakukan Contraflow di Tol Jagorawi Arah Puncak

Gibran Sebut Didit Prabowo Sebagai Pemersatu Tokoh Bangsa

Bomber Inter Milan Absen Lawan AC Milan di Semifinal Coppa Italia, Lha Kok Kenapa?

Polemik UU TNI!Mantan Panglima GAM Justru Pro

Mudik Lebaran 2025, Mesin Penggerak Ekonomi

Momen Spesial Timnas Indonesia U-17 Rayakan Idulfitri di Jeddah
